Wednesday, September 10, 2008

Momotaro, Pesona Teater Gamelan Jawa-Jepang

GAMELAN sebagai produk kebudayaan Jawa, telah memikat seorang profesor dari Jepang bernama Shin Nakagawa. Ia mempelajari keunikan gamelan dari Jawa, tepatnya Yogyakarta, sekitar 30 tahun yang lalu. Setelah kembali ke Jepang, Shin Nakagawa mendirikan grup gamelan di Osaka dengan nama Marga Sari; sebuah nama yang khas Jawa, jauh dari idiom Jepang.

Grup Marga Sari itulah yang menggelar pertunjukan Teater Gamelan pertama kalinya dalam lakon Momotaro “The Peach Boy” di Bentara Budaya Jakarta pada Sabtu malam, 23 Agustus 2008. Pertunjukan ini akan berangkai ke Taman Budaya Yogyakarta (26 Agustus 2008) dan berakhir di Gedung Cak Durasim Surabaya (29 Agustus 2008).

Sebenarnya, di tangan Shin Nakagawa, gamelan tidak semata muncul sebagai alat musik klasik yang mengusung keagungan budaya (yang bermuasal dari kalangan keraton Jawa). Shin meminta komponis musik kontemporer agar menggubah karya-karya gamelan yang baru. Selain itu ia juga melakukan eksperimen dengan idiom musik Barat digabung dengan materi kebudayaan Jepang.

Anggota grup Marga Sari merupakan seniman-seniman yang menguasai beberapa bidang sekaligus. Spirit seperti ini memang berakar pada kecenderungan para pemusik Jawa Klasik yang umumnya juga pandai bernyanyi dan menari sekaligus. Shin mengeksplorasi kemampuan para anggotanya untuk mendukung karya adaptasi dongeng kuno Jepang Momotaro dengan gaya kontemporer teater.

Shin bekerjasama dengan komponis Makoto Nomura. Berbeda dengan proses penciptaan musik klasik Barat yang patuh menggunakan notasi, Shin justru meminta Nomura untuk tidak mengandalkan notasi, karena musik gamelan bersifat lisan, dan sebuah komposisi disosialisasikan melalui telinga. Kekuatan perasaan untuk mendengar ini rupanya yang membedakan antara Marga Sari dengan cerita bermusik seperti yang pernah dipertunjukkan oleh kelompok dari Belanda (pagelaran “Nightingale”) yang ketat dengan partitur.

Dalam merepresentasikan dongeng Momotaro, Shin juga memasukkan ide-ide budaya Jepang dari khazanah ritual yang berbeda. Upacara tanam padi pun dimasukkan ke dalam pagelaran itu. Kenyataannya, Teater Gamelan Momotaro  yang berlangsung sepanjang lebih dari dua jam dengan 5 adegan, merupakan pertunjukancampursari” yang memadukan antara musik klasik, dongeng kuno, tari modern, dan dialog masa kini. Di dalamnya juga ada unsur filsafat, teknologi, tradisi, fashion, dengan isu yang cukup mutakhir.

Mengambil gaya Mataraman yang mengemas hubungan interaksi antara pemain dengan penonton (kerap dilakukan oleh Dagelan Mataram dan Srimulat), pertunjukan Marga Sari menjadi hidup. Humornya tercipta lantaran perbedaan bahasa (dari cara pengucapan lafal Indonesia saja sudah memancing tawa), cuplikan ide absurditas tentang baling-baling bambu (Doraemon), dan cara aksi yang menggunakan unsur gerakan pantomim. Dari awal, Shin Nakagawa menyampaikan sinopsis cerita di atas panggung, sebagian adegan akan menampilkan benda-benda simbolik yang hanya dapat dibayangkan. Dalam hal ini, misalnya handphone, baling-baling bambu, ranting-ranting, dan makanan kibidango.

MENURUT pengakuan Shin Makagawa, sang sutradara, Momotaro disiapkan selama lima tahun. Waktu yang tidak ringkas. Selama itu dia berupaya mengadaptasi dongeng klasik Momotaro ke dalam skenario yang memiliki akhir kisah berbeda. Musik dengan piranti gamelan dieksplorasi sedemikian rupa, sehingga muncul aneka jenis suara dan ritme. Gendang berfungsi juga sebagai drum (seperti dalam band) ketika menyajikan interlude berupa musik rock, dengan penyanyi yang dirias bergaya funky. Para penabuh gamelan yang juga merangkap pemain teater, kadang-kadang menggunakan mulutnya untuk memberikan efek yang berbeda. Bunyi-bunyian yang lazim didengar malam hari, suara angin, gesekan rebab mungil yang menyayat, keloneng lonceng.

Dalam kisah sebenarnya (sekitar abad 18), Momotaro dilahirkan dari buah labu yang hanyut di sungai dan dibawa pulang oleh seorang nenek miskin. Ketika Momotaro menjadi seorang pemuda perkasa, ia berniat berkelana ke Onigashima untuk mencari pusaka. Onogashima merupakan pulau tempat berdiam para raksasa. Dalam perjalanan, Momotaro bertemu dengan anjing, monyet, dan burung kiji. Dalam adaptasi, Shin mengubah ketiga binatang itu menjadi manusia dengan karakter yang berbeda. Satu di antaranya perempuan erotis yang dimainkan oleh laki-laki.

Sangat menarik adegan riuh-rendah itu, karena si seksi kerap kali berlari ke arah penonton. Adegan tampak kacau lantaran setiap pemeran melakukan aksi masing-masing, bahkan melibatkan para penabuh gamelan. Panggung bagi teater Marga Sari tidak sebatas arena berukuran 6 x 12 meter, tetapi meluas sampai ke luar panggung. Gamelan bagi teater Marga Sari tidak sebatas menciptakan harmoni klangenan untuk mengiringi tari klasik, melainkan menjadi medium ekspresi adegan perang. 

Salah satu gubahan Makoto Nomura untuk pertunjukan Marga Sari adalah ”Jogetlah! Beethoven”. Hasil produksi kolaboratif adegan pertama dimulai dari Mei 2001 sampai September 2001. Mereka menggarap teater musikal itu dengan cara ”Komposisi Shogi”, mengambil spirit permainan catur Jepang.

Setidaknya musik gamelan dalam sejarah kontemporer telah menginspirasi Jepang, serupa dengan keheranan kita ketika peminat karawitan justru mendalami ilmunya di Den Haag Belanda. Sudah seharusnya regenerasi ahli waris kesenian Jawa tak boleh putus. Ketika Barat berpaling untuk mencintai kebudayaan klasik di wilayah Timur, generasi muda kita jutsru tergila-gila dengan modernitas yang secara karakter kurang adiluhung.

Pementasan Teater Gamelan Marga Sari Osaka di Bentara Budaya, menurut Efix Mulyadi, terjadi karena upaya ”mak comblang” Amna Sardono (istri Rektor IKJ, Sardono W. Kusumo). Bentara Budaya menyiapkan tempat dan sarana panggung. Biaya produksi ditanggung oleh Japan Foundation, Asahi Beer Art Foundation, Garuda Indonesia, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan beberapa lembaga lain termasuk Konsulat Jenderal RI di Osaka.

Pertunjukan yang dihadiri oleh hampir 200 orang di halaman BBJ, sungguh memperkaya khazanah budaya kolaborasi kedua negara. Dengan kostum yang mendukung adegan, mereka tampak sungguh serius. Pagelaran itu cukup komunikatif dan menunjukkan penghargaan bagi masing-masing budaya klasik dengan cara adaptasi secara segar tanpa mengurangi citra tradisionalnya.

(Kurnia Effendi)

 

4 Comments:

Anonymous Anonymous said...

maaf Pak, yang jadi burung kiji bukan laki2, tapi asli perempuan. dia menjadi salah satu petani perempuan sewaktu upacara tanam padi. d jarinya ada kutek kuning

7:28 PM  
Blogger Kurnia Effendi said...

o iya? Wah kalau gitu aku terkecoh dua kali. Berulang kali terangsang melihatnya menari erotis bahkan sambil menyingkap roknya sehingga tampak seluruh underwear. Lalu kutepis pikiran sensual dengan kecurigaan itu lelaki...

11:18 PM  
Anonymous Anonymous said...

msa Kurnia Effendi,
kami dari skAnA newsletter teater Yogyakarta, kebetulan foto di blog anda kami unduh untuk dimuat di dalam newsletter kami. Untuk perijinan dan administrasi, kami bisa menghubungi mas Kurnia dimana yah?
thanks.

muhammad ab
skAnA newsletter teater

2:19 PM  
Blogger 5689 said...

zzzzz2018.8.29
nike air jordan
michael kors handbags
nike shoes for men
moncler jackets
coach outlet
moncler outlet
uggs outlet
pandora outlet
coach outlet online
oakley sunglasses wholesale

1:12 PM  

Post a Comment

<< Home