Tuesday, August 19, 2008

Planet Senen dalam Ingatan

”Ada keajaiban di Senen!” Itu kata Misbach Yusa Biran, salah seorang tokoh perfilman yang kariernya berangkat dari kawasan Planet Senen. Mengapa bernama Planet Senen, mungkin dapat dicari muasalnya dari buku karya Misbach tersebut. Soal keajaiban, sebagaimana ditulis oleh Zen Hae, adalah semacam daya tahan atau survivalisme para seniman di tahun 60-an di zaman susah.

Di masa itu, para seniman seperti Soekarno M. Noor, Wahyu Sihombing, Sukanto SA, Menzano, Syumandjaya, dan lain-lain merupakan makhluk pilihan yang tidak kenal kompromi terhadap apa pun demi kesenimanan mereka. Militansi mereka hanya ditemani oleh kopi, rokok, talas goreng, namun sanggup bicara berbusa-busa dari senja hingga subuh. Kebanyakan dari mereka yang mengaku seniman tulen justru biasanya tidak memiliki karya. Sedangkan nama-nama yang mekar harum hingga kini tentu kaum yang lolos dari seleksi alam.

”Dulu mungkin saya yang paling kaya,” kata Misbach Yusa Biran, suami aktris Nanny Wijaya. ”Karena baru saya sendiri yang punya sepeda.”

Kenangannya atas masa lalu yang pahit, justru mengundang tawa. Mereka bagai sedang reuni, bicara di tengah-tengah plaza Gelanggang Remaja Jakarta Pusat yang diapit Jalan Bungur dan stasiun kereta api Senen. Tempat yang sejak mula berkembang sebagai Pasar Senen, memang memiliki segala rupa kegiatan dagang dan seni.

Pada Senin malam, 28 Juli 2008 lalu, Dewan Kesenian Jakarta bekerjasama dengan Komunitas Planet Senen menggelar acara Lampion Sastra. Kesempatan di bawah udara cerah itu dimanfaatkan oleh para saksi dan generasi penerus yang masih giat berkarya. Dihadirkan sebagai tokoh yang dapat membagi pengalaman dan kesaksian, antara lain Gerson Poyk, Toga Tambunan, Deddy Mizwar, dan Harmoko (mantan Menteri Penerangan dan Ketua MPR/DPR RI di era Presiden Soeharto).

Sebelum sampai pada ujaran para tokoh dan pembacaan puisi penyair muda Planet Senen, ke hadapan publik ditayangkan sebuah film dokumenter berjudul ”Mesin Biografi”. Dalam film berdurasi sekitar 20 menit itu, masing-masing penyair mengutarakan sikap keseniannya, menyampaikan makna lingkungan yang melahirkan dan membesarkan mereka sebagai seniman. Kawasan Senen pernah menderita akibat Peristiwa Malari 1974. Perubahan dan perkembangan yang terjadi tidak terlampau signifikan dibanding ”anak-anak”nya seperti: Cempaka Mas, Mangga Dua, dan Tanah Abang yang selalu jatuh bangun itu.

Lima penyair yang mewakili generasi aktif dalam Komunitas Planet Senen itu adalah: Imam Maarif, Irman Syah, Giyanto Subagio, Widodo Arumdono, dan Akhmad Sekhu. Proses keberangkatan mereka sebagai seniman diuji oleh lingkungan yang keras. Mereka tak hanya bergaul dengan orang-orang necis yang mampir ke Senen sebagai penumpang kereta api atau belanja onderdil mobil, tetapi juga berteman dengan kalangan kelas sosial bawah seperti pelacur, gelandangan, dan para tukang parkir.

”Saya ingat ketika dulu masih muda dan sedang belajar menjadi wartawan,” ujar Harmoko malam itu. ”Saya bersama Wim Umboh, Soekarno M. Noor, Misbach Yusa Biran, dan beberapa teman lain berandai-andai akan menjadi apa kelak. Masing-masing mencetuskan cita-cita. Dan saya ingin menjadi wartawan yang hebat.”

”Intinya adalah kerakyatan!” Demikian tandas Harmoko. ”Karya-karya yang tercipta, baik lagu maupun drama, selalu berakar pada kerakyatan. Menzano pernah main drama, yang naskahnya ditulis di tempat ini, saat itu yang nonton hanya 10 orang, tapi tetap jalan. Bing Slamet menulis lagu di sini, bersentuhan dengan rakyat. Naga Bonar itu film mengenai kerakyatan. Itulah yang mengagumkan dari komunitas tahan banting ini. Maka mari saya mengajak Anda semua berdiri untuk bersama-sama mendoakan para seniman Senen yang telah mendahului kita, agar arwahnya diterima di sisi Tuhan.”

Pada gilirannya Deddy Mizwar mengaku bukan seniman Senen tetapi dekat dengan suasana itu karena tinggal di Kemayoran. Awalnya Deddy merasa nyaman bisa ikuit berkesenian lewat pementasan teater, pembacaan puisi, dan bermusik atau menari. Demikianlah, rasa nikmat berkesenian telah membawa kariernya sampai hari ini, menjadi seorang aktor dan sutradara besar.

Kekuatan itu rupanya yang membuat Toga Tambunan dan Gerson Poyk kagum. Para seniman Senen hidup tanpa modal, tanpa ekonomi yang memadai. Dalam sebuah seloroh, namun mungkin nyata, Deddy Mizwar mengatakan: ”Barangkali kalau Djamaludin Malik tidak singgah ke sini malam-malam, para seniman Senen yang biasa ngumpul diskusi di sini di zaman itu tidak makan malam.”

Dapat dibayangkan, seorang seniman merasa benar-benar ”menjadi dan terlibat” melalui malam-malam panjang yang gerah dan keras. Saat itu Taman Ismail Marzuki belum lahir. Tahun 1970-an. diprakarsai oleh Ali Sadikin, dibangunlah Taman Ismail Marzuki untuk menampung aspirasi seni masyarakat sekaligus mengembangkannya.

Bagi yang tidak familiar dengan tempat itu, kawasan Pasar Senen memang terkesan rawan. Aneka ragam kegiatan bisnis berlangsung di situ, mulai dari jualan kue subuh (sejak pukul 3 sampai pukul 6), arloji pun ada yang dijual kiloan. Spare part mobil dikenal paling lengkap dan murah. Pakaian bekas dijual berderet-deret. Mau cari mesin ketik bekas di sinilah tempatnya. Buku-buku pelajaran, filsafat, sastra, baik yang resmi maupun bajakan memenuhi kios-kios. Kedai nasi kapau menghiasi stasiun kereta api. Terasa unik dan aneh, barangkali Senen merupakan satu-satunya stasiun yang menggunakan gerbang penutup jalur rel. Jadi, setiap kali kereta api hendak masuk atau keluar dari stasiun, gerbang itu dibuka. Jika sedang ditutup, seolah stasiun itu tak dipergunakan lagi, apalagi ada barang dagangan yang digantung di pagar besi.

Romantisme itu terasa mengharukan. Deddy Mizwar berharap agar kesenian bisa tumbuh di mana pun berada. ”Ruang-ruang itulah yang menjadi tempat mengekspresikan diri. Barangkali, unjuk rasa pembakaran gedung-gedung dan tindakan anarkis terjadi karena anak-anak muda tidak mendapatkan tempat berekspresi secara sehat dan beradab.”

Malam itu selain mendengar kesaksian para tokoh, kelima penyair membacakan puisinya di atas panggung. Puisi-puisi yang mengandung ironi. Bagi seniman yang merantau dari Padang seperti Irman Syah, posisinya menjadi manusia persimpangan, menjadi si ”Malin Kundang” yang mulai mencintai Jakarta. Di antara acara yang terus berlangsung, di seberang patung Tekad Merdeka, digelar juga lelang lukisan karya Hidayat. Seniman lokal itu menggambar wajah-wajah tokoh seperti Wahyu Sihombing, Harmoko, Hamsad Rangkuti, Deddy Mizwar, dll.

Dalam geliat ekonomi sosial kota metropolitan yang gemuruh, ternyata kawasan Senen masih memiliki kisah perjuangan para seniman Indonesia yang patut dikenang dan dipertahankan. Mudah-mudahan ajakan Harmoko untuk menyusun buku tentang realitas Planet Senen dari tahun ke tahun akan jadi kenyataan.

(Kurnia Effendi)