Monday, March 24, 2008

Kafe (untuk kopi) Eva

Sesuatumungkin nama atau tempat—yang terdengar cukup populer biasanya memancing keinginan kita untuk mengunjunginya. Dari sekadar ingin tahu, mencari kesan serupa dengan pengalaman orang lain, sampai kemudian benar-benar menikmati serta merindukannya untuk mengulangi. Dalam lintasan perjalanan darat dari Semarang ke Yogya atau sebaliknya, jika melewati Secang dan Ambarawa, kita akan menemukan tempat rehat yang nyaman. Sebuah kafe bernama Eva.

Tunggu dulu! Saya sudah mendengar nama Eva sejak merantau ke Semarang, untuk menempuh pendidikan di STM Pembangunan. Tetapi bukan nama Kafe Eva, melainkan Kopi Eva. Keinginan untuk mampir di masa itu tak kunjung jadi kenyataan. Mungkin karena dulu saya seorang anak sekolahan yang mengandalkan kiriman wesel dari orangtua untuk hidup sebulan dengan berbagai pengeluaran, sehinggangiraske sebuah restoran di luar kota menjadi sebuah kemewahan.

Percaya atau tidak, setelah berulang kali hanya sempat melewati dalam perjalanan dari Semarang ke Yogya, akhirnya sekitar tahun 2005 saya bisa singgah. Berpuluh tahun sudah keinginan itu melulu terpendam. Berkat tugas kantor, saya mendapat kesempatan baik ketika melakukan perjalanan dari Magelang ke Semarang. Saya sengaja minta berhenti untuk istirahat di Kopi Eva. Di papan nama sudah tertulis Eva Coffee House.

Begitu duduk di bangku-bangku panjang bermeja rendah (sebagian bertahan dengan model seperti itu, separuh ruangan lainnya menggunakan kursi-kursi dan meja makan), disajikan tahu kukus yang dikudap berteman petis. Uap panas meruap dari tahu yang terendam air di piring.

Kesempatan yang pertama itu benar-benar hanya rehat, makan malam, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Semarang agar tak sampai larut. Kesempatan berikutnya terjadi awal tahun 2008. Kala itu saya sedang melakukan perjalanan “sastra”. Rangkaian tugas kantor berakhir di Yogyakarta. Lalu dari kota gudeg itu, saya bersama dengan Gangsar Sukrisno (dari Penerbit Bentang Pustaka) dan Dessy Sekar Astina (dari Forum Indonesia Membaca) membelah tubuh pulau Jawa menuju Kudus.

Lepas senja, ketika langit mulai gelap, kami tiba di Eva Coffee House. Saat itulah saya bukan sekadar mampir makan. Selain menikmati nasi rawon, sop buntut goreng, dan nasi langgi (masing-masing pesan menu berbeda agar dapat saling mencicipi), saya mengajak berbincang pemiliknya.

Pemiliknya, Michael Tjiptomartojo, lahir 2 September 1922. Setahun lebih muda dibanding mendiang Pak Harto, namun masih tampak bugar. Kopi Eva dirintis mulai tahun 1958. Pak Tjipto menanam sendiri pohon kopinya di area perkebunan pribadi yang luasanya 3 hektar. Hasil perkebunannya juga diolah sendiri, dijual dalam bentuk kopi bubuk dan minuman di Eva Coffee House. Kebun kopinya membentang di tepi jalan lintasan Bedono Ambarawa, sehingga kafe yang dibangun di tikungan itu cukup strategis.

Sang owner, Pak Tjipto, ternyata bukan orang biasa. Beliau bersama Radius Prawiro, adalah anggota Tentara Laskar Mataram atau Tentara Rakyat Mataram (TRM). Tugas Negara yang telah mereka lakukan cukup panjang berderet dan ditandai dengan sejumlah lencana sebagai bintang jasa. Mari kita daftar beberapa penghargaan itu, di antaranya: Bintang Gerilya, Pergerakan Kemerdekaan RI (pertama dan kedua), Penumpasan Muso, Penumpasan APRA, Penumpasan RMS Ambon, Penumpasan DI/TII Kahar Muzakar, Penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, Penumpasan DII/TII Amin Fatah Jateng, Penumpasan PRRI/Permesta, dan seterusnya. Setidaknya, beliau telah mendapat lebih dari 40 penghargaan termasuk untuk Kopi Eva.

Berbekal ijazah sekolah ekonomi pendidikan Belanda, Pak Tjipto menjalankan roda bisnisnya, yang telah membuahkan produksi rata-rata 1 kuintal kopi/bulan untuk dijual di Eva Coffee House. Restorannya yang luas dan menu makanannya yang lezat, telah mendapatkan pula sertifikat dari Departemen Pariwisata Semarang, Jateng.

Pertanyaan saya waktu itu, mengapa diberi nama Eva? Sebab setelah ditelusuri melalui nama anak-anak Pak Tjipto yang berjumlah 10, tak seorang pun bernama Eva. Bahkan termasuk istrinya yang masih mendampingi beliau sehari-hari di Eva Coffee House.

“Eva itu lambang perempuan. Diambil dari nama ibu umat manusia, Eva atau Siti Hawa.” Demikian penjelasan Pak Tjipto. Kedua anaknya yang aktif menjalankan usaha niaga kafe itu, Kanis (nomor 2) dan Endang Palupi (nomor 3), membenarkan.

Saat ini Eva Coffee House mempekerjakan sekitar 20 orang pegawai. Mereka rata-rata tinggal di mess yang dibangun di sekitar kebun kopi. Meskipun Pak Tjipto dan keluarga penganut agama Katholik, beberapa pegawainya justru alumni yang berasal dari pesantren di sekitar Ambarawa.

Menu yang pernah saya coba adalah sop buntut goreng dan rawon. Keduanya lezat. Namun ternyata masakan andalannya adalah gudeg manggar, yang telah dinobatkan sebagai “mak nyus” oleh Bondan Winarno. Kami sempat mencicipi sepiring kecil contoh gudeg manggar. Hm…memang betul-betul lezat! Berbeda dengan gudeng nangka muda.

Sebagai tempat istirahat, Eva Coffee House memang menyenangkan. Selain luas untuk menampung sekitar seratus tamu menyantap makanan, Eva Coffee House menyediakan juga oleh-oleh berupa kopi bubuk dan aneka souvenir untuk buah tangan. Ada “iklan” dari mulut ke mulut untuk keunggulan kopi produksinya itu. Apabila anda meminum seduhan kopi Eva dan membiarkan endapannya tersisa, penuhilah kembali dengan air panas sampai kembali penuh, citarasa yang dihasilkan sama dengan tegukan pertama. Hebat bukan?

            Awalnya, kebun Pak Tjipto hanya ditanami kopi jenis Robusta, namun kini sudah ada kopi jenis Arabika. Sejak ditanam hingga umur 4 tahun, pohon kopi belum menghasilkan buah yang bernas. Perjalanan panjang itu memerlukan perawatan dan siraman air yang cukup. Umumnya kopi ditanam di kawasan pegunungan yang sejuk. Masa panen yang pertama dan tahun-tahun berikutnya biasanya berlangsung antara bulan Juli sampai dengan September.

            Michael Tjiptomartojo sampai saat masih aktif  membawahi 3 yayasan, yakni: Pendidikan, Veteran, dan Pepabri. Beliau mengaku masih rutin melaksanakan upacara peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November dan malam Proklamasi bersama para veteran yang masih ada. Secara fisik, Tentara Laskar Mataram memiliki peran besar dalam Palagan Ambarawa dan Clash Belanda II. Mereka pernah melangsungkan reuni akbar dan musayawarah besar dengan menerbitkan buku: Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Putung yang disusun oleh J. Roestam Afandi, pada tahun 1992.

            Bila malam tiba, dari jendela Eva Coffee House dan kantor penampungan biji kopi yang menghadap ke lembah, kita dapat memandang pesta lampu serupa kerlip bintang kota Ambarawa. Sejenak kita seperti saudagar kopi yang sedang menikmati hamparan kekayaan…

(Kurnia Effendi)