Monday, February 05, 2007

Berjalan di Sekitar Ginza

Ketika hujan menampar kaca jendela hotel, muncul alasan untuk bergabung dalam satu tempat tidur. Ketika selimut gagal mencegah hawa dingin yang mencakar kulit, embusan nafasnya hangat menyapu leher. Dan ternyata kelopak bibirnya yang mirip kuntum sakura itu bergetar ketika kucium. Semula kami merasa kedinginan, namun berakhir dengan pakaian yang berserakan di lantai.

Aku mengusap rambut di keningnya sambil menyampaikan maaf. Keiko tersenyum. Cahaya temaram lampu tidur membuat wajahnya berwarna kuning telur. Kemudian ia sembunyikan wajahnya ke leherku. Sebagian besar kulit tubuhnya menempel di kulit tubuhku, sampai tiba pagi.

Di meja breakfast, Keiko menjadi pendiam. Seperti embun yang tertahan pada pangkal daun. Mungkin ia melamunkan sesuatu. Ini baru terjadi setelah selama lebih sepekan bersama-sama. Karena biasanya dia ungkapkan segala sesuatu yang mengganggu perasaannya. Sebagaimana cerita cintanya mengalir seperti air ke hilir.

“Apa yang kamu pikirkan, Keiko?” Kusuapkan buah prune ke mulutnya.

Ia mengunyah sebentar. “Aku mau pulang. Aku pasti dicari ibuku.”

“Benar itu keinginanmu? Bukan karena marah padaku?”

Keiko menggeleng perlahan.

“Aku akan mengantarmu. Agar kamu tidak berubah pikiran di tengah jalan.” Aku tersenyum. Tapi Keiko cemberut. Dan ternyata aku juga suka melihatnya cemberut.

“Aku akan pulang sendiri. Kamu harus bekerja. Percayalah, pasti aku akan sampai ke rumah. Aku lebih hafal tempat di sini.”

Tentu. Tapi, sesungguhnya karena aku ingin terus bersamamu. Mungkinkah aku telah mencintainya? “Kalau begitu, kita jalan bersama ke stasiun.”

Ya. Akhirnya, tiga hari yang lalu Keiko meninggalkanku. Di stasiun subway kami berjanji akan bertemu lagi hari Sabtu di sekitar Ginza. Antara sculpture berpuncak jam sampai restoran John Manjuro. Tidak hanya janji bertemu, tetapi merencanakan perjalanan yang lebih jauh.

Tapi kamu tak kunjung tiba, Keiko.

Apakah aku terlambat? Padahal aku sudah sampai di jalan ini sejak pukul tujuh pagi. Berdiri menunggu di ujung perempatan. Menunggu sambil membaca judul-judul buku puisi di jendela toko buku Fukuya. Atau sengaja berdiri di depan kedai suvenir sembari memandang jalan raya. Kuteliti setiap taksi yang berhenti.

Aku ingin mengajakmu makan dimsum di restoran John Manjuro. Kubayangkan mulutmu yang serupa kuntum sakura itu mengunyah udang somay mangkuk tembikar basah. Aku akan mencium mulut yang belum selesai mengunyah itu. Sebagian remah udang dalam mulutmu akan masuk ke dalam mulutku. Membayangkan Keiko tertawa, dengan sepasang mata menghilang. Lalu kupandangi bulu-bulu halus keemasan yang meremang di kulit lengannya.

Kembali lambungku meruyak oleh panggilan lapar. Tapi aku terus berjalan di sepanjang trotoar, di sekitar Ginza. Karena aku takut kehilangan kesempatan melihat Keiko datang. Aku masih berharap Keiko muncul serupa tokoh dalam dongeng. Tentu dengan baju tanpa lengan, meski angin dingin santer bertiup. Seperti mengirim sisa serpih salju dalam bentuk debu dingin.

Mungkin aku benar-benar mencintaimu, Keiko.

 

(Dipetik dari cerita Berjalan di Sekitar Ginza, Kurnia Effendi)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home