Tuesday, September 09, 2008

Ayu Utami, Si Pemanjat Tebing

Pertama kali mendengarBilangan Fu”, yang terpikir adalah sebuah ilmu matematika dengan spirit filsafat Cina. Sudah jauh hari kabar tentang novel yang bercerita tentang pemanjat tebing itu beredar, bahwa Ayu Utami, sang pengarang, akan menerbitkannya tahun ini juga. Kerja keras itu terbukti, 20 Juli lalu novel setebal 536 halaman itu diluncurkan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Petilan kisahnya, 3 babak, dibacakan dengan bagus oleh Landung Simatupang.

            Sekitar tujuh tahun Ayu Utami, sejak novel Larung diterbitkan tahun 2001, seolah berhenti berkarya. Ternyata, di balik jeda panjang itu dia menyiapkan sebuah novel bertendens (ia menyebutnya demikian) yang mengusung semacam otokritik terhadap militerisme, monoteisme, dan modernisme. Cerita dengan tiga tokoh sentral yang menjalin cinta segitiga (Parang Jati, Yudha, dan Marja) itu mengandung unsur politik era Soeharto.

            Ini memang novel bertendens. Yang kutawarkan: spritualisme kritis,” ujar Ayu. Dalam pengakuannya, ia merasa lebih puas dengan Bilangan Fu dibanding Saman (1998) maupun Larung. Ceritanya lebih padat, sederhana namun sarat muatan. Ketekunan Ayu dalam menghimpun kliping dari segala sumber memang patut dihargai. Mengingatkan pada novel Seno Gumira Ajidarma, Jazz, Parfum, dan Insiden, yang mengangkat tragedi Timor Timur, bedanya yang terakhir dilampiri dengan teks-teks dokumentasi asli dalam bahasa Inggris.

            Mana lebih dulu, antara gagasan menulis novel dan olah raga panjat tebing? Aku giat panjat tebing untuk menulis novel. Semula novel itu kuberi judul Jalur 13.”

Tampaknya Ayu selalu serius dalam menggarap sesuatu, boleh dikatakan tidak tanggung-tanggung. Mungkin kita ingat, ketika menulis Saman, untuk menjiwai salah satu tokoh yang pandai menari, Ayu pun belajar menari pada Him Damsyik.

Untuk keseriusannya, pantas jika ia mendapat beberapa penghargaan, terutama untuk novel Saman, yang sejak kelahirannya dinobatkan sebagai karya terbaik sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 1997. Dicetak ulang 27 kali, bahkan tahun ini diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Prince Klaus Award diterimanya tahun 2000, karena karyanya dianggap memperluas cakrawala sastra Indonesia. Dan tahun ini penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) direngkuhnya pula.

            Ayu Utami yang lahir di Bogor 21 November 1968,  kini menjadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Karier kepengarangannya yang cemerlang membuat dia dipercaya mendampingi Sapardi Djoko Damono untuk menjadi juri cerpen Kompas pilihan tahun 2007 (terbit 2008) dan ditunjuk sebagai ketua juri lomba cerpen dan cerber Femina tahun ini.

Baiklah, sekarang Bilangan Fu telah terbit dan beredar. Tampaknya laris manis. Dan mungkin sudah siap berkompetisi dengan buku prosa sastra yang lain dalam ajang Khatulistiwa Literary Award (KLA) sebuah anugerah sastra tahunan yang cukup bergengsi meskipun dianggap controversial. Pertanyaannya adalah: apakah Ayu masih suka melakukan oleh raga panjat tebing? Di mana tempat favorit untuk memanjat tebing?

“Aku punya papan panjat setinggi 10 m di rumah. Untuk sekadar latihan.” Jawabnya mantap. (Kurnia Effendi)