Tuesday, March 18, 2008

OEN nan Eksotik

Pada sebuah cerpenjadul” (zaman dulu) saya, berjudulMusim Gugur Telah Selesai” yang ditulis dan memenangkan peringkat pertama lomba cipta cerpen remaja (LCCR) Anita Cemerlang 1983, saya menulis Oen sebagai tempat singgah tokohnya. Sekadar minum es krim, untuk melawan suhu panas kota Semarang. Lantas kapan pengarangnya benar-benar menikmati es krim Toko Oen?

Tanggal 16 Januari 2008, senja hari, itulah kali pertama saya mencicipi es krim buatan mesin tua Toko Oen di Jl. Pemuda Semarang! Padahal semestinya banyak kesempatan di masa lalu, karena saya tinggal di Semarang tujuh tahun (1976-1983), tapi entah kenapa, perhatian saya tidak kepada eksotisme dan makanan. Jadi, tentu saja, cerpen saya itu betul-betul karangan.

Bahkan setiap kali saya bertugas ke Semarang, seharusnya punya banyak waktu untuk sekadar mampir mencicipi kue-kue kering ala Belanda yang dibuat dengan resep original. Tetapi, sekali lagi, saya menurut saja setiap kali tuan rumah mengajak ke tempat lain untuk makan. Memang paling sering menikmati makan siang di Sate 29 yang terletak di seberang Gereja Blenduk atau Pesta Keboen dan Jalan Veteran.

Ketika saya melakukan “roadshow” (ini istilah kami dalam melakukan infosesi program atau product knowledge training untuk tipe baru Suzuki ke seluruh dealer di Indonesia), saya bersama arsitek Pradita Gifani dan insinyur mesin Saiful Gaffar mendapat rute Jawa Barat dan Jawa Tengah. Perjalanan dimulai dari Bandung, Cirebon, Tegal, Semarang, Solo, dan berakhir di Yogya. Sesampai di Semarang itulah, rombongan saya iming-imingi sebuah suasana temaram dan kolonial dengan minum es krim di Toko Oen.

Apa yang istimewa di tempat ini? Sebagai tempat makan ya, biasa saja. Tetapi bagi saya pribadi, masuk ke toko yang dibangun sejak 1936, dengan sedikit sekali perubahan interior di dalamnya, seperti memasuki masa lalu yang jauh. Begitu masuk, kami disambut dengan etalase yang menyajikan kue-kue kering buatan Toko Oen.

Tampak di sana, dalam toples yang bertahan dengan model antik, kaastengel (kue keju kering), amandel (seperti bakpia kering berisi kacang dan gula), kattetonge (lidah kucing), dan lain-lain. Resep tempo doeloe yang kini sudah banyak dikembangkan terutama dibuat di hari Lebaran atau Natal, akan berbeda jika dimakan dalam suasana yang beraroma kuno. Toko Oen  berplafond tinAggi, mengandalkan kipas angin, dan walaupun terletak di tepi jelan raya, tidak tembus suara riuh lalu lintas ke dalam. Kita seperti terpisah dari dunia masa kini.

Mari kita cicipi es krimnya. Saya melihat daftar menu, tampaklah sekitar 30 jenis es krim dengan aneka nama. Harganya berkisar Rp. 10.000,- sampai Rp. 30.000,- setiap cangkir. Ada yang berbau Belanda, Rusia, Itali… maka kami memilih masing-masing berbeda agar dapat saling mencicipi satu sama lain. Rasa buah, kopi, dengan karamel, warna-warni pelangi, bercampur serpihan kacang, sentuhan rum… Hm, senja terasa lambat berjalan.

Sebetulnya banyak pilihan makanan juga, tetapi itu waktu transisi antara siang dan malam, jeda yang patut kita lewati dengan minuman dan snack. Pada kesempatan itu kami menunda untuk menikmati huzarensla, spaghetti, atau wiener schnitel. Mungkin di zaman dulu banyak sinyo dan noni Belanda bercengkerama di tempat itu, dengan iringan musik.

Saya tidak tahu, apakah Restoran Oen di Malang yang dekat dengan Jalan Ijen ada hubungannya dengan Toko Oen di Semarang? Konon, bahkan pertama kali berdiri justru di Yogyakarta pada tahun 1922. Baru setelah itu, tahun 30-an lahir Toko Oen di Semarang, dan belakangan membuka cabang di Malang.

Setahun yang lalu, ketika saya mendapat tugas ke Surabaya dan Malang, saya minta dibawa ke Restoran Oen. Suasananya, itulah yang sengaja menjadi ciri khas: retro kolonial. Masih dengan kursi rotan dan indikasi kekunoannya ditunjukkan dengan sebuah radio tabung merk Philips. Spiritnya tentu sama dan menunya lebih bervariasi. Namun tentu saja menu andalannya adalah es krim buatan sendiri

Sesungguhnya, kini banyak sekali restoran atau tempat menginap yang mencoba mengelabui zaman, dengan mempertahankan atau kembali mengambil suasana masa lalu. Segmentasi yang disasar tentu bukan anak muda, melainkan kalangan di atas separuh baya yang menyukai klangenan. Di Malang ada Hotel Tugu, di Solo ada penginapan Roemahkoe. Sayang sekali, teman seiring dalam perjalanan, Pradita Gifani sering merasa takut untuk menginap di tempat seperti itu. Untunglah tidak menolak saat diajak singgah ke resto retro.

Toko Oen di Semarang membagi ruangan menjadi dua. Sisi yang pintunya selalu tertutup tampaknya sengaja disiapkan untuk acara pesta atau keperluan lain yang menghadirkan banyak orang. Saya masuk dan melihat-lihat hiasan yang tertempel di dinding. Sejumlah foto keluarga dan beberapa peristiwa yang mengisyaratkan perjalanan berkesan di masa lalu. Sebuah jam lonceng berdiri di sudut, masih berfungsi. Sejumlah kliping dari surat kabar yang memuat feature tentang Toko Oen, dibingkai rapi. Di antara hiasan itu terdapat sertifikat penghargaan.

Pengalaman pertama itu memang belum cukup memuaskan karena hanya mencoba es krim dan makanan kering. Saya ingin mengulangnya, mungkin lebih cocok membawa keluarga, untuk menyantap menu-menu berat. Siapa tahu, rasa steak-nya berbeda. Siapa tahu ada rasa asli yang tak pernah pudar dari tahun ke tahun, meskipun mungkin juru masak dan pengelolanya telah berganti generasi. Yang penting barangkali, tidak pernah membuat satu menu untuk disajikan dalam dua hari. Tradisi itu akan menjamin kesegaran masakan, tidak mengenal es krim kemarin.

Dan ternyata, Toko Oen Semarang yang sudah berusia 72 tahun, juga sudah menjadi bagian dari wisata kuliner pecinta makanan. Apakah lantaran direkomendasikan oleh Bondan Winarno dalam tulisan kolomnya yang bernama Jalan Sutera? Coba sajalah sendiri. Sebelum uji nyali ke Lawang Sewu!

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home