Friday, April 20, 2007

Retro Sastra Indonesia, Realisme Tahun 50-an

            Lampion Sastra Jumat 13 April 2007, Dewan Kesenian Jakarta mengangkat karya sastra realis tahun 50-an sebagai tema acara. Sejumlah pengarang yang sebagian besar telah menjadi almarhum, dibacakan cerpennya oleh dua pembaca andal: Iman Soleh dan Epi Kusnandar.

            Seperti biasa, para peminat acara ini adalah sekaligus penggemar bajigur yang menjadi sajian pengunjung. Zen Hae membuka dengan sedikit prakata, menjelaskan, bahwa sastrawan masa lalu yang diangkat karyanya senja itu, merupakan tonggak-tonggak kuat. Seperti misalnya Ali Akbar Navis, dikenal sebagai tukang cemooh nomor wahid melalui cerpen-cerpennya yang selalu mengandung sindiran tajam. Kali ini, sudah tentu, Robohnya Surau Kami yang hendak dibacakan.

            Demikianlah, agaknya tak hanya karya arsitektur atau musik saja yang mengenal istilah “retro”, untuk menengok masa lalu, Dewan Kesenian Jakarta sengaja bernostlgia dengan Pramoedya Ananta Toer (“Sunat”, diambil dari kumpulan cerpen Cerita dari Blora), Asrul Sani (“Dari Suatu Masa, dari Suatu Tempat”), Sitor Situmorang (“Salju di Paris”), Subagio Sastrowardoyo (“Kejantanan di Sumbing”), dan Utuy Tatang Sontani (“Lukisandiambil dari kumpulan cerpen Orang-Orang Sial).

            Sejumlah siswa SMA yang menyimak pembacaan cerpen A.A. Navis oleh Epi Kusnandar, beberapa kali tergelak. Selain pembacaannya komunikatif, cerpen itu sendiri berisi satir, tentang seorang ahli ibadat yang tak terelak dari siksa api neraka. Ternyata, mereka dianggap tak memiliki kesalehan sosial, secara pribadi mengharap surga, namun  membiarkan tetangganya tetap melarat dan kekayaan tanah airnya diambil bangsa lain.

            Sementara pembaca yang tak kalah menariknya, Iman Soleh (adik seniman grafis dan instalasi Tisna Sanjaya, dari Bandung), membacakan cerpen Pramoedya Ananta Toer.

            Terlepas dari nilai-nilai yang dikandungnya, menengok kembali jejak sastrawan masa lalu adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga. Sayang sekali pengarangnya yang masih hidup, Sitor Situmorang, tidak dihadirkan. Barangkali akan semakin menarik perbincangan kita dengan diskusi yang langsung bersentuhan dengan kreatornya. Kita akan banyak menggali, selain proses kreatif, semangat untuk mengungkap persoalan kemanusiaan berlatar situasi pemerintahan di masa itu.

            Masing-masing pengarang yang diketengahkan kali ini memiliki kekuatan sindiran. Misalnya Utuy dengan Lukisan, merupakan sindiran tajam untuk gaya hidup pejabat di era revolusi.

            Menurut Zen Hae, Ketua Komite Sastra DKJ, acara ini menjadi langkah awal untuk “Program Retro Sastra Indonesia”. DKJ akan menampilkan pembacaan seplilihan karya sastra Indonesia yang cemerlang di masa lalu, dibagi menurut sepuluh tahunan (bukan angkatan). Selanjutnya mereka berharap, kegiatan seperti ini akan mampu meningkatkan hasrat dan minat masyarakat terhadap karya sastra klasik maupun kontemporer. Dan berjasalah Pusat Dokumentasi HB Jassin yang telah menyimpan karya-karya klasik itu.

(Kurnia Effendi)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home