Thursday, February 28, 2008

Laut dalam Birahi Religiusitas Dino

Puisi adalah binatang yang tercekik dalam mulut botol.

Orang membaca dan menulis puisi untuk memecahkan botol itu.

Kadang binatangnya ikut mati.”

-Afrizal Malna-

 

Kalimat di atas saya peroleh melalui SMS kiriman Pakcik Ahmad. Saya tak tahu persis, apakah benar itu pendapat Afrizal Malna, tetapi sebaiknya saya percaya, karena Pakcik Ahmad termasuk orang yang amanah dan lurus.

            Puisi melalui gambaran Afrizal Malna adalah sebuah makna yang tragis dan dramatik. Mulai dari penciptaannya yang berdarah-darah (tentu ini berlaku bagi para penyair serius, bukan seseorang yang mendadak jadi penyair semata sedang dilanda asmara) sampai pada penafsirannya yang habis-habisan. Setidaknya, jika Anda sempat membaca puisi Afrizal Malna untuk buku antologi Jogja 5,9 Skala Richter, ada pesan mendalam yang tak harus “kasat bahasa”.  Saya tak akan mengutipnya, karena kita sedang membicarakan puisi Dino F. Umahuk.

            Saya sebenarnya lebih setuju bila acara launching/peluncuran buku tidak disertai diskusi karena itu akan menjadi beban bagi para hadirin. Terlebih karena bukunya belum beredar, mungkin hanya satu dua yang pernah membaca melalui manuskrip atau internet jika kebetulan di-posting dalam milis atau blog. Jadi, terasa kurang ideal. Pesta launching buku, jika merujuk pada kata “pesta”, maka kita tonton saja pembacaan puisinya, performance teman-teman yang menafsirkannya melalui pergelaran teater, dan musikalisasi puisi.

            Tapi, sejak awal saya telah mendapat kepercayaan untuk sedikit membicarakannya. Walaupun, terus terang, naskah Dino Umahuk yang dikirim oleh Johanes Sugianto melalui email ternyata tidak lengkap, mungkin karena rontok di jalan. Saya hanya menerima dua folder (dalam hal ini dua bab), yakni “Haluan Menuju” dan “Narasi Tanah Asal”. Tampaknya ada tiga folder lagi yang tak sampai: “Sajak Lautan Rindu”, “Kipas Lenso Putih”, dan “Jejak Sunyi”

            Dengan demikian akan sangat tidak memadai pembahasan ini. Tetapi, sepanjang buku ini ditulis oleh satu orang penyair, bukan merupakan antologi bersama, niscaya ada benang merah dari setiap puisi yang diciptakan antara satu dengan yang lain. Karena saya juga tidak membaca kata pengantar dari penulisnya, tentu tidak tahu apa sebab sekitar 130-an puisi ini dibedakan dalam 5 bagian. Mungkin dipisahkan tema atau tahun penciptaan, mungkin pula masalah persamaan emosi yang hanya penyairnya sendiri paling memahami.

            Membaca dua bagian puisi-puisi Dino Umahuk yang terhimpun dalam “Haluan Menuju” dan “Narasi Tanah Asal”, saya dapat mengambil napas religiusitas yang cukup dominan. Di sisi lain, pembicaraan tentang laut (dalam hal metafora, sebagai latar tempat, personifikasi, maupun esensi) juga sangat karib dalam puisi Dino. Boleh jadi ini menunjukkan kedekatan penyairnya dengan laut sebagai lingkungan yang membesarkan dan atau menjadi obsesinya. Sebagai orang Indonesia bagian Timur, tepatnya Ambon, sekaligus sebagai cucu dari moyang Nusantara yang konon para pelaut, sudah seharusnya manusia Indonesia memiliki “darah” kelautan.

            Puisi bagi seorang penyair memiliki banyak arti. Sebagai katarsis, itu yang paling umum bagi semua kalangan. Hal-hal yang buntu dan tak mendapatkan jalan secara memadai dalam dialektika politik maupun budaya, acap kali tersembur melalui puisi. Ada yang bersifat terapi (seperti yang pernah saya peroleh “kuliah”nya dari seorang psikolog), ada yang mengandung muatan perlawanan. Yang kedua ini sedikit berbahaya bila dipertemukan dengan sasarannya, misalnya para penguasa, terlebih jika yang dituju tidak memiliki kearifan.

            Puisi, seperti ungkapan Afrizal, adalah sebuah posisi rawan kesenian. Untuk menulis sekaligus memahami membutuhkan “pengorbanan” besar, sehingga tak hanya sanggup mengubah pandangan seseorang, bahkan mungkin menggerakkan sebuah energi tak terlihat yang kelak membuat massa bergerak. Puisi dapat pula mencapai fungsinya yang paling sederhana sebagai jejak sang penyair yang menyeret setiap peristiwa dalam sejarah hidupnya. Ia lantas menjadi semacam kesaksian yang dapat menengarai perubahan zaman, menjadi petunjuk bagi generasi berikutnya, selain sebagai catatan sunyi peradaban.

            Toto Sudarto Bachtiar, Rendra, Taufik Ismail, beberapa di antara penyair Indonesia yang pernah menempatkan diri pada posisi kesaksian. Sementara Sutardji Calzoum Bachri lebih menekuni bongkar-pasang estetika, menggali yang terpendam dalam rahasia akar bahasa. Sedangkan Sapardi memberikan eksistensi pada ujaran sehari-hari menjadi “prasasti” monumental yang dikekalkan berkali-kali oleh penggemarnya. Di sisi lain, Goenawan Mohamad dengan metafora mewahnya mengisi bagian elegan dalam sastra Indonesia.

            Dino boleh tidak memilih itu semua. Saya melihat ada proses pembelajaran pada penyair muda ini untuk menjadi dirinya sendiri. Ada sebuah puisi yang saya suka, dan kebetulan cukup kuat mengisyaratkan religiusitas, yakni: “Mendaki Cahaya”, mari kita kutip:

Temaram adalah dahaga yang menorehkan ritme puisi

Tanpa matahari mana mungkin terlahir pelangi

Cinta adalah jalan sunyi mencari diri

Tak mungkin Alif berdiri sendiri

Tak mungkin Mim mengunci diri

 

Lautan adalah jalan di mana Nuh membangun Bahtera

Mendaki Cahaya adalah jalan Rasul menuju istana

Hanya dengan tongkat Musa membelah samudera

Di jalan salib Isa melesat ke pintu langit

Jasad siapa menggantung di atas bukit?

 

Inilah cinta di mana tak ada prahara

Hanya berserah menumpu pahala

Jiwa yang suci selalu punya cara untuk kembali

Meski terlempar di perut Zun Nun

Berputar tubuh semabuk Rumi

Banda Aceh, 30 September 2007

 

            Serupa dengan puisi itu, antara lain “Sajak Lautan Sajadah”,  “Berpunggung Janji”, dan banyak lagi bertebaran dalam antologi Dino. Sang penyair tampaknya ingin berangkat dari sisi transendental. Dalam dunia puisi, menurut pengalaman saya sebagai penulis, ranah yang paling mudah dirambah adalah tema cinta dan ketuhanan. Meski demikian, kita umumnya terjebak pada makna harfiah, hiperbolistik, hal-hal yang bersifat permukaan, dan mengusung idiom yang selalu universal. Ada contoh puisi bagus dari Abdul Hadi WM mengenai “menyatunya diri kita dengan sang pencipta”. Saya kutip satu baris saja: aku panas dalam apimu.

            Religiusitas Dino saya kira belum sampai pada kedalaman filosofis karena memang tidak menggali unsur kesufian. Mudah-mudahan memang bukan bermaksud membawa napas tasauf dalam puisi-puisinya. Terang-benderang untuk puisi ketuhanan juga tidak salah, karena ini sebuah pilihan gaya, dan mungkin dalam perkembangannya kelak lebih dibebaskan dari keinginan untuk membawa sejarah umat manusia yang pernah menjadi narasi besar peradaban. Mulailah dari diri kita saja.

            Kembali pada persoalan laut, menurut saya lebih menarik. Apalagi jika Dino lebih mempertajam pandangannya pada perilaku laut, menyelam lebih dalam, hingga tersedak air asinnya, atau tertoreh ujung taring hiunya. Perdarahan dalam menuliskan sebuah puisi dengan esensi tertentu, akan membuat penyair mabuk abadi: bahasa akan berkelindan dalam getaran ombak yang tak kunjung henti.

            Dengan mengangkat judul Metafora Birahi Laut pada antologi puisi pertamanya ini, tentu bukan tanpa maksud.  Dino punya kesempatan untuk menjelaskan hal ini berikut proses kreatifnya. Mari kita telisik dari tiga baris puisi yang saya petik ini:

Gelisah lautan telah kautangkup di ujung kuku

Tak menjangka apa-apa hanya kata-kata

Dari mana jejak bermula ke sanalah pelayaran menjadi puisi

(Punggung Janji)

 

            Ketika Sutardji mencoba menaklukkan kucing liar dalam aorta darahnya, mengapa Dino tidak ingin menangkap gerakan gelombang lautan yang paling dahsyat dengan perbendaharaan katanya? Ini sebuah tantangan! Ketika Dino memadukan antara yang imanen dengan yang secara fisikal bergelora sebagai laut, sebagai sungai, sebagai sumur, dituliskannya puisi ini:

-Pusara Kita Tak Pernah Ada Di Bumi

Akulah seruling yang terpisah dari rumpun bambu

Rintihan pilu ratap sembilu semesta rindu

Kepada ibu lautan hakikat mengasinkan zikir

Kau dan aku sepanjang umur debu dan batu

Di sungai yang sama tak semua mengalir madu

 

Akulah lengking saluang memuntahkan airmata

Bersumur-sumur jejak kakimu menjelma zam-zam

Ketika cinta menyergapmu diam-diam di bukit Mina

Takdir Ismail telah menjelma seekor domba

Di wahyu  Ibrahim kobaran api sebagai pertanda

 

Akulah sepotong bambu yang terlempar sebagai rindu

Menggadai nasib sebagai rintihan menuju tawaddu

Hamparan langit menjanjikan tangga untuk kembali

Pusara kita takkan pernah ada di bumi

Kau dan aku datang dan pulang ke asal Cahaya

Banda Aceh, 11 Oktober 2007

 

            Rupanya, dalam hal kesaksian, Dino mendapatkan kesempatan besar terkait dengan pekerjaannya di sebuah LSM/NGO. Ia bekerja dan tinggal di Aceh, Bumi yang pernah dihempas oleh tsunami. Laut dalam peristiwa ini menunjukkan eksistensinya yang paling mengerikan. Kesaksian seorang penyair, seperti pernah disampaikan Isbedy Stiawan, untuk tragedi tsunami Aceh, tak sanggup mencapai puncak tragisnya. Tak ada kata-kata yang memadai dalam menggambarkan bencana itu. Saya sangat setuju. Kelemahan saya untuk menceritakan peristiwa itu membuat saya memilih sisi psikologis korban, jauh setelah bencana berlalu. Cerpen “Laut Lepas Kita Pergi” tidak menceritakan proses tsunami, hanya mengangkat pertempuran batin seorang yang nyaris putus asa setelah tak punya siapa-siapa lagi sesudah tsunami.

            Dino sedikitnya menulis tiga puisi sebagai reaksi kepenyairannya terhadap bencana tsunami Aceh. Idiom apa yang dapat mewakili kesedihan, kehilangan, kehancuran, dan kemusnahan umat manusia dalam suatu wilayah? Kompleksitas perasaan akibat kompleksitas kejadian itu tak tergambarkan. Dapat saya katakan, penyair akan tampak gagal ketika menyampaikan peristiwa bencana alam, karena keterbatasan kata-kata yang ditulis secara linier. Apalagi jika akhirnya Dino “hanya” menuliskan dalam salah satu sajaknya: Tuhan/Aku rasa kau sedang bercanda saja/Atau sengaja memperingan  tugas kami dengan tsunami itu/Agar kami tak capek-capek  menggelar operasi (“Doa Seorang Serdadu Usai Tsunami”)

            Ada yang perlu diperhatikan dalam menulis puisi. Logika dan koherensi. Saya tidak menguasai teori penciptaan puisi, tetapi ingin menyampaikan hal-hal yang seharusnya dihindari. Dalam puisi “Membunuh Tirani”, tertulis demikian:

Aku lelaki malam yang lahir dari bisa ular

Ketika bulan bersetubuh dengan matahari

Ibuku perempuan desa berlidah api

Yang menikam rindu di bawah kilatan mata parang dalam kepungan ajal

Usai angin barat melintasi garis bumi

 

Secara estetika cukup baik, ada metafora yang sungguh segar. Tetapi hubungan antara baris satu dengan yang lainnya seperti mengingkari kaidah sebab-akibat. Lelaki malam yang lahir dari bisa ular tetapi beribu perempuan desa berlidah api. Saya mencoba memahami, bahwa bisa ular itu adalah (seekor) ibu (hewan) dari desa (fabel) berlidah api. Lidah api tentu cocok untuk mewakili ular atau naga. Ketika bulan bersetubuh dengan matahari (dalam pemahaman umum, kedua benda langit itu eksis pada waktu yang berlawanan), mudah-mudahan bukan penyebab kelahiran sang “aku”, karena akan semakin jauh dari pernyataan awal: lahir dari bisa ular.

            Sangat menarik puisi-puisi Dino justru pada “untaian kata” yang dapat dinyanyikan. Baru membacanya saja saya sudah dapat membayangkan ada irama di dalamnya. Rasanya ini juga kekuatan yang perlu digali dan dikembangkan. Hamid Jabbar adalah salah satu penyair Indonesia dengan kekuatan irama dan melodia untuk puisi-puisinya.

            Cobalah membaca puisi “Enggo”, dibawanya kita pada suasana riang bermain dengan irama ombak lautan di pesisir. Atau puisi “Menuju Tanah Asal”. Mari kita kutip masing-masing:

-Enggo Lari

Ombak-ombak bermain enggo lari

Baku dusu, sampai bibir pantai

Anak-anak hitam manis, keriting

Bau bia, bau laut

Berlari di atas batu karang

Kalung manik-manik bunga cengkih

Jojajo-mungare
Bawa berlayar kole-kole ....

-Menuju Tanah Asal    

Sio Mama

Sio Nona

Kasih tangan

katong teken janji

pakai  sopi, sirih-pinang juga darah dan air mata

tunggu beta dengan kapata

tunggu beta di pantai Morella

 

Sio Mama

Sio Nona

Kirim beta kain salele

Juga parang salawaku deng tifa tahuri

Jangan lupa  lenso putih nona

 

Sio Mama

Sio Nona

Beta pulang deng canga-canga

demi janji

demi negeri

demi nona sio jantung hati

 

            Mungkin karena unsur eksotisme sangat kuat melekat pada ungkapan bahasanya, seperti ada pengalaman asing yang membuat kita terpesona. Kadang-kadang, kejadian sehari-hari yang diangkat dari folklore, atau tradisi (seperti novel Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari dan Sintren Dianing Widya Yudhistira), akan menjadi sesuatu yang “berbeda”, unik, dan langka untuk orang di luar lingkungannya. Kemenangan film-film Garin Nugroho di negeri orang, karena ia berani memberi suguhan yang belum dikenal secara umum oleh publik dunia.

            Saya kira pengalaman melahirkan karya puisi ke tengah publik adalah kekayaan yang tak ternilai untuk langkah-langkah berikutnya. Tak ada yang sempurna sejak awal. Kesempurnaan hanya akan membuat kita takut dan bahkan berhenti berkarya. Biarlah pembaca menikmati dengan selera masing-masing. Hanya waktu yang berhak mengujinya: apakah Dino akan menjadi penyair Indonesia hari ini dan akan datang?

            Bagaimanapun saya selalu memandang karya puisi dan prosa dari sudut paling subyektif. Oleh karena itu saya ingin mengutip lagi puisi Dino yang lain, yang juga saya sukai sebagai penutup.

 

-Senja itu Akan Selalu Jingga

Senja itu akan selalu jingga

Seperti Tuhan menari dalam cahaya

Di mana emas dijentikkan dari jemari-Nya

Di pantai itu

****

Jakarta, 27 Februari 2008, pukul 16:30

Kurnia Effendi

(ditulis untuk mengantar peluncuran dan diskusi antologi puisi Birahi Laut karya Dino F. Umahuk, 27 Februari 2008, pukul 20:00 di Warung Apresiasi Bulungan)