Friday, April 27, 2007

Eksotisme Lokal sebagai Kekuatan Novel

EKSOTISME selalu menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati (dilihat, dirasakan, dihayati), juga untuk digarap. Kita acapkali memandang dengan nilai lebih pada karya-karya seni yang mengusung unsur eksotisme. Umumnya, unsur-unsur unik seperti itu menjadi kekuatan yang ditonjolkan oleh para kreator di jalur indie (independent). Sebagai contoh, untuk Indonesia, karya-karya film Garin Nugroho—Puisi yang Tak Terkuburkan dan Opera Jawa—adalah film-film dengan nuansa eksotisme. Demikian pula dengan sastra, yang kerap disebut sebagai induk dari film dan seni peran, akan memiliki posisi tersendiri ketika mengangkat nilai-nilai eksotisme. Lalu, apakah eksotisme itu?

            Boleh jadi saya keliru memaknai eksotisme, karena jika sepintas dilihat dalam kamus, berarti sesuatu yang datang dari luar negeri, istimewa, ganjil, asing. Dengan pengertian lain, sebaliknya, orang asing (luar Indonesia) akan melihat keganjilan yang berasal dari Indonesia sebagai hal unik dan eksotik. Materi yang mengandung keunikan itu biasanya diambil dari khazanah tradisional, dan bagi tlatah Nusantara, kita sangat mudah menemukannya karena begitu banyak suku bangsa yang masing-masing memiliki tradisi berbeda satu sama lain.

            Ketika kita menyaksikan ritual sekte voo-doo atau upacara-upacara suku Indian dalam film Amerika, terasa ada nuansa unik karena perilaku ganjil yang disuguhkan. Begitu sebaliknya, upacara Ngaben di Bali menjadi kegiatan yang sangat menarik bagi turis mancanegara. Namun, justru oleh keanekaragaman budaya suku-suku di Indonesia, antara satu tradisi dengan tradisi yang lain saling memukau. Barangkali, bagi orang yang berasal dari Jawa seperti saya tetap akan melihat sisi eksotisme dari kehidupan tradisional Aceh (dengan akar budaya Islam) atau Bali (dengan akar budaya Hindu).  

            Saya kira, novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira dapat diposisikan sebagai karya sastra yang mengandung unsur eksotisme. Seperti halnya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya masterpiece Ahmad Tohari, Sintren juga menggali realitas yang terjadi di tengah masyarakat Jawa Tengah (dalam hal ini Batang, tanah kelahiran pengarangnya) dengan mengambil tradisi yang paling menarik perhatian. Melalui novel Sintren, Widya seperti hendak menunjukkan kepada kita, bahwa pernah ada sejarah animisme dalam kehidupan masyarakat Nusantara di masa lalu. Karena Sintren (seperti juga Ronggeng, Tayub, Reog, Debus, Cokek, dan sejenisnya) tidak semata dikendalikan oleh kekuatan manusia biasa. Di sana ada unsur kesaktian, supranatural, mistis, atau kekuatan yang tak kasat mata.

            Melalui novel ini, Widya tidak hendak membuat disertasi mengenai sintren sebagai subkultur di tanah kelahirannya. Aroma cinta justru lebih kuat menghiasi seluruh kisah yang sangat khas dengan kehidupan pedesaan. Widya menggarap cerita dengan banyak tokoh yang masing-masing memiliki karakter, yang dengan mudah kita temui di wilayah pemukiman pesisir, yang penduduknya rata-rata miskin. Dengan tokoh utama Saraswati yang masih duduk di Sekolah Dasar di awal cerita, yang dipandang sebagai perawan cantik oleh ukuran mata Juragan Wargo dan hendak dilamar untuk Kirman, anaknya semata wayang, menjadi simpul dari untaian kisah panjang yang mengetengahkan friksi antartetangga.

            Cerita ini hidup karena seluruh kejadian berjalan sangat wajar, perpindahan adegannya mengalir dalam urutan waktu. Pembaca seperti terlibat di antara mereka, mendengar langsung naik-turunnya emosi para tokoh yang “dipermainkanoleh setiap kejadian. Hanya dengan “mendengar” percakapan (dan pertengkaran) antara suami-istri, tetangga, anak-ibu, setiap karakter muncul dengan kuat. Konflik demi konflik saling terkait, membangun nasib masing-masing tokoh, terutama Saraswati yang “ditemukan” oleh Mbah Mo dan Larasati untuk menjadi penari sintren, yang seolah menjadi solusi bagi kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarganya.

            Hanya dengan pengalaman atau riset yang memadai, novel ini dapat menghadirkan dunia sintren dengan baik. Widya mampu merepresentasikan tradisi itu dengan sejumlah romantisme melalui penyajian yang komunikatif. Kesederhanaan ungkapan Widya justru memberi ruh pada novel ini, dengan tidak lupa mempertahankan idiom-idiom khas orang desa yang tentu akan bergeser makna jika dialihbahasakan. Namun yang terpenting dari novel ini adalah tidak memberikan pendapat mengenai baik-buruk manusia, apalagi yang terkait dengan agama. Antara dunia wadag dan alam halus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika Saraswati menjadi sintren yang tersohor dan tercium seorang wartawan, Yudha, yang gandrung berlarut-larut pada pesona kecantikan dan keluwesannya.

            Dalam novel Sintren, Widya menggambarkan takdir seorang perempuan (Saraswati) dengan begitu kompleks. Cita-citanya untuk sekolah tinggi nyaris kandas ketika orangtuanya menerima lamaran pemuda kaya, yang sesungguhnya hanya didasari hasrat orang tua (dalam hal ini Juragan Wargo dan Surti). Kedengkian tetangga telah membatalkan perkawinan itu. Sementara “tangan” nasib lain menangkapnya menjadi calon sintren, dan seterusnya, sampai pada kehidupan perkawinannya yang membuat para suaminya meninggal. Di pengujung kisah, jika boleh diungkap di sini, peristiwa kematian Saraswati cukup menjelaskan bahwa dunia magis pun tak luput dari  kehendak Tuhan.

***

KEMBALI kepada unsur eksotisme, saya menganggap kekuatan novel ini justru pada keberaniannya mengangkat subkultur sebagai perilaku masyarakat yang mungkin saat ini mulai tidak populer. Ketika para pengarang lain beramai-ramai menggagas dunia hedonisme dengan latar perkotaan yang lebih mencuatkan perilaku seks pada tokoh-tokohnya, Widya menggiring kita ke wilayah yang kini teralienasi.

            Boleh jadi, sebentar lagi sintren, dan sejumlah kesenian tradisonal lainnya lambat-laun akan punah. Tanpa jejak seperti yang dipetakan oleh Widya, kita bakal kehilangan kandungan nilai yang justru pada awalnya menjadi kekayaan Nusantara. Semakin lenyap suara peradaban lokal (digilas oleh arus globalisasi yang ditandai dengan teknologi informasi), akan semakin langka, dan justru itu semakin terasa eksotis ketika kita mencoba mengangkatnya kembali.

            Persoalannya, selalu ada pertentangan yang terjadi menyangkut perbedaan prinsip antara agama (khususnya Islam) dengan seni tradisional yang kerap mengandung ritual yang menghubungkan manusia dengan jin. Kekuatan-kekuatan tak tampak ini sejak nenek-moyang kita memang telah menjadi sandaran yang diandalkan dalam pelbagai kegiatan kehidupan. Oleh karena itu pula, menurut riwayatnya, masuknya Islam ke tanah Jawa pun yang dibawa oleh Walisongo disisipkan melalui seni-seni tradisi, satu di antaranya seni pertunjukan wayang kulit. Risalah Islam pun melebur dalam tembang-tembang Jawa yang dianggap lebih mudah diserap sebagai nilai kehidupan.

            Bagaimana cara mempertahankan sebuah budaya tanpa membawa serta unsur ritualnya memang memiliki kesulitan tersendiri. Kebetulan pula, kesenian tradisi pada sejumlah daerah di Nusantara ini lebih menonjolkan gerakan tubuh. Dari gerakan ini lahir erotisme, yang bermuara pada semacamekstase” yang ditandai dengan memuncaknya hasrat lelaki terhadap objek yang disaksikannya. Hal itu terjadi dalam kesenian ronggeng, tayuban, jaipong, dan tentu saja sintren. Bahkan, ada yang hanya mendengar suaranya saja, seorang lelaki bisa jatuh terpedaya, misalnya ketika kesengsem dengan alunan cengkok tembang seorang sinden. Dampak ini yang pasti akan berbenturan dengan nilai-nilai relijius dalam agama apa pun, terutama Islam. Kiranya ini akan menjadi tugas berat para budayawan untuk mencari jalan tengahnya.

            Dalam novel Sintren, Widya menggambarkan bagaimana proses menjadi sintren itu berlangsung. Setidaknya buku ini memberikan literasi penting bagi pembaca dari wilayah budaya yang berbeda. Cerita yang bermula dari cerpen (ditulis tahun 1998, dan menjadi nominasi lomba cerpen nasional yang diselenggarakan oleh Diknas dan Creatif Writing Institute beberapa tahun berikutnya) ini dikembangkan karena ada endapan memori dalam benak Widya. Sebagai pengarang, ia pernah mewawancara sintren dan orang-orang yang dekat dengan dunia itu. Sebelum menjadi buku, novel ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Republika. 

            Terus terang saya iri, sebagai sesama orang Jawa, tapi tidak memiliki penghayatan yang cukup untuk menulis karya yang menjunjung arus tradisi pada batang-tubuhnya. Padahal masa kecil saya habis di Yogya, Tegal, dan Semarang, wilayah yang kaya dengan unsur tradisi, unsur eksotisme. Terima kasih untuk Dianing Widya Yudhistira yang telah memperkaya sekaligus menggugah pikiran kreatif saya. ***

(Kurnia Effendi. Ditulis untuk acara launching novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira di Perpustakaan Daerah Banten, 24 Maret 2007)

 

 

 

   

 

 

 

6 Comments:

Blogger chenlina said...

chenlina20150627
air max 90
true religion sale
jordan concord 11s
michael kors bag
air jordans
longchamp sale
pandora rings
michael kors outlet
coach outlet
pandora charms
burberry outlet
coach outlet store online
abercrombie fitch
michael kors
coach purses
true religion
retro 11
cheap chanel handbags
fitflop sale
kobe bryant shoes
ray ban wayfarer
longchamp pas cher
christian louboutin outlet
michael kors outlet
kate spade handbags
gucci handbags
juicy couture outlet
burberry handbags
ray ban outlet
michael kors outlet online
insanity dvd
michael kors outlet online sale
gucci bags
toms shoes
michael kors outlet online
burberry outlet
imitation watches
michael kors outlet
jordan pas cher femme
gucci bags

4:14 PM  
Blogger chenlina said...

chenlina20160505
air jordan 13
christian louboutin outlet
cheap jordan shoes
louis vuitton
michael kors outlet
ray bans
michael kors
burberry outlet
nike air jordan
kobe 11
juicy couture
true religion
nike uk
air max 90
replica watches
ray ban sunglasses
longchamp bags
ray ban sunglasses outlet
jordan 11 concord
fitflop sandals
coach outlet
oakley sunglasses cheap
louis vuitton outlet
adidas originals
basketball shoes
true religion sale
tiffany and co
nfl jerseys wholesale
ugg boots
louis vuitton purses
christian louboutin sale
ray ban sunglasses
cheap nfl jerseys
coach outlet
nike roshe flyknit
lebron james shoes 13
cheap air jordans
coach factorty outlet
louis vuitton outlet
polo ralph lauren outlet
as

9:11 AM  
Blogger Unknown said...


zhengjx20160706
nike trainers women
adidas nmd
oakley sunglasses
fit flops
michael kors outlet clearance
coach factory outlet
michael kors outlet clearance
michael kors outlet clearance
jordan retro 13
ray bans
kate spade handbags
michael kors handbags
michael kors outlet
louis vuitton outlet
tory burch boots
copy watches
christian louboutin sale
nike roshe run
louis vuitton bags
adidas wings
gucci outlet
coach outlet clearance
michael kors outlet clearance
burberry outlet online
michael kors outlet clearance
oakley sunglasses outlet
nike uk
coach outlet store
nike free 5.0
louis vuitton bags
louis vuitton handbags
jordan 6s
adidas superstar
ralph lauren outlet
michael kors outlet
coach outlet clearance
gucci outlet online
louis vuitton handbags
coach outlet
true religion outlet store

2:42 PM  
Blogger شركات تنظيف said...

شركة تنظيف خزانات بالدمام
افضل شركة تنظيف بالدمام
افضل شركة مكافحة حشرات بالدمام
شركة تسليك المجارى بالدمام
شركة شفط بيارات بالدمام

4:40 AM  
Blogger 5689 said...

zzzzz2018.8.29
nike air jordan
michael kors handbags
nike shoes for men
moncler jackets
coach outlet
moncler outlet
uggs outlet
pandora outlet
coach outlet online
oakley sunglasses wholesale

1:11 PM  
Blogger yanmaneee said...

yeezy shoes
adidas zx flux
supreme clothing
cheap jordans
nike shoes
hermes belts for men
curry 5 shoes
jordan retro
christian louboutin outlet
cheap jordans

12:41 PM  

Post a Comment

<< Home