Wednesday, March 19, 2008

Anugerah Sastra Pena Kencana

Sebuah Penghargaan Alternatif bagi Sastrawan.

Selalu saja, jika ada gagasan baru tentang penghargaan bagi sastrawan, terdapat pro-kontra dan gunjingan Dapat kita rasakan pada Anugerah Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) tahunan yang telah berjalan sampai tujuh periode. Metode penjurian dianggap kurang valid dan aneh, karena satu sama lain juri tidak saling kenal. Di satu sisi, pihak lembaga tidak ingin terdapat saling pengaruh antarjuri, sementara sebagian besar pengamat menganggap sidang akhir dewan juri penting untuk mengukuhkan penilaian. Toh agenda KLA tetap melenggang tanpa perubahan dan bagi para sastrawan (penyair maupun prosais) menjadi event yang ditunggu-tunggu, bahkan dengan cara menjadwalkan penerbitan bukunya.

Kali ini, Nugroho Suksmanto menggagas cara baru menilai karya sastra untuk memperoleh penghargaan senilai Rp. 50 juta untuk satu penyair dan satu cerpenis dalam periode 1 tahun berkarya. Ia bersama Slamet Widodo, sekaligus menjadi penyandang dana. Lembaga pemberi hadiah yang bernaung di bawah payung PT. Kharisma Pena Kencana ini juga memberikan hadiah bagi para pembaca pemlih karya yang beruntung dengan niai total R. 50 juta. Pembicaraan mengenai agenda besar ini berawal sekitar dua tahun yang lalu. Sejak mula sudah menggandeng penerbit Gramedia Pustaka Utama untuk menerbitkan karya-karya terpilih (cerpen dan puisi) agar dapat dinilai oleh pembaca (pembeli buku).

Di balik kerja keras dalam membidani kelahiran lembaga Pena Kencana, terlibat para pengarang, di antaranya: Eka Kurniawan sebagai Komisaris, Triyanto Triwikromo sebagai Direktur Program, dan Ratih Kumala sebagai Direktur II yang langsung terjun ke dalam operasionalnya. Untuk kiprahnya yang perama, lembaga ini kemudian menunjuk dewan juri yang akan memilih sejumlah besar karya untuk menjadi 20 cerpen pilihan dan 100 puisi pilihan. Mereka adalah Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Prof. Dr. Budi Darma, Prof. Dr. Apsanti Djokosujatno, Ahmad Tohari, Sitok Srengenge, Joko Pinurbo, dan Jamal D. Rahman. Mereka akan menilai puisi dan cerpen yang dimuat oleh suratkabar Indonesia (telah ditentukan 12 media koran yang terbit di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) dalam satu tahun.

Peluncuran dua buah buku (100 Puisi Terbaik Indonesia 2008 dan 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2008) sekaligus Anugerah Pena Kencana perdana, diselenggarakan di toko buku Gramedia Matraman, 5 Maret 2008 lalu. Nugroho Suksmanto menyampaikan pentingnya penghargaan bagi para sastrawan Indonesia yang kelak dikembangkan menjadi franchais untuk menggandeng negara-negara tetangga dengan royalti negara peserta sebagai pundi-pundi hadiah. Triyanto Triwikromo mengatakan, Anugerah Pena Kencana ini bermaksud melengkapi hadiah-hadiah yang sudah ada di Indonesia. Seorang pengarang umumnya menerima award ketika karyanya telah menjadi buku, oleh karena itu Pena Kencana mengakomodasi karya para pengarang sejak dimuat dalam surat kabar.

Sistem pemilihan yang melibatkan pembaca dengan cara mengirimkan sms (pesan pendek) memang mengadopsi gaya Indonesia Idol atau Akademi Fantasi Indosiar (AFI), tetapi inilah salah satu alternatif untuk melibatkan pembaca secara aktif. Tentu saja, ”tiket” untuk mengirim sms adalah dengan cara membeli bukunya. Diharapkan sosialisasi semacam ini membuat posisi sastrawan juga cukup karib d tengah-tengah masyarakatnya.

Usai seremoni sederhana peluncuran kedua buku, Rieke Dyah Pitaloka membacakan satu puisi dan satu cerpen. Setelah itu digelar talkshow yang menghadirkan pembicara Sapardi Djoko Damono dan Jamal D. Rahman (keduanya sebagai juri penilai karya cerpen dan puisi), Radhar Panca Dahana, dengan moderator M. Fadjroel Rachman. Dalam sesi ini, moderator meminta ”pertanggungjawaban” dewan juri atas karya terpilih. Sapardi mengungkapkan, bahwa menilai ratusan karya (52 cerpen dalam setahun dikalikan 12 media, ditambah rata-rata 5 puisi kali 52 minggu kali 12 koran) tentu melelahkan. Tetapi yang menarik, menurut Sapardi, selanjutnya akan ada semacam kompetisi koran-koran untuk memublikasikan cerpen dan puisi yang berkualitas agar dapat terpilih dalam ajang penghargaan ini.

Jamal D. Rahman menganggap keterbatasan koran belum tentu menjadi hambatan, malah mungkin merupakan tantangan yang harus diterobos oleh para penulis kreatif. Dari seluruh yang dibacanya, Jamal belum menemukan karya yang memproyeksikan visi Indonesia masa depan. Kebanyakan masih mengangkat realitas kekinian yang dihadapi oleh para pengarang sehari-hari, baik dalam setting lokal maupun mancanegara.

Giliran Radhar, karena dia bukan juri sekaligus tidak ada karyanya dalam kedua buku itu, dapat memberi komentar secara bebas beban. Menurutnya, anugerah Pena Kencana adalah tindakan para pengarang pemberani untuk melawan ”kepengecutan”. Kapan lagi kalau gagasan ini tidak dimulai sejak sekarang oleh para pengarang yang menganggap penting sebuah apresiasi terhadap karya. Ia menilai, ke-20 cerpen lebih menarik karena mengandung keberagaman, baik tema maupun gaya. Sementara pada puisi tak ada kebaruan, hampir semua senada, bahkan dapat dianggap itu sebagai hasil karya ”anak-cucu” Sapardi Djoko Damono dengan aliran lirisisme.

Waktu yang terbatas, membuat sesi tanya jawab diberikan hanya kepada 3 orang. K. Usman mempermasalahkan judul ”terbaik” yang seharusnya ”terpilih” mengingat awalan ”ter” bermakna ”paling”, sehingga hanya berlaku bagi 1 karya. Sementara Binhad Nurrohmat mengkritik karya-karya puisi yang tampaknya ”berjalan di tempat” dengan istilah de-intelektualisme.

Perhelatan yang sederhana itu menjadi semacam arena silaturahmi bagi para pengarang. Suguhan makanan khas daerah Solo seperti ”nasi kucing”, nasi liwet, dan  soto kuali, serta wedang ronde, membuat suasana karib dan membumi.

Parle mengucapkan selamat kepada pengarang yang karyanya terpilih dalam kedua bukut tersebut, kepada lembaga Pena Kencana atas kontribusinya melengkapi versi pemilihan karya sastra terbaik, juga kepada Gramedia Pustaka Utama yang tak henti-henti mewadahi aspirasi penggiat sastra Indonesia dengan pelbagai aktivitas.

(Kurnia Effendi)