Raksasa
Siapakah raksasa itu? Kemauanmu! Ambisimu! Keinginanmu untuk berubah! Cita-cita untuk menjadi yang terbaik dibanding orang lain. Raksasa yang siap membuat dirimu berarti bagi kehidupan. Raksasa yang bersedia terjun dalam kancah kompetisi.
Untuk membangunkan raksasa itu, tidak ada cara lain kecuali meninggalkan sesuatu yang biasa-biasa saja menuju yang luar biasa. Mungkin saat ini kita sedang merasa nyaman, merasa pada posisi yang aman. Seterusnya kita terlena dengan kenyamanan itu, sementara di luar sana orang lain berlomba mendaki lebih tinggi. Ketika suatu saat bertemu dengan mereka yang lebih sukses, kita sudah jauh ketinggalan.
Apakah salah bila kita merasa nyaman dan aman pada saat ini? Tentu tidak salah. Hanya agak mengingkari sifat manusia yang sesungguhnya tak pernah puas. Apakah ketika telah menjadi pemain sinetron, Happy Salma berhenti bercita-cita? Ia sadar betul bahwa usia profesi peran tidak pernah langgeng, sehingga harus ada kemungkinan lain untuk menjaga pendapatan hari tuanya. Apakah setelah menjadi pelawak, Mi’ing Bagito merasa itu puncak kebahagiaannya? Tidak juga. Ia terus menggali ilmu dan melebarkan sayap keahliannya di bidang-bidang lain. Semua itu tidak lepas dari raksasa yang menggeliat dalam dirinya.
Cobalah bangun pagi sedini mungkin, minum air putih sebanyak mungkin, menghirup udara subuh sepuas mungkin. Pernah pada ujung dinihari kami meluncur dari bukit Ciater menuju
Cobalah menghadap ke arah cermin: adakah tergambar muka yang bersemangat dengan rekah senyum, atau sebuah paras layu yang tak seorang pun akan tergoda untuk memandang? Tariklah bibir menjadi senyum, biarkan raksasa dalam dirimu mengaum lalu ikrarkan sesuatu yang membuatmu ingin segera melompat ke luar rumah untuk menjemput sesuatu.
Jangan biarkan raksasa dalam diri kita hanya berguna di saat kita terserang takut. Ketika kerusuhan 1998 meletus, seorang kepala mekanik di suatu bengkel Cempaka Putih, sanggup melompati sebuah pagar besi yang tinggi demi menyelamatkan diri. Seorang nenek mungkin mampu mengangkat kulkas dari rumahnya yang terbakar.
Mario Teguh memberi tahu kita bahwa dalam setiap manusia ada semacam siklus berkala untuk melakukan revolusi. Umumnya tiga tahun sekali. Tetapi bagi manusia yang ingin berbeda dengan yang lain, yang selalu ingin berubah menuju keberhasilan berikutnya, tak sabar menunggu yang tiga tahun itu. Setiap individu seseungguhnya sedang membawa dinamit atau petasannya masing-masing. Api akan datang secara alamiah, dalam sebuah siklus. Tapi ada segelintir orang yang begitu giat mencari api agar dinamit atau petasannya segera meledak. Ledakan itu, sesaat membikin kita tidak nyaman, namun membuka seluruh kemungkinan: jalan bercabang, jendela yang lebih luas, cahaya lebih terang, tantangan yang lebih menegangkan.
Saya selalu iri pada orang-orang yang gairahnya tak pernah padam. Saya selalu ingin belajar dari Anthony Robin, Robert Kyosaki, Yusuf Mansur, James Gwee, Tung Desem Waringin, Reza Syarif, Edward Linggar, Mario Teguh, Krishna Murti, Gde Prama... untuk mencapai setiap kesuksesan yang menjadi impian. Rasa syukur yang diimplementasikan dengan cara mendapatkan ilmu lebih banyak, membagikannya, mencari lagi, membagikannya, tentu tak melawan maksud Tuhan.
Andaikata raksasa dalam diri saya dapat dibangunkan, bangkit dan mengaum, mungkin saya akan menjadi penulis yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain setiap saat. Untuk itu, besok saya akan bangun lebih pagi. Besok saya akan memandang raut muka sendiri di depan cermin: adakah senyum penuh semangat di
(Kurnia Effendi, untuk kolem Jeda tabloid Parle)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home