Monday, January 12, 2009

Parade Foto yang Menggugah Emosi

Foto jurnalistik sanggup mengisahkan beribu cerita dari satu momen yang dihentikan dalam satu frame. Hal ini tak perlu diragukan lagi. Mata kamera para wartawan itu telah mewakili mata mereka yang sensitif terhadap peristiwa di sekitar profesinya. Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, dipamerkan hasil bidikan para jurnalis media masa dunia 2007 yang dikompetisikan. Kali ini Media Indonesia menjadi penyelenggara pameran “World Press Photo 2008”. Berlangsung di hall Pacific Place, foto-foto yang dicetak dalam ukuran besar itu menarik perhatian dan menggugah emosi.

Dengan banyak kategori lomba, yakni Spot News, General News, People in The News, Sport Actions, Sport Features, Contemporary Issues, Daily Life, Portraits, Arts and Entertainment, dan Nature, yang masing-masing dibagi dalam dua jenis, singles dan stories, panitia menyajikan lengkap mulai dari juara pertama hingga ketiga. Terpilih sebagai foto terbaik tahun 2007 adalah “American Soldier Restting at Bunker, Korengal Valley, Afghanistan” bidikan 16 September tahun lalu. Foto karya Tim Hetherington itu dibuat untuk majalah Vanity Fair, memenangi kategori “General News”. Tampak dalam foto, seorang serdadu yang letih dan menunjukkan kesan cemas atau takut dalam nuansa hijau tentara yang tidak terlampau tajam (mungkinkah sengaja?). Secara komposisi memang menarik dan fragmentaris.

Foto-foto lain, baik yang hitam putih maupun berwarna, menampilkan kekuatan karakter pada masing-masing kategori. Pemilihan obyek yang tak biasa, ketajaman gambar dari kamera canggih, dan sudut pengambilan yang memperlihatkan jam terbang para wartawan foto, menjadi andalan. Mula-mula para pemerhati foto-foto itu terpukau oleh kekayaan kisah dalam gambar, berikutnya perasaan mereka diaduk ketika menyaksikan hal-hal nyata yang terjadi.

Bom yang meledak, misalnya, tidak hanya membuat bagian kota hancur, namun juga memakan korban. Tubuh yang terserak dalam keadaan tak utuh. Ekspresi duka dan marah penduduk yang kehilangan keluarga dengan latar asap dan warna api. Di mana pun di sudut dunia ini, perang, terorisme, bahkan bencana alam, akan memancing rasa miris. Dalam pameran foto jurnalistik dunia kali ini pun tak luput dari suasana perang dan pergolakan sebuah negara. Bagian paling mengerikan itulah yang umumnya menarik simpati para juri, karena selain mengundang rasa kemanusiaan, juga dibuat dengan tantangan risiko tinggi.

Pada kategori olah raga, muncul detil luar biasa dari wajah-wajah para pelari marathon yang disiram air. Selain dibantu oleh teknologi kamera yang memiliki resolusi tinggi dan mampu menjangkau jarak yang jauh, kepiawaian sang pemotret juga diuji oleh obyek yang bergerak. Lelehan air di wajah para atlet itu seperti benar-benar membasahi permukaan foto.

Kadang-kadang sangat mengherankan, mengapa dari gambar-gambar muram itu seperti terurai sebuah riwayat, jelujur kehidupan manusia yang terhentikan oleh tembakan lensa. Keseharian yang tak dapat dipisahkan dari penderitaan, gejolak politik lokal, dan massa yang mencerminkan kegelisahan masa depan. Bagaimana kita menafsirkan pakaian dalam wanita, semacam lingerie yang tersangkut kawat berduri di wilayah kegelapan? Itulah foto-foto yang mengambil lokasi di Vietnam, Columbia, Afrika Selatan, Pakistan, Israel, dan daerah konflik lainnya.

Pada bingkai-bingkai yang lain, tampak begitu kontras tempat rekreasi yang penuh dengan suasana riang serta seni hiburan yang tak biasa. Ada musim dingin yang merepresentasikan kebekuan, ketika ikan-ikan dengan mulut seruncing tombak teronggok sebagai hasil buruan atau terjebak pada laut yang berubah es. Foto-foto yang mengambil obyek bawah laut juga sangat mengagumkan dan umumnya menjadi konsumsi majalah National Geographic.

Dewan juri yang diketuai oleh Gary Knight (dari Inggris) terdiri dari para fotografer profesional dan sejumlah editor foto pada majalah-majalah ternama dunia. Mereka adalah Jodi Bieber dan Oliver Chanarin (keduanya dari Afrika Selatan), Erin Elder (Canada), Craig Golding (Australia), Mary Anne, Michael Nichols, dan Maria Mann (ketiganya dari USA), Simon Njami (Kamerun), Enric Marti (Spanyol), Swapan Parekh (India), Sujong Song (Korea), dan Stephan Vanfleteren (Belgia). Pilihan mereka tampak meyakinkan, meskipun belum merata ke seluruh dunia. Ada beberapa negara Asia yang absen kali ini, mungkin karena materi foto masih kalah menarik dibanding para pemenang.

Foto-foto menggunakan mikroskop memang mengagumkan karena ketajamannya menangkap benda-benda supermungil yang tak tertangkap mata telanjang. Namun, tampaknya kurang menunjukkan survivalitas umat manusia yang dihimpit oleh laju peradaban dengan dampak pengorbanan tak henti-henti. Kategori hiburan justru menampilkan sisi getir yang umumnya tidak membuat bahagia para pelaku kesenian itu. Sejumlah foto figur tampil dingin dan ada pendaman rasa risau kolektif yang mewakili masyarakat.

Dalam pengantar katalog pameran, Surya Paloh (pemimpin Media Indonesia Group) mengatakan bahwa manusia adalah kreator visual (tentu dalam hal ini adalah para fotografer itu). Komunikasi visual memainkan peran penting dalam menyampaikan informasi kepada publik. Para wartawan foto itu telah memberikan perubahan melalui karya mereka yang mewakili riset, dan menjadi cerita sampul yang menarik perhatian. Tentu saja, kekuatan foto yang sanggup memengaruhi emosi pembaca itu dapat dijadikan alat politik, selain memang berusaha mengungkap kenyataan.

Para juara itu, untuk menyebut beberapa nama, antara lain: John More (Amerika) yang mengabadikan detik-detik setelah bom meledak, Balazs Gardi (Hongaria), Yonathan Weitzman (Israel), Philippe Dudoit (Swiss), Erik Refner (Denmark), Andrew Quilty (Australia), Pieter ten Hoopen (Belanda), dan Fang Qianhua (China).

Menurut panitia pameran, beberapa hari sebelumnya telah diselenggarakan workshop fotografi jurnalistik yang kebanjiran peserta. Kemungkinan akan ada lokakarya gelombang kedua bagi yang masih belum mendapat kesempatan. Melihat minat masyarakat dan perkembangan sejumlah wadah karya fotografi dalam media maya, tampaknya dunia visual dan virtual memang sedang merajai. Dampak dari persepsi seseorang yang menerima gambar lewat mata menunjukkan sensasi paling besar ketimbang melalui indera lain.

Sekarang kita memang sedang memasuki zaman gambar. Politik dewasa ini juga tidak luput dari pengaruh itu. Lihatlah, kampanye di mana-mana menggunakan medium billboard dengan gambar-gambar figur tokoh politik besar-besaran.

(Kurnia Effendi)