Gerimis Februari
GERIMIS turun lagi. Seperti percik air mata bidadari. Melompat di antara sela daunan. Terpelanting dari ujung genting. Terbanting di rumputan. Di aspal jalan. Di tanah dan kerikil. Di rambut para pejalan kaki. Membasahi sepatu. Perlahan-lahan membasahi sebagian kota Bandung.
Adit berjalan cepat. Ia menutup kepalanya dengan tas. Gerimis membuatnya cemas. Ia tak ingin terlambat. Saat seperti ini, Jalan Ganesha terasa begitu panjang. Pohon-pohon mahoni tua, hanya sebentar menahan tetesan air. Daun-daun ramping itu menggulirkan butir gerimis. Mengikuti langkahnya yang tergesa.
“Rara!” seru Adit. Pada panggilan ketiga, Rara menoleh. Ketika itu, hampir saja Rara naik ke angkutan
Adit menemukan wajah Rara yang murung. Mirip langit mendung. Bibir indahnya tetap terkatup. Ada yang tak beres, pikir Adit. “Kenapa tidak menunggu di Columbia?”
Rara menggeleng. “Aku harus pulang ke Jakarta.”
Kening Adit mengernyit. “Ada apa? Hari Senin masih ada ujian mid semester, kan?”
“Ayahku sakit,” jawab Rara pendek. Matanya merebak basah.
“Di rumah atau di rumah sakit?”
Rara menimang-nimang telepon selularnya. “Di rumah, sih.”
Adit menarik nafas lega. Setidaknya lebih terasa menenteramkan dibanding jika harus rawat inap. Tapi, apakah Rara akan mengorbankan satu mata kuliah terakhir?
“Mau kuantar ke
….
STASIUN Bandung memberikan bayangan-bayangan memanjang ke timur. Matahari senja memasuki rongga peron, terpantul di atas licin rel. Mata Adit menyipit oleh silau surya senja. Begitu lekas gerimis terusir. Meninggalkan selapis pelangi.
Maka sore ini perasaan Rara tidak terlalu diliput mendung.
(Petikan dari cerita Gerimis Februari, Kurnia Effendi)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home