Thursday, August 14, 2008

Ironisme Pendidikan Kita

Sepenting apakah pendidikan bagi kita? Seorang teman yang menawarkan asuransi pernah mengatakan: asuransi itu seperti pendidikan bagi anak sekolah dasar. Mengapa demikian? Anak-anak umumnya tidak tahu, kapan ia harus memasuki kelasnya yang pertama. Kesadaran itu milik orang tuanya. Apabila ada bocah yang merengek minta sekolah sesungguhnya yang menarik perhatiannya adalah sejumlah teman di sana, aneka permainan, dan mungkin suasana yang akan ditemui di luar rumahnya sehari-hari.

Saat itulahargo asuransidimulai. Orangtua akan menanam investasi semacam premi untuk buah hatinya. Sang anak belum paham manfaat pendidikan baginya, karena hasilnya akan dipetik pada beberapa tahun berikutnya. Jika menunggu anak paham tujuan sekolah, mungkin akan serba terlambat.

Itulah pendidikan formal. Sebuah institusi yang setiap tahun (akhir-akhir ini) selalu berubah aturan, berubah muatan, dan berubah harapan. Sesuai dengan inti dari makna sekolah, yakni belajar, maka baik pemerintah maupun para profesional pendidikanmasihterus belajar membuat kurikulum, menyusun silabus, mengatur kriterium, dan menentukan tarif bagi para muridnya.

Alasannya masuk akal. Di awal tahun 60-an, tak seorang pun murid memiliki arsip pelajaran yang diterimanya di kelas, karena menggunakan sabak alias batu tulis dengan pena berupa grip. Begitu usai pelajaran, nilainya direkam dalam catatan gurunya, dihapuslah seluruh materi hari itu. Mungkin ingatan generasi dulu justru lebih kuat lantaran tak mungkin melihat kembali catatan hari-hari sebelumnya.

Kini tak hanya tersimpan berupa tulisan dalam buku. Kini bahkan ada teknologi komputer yang mampu merekam, menyimpan, memindahkan, menggandakan, mengubah materi dengan mudah. Daya ingat boleh sedikit tumpul, karena waktu untuk menghapal ditukar dengan cara cepat mencari data. Googling akan menjawab sebagian besar rasa ingin tahu dan menolong sifat lupa kita.

Jumlah manusia bertambah, daya saing meningkat. Kualitas manusia terdidik mulai dikategorikan, distandarisasi, dengan parameter tertentu. Melalui spesialisasi yang lebih terinci. Dan orang pintar semakin banyak. Boleh jadi, kebutuhan itulah penyebab bertambah beratnya beban yang harus ditanggung oleh bocah usia belia. Coba bayangkan saja jika anak sekolah dasar sudah harus pulang lewat tengah hari karena ada tambahan pelajaran di luar yang resmi. Seminggu berjalan begitu padat dengan tambahan pelajaran komputer, musik, seni lukis, karya ilmiah, pendalaman materi untuk matematika, kursus metode kumon, les balet… Terkadang itu merupakan tuntutan ego sang orang tua.

Persaingan antarkandidat begitu ketat, sang anak dituntut memiliki rank tinggi untuk memasuki sekolah menengah yang baik (apalagi tingkat favorit atau unggulan). Kompensasi dari mutu adalah biaya tinggi. Akhirnya beban berat itu mendorong orang tua bekerja keras untuk memenuhi tuntutan keadaan dan situasi di lapangan. Masalahnya, acap kali anak-anak itu justru yang tak kuat melaksanakannya. Kecuali ia bersedia menjadi robot dan secara psikologis keliru sejak awal.

Paling bijaksana, berikan pilihan di luar pelajaran yang wajib diketahui (seperti analogi asuransi di atas) seiring usianya bertambah. Pilihan dengan mencoba (trial) terlebih dahulu akan menentukan rasa nikmat (enjoy) bagi sang anak. Dengan menjalankan segala sesuatu yang disukai, mengingat dunia anak-anak adalah dunia bermain, dampaknya akan lebih sehat. Anjuran untuk bersentuhan dengan seni memang dikaitkan pada harapan perilaku beradab.

Umumnya, anak-anak menyukai warna, maka dikenalkan dengan alat gambar untuk latihan keterampilan motorik sekaligus estetika. Setelah itu belajar huruf dan angka. Dengan menguasai huruf mulailah sang anak belajar memahami cerita bukan dari lisan. Kegemaran membaca akan lebih sehat ketimbang menonton televisi. Seperti yang dikhawatirkan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer, bahwa kehadiran televisi akan merusak budaya baca, memang ada benarnya. Dampak yang dihasilkan dari dua kegiatan itu (membaca dan menonton) akan jauh berbeda.

Iqra! Seruan itu yang disampaikan Jibril kepada Muhammad sebagai pembuka pintu ilmu di awal kenabiannya. Pesan yang diakui menjadi cikal-bakal pengetahuan seseorang. Budaya membaca perlu digiatkan sejak masa kanak-kanak. Kegemaran membaca membuat seseorang lebih cerdas, lebih luas wawasannya, dan lebih pintar menulis. Dengan membaca bahan bacaan yang benar, waktu luang anak-anak tidak akan digunakan untuk kegiatan yang mungkin berpengaruh buruk.

Yessy Gusman hanyalah salah seorang yang melihat sisi positif dari kegemaran membaca. Itu sebabnya, Desember 1999, ia menggagas sebuah taman bacaan anak di belakang rumahnya. Ia menghimpun  anak-anak dari sekitar kampung untuk membaca gratis di perpustakaan itu. Dalam waktu beberapa tahun, lebih dari 350 taman bacaan anak di Indonesia dijaring dan dibantu pengadaan buku-bukunya.

Di Banten ada Gola Gong dengan Pustaka Rumah Dunia, memberi kesempatan bagi anak-anak di desanya untuk aktif ke perpustakaan. Di Depok ada Rumah Cahaya yang dibangun oleh Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Di Padang ada Yusrizal KW, cerpenis yang sudah hampir sepuluh tahun melatih menulis dalam Sanggar Pelangi. Menulis merupakan kegiatan lanjutan setelah piawai membaca.

Kegiatan positif bagi anak yang akan dilakukan dengan enjoy cukup banyak. Musik termasuk yang bersifat universal. Dengan musik, jiwa seni dan kehalusan rasa anak-anak dapat dibina sejak dini. Anna Anggraeni, yang dikenal sejak dulu sebagai pembawa acara Cerdas Cermat Sekolah Dasar di TVRI Jawa Barat, mendirikan sanggar musik La Prima Doremi untuk anak-anak. Menurutnya, kecakapan hidup atau life skill memang perlu dikembangkan sejak usia dini.

Bila ditanya antara bakat dan minat, mungkin ada pemahaman yang perlu dicermati bersama oleh banyak orangtua yang umumnya hanya fokus ke pendidikan formal. Kekhawatiran akan terganggu waktunya bila  anak les ini-itu bisa dipahami. Namun melalui kursus musik, olah vokal, MC; diharapkan akan menjadi peluang, pelengkap, peningkatan tumbuhnya rasa percaya diri bagi si anak. Bahkan kelak dengan kecakapan hidup yang dimiliki melalui musik/vokal/MC, dapat mendukung kesuksesan sebuah karier.

Kemampuan berekspresi seorang anak tergantung dari cara pendidikannya. Pendidikan formal wajib hukumnya, kurikulum yang diterapkan harus memenuhi standar namun juga tidakmencelakakanpara muridnya. Beban yang terlalu berat justru sempat berujung dengan peristiwa anak-anak bunuh diri. Pendidikan yang bersifat rekreatif jadi terasa penting, sepanjang tidak dengan biaya tinggi. Kursus dan les barangkali untuk konsumsi keluarga menengah ke atas, sedangkan fasilitas sosial seperti taman bacaan yang dikembangkan oleh Yessy Gusman atau Gola Gong akan menjembatani kebutuhan masyarakat bawah.

Kini yang perlu diwaspadai adalah mafia pendidikan, yang mencari keuntungan di balik prasyarat kualitas murid dan pelajaran. Misalnya persekongkolan kepala sekolah dan para guru untuk membuat seluruh muridnya lulus dengan NEM memadai. Mereka membentuk tim untuk membuka soal-soal ujian sebelum waktunya guna memberikan bocoran jawaban. Atau bentuk mafia lain dengan kerjasama rahasia antara kepala sekolah dan penerbit buku materi ajar. Rekomendasi itu akan menguntungkan secara finansial bagi sekelompok oknum.

Inilah pilihan yang sulit antara harapan terhadap kualitas dengan kondisi realistis murid-muridnya. Sementara tuntutan persaingan begitu tajam, membuat mereka—kaum pendidik—menempuh segala cara. Ironis memang!

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

5 Comments:

Blogger Toke Kawe said...

Terima kasih atas tulisannya Mas dan aku senang bisa mengenal dirimu.

Aku juga turut prihatin dengan pendidikan kita sekarang, semoga para pembesar2 di Depdiknas sana bisa mendengarkan jeritan hati para guru dan pelajar.

Dengan padatnya materi di kurikulum dan tingginya standarisasi kelulusan, saya bisa mengerti kenapa ada tindakan mafia2 pendidikan seperti yg Mas contohkan diatas (memberikan bocoran jawaban pada saat UAN). Di satu sisi guru mata pelajaran dituntut untuk menyelesaikan semua materi yg sudah termaktub dlm kurikulum (krn takut materi2 itu akan keluar pada saat ujian), namun disisi lain, anak2 didik tsb blm menguasai betul materi yg diberikan sebelumnya. Jadi Guru disini bingung untuk menentukan sikap. Apakah mereka harus menyelesaikan materi tanpa peduli anak didik mereka bisa mengerti betul apa yg mereka sampaikan, atau membiarkan sebagian materi tidak terjamah, tetapi anak2 paham betul dgn materi2 sebelumnya yg sudah disampaikan.

Dosenku dulu pernah bilang begini:"Anak2 Indonesia ini tau banyak pengetahuan, tetapi dangkal. Sedangkan anak2 di luar negeri, pengetahuan mereka tidak banyak, tetapi dalam".

Wah, comment ku kebanyakan niy mas, sorry ;p
Terbawa emosi niy..... ^_^

Nice to know you :-)

Salam,
Widya

4:40 PM  
Blogger Kurnia Effendi said...

Thank you, Wid, sudah berkunjung ke blog-ku, kapan-kapan giliran aku bertandang.

Hehe, jangan emosi ya, kita memang sama-sama sedih dengan kondisi pendidikan di negeri ini.

Salam

12:16 AM  
Blogger Unknown said...

www0609
polo shirts
nike air force 1
kappa clothing
moncler jackets
canada goose outlet
hornets jerseys
longchamp handbags
malone souliers
cheap jordans
cheap nfl jerseys

12:22 PM  
Blogger zzyytt said...

fitflops sale clearance
chrome hearts
yeezy boost 350
nike epic react
jordan sneakers
links of london outlet store
golden goose
off white clothing
hermes bags

12:51 PM  
Blogger jeje said...

ugg boots
birken stock
jordan shoes
canadian goose
coach outlet
fidget spinner
pandora jewelry
james harden shoes
nhl jersey
ferragamo belt

8:18 AM  

Post a Comment

<< Home