Monday, March 17, 2008

Shinjuku

Lahir 15 Maret 1947 dengan nama Shinjuku. Merupakan hasilpernikahanantara Yotsuya, Ushigome, dan Yodobashi.

Hari ini, Sabtu, 15 Maret 2008, kota Shinjuku berusia enam puluh tahun. Sebagai sebuah pusat keramaian, semakin gemerlapkah? Sebagai pesolek yang telah melewati umur setengah abad, menjelang pikunkah? Sebagi ajang kaum muda yang mempercayakan mode untuk penampilan mereka, selain Harajuku, kian menggodakah?

Tanggal 27 Oktober 2001, aku terdampar di sana. Tepatnya mendamparkan diri, dalam hiruk-pikuk pasar manusia, menjelang pukul 2 pagi. Lelampu neon, berjuta watt, menyandar rapat pada dinding gedung-gedung pertokoan, berpijar warna-warni. Menyampaikan pesan yang gemuruh, menghancurkan putaran waktu, bahkan langit malam (atau pagi?) hanya menjadi latar yang pasrah.

Dalam gebalau orang ramai, seribu suara yang tak terurai, serasa kumasuki lorong keterasingan. Sukmaku memisahkan diri dari tubuh yang duduk bersandar pada tiang lampu trotoar, dipenuhi pejalan kaki. Tak kumengerti bahasa yang simpang siur menembusi telinga, bersaing dengan musik dan cahaya tajam yang berulang kali menusuki mataku.

Beberapa jam sebelumnya aku menulis puisi. Tentu bukan puisi bagus, yang kugurat dengan separuh semangat:

Sepuluh kali simpang Melawai

Jutaan watt lampu melambai-lambai

Persis depan pintu subway

Melintas gadis dengan rambut kusut-masai.

 Aku memang sengaja menyendiri agar dapat menikmati luka rindu yang menyayat perasaanku. Rindu rumah, rindu keluarga, rindu pacar-pacar yang selalu mewarnai hidupku. Mulanya dari Keio Plaza aku berjalan kaki bersama sejumlah besar teman. Ketika tiba di Shinjuku, setan menggoda dengan rajinnya. Beberapa teman kepincut menyaksikan pertunjukan tari telanjang dalam sebuah klub. Aku, dengan iman yang terguncang mencoba menghindar. Namun sederet sex shop mengisapku untuk memasukinya.

Di etalase itu ada pelbagai alat yang menghibur para pecandu seks. Sebuah pecut telah menginspirasi cerpenku berjudul “Tilas Cemeti di Punggung”. Vibrator dalam aneka model memancing keinginan untuk mengoleksi. Tetapi ada yang lucu untuk oleh-oleh: permen dan cokelat yang dibuat meniru alat kelamin dalam tiga dimensi. Untuk dikulum, untuk dikunyah dengan gemas.

Mungkin ini kutuk Dewa Matahari

Pengunjung Shinjuku tak merasa salah waktu

Rupa-rupa suara menari dekat telinga

Pengunjung Shinjuku tangkas berebut waktu

Shinjuku memiliki stasiun transit kereta api dan subway terbesar di kawasan Tokyo. Penduduknya lebih dari 300.000 orang. Shinjuku adalah salah satu dari 23 distrik khusus yang berani tampil menjadi ibukota Tokyo. Ia memang perpaduan antara pusat perdagangan, pemerintahan, dan hiburan. Selama 24 jam nadinya terus berdenyut lekas, tak kunjung pingsan. Jika aku tersesat di kawasan itu dalam arti harfiah maupun kiasan, tentu sangatlah pantas.

Tubuhnya telentang di atas wilayah seluas 18 kilometer persegi. Ditumbuhi sederet pencakar langit, gedung-gedung pemerintah Tokyo Tochosa, dan puluhan department store yang dengan sabar terus melayani pengunjungnya siang dan malam. Mereka bicara dengan bahasa cahaya. Bahkan dalam gerimis, menara Takashimaya yang kulewati dalam perjalanan menuju hotel, masih mencoba mengedipkan matanya.

Menyantap sepotong cokelat, di bawah tiang, sudut jalan

Dikepung puluhan gedung jangkung yang riang menyala

Aku merasa seorang alien, berdiri di atas terakota, hilang jalan

Tubuhku tak tersentuh, beratus kali ditumbuk gegas mereka

Hari ini, 15 Maret, ia berulang tahun. Tak perlu lagi gincu dan maskara. Setiap malam dalam tujuh hari seminggu tak pernah cuci muka. Riasannya tak kalah dengan para ABG yang memenuhi jalan-jalan malamnya. Dalam banyak brosur dan katalog yang dipajang di depan rumah hiburan, ada larangan tegas perempuan Jepang di bawah umur bekerja menjadi gadis penghibur. Jadi, perempuan dari negara manakah yang sibuk berkeringat di dalam klub dengan minim penerangan dan minim busana itu?

Aku, malam ini, tak akan merayakan pesta dengan warna api lilin. Di mana pun aku berada. Tak perlu menuang sake dalam gelas-gelas ramping. Aku selalu membayangkan gejolak nafsu yang menyala-nyala di Shinjuku, memberangus hati nurani, melupakan ruang kontemplasi. Aku menemukan sebuah jarak yang membuatku melanggar syarat seorang perenung dalam menulis puisi. Karamaian itu mengubah diri menjadi ilustrasi yang tak teraih. Seperti jauhnya sang kekasih yang tak terjangkau pelukan di tanah air.

Oleh ramainya suara kesibukan di kota ini

Tak jelas kudengar panggilanmu, kekasih

Aku percaya: di tempatmu senja baru mulai

Di sini, nyaris patah kakiku setelah berjalan jauh

Oleh karena tabir malam tiba pukul lima di sini

Segala kebenaran segera lenyap sudah

Terlahir suasana baru, norma baru, rasa bingung yang baru

Oleh karena cahaya menyerbu mata semena-mena

Tak jelas kurasakan kapan gelap meraja

Engkau—mungkin—melihat bayangan sebelum sirna

Bertahuin-tahun kemudian aku masih terus mengingat kehangatan Shinjuku. Gegar sejenak pikiranku menghadapi suasana di sana. Aku ingat, malam atau pagi itu kubeli sebuah kopor, untuk mengusung oleh-oleh dari Jepang. Kusisipkan kipas berbahan satin keras bergambar aneka posisi hubungan seks dalam lipatan kemeja, saputangan, dan mantel yang melindungi souvenir keramik. Kutarik kopor itu sepanjang trotoar yang rapi dan bersih menuju Keio.

Berkeping-keping koin logam mata uang yen meluncur lenyap ke dalam kotak telepon umum. Hanya sempat kusapa anak sulungku, Najma Amtanifa, dalam rindu yang terbungkus suhu gerimis, sembari menyembunyikan tangis. Kutinggalkan Shinjuku yang terus maradang. Sedikit terpengaruh syair Chairil, aku berbisik pada tangkai malam: sunyi tak juga mempercepat kelam….  ***  

(Kurnia Effendi)

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home