Friday, August 15, 2008

Yang Muda Yang Bergairah

Ada masanya kaum muda ingin mengubah kondisi tanah airnya, ketika dirasa proses kepemimpinan mengalami kemandekan. Sebenarnya bukan berhenti, lebih tepat berputar-putar pada kondisi, wajah, dan kemampuan yang sama. Antara kandidat yang satu dengan yang lain saling tahu masing-masing konditenya. Pantas jika dalam rangka melakukan propaganda citra, ada kesan saling menjatuhkan. Paling terasa adalah ketika isu usia menjadi bagian “krusial” yang diperdebatkan. Setidaknya capres PDIP, Megawati Soekarnoputri, sempat tersengat dan menantang calon dari partai lain.

Menjelang Pemilu 2009, bursa calon presiden (capres) bertambah marak oleh kehadiran nama-nama baru dari jalur independen. Kesepakatan aturan main yang mempersilakan para capres indie ini mengikuti kompetisi pemilihan terus bergulir. Kenyataannya, gaya Barrack Obama ini sedang dicoba oleh generasi muda yang menginginkan adanya perubahan dalam wajah politik dan pemerintahan Indonesia.

Mereka adalah M. Fadjroel Rachman, Rizal Mallarangeng, dan Ratna Sarumpaet. Disusul dengan golongan muda dari jalur partai, seperti Sutrisno Bachir (PAN) dan Yusril Ihza Mahendra (PBB). Apa yang mereka janjikan bagi rakyat, memang belum terbukti, jadi masih ada dua kemungkinan: bisa dipercaya memberikan angin segar atau belum dipercaya dalam soal kematangan dan pengalaman.

Memang sedikit dilematis. Apabila kita mengharapkan seorang presiden yang memiliki pengalaman mengatur negara, tentu akhirnya akan dimenangkan oleh sejumlah nama mantan presiden yang saat ini sedang mengincar kembali posisi kursi tertinggi. Sebut saja Gus Dur, Megawati, Jusuf Kalla (saat ini menjadi wapres), dan Susilo Bambang Yudhoyono. Andaikata pengalaman itu dalam skala regional, maka akan muncul nama-nama Sutiyoso dan Sri Sultan Hamengkubuwono X (keduanya berpengalaman sebagai gubernur), atau Yusril Ihza Mahendra sebagai mantan menteri, dan Soetrisno Bachir sebagai Ketua Umum PAN.

Generasi baru sebagai harapan baru, merupakan tawaran Rizal Mallarangeng (43) untuk hari depan Indonesia. Pengalaman apa yang dikandungnya sebagai modal untuk maju ke ajang kompetisi capres? Demikian juga M. Fadjroel Rachman (44), yang berangkat dari seorang aktivis demonstran; ditambah Ratna Sarumpaet, pendiri Akar Indonesia dan Teater Satu Merah Panggung. Mereka bertiga berusaha keras untuk menggali pelbagai persoalan yang terjadi di negeri ini, menganalisis dengan cermat, lalu membawa wacana dan gagasan tentang konsep kenegaraan ke panggung politik.

Sah-sah saja, karena mereka warganegara Indonesia yang rindu terhadap kesejahteraan. Persoalannya, sejauh mana konsistensi mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat yang akhir-akhir ini mulai apatis dengan “ingkar janji politik”? Itu berulang kali terjadi dari siapapun pemimpin yang dinobatkan menjadi presiden.

Ratna merasa telah lebih sepuluh tahun aktif membantu rakyat dalam pelbagai kegiatan sosial. Ia telah melihat dari sangat dekat kondisi dan kebutuhan rakyat saat ini. Idenya antara lain menunda pembayaran utang luar negeri yang dipergunakan untuk hal-hal tidak penting. Sudah saatnya anggaran untuk memperbaiki generasi saat ini dan mendatang diperbesar, terutama dana pendidikan. “Hentikan perseteruan antara presiden dengan DPR yang kontraproduktif. Sudah saatnya kita membangun kesadaran nasional.” Melalui Akar Indonesia, Ratna membuat konsep Saham Harga Diri Bangsa, dengan harga tiap lembarnya antara Rp. 1000,- - Rp. 50.000,- dengan pembatasan pembelian 500.000 lembar untuk menghindari dominasi bagi pembangunan Indonesia. “Kita memerlukan revolusi budaya, mengubah paradigma, membuka dialog, karena selama ini pemerintah dengan rakyat selalu menggunakan one way traffic.”

Sejalan dengan pemikiran Ratna soal utang luar negeri, Fadjroel Rachman mengambil contoh Nigeria dan Pakistan yang dapat mengajukan penghapusan utang dalam banyak prosentase, karena kita sedang membutuhkan dana pendidikan (hanya 47 triliun) secara besar-besaran untuk mencerdaskan satu generasi. Dalam perjalanan keliling Kalimantan dan Sulawesi, banyak disaksikan kemiskinan yang menjalar di mana-mana, padahal Indonesia memiliki banyak sumber daya alam. “Menurut adik saya, yang tahu banyak tentang kondisi pertambangan, negara kita sedang menjual dirinya sendiri kepada pihak asing. Seandainya Natuna, Blok Cepu, Freeport, kita ambil alih, saya yakin rakyat kita sejahtera.”

Sesungguhnya, dalam dua pemilu sebelumnya, Partai Keadilan (Sejahtera) pernah menganalisis hasil laut yang mendominasi tanah air ini, sanggup untuk membebaskan biaya sekolah nasional sampai tingkat SMA. Namun sekali lagi, wacana serupa itu merupakan isu yang diangkat menjelang pemilu dan segera terlupakan tindaklanjutnya setelah berhasil meraih suara. Pada akhirnya mereka selalu terbentur masalah teknis, sumberdaya manusia, dan birokrasi. Sementara negara lain setiap hari (denganizinpara oknum) terus mengeruk isi lautan kita.

Ketika ditanyakan tentang dana kampanye untuk kampanye yang mahal, Rizal Mallarangeng (dari kubu The Freedom Isntitute) mengaku mendapatkan sumbangan dari banyak sahabat. Saya justru mendapat banyak titipan dari teman-teman. Mereka minta tolong agar saya dapat membawa Indonesia berubah menuju lebih baik. Soal dana, pada waktunya nanti akan saya sampaikan secara transparan kepada masyarakat. Kita telah jauh ketinggalan dari negara-negara Asean lainnya. Sebagai contoh, ketika kita membangun jalan tol Jagorawi,  China dan Filipina heran karena Indonesia yang miskin sanggup membuat jalan tol! Tetapi kini, Indonesia baru memiliki 600 km jalan tol, sedangkan Malaysia sudah mencapai 3000 km.”  Rizal memandang Indonesia saat ini sedang membutuhkan seorang pemimpin dengan leadership yang tinggi, untuk dapat bekerjasama dan melibatkan rakyat. 

Dari sisi pengalaman, Yusril merasa dirinya lebih siap menjadi presiden. Saya telah menjadi menteri untuk tiga presiden. Dua di antaranya sebagai Menteri Kehakiman. Selama itu saya telah terlibat dalam 400 RUU, melalui perdebatan dengan DPR dan lembaga terkait. Jika saya menjadi presiden, saya mudah memberi tahu para menteri bagaimana menangani persoalan dan membuat undang-undang.”

Seorang penyair yang giat mengamati persoalan sosial politik, Saut Situmorang, sempat mengkritisi Fadjroel Rachman.Ia gencar mempromosikan ide negara kesejahteraan (welfare state) ala Skandinavia dengan melupakan latar sejarah dan budaya lokal, bahwa Indonesia sebagai negeri pascakolonial (Dunia Ketiga), tak pernah menjadi sosial demokrat. Justru masih feodal, jumlah rakyatnya besar, tak homogen dan tingkat pendidikan rendah.” Ia menambahkan bahwa rakyat perlu belajar berpolitik klasik, yaitu memilih karena sadar dan yakin yang dipilihnya konsisten dengan suaranya. Cuma parpol yang bisa janjikan itu karena parpol tidak bisa hidup-mati tiap menjelang pemilu seperti calon independen.

Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina mengingatkan, bahwa untuk menjadi capres, para calon independen itu harus mampu meyakinkan parpol agar segera dipinang sebagai alternatif yang diandalkan. “Mereka harus bisa menerjemahkan gagasannya menjadi realita yang dipahami dan dipercaya oleh rakyat.”

Kaum muda yang bergairah ini sesungguhnya merupakan harapan baru. Kampanye dalam tataran gagasan, pemikiran idealis ini patut diuji konsistensinya, agar rakyat tak selalu menjadi batu pijakan untuk meraih tempat nyaman sebagai pemimpin yang kemudian lupa pada janji dan tanggungjawabnya.

(Kurnia Effendi)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home