Wednesday, January 14, 2009

Mengenang Azwina Aziz Miraza (13 Januari 1960-8 September 2008)

PRESS RELEASE

Jumat, 16 Januari 2008

Seorang penyair telah berpulang. Tetapi, sebagai seniman yang mewariskan karya, Azwina Aziz Miraza memiliki jejak panjang. Tilas sejarah itu berupa sejumlah besar puisi dan cerpen yang terbit dalam 9 buku. Sebagi penyair, penasbihan dirinya terjadi pada 1978, melalui Forum Penyair Muda yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta.

Bagi Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Mbak Ina – demikian panggilan karibnyatak hanya seorang sahabat atau senior dalam dunia penulisan, tetapi juga salah satu pendiri. Bahkan rumahnya di bilangan Bintaro, menjadi tempat pembentukan KSI (1996) bersama Wowok Hesti Prabowo, Ahmadun Yosi Herfanda, Diah Hadaning, Medy Loekito, Iwan Gunadi, Shobir Poer, Ayid Suyitno, Wig SM, Hasan Bisri, dan Slamet Rahardjo Rais. Mengalir bersama pasang-surut jalannya organisasi, Mbak Ina memiliki kegiatan lain yang tak kurang bermanfaatnya.

Jumat, 16 Januari 2009, kami menyelenggarakan dua peringatan sekaligus. Pertama, 100 hari mengenang mendiang Azwina. Kedua,  ulang tahun almarhumah (13 Januari). Tiada penghormatan yang lebih indah kecuali dengan meluncurkan buku, membahas, dan membacakan karya-karyanya. Sang suami, Hendry Ch. Bangun merasa bangga dapat menerbitkan kedua buku karya istri tercinta, yang masing-masing berjudul: Tuhan, Aku Sendirian dan Di Setengahnya adalah Kita.

Sepanjang hidupnya, Mbak Ina, sangat produktif dalam berkarya. Terbukti sudah ada sembilan buku puisi dan empat kumpulan cerita pendek yang pernah diterbitkannya. Karya terakhir Tuhan Aku Sendirian, telah menjadi manuskrip sejak Mei 2008, sebelum berpulang ke Rahmatullah. Puisi-puisi terakhirnya itu diperiksa dan disunting oleh sastrawan Hamsad Rangkuti dan diberi pengantar oleh pengamat sastra Maman S. Mahayana.

Untuk mengingat buku-buku karya sebelumnya, tercatat sebagai berikut: Tango Kota Air (kumpulan puisi perdana bersama Hendry Ch Bangun,1980), Pesta Duka Malam Menagih Janji (1995), Rumah Biru Liar Melirik Langit (1996), Si Kancil Gemar Mengutil dan Langit Terbelah Saat Dukaku Melangkah (1997), Zaman Merah (1999), Kuburu Sukma sampai ke Aceh (2000), dan Jangan Bilang Siapa-Siapa (2004). Kumpulan cerpennya adalah Perdagangan Jempol dan Manusia Hijau (1996), Dua Orang Anak Mengukir Langit (1999), serta Revolusi Lidah (2004). Sejumlah puisinya masuk dalam beberapa antologi penyair perempuan Indonesia.

Kedua buku yang meluncur dan didiskusikan hari ini di PDS HB Jassin TIM, memiliki karakter masing-masing. Tuhan, Aku Sendirian merupakan kumpulan puisi terbaru yang berbicara tentang ’kesendirian’nya dalam memperjuangkan sesuatu. Mbak Ina merasa berhadapan dengan pemerintah dan masyarakat yang tidak mendukung niat baiknya dengan segala aturan dan tekanan. Sedangkan buku Di Setengahnya adalah Kita merupakan antologi puisi yang dipilih dari sepanjang karier kepenyairannya sejak 1976 (kurang lebih 32 tahun).

Selain menulis sebagai penyair dan cerpenis bebas (dimuat di Media Indonesia, Pelita, AB, dan majalah Puteri) Mbak Ina pernah bekerja sebagai wartawan di majalah Sarinah, Amanah, kontributor di Bisnis Indonesia, dan Persda di lingkungan Kompas Gramedia. Bahkan di Harian Pelita, Mbak Ina pernah mengasuh kolom remaja ”Ina Menjawab”.

Berhenti sebagai wartawan, dia aktif di berbagai hal, seperti menjadi promotor pameran lukisan Basuki Abdullah di Bandung (1990), penerbitan buku Tokoh dan Ibunda, mengadakan lomba baca puisi bagi tukang becak, pengembangan anak jalanan, dsb. Bersama RCTI Peduli dalam dua tahun ia mendirikan 10 perpustakaan desa terpencil di DKI, Banten, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur lewat Yayasan Cahaya Hati Bangsa yang dia dirikan bersama sejumlah tokoh. Sampai wafatnya, Ina aktif dalam penyembuhan penderita penyakit HIV/Aids dengan Reagent Ina dan Green Cocktail yang ditemukannya. Pasiennya tidak hanya ada di Jakarta, tetapi sampai ke Bandung, Surabaya, Makassar, dan Papua.

Kami, Komunitas Sastra Indonesia Cabang DKI menyelenggarakan diskusi buku Mbak Ina bukan semata sebagai bentuk perkabungan, namun lebih sebagai penghormatan terhadap sang penyair yang memiliki kepedulian sosial cukup tinggi. Kerja kerasnya yang tak mengenal waktut patut mendapat penghargaan. Walaupun mimpi-mimpinya tak seluruhnya tercapai, sebagai sahabat kami ingin menempatkan kontribusinya dalam peta sastra  Indonesia.

Mbak Ina wafat meninggalkan suami Hendry Ch Bangun, dan ketiga putrinya, Kiki, Riri, dan Puput yang selalu memberi inspirasi baginya. Rasa kehilangan itu mudah-mudahan tertutupi dengan silaturahmi kreatif yang terus berkesinambungan oleh para sahabatnya.

(Kurnia Effendi, KSI Cabang DKI)