Saturday, November 08, 2008

Peter Zilahy dan Novel Kamus

Ada beberapa paradoks yang melekat pada Peter Zilahy, novelis dari Hongaria. Dua di antaranya adalah hubungan antara sastra dan sepak bola, juga novel dan kamus. Ia termasuk masih muda sebagai sastrawan, kini 38 tahun. Usia produktif itu telah digunakan sejak usia 20 tahun, ketika ia menerbitkan novel The Last Window Giraffe (1998). Agak terdengar aneh untuk sebuah makna. Tetapi begitulah sang kreator telah menciptakan semacam subgenre sastra berupa novel yang disusun serupa kamus.

Peter dalam novel itu sesungguhnya menceritakan tentang politik yang bergolak di negaranya. Subjudul yang tertera dalam sampul adalah “Hari-Hari Terakhir Sang Diktator”. Ia menyampaikan gerakan anti-Milosevic dan sejarah Balkan. Secara luas ia sedang mengisahkan pelbagai peristiwa di kawasan Eropa Timur yang tak kunjung tenang.

Tahun 2008, ia diundang dalam Festival Ubud, untuk merayakan pesta sastra (pesta para penulis tersohor). Dalam beberapa kesempatan bicara, pembawaannya cukup segar. Penuh daya tarik humor. Seperti misalnya ketika ia menjelaskan tentang novelnya yang disusun secara alfabetik Hongaria. Benar, bahwa abjad di sana dimulai dari huruf A, seperti layaknya alfabet dunia, namun jumlahnya ada 44 huruf (di Indonesia 26 huruf). “Saya menambah 1 huruf, jadi kini berjumlah 45,” ujarnya.

Lalu apa hubungannya dengan sepak bola? Ia mengaku itu untuk keseimbangan hidupnya. Memang, seorang pengarang umumnya lebih banyak bekerja dengan duduk atau membaca sambil tiduran, yang membuat tubuhnya tak banyak digerakkan. Namun demikian, sepak bola bagi Peter bukan sakadar main-main, karena klubnya pernah beberapa kali memenangkan pertandingan.

Pada Jumat malam (24/10), bukunya yang telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Bentang Pustaka, didiskusikan di MP Book Point. Peminat sastra, khususnya yang sangat tertarik dengan keunikan novel itu menyambut antusias, dan menanyakan hal-hal seputar proses dan maksud penciptaannya. Sebenarnya, sebelum karya itu berbentuk novel, Peter Zilahy memang sudah merintisnya untuk kegiatan lain dalam mendukung demonstrasi. Misalnya esai-esai kritik terhadap kediktatoran (lunak) yang disusun serupa kamus.

Buku itu benar-benar menyerupai kamus. Dimulai dari kata “ablak” yang dalam bahasa Hongaria berarti jendela dan diakhiri dengan “zsiraf” (jerapah). Lay out halaman dibuat dalam dua kolom disertai banyak gambar yang berkaitan dengan kata yang dibahas, seolah-olah kita sedang membuka Webster. Tak heran jika Julian Evans dari BBC London memberi komentar: “Karya sastra yang tak sekadar memanjakan hati, tetapi juga mata.” Novel unik, menarik, dan fenomenal ini mendapat penghargaan “Book of The Year Prize Ukraina” pada tahun 2003. Sementara ini, peredarannya di dunia telah diterjemahkan ke dalam 19 bahasa.

Peter Zilahy dianggap sebagai orang yang serbabisa. Bagaimana tidak? Ia menulis puisi, juga pandai bermain teater. Baru-baru ini, tepatnya Mei 2008, ia mementaskan teater di Volksbuchne. Satu lagi kemahirannya adalah memotret. Karya-karya fotografinya pernah dipamerkan di Ludwig Museum Budapest, 2002.

“Apa harapan Anda terhadap buku Anda di Indonesia?” tanya Salman dari Bentang Pustaka dalam wawancara untuk Jak TV. Tentu saja Peter sangat mendambakan buku itu dibeli dan dibaca banyak orang Indonesia dengan harga yang bagus.

Ketika seseorang bertanya, apakah novelnya dapat dibaca dari tengah atau di halaman sesuka hati, ia menjawab: “Seperti anda menonton sepak bola, lima menit pertama, di tengah atau terakhir, mungkin bisa menikmati, mungkin juga tak dapat menangkap seluruhnya.”

Peter Zilahy merupakan pribadi yang hangat dan tampak tidak borjuis, dilihat dari bagaimana ia memilih penginapan. Ramah kepada semua orang, wajah tampannya selalu dihiasi senyum. Saat di potret, di pengujung acara yang mungkin melelahkan, ia berkomentar: “Hati-hati memotret saya dalam keadaan tidak segar…”

Malam itu, dengan setelan kaus lengan panjang warna hijau dan jins, ia membagikan tanda tangan bagi para penggemar (baru)nya. Di sela-sela pewawancara, dari sejumlah media massa yang hadir. Konon, kesempatan berikutnya ia akan singgah di radio dan beberapa tempat, sampai sekitar akhir Oktober. Agaknya ia sangat terkesan dengan Indonesia.

(Kurnia Effendi)