Thursday, November 15, 2007

Taman Laut

Tujuh tahun silam, saya menulis puisi yang tumbuh dari sebuah kesan menyaksikan taman laut dari kapal katamaran. Saya memandang kedalaman taman laut Bunaken melalui sebidang kaca yang dibenamkan ke wajah air. Bait pertama puisi itu seperti ini:

Mataku tamasya ke celah karang, geliat ganggang, tekstur batu,

sisik ikan warna-warni, sirip-sirip yang menari, koloni-koloni kecil

melintasi palung, cahaya matahari tenggelam, memantulkan fosfor

di punggung ikan, latar yang membiru

Pagi itu, di awal November, saya terbangun dari tidur, sebelum Manado terang tanah. Saya salat subuh dengan kepercayaan pada jarum jam, dan tentu wilayah Sulawesi Utara telah mencapai garis batas fajar lebih dulu ketimbang Jakarta. Sesudahnya saya menelepon kamar lain, sambil menduga-duga: sudah terjagakah Gratiagusti Chananya Rompas dari lelapnya? Saya bersyukur mendengar suaranya, suara paling seksi yang pernah saya dengar sepanjang hidup. Paduan antara nada manja, kantuk yang memberat, letih raga setelah seminar, rasa senang karena dibangunkan, dan pengaruh sinus pada hidungnya. Sebetulnya saya tak ingin mengganggu mimpinya, andai tak punya rencana perjalanan ke Bunaken sedini mungkin. ”Anya, saya beri waktu setengah jam untuk tidur lagi, sekarang memang masih terlalu pagi.” Telepon saya letakkan. Kembali teringat puisi yang saya tulis tahun 2000. Pada bait kedua berbunyi demikian: 

Di bawah selapis air warna toska terbentang hamparan serupa

konblok kuning yang berayun-ayun oleh gelombang. Wajah matahari

becermin di atas kaca luas yang telentang. Berkeping-keping oleh

sendok angin yang menyisir langit tengah hari

Sesuai rencana, kami akan sarapan bubur Manado di kawasan makanan tradisional Tinutuan di Wakeke. Letaknya dekat dengan marina, pelabuhan yang terbingkai foto bagai sekeping Venesia, dengan bayang-bayang kapal tumpah ke warna biru laut. Kembali ke sepiring bubur hangat yang penuh serat sayuran, rasanya hidup tak perlu mengenal penyakit dengan menu sehat seperti itu. Perkedel ikan nike memperkaya rasa di lidah. Namun sebentar lagi, dengan sebuah katamaran yang siap melepas jangkar, giliran mata kami yang akan diperkaya dengan warna-warna aneka.

Demikianlah, cuaca cerah dengan matahari yang tak tampak batas lingkarannya, mengantar perjalanan kami dengan arah sebuah bukit berpayung awan. Hati bernyanyi oleh sensasi. Kami melaju berperahu dalam aura biru lazuardi muda, biru toska bukit Manado Tua, biru ultramarine samudra raya, biru indigo palung taman laut terdalam. Ya, meski ini merupakan perjalanan ulangan, tetap terbit gairah baru untuk menyongsongnya. Dalam deru suara mesin, empat puluh menit kemudian kapal kami rehat berayun-ayun di perairan Pulau Bunaken. Tabung kaca diturunkan. Selanjutnya kami menyaksikan terumbu karang dan ribuan ikan yang pentas di panggung taman hijau-biru. Seperti yang pernah saya tulis dalam puisi dulu, pada bait ketiga:

 Mataku terlena pada lekuk kontur bukit dasar laut. Seperti hendak

kusentuh, demi melihat gelinjangmu. Antara empat belas kaki

sampai ceruk tak tepermanai. Sedang kutebak selera Tuhan, di mana

lagi taman serupa ini diletakkan?

Luas Pulau Bunaken hanya 8 km2, terletak di Teluk Manado, di utara Pulau Sulawesi. Ia terhimpun ke dalam Provinsi Sulawesi Utara. Pemerintah telah menasbihkan sekitar pulau itu sebagai Taman Laut Nasional Kelautan Manado Tua. Terlalu panjang kedengarannya, masyarakat luas memanggilnya Taman Laut Bunaken. Biodiversitas kelautan taman laut ini termasuk yang tertinggi di dunia. Pesonanya membuat banyak orang dari mancanegara ingin menyelam, memandang dari dekat setiap rinci terumbu karang, ganggang, dan ribuan jenis ikan yang menari-nari dalam pelbagai koloni. Luas total taman laut itu mencapai 75 hektar dengan lima pulau dalam wilayahnya. Pulau Manado Tua dengan bukit menjulang yang terkadang dicumbu mega rendah, Pulau Bunaken dengan para pedagang souvenir dan kehidupan nelayan kecil, Pulau Siladen, Pulau Mantehage berikut beberapa ”anak”nya yang mungil, dan Pulau Naen.

Ada sekitar 20 titik penyelaman yang dikenal dengan dive spot, memiliki variasi kedalaman antara 6 meter sampai palung sejauh 1.344 meter. Dari 20 titik selam itu, selusin di antaranya berada di sekitar Pulau Bunaken. Berjajar dari bagian tenggara hingga bagian barat laut. Di sana terdapat underwater greatwalls atau dengan nama lain hanging walls. Dinding-dinding karang raksasa yang berdiri vertikal dan melengkung ke atas. Dinding-dinding karang dengan jenis lumut yang menjadi sumber makanan ikan-ikan di perairan itu. Tujuh tahun silam, saya mengakhiri puisi dengan bait keempat:

Di atas katamaran hasratku terjawab. Birahiku leleh di permukaan

bunga-bunga karang yang menyerupai edelweiss. Ingin kuperpanjang

orgasme, sebelum mataku dipenuhi ribuan warna penghuni lautan

Sepuas kami menyaksikan taman laut yang kini mulau tergugus usia, singgah sebentar di pantai Pulau Bunaken untuk membeli souvenir. Selanjutnya kami melengkapi perjalanan itu dengan snorkling, menatap taman laut dengan membenamkan wajah ke permukaan air. Saya serahkan kamera kepada Anya untuk mengekalkan satu-dua gambar ketika saya mengapung dengan pelampung di atas air laut. Namun rupanya saya berulang kali meneguk air asin: ”Wah, seperti menghirup kuah sup tapi ikan di dalam mangkuk raksasa itu masih berenang-renang.”

Kami pulang sebelum tengah hari karena harus terbang ke Jakarta pukul 14.25 WITA. Sebelum menuju bandara singgah ke rumah Anya, untuk menjinjing kardus-kardus berisi lima belas gepe cakalang asap. ”Ini bisa dimasak untuk pelbagai menu,” kata Anya. ”Bahkan digoreng dan disantap berteman kecap cabe bawang tomat pun oke.”

Akhirnya tak hanya itu yang kami bawa. Masing-masing membekal seloyang Klappertart dan halua kenari sebagai oleh-oleh yang tak ditemukan di tempat lain di Indonesia, kecuali di Bumi Kawanua.

Apakah saya akan menulis puisi lagi dari perjalanan ke Bunaken tahun ini? Mungkin. Seraya membayangkan suara paling seksi yang saya dengar melalui telepon sehabis subuh. Suara yang pernah beberapa kali mengisi iklan untuk televisi. ***

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home