Rumah
MUNGKIN cerita ini sudah sering kita dengar. Biasanya menjadi ilustrasi ketika seorang motivator menyampaikan materi di depan para peserta seminar. Kadang-kadang kita mendapatkan melalui internet. Tetapi saya mendengarnya justru pada siaran radio pagi, untuk menandai perpindahan acara, tepat pukul tujuh. Pada saat yang sama, saya baru saja menurunkan anak-anak saya di depan sekolah mereka. Mobil kehilangan celoteh kakak-beradik itu, tinggal saya melanjutkan perjalanan ke kantor, melalui serangkaian kemacetan di beberapa tempat. Ah,
Suara bariton yang sedap didengar, karena intonasinya menunjukkan sikap optimis, mengisi ruangan kabin mobil. Dengan bahasa saya sendiri, kira-kira demikian ceritanya:
“Akhirnya pemuda anak tukang kayu itu menikah dengan seorang puteri pemilik pabrik. Sebuah pesta bernuansa mewah disiapkan, menunjukkan betapa saudagar itu memiliki harta yang berlimpah. Keluarga tukang kayu itu tentu seperti naik pangkat dengan mendadak. Cinta memang tumbuh di pelbagai tempat dan tidak membedakan si kaya dan si miskin.
“Seusai perhelatan, ayah sang perempuan bicara kepada menantunya yang mulai merintis karirnya sebagai anemer otodidak. Ia ingin dibuatkan sebuah rumah terbaik dan kuat yang dapat dibangun oleh kemampuan sang menantu. Ia minta bangunannya menggunakan bahan terbaik dan dipilih tenaga kerja yang andal untuk mewujudkannya. Ia ingin melihat sejauh mana keahlian menantu pilihan puterinya itu.
“Syahdan, pemuda yang telah menjadi suami bagi anaknya itu dengan gembira menyanggupi, seiring dengan merasuknya pikiran untuk melakukan trik demi mendapatkan keuntungan pribadi. Kapan memperoleh kesempatan emas seperti ini? Tak akan datang dua kali, bukan? Segera dibuat rancangan yang tampak spektakuler. Disusunlah anggaran yang luar biasa besar sebagai pertanda menggunakan bahan berkualitas unggul. Setelah seluruh proposal itu disetujui, mulailah lelaki muda itu bekerja. Lantas dia menunjuk sejumlah orang yang bisa diajak kongkalikong.
“Dengan mengganti semua material turun ke kelas tiga, banyak dana yang dapat ia lipat sebagai keuntungan. Dengan seluruh tukang yang bersedia melakukan kecurangan, rumah itu jadi dalam waktu yang lebih lekas dari jadwal. Rumah itu tampak megah meskipun dibangun dengan konstruksi yang rapuh. Penampilannya tampak menawan meskipun terbuat dari bahan-bahan murahan. Setelah melengkapi dengan pernak-pernik untuk mengelabui kelemahan struktur, tibalah saat ia menyerahkan hasil karyanya kepada sang mertua.
”Seraya tersenyum arif, bapak yang dermawan itu menepuk-nepuk bahu menantunya dengan bangga. Selamat, katanya, kini aku ingin membuka rahasia. Rumah yang indah dan kuat ini, yang kaubangun dengan bahan-bahan terbaik, oleh tukang-tukang terbaik pula, kuberikan kepada kalian sebagai hadiah perkawinan. Tinggallah di dalamnya dengan tenteram dan semoga kalian menikmati hasil karya terbaik ini.”
Saya, yang mendengar kisah itu dan kini menceritakannya kepada anda, sempat tercengang. Apalagi sang menantu dalam kisah itu, tentu lebih terpana. Siapa menduga bahwa rumah pesanan itu akan diberikan kepadanya? Siapa menduga?
Duduk tercenung dalam rumah yang mengkhawatirkan, karena sewaktu-waktu akan rubuh oleh angin kencang atau getaran gempa, lelaki muda itu menyesal. Ia tak akan berterus-terang kepada isterinya, apalagi kepada mertuanya, tentang “prestasi” yang telah dia lakukan, sampai saatnya yang tepat. Pertanyaannya adalah: Kapan tiba waktu yang dianggap tepat? Mungkin ketika ia terkubur oleh reruntuhan kecerobohan dan kecurangannya sendiri.
Sambil menyelesaikan sisa jarak menuju kantor, diam-diam saya menarik pelajaran dari kisah itu. Dan saya tak ingin memilikinya sendiri.
(Kurnia Effendi, untuk Jeda PARLE).
0 Comments:
Post a Comment
<< Home