Baru saja selesai pameran benda-benda koleksi P.K. Ojong di Bentara Budaya. Saya sama sekali tidak mengira ketika berkunjung untuk melihatnya. Begitu masuk pintu ruang pameran, terhampar di seluas ruangan berpuluh, bahkan beratus, tempayan gerabah yang dibuat berabad lalu. Sungguh saya tidak mengira, ternyata Petrus Kanisius Ojong adalah pemburu barang seni antik, termasuk lukisan (586 buah), patung kayu (463 buah), dan patung batu (30 buah). Sementara warisan yang ditinggalkannya adalah sebuah surat kabar dengan tiras terbesar di Indonesia: harian Kompas. Bertahun-tahun kemudian, harian yang telah melewati sejumlah peristiwa politik di tanah air akan menjadi the living legend.
Pameran yang mengangkat judul “Jejak-Jejak P.K. Ojong” itu berlangsung 10 hari (14-24 Februari 2008). Tak cukup dua jam untuk mengamati setiap tengara pada benda-benda seni yang dipamerkan itu. Untunglah ada katalog yang menyertai pameran itu, sehingga tak perlu repot mencatatnya. Dari semua yang dipamerkan, memang tidak seluruhnya, dapat kita runut usianya. Koleksi tertua dibuat pada abad ke-10, sedangkan yang terbaru berupa lukisan di tahun 70-an.
Bagaimanapun, seperti diungkap oleh Rudy Badil pada katalog pameran, koleksi itu menjadi kebanggaan Keluarga Kompas Gramedia. Memandang benda-benda yang dipelihara dengan rasa cinta oleh pemiliknya itu, seperti melihat kembali sejarah perburuan yang dilakukan Ojong ke pelbagai tempat, baik Jakarta, Bali, maupun mancanegara. Jejak yang tak terhapuskan. Seperti jejak yang ditinggalkan untuk semua pembaca koran Indonesia. Saat ini mungkin baru harian Kompas yang sebarannya paling luas di nusantara. Bahkan kota-kota yang jauh dari Jakarta sudah sanggup menerbitkan Kompas pada pagi yang sama (tidak selisih waktu dengan ibukota) berkat mesin cetak jarak jauh. Peran teknologi informasi, memang, membuat jarak tidak lagi eksis.
Seperti juga antara P.K. Ojong dan para pegawainya serasa tak lagi ada jarak. Dalam usia lebih dari empat puluh tahun, Kompas yang didirikannya bersama Jacob Oetama, menjadi tempat belajar terbaik para jurnalis yang sebagian kini telah bekerja di tempat lain. Sekalipun banyak orang telah keluar dari Kompas, sebut saja Sujiwo Tejo dan Arya Gunawan, masih terdapat ikatan emosional yang menganggap Kompas sebagai kawah candradimuka dan cukup kuat memengaruhi jalan hidupnya di kemudian hari.
Saya ketahui dari wikipedia bahwa P. K. Ojong lahir di Bukittinggi, 25 Juli 1920, dengan nama Auw Jong Peng Koen. Lahir dari keluarga petani perantauan yang berasal dari kawasan Taiwan (tepatnya dari Pulau Quemoy). Ayahnya bernama Auw Jong Pauw memilih tanah rantau di Sumatera Barat. Telinga Auw Jong Openg Koen sejak kecil selalu dibisiki kata hemat, disiplin, dan tekun.
Umumnya, seseorang yang masa kecilnya mendapat didikan khas dan kuat dari orang tuanya, “pesan dan amanah” itu akan terbawa sebagai pegangan hidup. Darah petani yang merngalir dalam tubuh Pak Auw Jong Pauw membawanya menjadi juragan tembakau di Payakumbuh. Ia menghidupi keluarga besar yang terdiri dari 2 istri dengan 11 anak. Istri pertamanya meninggal setelah melahirkan anak ke-7. P.K. Ojong merupakan anak sulung dari istri kedua. Satu dari sepuluh mobil yang menghiasi kota Payakumbuh di masa kecilnya, adalah milik ayahnya.
Ojong menempuh pendidikan dasar di Hollandsch Chineesche School (khusus untuk warga Tionghoa) di Payakumbuh. Saat itulah ia belajar agama Katolik, yang kemudian menjadi pegangan imannya dengan nama baptis Andreas. Ia melanjutkan sekolah ke Hollandsche Chineesche Kweekschool (sekolah guru)
Kegemaran membaca koran dan majalah langganan asrama, telah mendorong Ojong muda belajar menulis dan menyajikan gagasan. Ia terpilih menjadi ketua perkumpulan siswa dan mendapat tugas menyediakan bahan bacaan buat anggota serta menyelenggarakan pesta malam Tahun Baru Imlek dan piknik akhir tahun. Sikapnya yang agak canggung dan kaku terhadap perempuan membuat Ojong hanya duduk dan ngobrol di saat penyelenggaraan malam pesta Imlek. Padahal teman-temannya bersuka ria main polonaise, sandiwara, dan menyanyi. Oei yin Hwa, teman sekelasnya di masa lalu, yang membuka toko manisan di Cianjur, masih ingat betul, Peng Koen dijuluki verstrooide professor alias profesor pikun.
Ojong dikenal hemat, teliti, dan disiplin. Kehematannya seolah tidak cocok dengan kegemarannya membeli barang-barang antik. Bahkan kadang-kadang mengajak GM Sudarta berburu menyusuri Jalan Surabaya. Tetapi dengan menjadikan benda-benda seni koleksinya itu sebagi investasi, tentu berbeda dengan kesan menghamburkan uang. Barang-barang hiasan yang dibelinya dari berbagai tempat itu, terutama furnitur kuno, dimanfaatkan sebagai bagian dari dekorasi kantor dan galeri.
Jejak perjalanan hidupnya disusun oleh Helen Ishwara dalam buku berjudul PK Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia (2001). Banyak wartawan belajar dari buku yang mengajarkan bagaimana membangun media cetak yang benar. Tercantum dalam buku itu pengalaman mengarungi masa intrik politik pergantian antara Orde Lama menuju Orde Baru. Ojong sendiri menulis buku tentang perang Eropa sampai 3 jilid.
Itulah jejak P.K. Ojong yang dapat kita temui melalui benda-benda memorabilia, juga sebuah imperium Kompas-Gramedia dengan anak cucu perusahaannya. Entah sudah berapa miliar huruf kita serap dari media cetak yang diterbitkannya. Membikin pamornya tak pernah padam. Mudah-mudahan janji Efix Mulyadi sebagai direktur eksekutif Bentara Budaya, bahwa pameran koleksi karya seni akan menjadi acara tahunan, bakal dipenuhi. Setidaknya kita akan terus “mencium” aroma peninggalan P. K. Ojong. ***
(Kurnia Effendi)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home