Tuesday, September 23, 2008

100 Tahun Salim

Perjalanan Pelukis Indonesia di Paris

 

Apakah Salim seorang pelukis Indonesia? Dengan yakin dapat dijawab: ya! Jawaban itu boleh disebabkan oleh tempat kelahirannya. Tanggal 3 September 1908, Salim dilahirkan oleh orang tua asli Indonesia di dekat kota Medan. Fakta lain yang mendukung keindonesiaannya adalah ia beberapa kali pulang ke tanah air. Hal paling penting, pada 1931, ia bersama Mohammad Hatta bergabung dalam Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Sebelumnya, Salim bertemu dengan Bung Hatta dan Bung Syahrir di Amsterdam (1929), yang membangkitkan semangatnya untuk perjuangan Indonesia.

Cukupkah itu sebagai penanda keindonesiaan Salim? Meski dengan pernyataan heroik yang (mungkin) ditulis oleh Magdalena dalam sebuah album di sudut pameran lukisan 100 Tahun Salim di Galeri Nasional Jakarta:

Warga Negara Indonesia yang berjuang sendirian… di pusat seni lukis dunia,

Paris, walaupun tak pernah pulang ke tanah air namun tetap Indonesia

Sejumlah sahabat, termasuk dosen sastra semacam Toety Heraty dan Ajip Rosidi, yakin benar, bahwa Salim sangat Indonesia. Dan di bawah ini adalah petikan surat ringkas Affandi (pelukis maestro Indonesia) kepada Yasir, sahabatnya:

Apa yang akan saya tulis ini kepada Sdr Yasir ialah pengalaman saya di Aris

 tahun 1950. ini adalah pertama kali saya menginjak Paris. Langsung saya

 kepingin sekali ketemu Sdr. Salim pelukisa Indonesia yang ada di Paris dan

 belum pernah pulang ke Indonesia. Begitu saya ketemu saya kaget luar dugaan

 dan merasa bahagia. Apa sebab? Saya kira tadinya, Sdr Salim dalam seninya

(beraliran)  Barat. Betul-betul tidak. Dia tetap timur Indonesia. Dalam garis-

garisnya saya  lihat inti-inti batik, yang zoodanis verwerk menjadi khas

pribadinya. Linier sekali  drawingnya. Inilah pendapat saya, Affandi, 1983

            Surat di atas melegitimasi bahwa Salim adalah pelukis Indonesia. Karya-karyanya tetap bernapaskan Indonesia, meskipun obyeknya (tentu saja) banyak mengambil lanskap di wilayah Eropa. Terutama Paris. Ada beberapa mengambil lokasi Belgia, Spanyol (Catalugna/Catalonia).

            Salim ikut ke Eropa bersama orang tua asuhnya yang berkebangsaan Jerman pada usia 12 tahun, setelah ayahnya meninggal. Itulah awal mula hidupnya di luar tanah air. Ia sekolah di sana, ketika Indonesia sedang gemuruh menyiapkan putra-putra muda untuk melahirkan sebuah republik. Namun di usia 20 tahun ia ingin mandiri dan memutuskan garis hidupnya sendiri untuk menjadi pelukis. Jalan itu yang kemudian ditempuhnya.

            Salim muda menggelandang di Paris, kota pusat seni budaya dunia masa itu. Ia berulang kali belajar kepada para pelukis melalui sejumlah atelier (studio kerja), sampai akhirnya di tahun 1929 magang di Academie Fernand Leger sebagai pembantu umum tanpa dibayar. Fernand Leger adalah seorang pelukis Prancis yang cuku tersohor saat itu. Kesempatan belajar bagi Salim sangat terbuka, meskipun secara pribadi Salim tidak menyukai aliran lukisan Leger. Oleh karenanya, gaya lukisan Salim sama sekali tak terpengaruh “guru”-nya. Di tempat itu ia mengenal teknik melukis dan pelbagai macam kecenderungan seni lukis dapat terakses untuk mengisi batin dan pikirannya.

            Kehidupan Paris memperkenalkan kepadanya tradisi minum kopi di kedai-kedai tepi jalan. Dari sana pula kemudian Salim mengenal sastra, melalui seorang teman berkebangsaan Belanda. Untuk perkara sastra, Ajip Rosidi menilai positif. Menurutnya, Salim adalah pembaca sastra serius. Demikianlah, Salim hidup dalam kekayaan rasa seni, rupa dan sastra. Ia mulai mempelajari karya dan teknik para pelukis hebat yang hidup dan berkembang di Eropa. Di antaranya Picasso dan Monet.

            Seperti dikatakan oleh Toety Heraty, sahabatnya, tahun 2008 memang seabad para pembuat sejarah. Selain Kebangkitan Nasional, ada dua tokoh lain di luar Salim. Mereka adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan Affandi. Seabad terbitnya pencerahan, pemikiran baru, dan ikon yang seharusnya menjadi pemicu semangat untuk membangun kembali Indonesia dari kerapuhan sendi-sendi kebangsaan oleh krisis segala bidang, terutama moral.

            Salim memang dianggap “tak pernah pulang” ke Indonesia. Ketika Hatta dan Syahrir diasingkan ke Boven Digoel oleh Hindia Belanda, Salim justru kembali ke Eropa dan meneruskan cita-citanya menjadi pelukis. Ia berpendapat, lebih baik mati kelaparan di kota pusat seni dunia ketimbang tertekan hidup dalam negeri jajahan. Sempat tujuh tahun hidup di Belanda dengan jaminan, namun setelah Indonesia merdeka, Salim kembali ke Paris. Trisno Soemardjo, sastrawan dan pelukis, menganggap istilah ‘nasional’ terlalu banyak memperoleh bunyi politis. Jadi nasionalisme Salim perlu pula dikaji dari latar belakang kerohaniannya.

            Perjalanan Salim sangat panjang. Di negeri orang ia bekerja pada studio desain tekstil, desain grafis, sampai akhirnya menjadi pelukis berkelas internasional yang dikagumi. Pameran tunggalnya yang pertama berlangsung di Sete, kota di Prancis Selatan (1948). Lalu berturut-turut di Amsterdam (1949), Paris (1951), dan Jakarta (1951). Pada tahun 1956, Salim berpameran tunggal di Geneva, Jakarta, dan Bandung. Di Bandung itulah Salim bertemu dengan generasi muda Seni Rupa ITB, seperti AD Pirous dan But Mochtar. Ia didaulat untuk memberikan ceramah di sana.

            Menurut catatan AD Pirous, diskusinya yang bersejarah di Galeri Soemardja dihadiri juga oleh Ries Mulder. Di tengah pergunjingan tentang mazhab Bandung yang kebarat-baratan, ajakan Salim untuk menghangatkan isi pada karya lukis Indonesia sangat menggugah. Jangan tenggelam pada pengunggulan teknik saja, katanya. Walaupun Salim bermukim di Paris, ia mencipta dengan nalar yang lebih terbuka.

            Salim menawarkan penyederhanaan bentuk dengan garis-garis liris dan puitis. Mencipta ruan-ruang arsitektural. Menyemburatkan perasaan damai, suara batin yang senilai dengan napas religius, pada lukisan gereja maupun masjid. Itulah pandangan Pirous tentang lukisan Salim.

Pelukis Salim melanjutkan pameran tunggalnya ke beberapa negara, seperti Belgia dan Jepang. Sebelum pameran peringatan 100 tahun ini, Salim menggelar lukisannya di Galeri Cemara Jakarta, dibuka oleh Ajip Rosidi (2005). Pamerannya kali ini menyertakan sejumlah pelukis muda yang mengapresiasi dan berpendapat tentang Salim dalam berbagai ekspresi ungkapan rupa. “Siapa Salim” itulah tajuk untuk memberi ruang kaum muda. Mereka antara lain: Eddie Harra, Syahrizal Pahlevi, Bibiana Lee, Indra Gunadharma, Helmut Huang, Nurhidayat, dll.

Salim yang tampan dan gagah dan tetap eksis sebagai maestro pelukis Indonesia berkelas dunia tak dapat diabaikan dalam perjalanan seni lukis Indonesia.

(Kurnia Effendi)

  

 

           

 

 

 

5 Comments:

Anonymous Anonymous said...

om kurnia, saya bunga anaknya adek alwi
tidak sengaja saya nemu blog om kurnia
i just wanna say hi
dan mengucapkan minal aidin wal faidzin
om, aku punya komunitas sastra dikampus...kapankapan kita ketemu untuk diskusi bisa nggak om?
aku tunggu kabarnya
ohyah aku juga punya blog, mohon saran dan kritiknya yah om
blogku: http//legendabuana.wordpress.com/
terima kasih om kurnia

1:50 PM  
Blogger raybanoutlet001 said...

oakley sunglasses
michael kors outlet online
nike air max 90
supra sneakers
oakley sunglasses
oakley sunglasses
reebok shoes
ugg boots
ugg boots
louboutin shoes

3:32 PM  
Blogger Unknown said...

canada goose outlet
christian louboutin
vans outlet
montre pas cher
mizuno running shoes
rayban
adidas clothing
air max
canada goose uk
nike shoes
2018.2.7chenlixiang

2:45 PM  
Blogger Unknown said...

www0702

air max 95
yeezy boost
malone souliers
heat jerseys
baltimore ravens jerseys
tory burch outlet
canada goose jackets
swarovski outlet
mavericks jerseys
polo outlet










9:48 AM  
Blogger 5689 said...

zzzzz2018.8.29
nike air jordan
michael kors handbags
nike shoes for men
moncler jackets
coach outlet
moncler outlet
uggs outlet
pandora outlet
coach outlet online
oakley sunglasses wholesale

1:12 PM  

Post a Comment

<< Home