Friday, January 26, 2007

Langit Makin Ungu

SEBERSIT kerisauan kini mengganggunya. Ia menyukai tatapan elang itu. Ia amat menyukai suaranya. Tetapi ia tidak ingin mencintainya. Bertemu dengan Bas, akan selalu mengingatkannya pada Baskoro. Ingatan itu amat menyakitkan. Ia ingin, ini percakapan terakhir. Betapa pun rindunya, ia harus sanggup membunuh perasaan itu.

“Dan kamu berjanji untuk tidak bercinta lagi?” tanya Nana.

“Ya. Sebelum mengenalmu lebih jauh.”

Bibir Nana mengering tiba-tiba. Mengapa pertunjukan tak segera selesai? Mengapa Rien Djamain menyanyi terlalu panjang dan banyak improvisasi? Dan sewaktu acara usai, Nana tak bicara lagi.

“Terima kasih, Bas. Kamu harus segera pulang.” Nana melambai di depan pintu rumahnya.

“Besok kamu kuliah jam berapa?”

“Kuminta kamu tidak menemuiku lagi,” ucapan Nana terdengar getir. “Lupakan aku.”

“Aku tak pernah mengerti maksudmu, Nana.”

“Sejak malam ini kamu akan mengerti.” Mata Nana mengeras. Sepasang mata elang di depannya mendadak tak berdaya.

“Nana…”

“Kamu tidak boleh melanggar janjimu.”

Mata cokelat yang dulu tegar kini murung. Alisnya meluruh.

“Kamu menyakiti perasaan sendiri, Nana.” Suara Bas gemetar.

Nana menghela nafas. “Mungkin. Selamat malam.”

Di mata Bas, langit jadi tak berbintang. Ia tak pernah mengerti. Tak pernah.

....

NANA menangis di bantalnya. Ia ingat ketika Baskoro menggandeng pacar barunya di depan matanya, seorang gadis cantik, yang enam bulan kemudian resmi menjadi tunangan Baskoro. Hati Nana hancur. Laki-laki yang meremukkan hatinya itu seperti muncul lagi lewat kehadiran Basunondo. Aku mencintainya. Tapi aku takut mengalami kegagalan kedua kalinya. Bisa mengertikah dia?

Nana mengangkat wajah dari bantal yang basah. Lalu ia memutuskan berlari ke ruang tamu. Dilihatnya Sita berdiri termangu menatap bingkai jendela. Ia menoleh begitu mendengar langkah Nana.

“Aku telah mengatakan sesuatu yang kamu inginkan,” bisik Sita. Bibirnya gemetar. “Mungkin sejak hari ini dia tak akan pernah kelihatan lagi. Besok dia berangkat ke Timur Tengah.”

Nana terpaku. Dua anak sungai mengalir di pipinya. Kekerasan hatinya telah dibayar dengan mahal: perpisahan.

 

(Dipetik dari cerita Langit Makin Ungu, Kurnia Effendi)