Saturday, January 27, 2007

Hari-Hari Merah Jambu

SEMENTARA pesawat terus bergerak, bersiap-siap untuk take-off. Di ruang tunggu airport mulai ada sedikit keributan. Agaknya Bram bakal terlibat kesulitan. Petugas lapangan yang sedang memberikan gerakan tangan untuk sang pilot pun mulai curiga.

Benar. Ada beberapa mata dalam pesawat yang melihatnya.

“Teroris!”

“Siapa?”

“Mana?”

Laras meletakkan novel dan melonggarkan sabuk pengaman. Ia terpengaruh suara di sebelah-menyebelah, dan mencoba menengok ke luar melalui kaca jendela. Astaga!

“Bram!” pekiknya tanpa sadar.

Dilihatnya Bram tengah menyebar kuntum-kuntum bunga mawar yang telah dipatahkan dari tangkai mereka. Ditaburnya di aspal landasan dengan serabutan. Berusaha menggambar sesuatu. Menyerupai bentuk hati…

Laras tahu, Bram bermaksud mengucapkan selamat ulang tahun dengan bunga-bunga mawar itu. Tetapi kenapa dengan cara nekat dan merugikan diri sendiri? Pada saat kita minum kan bisa, pikirnya tak mengerti. Ini sungguh kejutan yang berbahaya! Sementara Laras makin tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia menganggap kejadian ini tidak masuk akal! Ia juga tak sadar kalau perubahan-perubahan wajahnya menjadi perhatian penumpang lain. Semua menatap dengan curiga. Juga was-was.

Pesawat terus bergerak. Sedangkan Laras merasa hatinya tidak turut meluncur.

….

LARAS pun merasakan matanya basah. Laras tak lagi menyaksikan apa-apa, selain gumpalan awan dan biru langit. Terdengar bisik-bisik penumpang di belakang. Selebihnya, adalah usaha mereka mengalihkan perhatian dan menenteramkan diri dari berbagai kemungkinan mengerikan. Barangkali kejutan senja di bandara yang baru lalu, tinggal menjadi cerita di benak masing-masing.

Sesuatu yang aneh sering muncul dengan tiba-tiba, bukan? Laras teringat ucapan Bram setengah jam yang lewat. Dan itu telah terjadi di depan matanya. Bahkan Bram yang melakukannya!

Ya, Tuhan. Apa yang terjadi atas Bram kemudian? Selamatkanlah dia! Dia bukan teroris! Dia bukan subversif! Diadiasesungguhnya orang yang paling romantis.

Hati Laras gelisah. Dan perjalanan pun jadi sangat panjang.

 

(Dipetik dari cerita Hari-Hari Merah Jambu, Kurnia Effendi)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home