Wednesday, March 19, 2008

Eksistensi Ruang atas Subyek

Empat perupa berpameran bersama di Galeri Lontar, Jalan Utan Kayu, Jakarta. Mereka adalah Redy Rahadian, alumni Institut Saint Joseph Belgia; Andy Dewantoro alumni FSRD ITB; Awan Parulian Simatupang, alumni FSR-IKJ, dan Okky Arfie Hutabarat, alumni FSR-IKJ. Berlangsung sejak 27 Februari sampai dengan 29 Maret 2008, dengan mengusung tema “Ruang dan Subyek”.

Tidak terlampau unik, namun karya-karya mereka cukup menyenangkan untuk dipandang. Lukisan (dwimatra) karya Andy Dewantoro bercorak arsitektural. Gubahan gedung untuk menunjukkan ruang dengan sosok manusia yang mewakili dirinya sebagai subyek, muncul dalal dua karya. Di tentang pandangan, menguasai ruang, diletakkan lukisan anak tangga yang “mengecoh” mata kita, seolah di ujung ruang benar-benar ada jalan naik ke lantai atas, dengan warna dominan abu-abu yang menyaru nuansa tembok.

Coretan gambar Okky yang menempatkan titik hilang lebih dari satu, mendekonstruksi makna ruang ke dalam ego pribadi. Dirinya yang subyek itu melebur dalam konsep ruang yang lebih luas dari sekadar panjang dan lebar. Bahkan ia melukiskan tempat paling menyenangkan dalam citraan tumpang-tindih.

Patung tembaga Redy Rahadian menunjukkan subyek yang meringkuk dalam eksistensi ruang. Sementara Awan Parulian beberapa kali membuat piuh sosok manusia dalam lingkungannya. Sangat menarik ketika dia membuat bangunan rumah yang membelok dalam distorsi. Pada karyanya yang lain, subyek kehilangan jati diri: berupa lubang dalam lembaran logam. Seperti “bekas” subyek yang sudah boleh diabaikan, dari sisi ukuran maupun keberadaan dalam dimensi. Lubang keratan itu andai diterapkan pada konsep dwimatra akan menjadi diapositif.

Asikin Hasan, sebagai kurator pameran menganggap cara Awan menyampaikan bentuk trimatra dengan cara dwimatra tidak lazim dilakukan oleh para pematung. Namun dalam karya kontemporer, seni telah menempati posisi yang multi tafsir dan trendy. Kreativitas perlu diuji dengan usia perjalan seni itu sendiri. Hal-hal yang adiluhung untuk sementara “dikalahkan” oleh cita rasa kekinian.

Daya pikir! Akhirnya seorang penikmat karya seni rupa harus saling melengkapi penafsiran antara yang mencipta dan yang membaca penciptaan itu. Benang merah pada keempat perupa itu itu ditarik melalui unsur subyek dengan ruang yang mengatasinya. Keempat perupa itu masing-masing sudah memiliki pengalaman memamerkan karyanya, setidaknya cukup punya rasa percaya diri dalam menapaki karakter yang dipilihnya dalam berkarya.

Pergulatan antara ide dan teknik berada pada sebuah keasyikan. Ini penting bagi para perupa yang hendak mencapai posisi jati diri, dengan mengabaikan sementara unsur komersialisasi yang umumnya ditempuh dengan mengakomodasi selera banyak orang.

(Kurnia Effendi)