Tuesday, September 16, 2008

The Enterprise, Tempat Melahirkan Gagasan

Untuk mendapatkan ide hebat, baik seorang awam maupun pekerja seni, bisa di mana saja. Bedanya, barangkali, seorang awam akan berusaha lebih gigih untuk memperoleh inspirasi. Ia akan berpikir keras, mengumpulkan seluruh referensi yang pernah diserap, kemudian melahirkannya kembali dalam bentuk yang berbeda. Sementara bagi pemilik talenta seni, seolah-olah ilham datang sendiri. Kepekaan daya tangkapnya lebih tinggi lantaran ada proses latihan yang setengah disadari telah menabung insprasi dari hari ke hari. Ada kuntinuitas yang berjalan seiring bakat dan minat.

Bagaimana dengan Yori Antar? Ia seorang arsitek, seperti banyak arsitek lain di Indonesia dan dunia, bekerja memadukan antara seni dan teknik. Pendidikannya mengajarkan tentang konstruksi, perhitungan, gaya, fisika, pengetahuan bahan (materi), yang hampir semua bersifat teknikal. Perancangan dengan rumus angka-angka dan fakta kekuatan jenis material, sifat-sifat bahan, yang digabung menjadi semacam rekacipta. Seorang arsitek belajar memahami konsep ruang (skala, dimensi, batas, bentuk) untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologi sekelompok manusia.

Dalam sebuah gerakan yang mengakhiri masa-masa klasik (barok, art deco, art neuvo, dsb), muncul era modern yang salah satu penggiatnya adalah Charles Jenks. Pada masa itu, akhir abad 20, dikenal desain dengan “bentuk mengikuti fungsi”. Ini semacam desain terapan yang menghamba kepada kebutuhan operasional manusia, baik untuk individu maupun keperluan kolektif.

Bentuk yang mengikuti fungsi akan sangat efisien. Semua desain didasari konsep yang sederhana, karena bertumpu pada ergonomikal tubuh manusia. Kursi berfungsi untuk duduk. Dari kegiatan duduk itu terukurlah dimensi yang paling membuat seseorang nyaman. Ukuran umum panjang tungkai, lipatan lutut, lebar pantat, posisi punggung, dan fleksibilitas yang memadai untuk semua gerakan orang duduk. Standar itu diaplikasikan dengan bahan tertentu, kaku atau elastis, dengan derajat kemiringan tertentu, selesai sudah. Hasilnya adalah sebuah desain “tidak kurang tidak lebih” dengan tujuan nyaman digunakan. Bentuknya akan menyesuaikan fungsinya.

Untuk konsep yang lebih meruang, sedikit lebih unik dan kadang-kadang justru melahirkan bentuk desain yang menakjubkan. Dinding yang berfungsi ganda, tangga yang multiguna (misalnya ruang di bawah tangga dapat dimanfaatkan untuk lemari). Sudut yang terbentuk oleh fungsi ruang di sebaliknya, dan seterusnya.

Perkembangan dari era modern adalah post modern (pasca modern), ketika semua elemen diacak. Dalam penggunaan bahan tidak lagi tabu mencampur antara yang kaku dan lembut, yang klasik dan yang baru, atau dengan sengaja menabrak sistem, sehingga logam dan keramik dapat bertukar fungsi. Post modern tak hanya melanda dunia arsitektur, karena pada dasarnya gerakan seni selalu meliputi semua cecabangnya: grafis, fashion, musik, patung, dan audio-visual. Seni instalasi adalah salah satu anak kandung dari post modern, seperti halnya puisi bebas yang menghalalkan bentuk di luar aksara.

Kini lahir aliran minimalis, sebagai jawaban dari kebosanan manusia (terutama para kreator) terhadap hal-hal yang serba memuja. Pemujaan terhadap bentuk dan warna, juga terhadap asas awal tentang “bentuk mengikuti fungsi”. Minimalis, dari maknanya sudah menjurus pada simplisiti: penyederhanaan bentuk. Oleh karena bentuk sangat sederhana (misalnya meja hanya berupa kubus yang terbuat dari kayu atau logam berongga), kepiawaian seorang pekerja finishing menjadi taruhan. Sebuah meja yang tidak “neko-neko” akan sangat biasa terletak dalam sebuah ruang, sehingga perlu ada tambahan nilai. Martabat itu terletak pada proses kerja yang baik dan akurat, sehingga sambungan yang sudah sangat gampang akan tabu bila tampak tak rapi. Biasanya akan diakhiri dengan polesan natural yang memperlihatkan karakter bahan. Apabila terbuat dari kayu, serat-serat itu akan dibiarkan hadir dipandang mata. Jika meja itu terbuat dari serat gelas, maka cat yang menjadi selaput terakhir harus luar biasa halus. Kemahiran ini, pada akhirnya menjadi tanggung jawab seorang ahli kriya dalam workshop.

Pada tanggal 10 Agustus 2008, Yori Antar membuka kantor barunya di bilangan Puri Bintaro, Sektor 9. Tepatnya di Jalan Palem Puri. Menempati areal yang tak sampai satu hektar, tanah berkontur naik-turun itu diolah menjadi sebuah bangunan yang estetik sekaligus memenuhi semua fungsi yang dibutuhkan.

Dalam presentasinya, Yori mengatakan bahwa The Enterprise dibangun untuk memberikan daya gugah bagi yang bekerja di dalamnya demi mendapat inspirasi. “Ini tempat untuk melahirkan gagasan.”. Bangunan yang memadukan antara teknologi dan unsur alam (air, udara, tanah, dan tumbuhan), mengharmonikan bentuk-bentuk geometris dasar (segi empat, segi tiga, lingkaran) itu, dibuat selama 15 bulan, sejak Januari 2007.

Sang kontraktor, Johanes Triprihandoko, sebagai owner “Hanny dan Rekan” telah mewujudkan impian Yori Antar dengan hasil presisi sekaligus bagus.  “Semua garis, bentuk, pertemuan sudut harus memilik alasan desain yang bertanggung jawab,” ujarnya. Ia mengaku bangga dapat menyelesaikan proyek obsesi Yori Antar itu. “Tingkat kesulitannya luar biasa. Kami diskusi sangat intens dan selalu ada pengembangan di lapangan.” Hanny, panggilan akrabnya, terlibat dalam proyek ini sejak pembelian tanah, pengurusan IMB, sampai membangun lengkap dengan interior dan furniturnya.

”The Enterprise ini adalah kantor arsitek Han Awal dan Rekan,” kata Yori Antar. Ia memang mempersembahkan karyanya ini untuk sang ayah, Han Awal, arsitek tersohor tahun 60-an, pencipta bangunan Universitas Atmajaya. Dalam gubahan massa The Enterprise, terhimpun studio gambar (ruang kerja yang inspiratif), galeri, perpustakaan, ruang alat, gezebo untuk rehat kreatif, taman atap, kolam renang, foyer, kolam ikan, ruang presentasi, ruang temu klien, ruang makan, dapur terbuka. Dan tentu saja ruang kerja Han Awal dan Yori Antar yang dari jendelanya dapat memandang hampir seluruh wajah bangunan yang berbentuk U.

Bicara tentang Yori Antar sebenarnya membincang tentang reputasi. Arsitek muda alumnus Universitas Indonesia angkatan 82 itu telah banyak memberi sumbangan pemikiran dan konsep bagi banyak pengembangan hunian dan kawasan yang semula terlantar. Beberapa proyek yang telah digarap di antaranya merupakan hasil sayembara. Misalnya Kota Bawah di Manado, Monumen Maluku untuk simbol perdamaian, Rumah Kupang (pelestarian budaya), dan sejumlah bangunan yang berkarakter.

The Enterprise, sebagai tempat untuk melahirkan gagasan, memang tak membosankan untuk dipandang. Bagi yang bekerja di sana, barangkali benar-benar tak akan kehabisan inspirasi. Materi desain yang berasal dari pelbagai sumber: Bali, Yogya, Bandung, dan Kalimantan, tentu merupakan perpaduan yang akan membawa aura positif. Sesuai yang dikatakan oleh Hanny, semua dibikin dan diwujudkan untuk sebuah alasan kenyamanan dan ikon arsitektural yang ramah lingkungan.

(Kurnia Effendi)