Kursi
Dalam permainan itu ada semangat bersaing, kewaspadaan, taktik, dan upaya menghalangi orang lain agar dirinya yang berhasil. Saat musik berhenti itulah, sebuah “revolusi” terjadi. Lingkaran menjadi kacau-balau, karena setiap orang berusaha mendapatkan kursi yang terdekat dengan posisinya. Kenyataannya, sering kali satu kursi diduduki dua tubuh saling berimpitan, sehingga “juri” perlu memenangkan salah satu yang paling banyak mendapat porsi buat pantatnya.
Suasana memang riang, namun sesungguhnya terjadi kompetisi yang sangat keras. Di pengujung permainan, akan tersisa 1 sampai dengan tiga pemenang, mendapatkan hadiah. Biasanya ini digunakan sebagai ice-breaker atau role-play pada satu kegiatan pelatihan dengan topik tertentu.
Sebuah permainan tentu punya maksud dan tujuan. Dasar dari semua aturan adalah sportivitas, masing-masing peserta harus tetap menjunjung tinggi nilai perilaku ksatria. Namun di
Dalam dunia usaha (bisnis) akan ada sungguh-sungguh persaingan untuk mendapatkan sebanyak-banyak pelanggan agar produk atau jasa yang ditawarkan diserap pasar dengan segera. Persaingan sehat belum tentu dapat diterapkan, mengingat “kreativitas” dalam beriklan pun sering mengandung unsur untuk “menjatuhkan” kompetitor. Munculnya merk baru untuk barang yang sejenis selalu membuat produsen sebelumnya waspada dan meningkatkan strategi agar tetap menjadi yang paling unggul. Dari situasi itu kemudian lahir upaya perubahan dalam promosi, peningkatan kualitas, pelayanan yang lebih baik, dan seterusnya. Karena pelanggan ibarat kursi dan pengusaha menjadi pemain yang berkeliling untuk merebut kursi-kursi itu.
BAGAIMANA dengan situasi panggung politik? Kursi dalam arti simbolik maupun harafiah memang menjadi target untuk diduduki. Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilakukan sangat ketat karena kursi yang tersedia memang terbatas. Misalnya 1 kursi untuk 50 ribu atau 500 ribu orang yang diwakili. Untuk mendapatkannya tidak gampang, karena harus melalui seleksi. Walaupun kenyataannya, setelah terpilih, kinerja mereka tidak menunjukkan hasil yang memadai. Harapan rakyat terpelanting. Kritik dan protes muncul di sana-sini, ditampung oleh media massa yang harus tetap netral dan independen.
Kursi untuk menteri jauh lebih sedikit ketimbang kursi DPR. Sementara calon-calon menteri dipilih dari jumlah yang lebih banyak karena tidak hanya untuk mewakili satu provinsi. Kursi menjadi lebih menggoda dan memerlukan perjuangan yang lebih berat. Apalagi kursi untuk Presiden dan Wakil Presiden!
Berapa miliar biaya untuk memilih Pemimpin Negara? Bukan hanya uang yang harus dikeluarkan saat kampanye berlangsung, acap kali berjatuhan korban dalam proses itu. Kita berharap, pengorbanan itu akan sebanding dengan hasilnya. Bagi sang pemimpin, digenggamnya kemenangan mutlak yang membuat seluruh program dan kebijakannya dapat mengemudikan pemerintahan menuju arah yang lebih baik. Bagi rakyatnya tentu harapan untuk hidup damai dan sejahtera serta dihargai oleh bangsa lain akan menjadi tujuan. Masalahnya, impian itu, bagi kedua belah pihak tak selalu menjadi kenyataan.
Presiden dalam mendapatkan kursinya ternyata melalui perjuangan sekaligus kompromi yang kelak menimbulkan kondisi hutang budi. Sementara sisa persoalan politik dan ekonomi pada pemerintahan sebelumnya selalu menjadi “pekerjaan rumah” yang tak berkesudahan. Bagi pesaing yang kalah tidak selalau menerima dengan lapang dada (sebagai kompetisi yang sehat) untuk mendukung semua program. Tarik-menarik inilah yang selain menghambat jalannya roda pemerintahan juga mengorbankan kepentingan rakyat. Dalam hal ini rakyat benar-benar menjadi kuda tunggangan. Pada saat kampanye selalu mengatasnamakan rakyat, saat kemenangan diraih di mana posisi rakyat?
Komposisi antara Presiden dan Wakil Presiden juga tidak selalu memiliki chemistry yang harmonis. Banyak kebijakan saling bertentangan atau tumpang-tindih. Bukan saling mengisi dan mewujudkan produktivitas, kadang-kadang justru kontraproduktif. Umumnya, di ujung masa pemerintahan, ada upaya ingin menunjukkan siapa yang paling pantas untuk memimpin negara. Di negeri kita, kondisi itu hampir selalu mewarnai kancah politik. Menteri yang bercita-cita meraih kursi Presiden, Gubernur yang ingin menjajal pentas nasional, Wakil Presiden yang ingin naik kelas, semuanya bisa terjadi. Kursi yang lain tampak lebih megah dibanding kursi yang sekarang diduduki. Kita anggap saja itu sebagai dinamika politik, sepanjang punya arah yang positif demi menyelamatkan bangsa. Karena, bagaimanapun, kursi Presiden dan Wakil Presiden masing-masing hanya satu.
(Kurnia Effendi)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home