Laut dalam Birahi Religiusitas Dino
”Puisi adalah binatang yang tercekik dalam mulut botol.
Orang membaca dan menulis puisi untuk memecahkan botol itu.
Kadang binatangnya ikut mati.”
-Afrizal Malna-
Kalimat di atas saya peroleh melalui SMS kiriman
Puisi melalui gambaran Afrizal Malna adalah sebuah makna yang tragis dan dramatik. Mulai dari penciptaannya yang berdarah-darah (tentu ini berlaku bagi para penyair serius, bukan seseorang yang mendadak jadi penyair semata sedang dilanda asmara) sampai pada penafsirannya yang habis-habisan. Setidaknya, jika Anda sem
Saya sebenarnya lebih setuju bila acara launching/peluncuran buku tidak disertai diskusi karena itu akan menjadi beban bagi para hadirin. Terlebih karena bukunya belum beredar, mungkin hanya satu dua yang pernah membaca melalui manuskrip atau internet jika kebetulan di-posting dalam milis atau blog. Jadi, terasa kurang ideal. Pesta launching buku, jika merujuk pada kata “pesta”, maka kita tonton saja pembacaan puisinya, performance teman-teman yang menafsirkannya melalui pergelaran teater, dan musikalisasi puisi.
Tapi, sejak awal saya telah menda
Dengan demikian akan sangat tidak memadai pembahasan ini. Tetapi, sepanjang buku ini ditulis oleh satu orang penyair, bukan merupakan antologi bersama, niscaya ada benang merah dari setiap puisi yang diciptakan antara satu dengan yang lain. Karena saya juga tidak membaca kata pengantar dari penulisnya, tentu tidak tahu apa sebab sekitar 130-an puisi ini dibedakan dalam 5 bagian. Mungkin dipisahkan tema atau tahun penciptaan, mungkin pula masalah persamaan emosi yang hanya penyairnya sendiri paling memahami.
Membaca dua bagian puisi-puisi Dino Umahuk yang terhimpun dalam “Haluan Menuju” dan “Narasi Tanah Asal”, saya da
Puisi bagi seorang penyair memiliki banyak arti. Sebagai katarsis, itu yang paling umum bagi semua kalangan. Hal-hal yang buntu dan tak menda
Puisi, seperti ungkapan Afrizal, adalah sebuah posisi rawan kesenian. Untuk menulis sekaligus memahami membutuhkan “pengorbanan” besar, sehingga tak hanya sanggup mengubah pandangan seseorang, bahkan mungkin menggerakkan sebuah energi tak terlihat yang kelak membuat massa bergerak. Puisi da
Toto Sudarto Bachtiar, Rendra, Taufik Ismail, beberapa di antara penyair Indonesia yang pernah menem
Dino boleh tidak memilih itu semua. Saya melihat ada proses pembelajaran pada penyair muda ini untuk menjadi dirinya sendiri. Ada sebuah puisi yang saya suka, dan kebetulan cukup kuat mengisyaratkan religiusitas, yakni: “Mendaki Cahaya”, mari kita kutip:
Temaram adalah dahaga yang menorehkan ritme puisi
Tanpa matahari mana mungkin terlahir pelangi
Cinta adalah jalan sunyi mencari diri
Tak mungkin Alif berdiri sendiri
Tak mungkin Mim mengunci diri
Lautan adalah jalan di mana Nuh membangun Bahtera
Mendaki Cahaya adalah jalan Rasul menuju istana
Hanya dengan tongkat Musa membelah samudera
Di jalan salib Isa melesat ke pintu langit
Jasad siapa menggantung di atas bukit?
Inilah cinta di mana tak ada prahara
Hanya berserah menumpu pahala
Jiwa yang suci selalu punya cara untuk kembali
Meski terlempar di perut Zun Nun
Berputar tubuh semabuk Rumi
Banda Aceh, 30 September 2007
Serupa dengan puisi itu, antara lain “Sajak Lautan Sajadah”, “Berpunggung Janji”, dan banyak lagi bertebaran dalam antologi Dino. Sang penyair tampaknya ingin berangkat dari sisi transendental. Dalam dunia puisi, menurut pengalaman saya sebagai penulis, ranah yang paling mudah dirambah adalah tema cinta dan ketuhanan. Meski demikian, kita umumnya terjebak pada makna harfiah, hiperbolistik, hal-hal yang bersifat permukaan, dan mengusung idiom yang selalu universal. Ada contoh puisi bagus dari Abdul Hadi WM mengenai “menyatunya diri kita dengan sang pencipta”. Saya kutip satu baris saja: aku panas dalam apimu.
Religiusitas Dino saya kira belum sampai pada kedalaman filosofis karena memang tidak menggali unsur kesufian. Mudah-mudahan memang bukan bermaksud membawa napas tasauf dalam puisi-puisinya. Terang-benderang untuk puisi ketuhanan juga tidak salah, karena ini sebuah pilihan gaya, dan mungkin dalam perkembangannya kelak lebih dibebaskan dari keinginan untuk membawa sejarah umat manusia yang pernah menjadi narasi besar peradaban. Mulailah dari diri kita saja.
Kembali pada persoalan laut, menurut saya lebih menarik. Apalagi jika Dino lebih mempertajam pandangannya pada perilaku laut, menyelam lebih dalam, hingga tersedak air asinnya, atau tertoreh ujung taring hiunya. Perdarahan dalam menuliskan sebuah puisi dengan esensi tertentu, akan membuat penyair mabuk abadi: bahasa akan berkelindan dalam getaran ombak yang tak kunjung henti.
Dengan mengangkat judul Metafora Birahi Laut pada antologi puisi pertamanya ini, tentu bukan tanpa maksud. Dino punya kesem
Gelisah lautan telah kautangkup di ujung kuku
Tak menjangka apa-apa hanya kata-kata
Dari mana jejak bermula ke sanalah pelayaran menjadi puisi
(Punggung Janji)
Ketika Sutardji mencoba menaklukkan kucing liar dalam aorta darahnya, mengapa Dino tidak ingin menangkap gerakan gelombang lautan yang paling dahsyat dengan perbendaharaan katanya? Ini sebuah tantangan! Ketika Dino memadukan antara yang imanen dengan yang secara fisikal bergelora sebagai laut, sebagai sungai, sebagai sumur, dituliskannya puisi ini:
-Pusara Kita Tak Pernah Ada Di Bumi
Akulah seruling yang terpisah dari rumpun bambu
Rintihan pilu ratap sembilu semesta rindu
Kepada ibu lautan hakikat mengasinkan zikir
Kau dan aku sepanjang umur debu dan batu
Di sungai yang sama tak semua mengalir madu
Akulah lengking saluang memuntahkan airmata
Bersumur-sumur jejak kakimu menjelma zam-zam
Ketika cinta menyergapmu diam-diam di bukit Mina
Takdir Ismail telah menjelma seekor domba
Di wahyu Ibrahim kobaran api sebagai pertanda
Akulah sepotong bambu yang terlempar sebagai rindu
Menggadai nasib sebagai rintihan menuju tawaddu
Hamparan langit menjanjikan tangga untuk kembali
Pusara kita takkan pernah ada di bumi
Kau dan aku datang dan pulang ke asal Cahaya
Banda Aceh, 11 Oktober 2007
Rupanya, dalam hal kesaksian, Dino menda
Dino sedikitnya menulis tiga puisi sebagai reaksi kepenyairannya terhadap bencana tsunami Aceh. Idiom apa yang da
Ada yang perlu diperhatikan dalam menulis puisi. Logika dan koherensi. Saya tidak menguasai teori penciptaan puisi, tetapi ingin menyampaikan hal-hal yang seharusnya dihindari. Dalam puisi “Membunuh Tirani”, tertulis demikian:
Aku lelaki malam yang lahir dari bisa ular
Ketika bulan bersetubuh dengan matahari
Ibuku perempuan desa berlidah api
Yang menikam rindu di bawah kilatan mata parang dalam kepungan ajal
Usai angin barat melintasi garis bumi
Secara estetika cukup baik, ada metafora yang sungguh segar. Tetapi hubungan antara baris satu dengan yang lainnya seperti mengingkari kaidah sebab-akibat. Lelaki malam yang lahir dari bisa ular tetapi beribu perempuan desa berlidah api. Saya mencoba memahami, bahwa bisa ular itu adalah (seekor) ibu (hewan) dari desa (fabel) berlidah api. Lidah api tentu cocok untuk mewakili ular atau naga. Ketika bulan bersetubuh dengan matahari (dalam pemahaman umum, kedua benda langit itu eksis pada waktu yang berlawanan), mudah-mudahan bukan penyebab kelahiran sang “aku”, karena akan semakin jauh dari pernyataan awal: lahir dari bisa ular.
Sangat menarik puisi-puisi Dino justru pada “untaian kata” yang da
Cobalah membaca puisi “Enggo”, dibawanya kita pada suasana riang bermain dengan irama ombak lautan di pesisir. Atau puisi “Menuju Tanah Asal”. Mari kita kutip masing-masing:
-Enggo Lari
Ombak-ombak bermain enggo lari
Baku dusu, sampai bibir pantai
Anak-anak hitam manis, keriting
Bau bia, bau laut
Berlari di atas batu karang
Kalung manik-manik bunga cengkih
Jojajo-mungare
Bawa berlayar kole-kole ....
-Menuju Tanah Asal
Sio Mama
Sio Nona
Kasih tangan
katong teken janji
pakai sopi, sirih-pinang juga darah dan air mata
tunggu beta dengan ka
tunggu beta di pantai Morella
Sio Mama
Sio Nona
Kirim beta kain salele
Juga parang salawaku deng tifa tahuri
Jangan lupa lenso putih nona
Sio Mama
Sio Nona
Beta pulang deng canga-canga
demi janji
demi negeri
demi nona sio jantung hati
Mungkin karena unsur eksotisme sangat kuat melekat pada ungkapan bahasanya, seperti ada pengalaman asing yang membuat kita terpesona. Kadang-kadang, keja
Saya kira pengalaman melahirkan karya puisi ke tengah publik adalah kekayaan yang tak ternilai untuk langkah-langkah berikutnya. Tak ada yang sempurna sejak awal. Kesempurnaan hanya akan membuat kita takut dan bahkan berhenti berkarya. Biarlah pembaca menikmati dengan selera masing-masing. Hanya waktu yang berhak mengujinya: apakah Dino akan menjadi penyair Indonesia hari ini dan akan datang?
Bagaimanapun saya selalu memandang karya puisi dan prosa dari sudut paling subyektif. Oleh karena itu saya ingin mengutip lagi puisi Dino yang lain, yang juga saya sukai sebagai penutup.
-Senja itu Akan Selalu Jingga
Senja itu akan selalu jingga
Seperti Tuhan menari dalam cahaya
Di mana emas dijentikkan dari jemari-Nya
Di pantai itu
****
Jakarta, 27 Februari 2008, pukul 16:30
(ditulis untuk mengantar peluncuran dan diskusi antologi puisi Birahi Laut karya Dino F. Umahuk, 27 Februari 2008, pukul 20:00 di Warung Apresiasi Bulungan)
1 Comments:
kate spade outlet
nike tn
moncler jacket
moncler outlet
michael kors outlet
canada goose
champion clothing
christian louboutin outlet
ralph lauren polo
ralph lauren polo
Post a Comment
<< Home