Sebuah kesalahan saya lakukan ketika hendak melakukan penerbangan pagi. Malam sebelumnya, kecuali pulang kantor terlambat karena menyiapkan dokumen yang wajib saya bawa dalam dinas ke luar kota, saya masih harus bertemu dengan seorang dokter cantik yang dicalonkan sebagai anggota legislatif mendatang: dr. Nova Riyanti Yusuf. Agenda itu tak dapat mundur lagi karena masing-masing akan sibuk di hari berikutnya.
Begitulah, setelah saya berpisah dengan Noriyu (panggilan karib Nova Riyanti Yusuf), saya teringat bahwa flashdisc yang menampung bahan presentasi saya di Semarang esok pagi masih tertinggal di CPU komputer kantor. Alamak! Padahal saya janji akan membagi informasi kepada atasan malam itu juga melalui e-mail pribadi dari rumah. Rasanya bertubi-tubi rintangan itu menghadang. Belum lagi perihal fisik yang mesti diupayakan tetap bugar dalam beberapa hari ke depan.
Untunglah, seperti ’kebetulan’ di sebuah film, ketika saya singgah kembali ke kantor dalam perjalanan pulang dari Pacific Place ke Jakarta Timur, masih ada petugas kebersihan sedang menyapu ruangan. Alhamdulillah. Flashdisc saya cabut. Namun setelah di rumah, saat menunggu hubungan dengan telkomnet, saya tertidur begitu saja di kursi. Rencana mengirim surel kepada atasan tentu tidak terealisasi. Apa yang terjadi?
Saya dibangunkan oleh putri saya pukul 5 lewat 5. Begitu membuka mata, mendapati lap top masih menyala, dan saya mengalami sakit leher karena posisi lelap tanpa aturan ergonomis. Astaga! Pesawat saya pukul enam! Dari Pondok Bambu ke Cengkareng...apa kabar?
Jangan bilang siapa-siapa, saya pagi itu hanya berwudu dan salat Subuh. Saya minta tolong anak saya untuk membereskan lap top, setelah flashdisc saya cabut serampangan. Packing yang saya lakukan beberapa hari sebelumnya—kebiasaan dari dulu—sangat menolong. Hanya memeriksa tiket Garuda Indonesia di laci kopor lalu siap berangkat.
Saya berpikir cepat. Apakah masih akan melaksanakan plan A: naik mobil pribadi dan diparkir di bandara selama tiga hari? (Itu sebabnya saya tidak memesan taksi yang biasanya akan siap di depan pagar sekitar pukul 4). Nah, urusan parkir mobil akan makan waktu berapa lama? Membujuk istri untuk mengantarkan ke bandara bukan tidak berhasil, tetapi ia dipastikan tak familiar jalan pulang, sekaligus kedua anak kami akan sedikit terlantar ke sekolah karena harus naik angkutan kota.
Nyaris putus asa, saya minta istri mengantar ke luar kompleks saja sampai menemukan taksi yang melintas di jalan raya. Apa pun yang terjadi, waktu yang tinggal 45 menit harus saya gunakan habis-habisan. Saya sudah mengantisipasi apabila harus menggunakan penerbangan berikutnya, entah jam berapa. Tetapi sama artinya dengan perjalanan yang nyaris sia-sia karena regional meeting dealer mobil Suzuki Jawa Tengah, di Semarang itu, akan dimulai sejak pagi.
Begitu lepas dari gapura kompleks, sebuah taksi nyelonong. Saya mengejarnya dan memberi isyarat untuk berhenti. Saya turun dari mobil dan masuk ke kabin taksi sambil mengatakan: ”Pak, ke bandara. Pesawat saya jam 6, Garuda. Sekarang jam 5:20, bisa ngejar nggak?”
”Mudah-mudahan, Pak.” jawabnya perlahan. Terdengar tak pasti, tapi ia tidak membuang waktu lagi. Taksi yang dikemudikannya meluncur di Jl. Pahlawan Revolusi dan masuk ke Casablanca.
Dengan menekan rasa panik, saya menelepon Pak Hady Halim, atasan yang akan terbang bersama saya. ”Pak, posisi di mana?”
”Saya di kantin yang paling mudah dilihat setelah check in. Lurus saja,” jawabnya.
“Oh, maaf. Saya masih di jalan. Baru saja masuk tol.” Ah, belum apa-apa saya mulai berdusta.
”Sekarang jam....” Suaranya menggantung. ”Tol mana?”
”Cawang,” sahut saya mantap. Dusta harus diteruskan.
”Dua puluh menit mungkin sampai, ya?” Ia mengira-ngira. Saya menduga ia sedang membayangkan jalan di Wonosobo pukul dua pagi. Uhuk!
”Kalau begitu, boleh minta tolong? Apakah saya bisa check in lebih dulu? Tapi tiket ada di tangan saya.”
Selama perbincangan agak bodoh itu, sopir taksi tetap melakukan tugasnya dengan gesit. Entah mengapa, jalanan tidak sepadat pagi yang lain. Akhirnya memang kami masuk tol dari Bypass, menuju arah Ancol. Jarak akan lebih panjang dibanding melalui Gatot Subroto, tetapi menurut pengalaman dapat ditempuh lebih lekas. Saya membayangkan, seandainya sang pengemudi adalah pemeran film Taxi yang ugal-ugalan namun tangkas, mungkin jantung saya sudah tiba di leher sejak mula ia menginjak gas.
Saat taksi yang saya tumpangi melewati Pluit dan meluncur deras ke arah Kapuk Kamal, atasan saya menelepon. ”Check in sudah beres, nanti langsung saja ke ruang tunggu.”
Alhamdulillah. ”Terima kasih. Sebentar lagi saya masuk tol bandara.”
Betul, tempat duduk di pesawat sudah beres. Tetapi saya masih duduk di taksi. Saya akan berlari-larian sepanjang koridor. Ya, Tuhan, semoga jalur melewati dua pemeriksaan bagasi tidak mengalami traffic jam.
Saya merasa perlu berbagi beban. Melalui handphone, saya mengirim pesan ringkas kepada sejumlah teman. ”Pesawat saya jam 6, saya bangun jam 5 lebih 5. Doakan bisa sampai Semarang.”
Ringkas cerita, saya sampai di bandara, menarik kopor sambil meredakan degup jantung. Ternyata, sistem serba-easy yang terangkai dimulai dari e-booking, e-payment, e-ticket, e-check in betul-betul menjawab kebutuhan pelanggan saat ini. Setelah tenang, baru saya ingat pengalaman sebelumnya. Waktu saya menjadi pembicara untuk program Unesco di Banda Aceh, kepada petugas check in, saya hanya menunjukkan selembar print out ’surat’ yang saya terima melalui e-mail. Nama saya sudah tercantum, fixed, sebagai calon penumpang. Tak ada perdebatan. Semua berjalan mulus dengan senyum, sembari membayar airport tax. Ya, begitu mudah dan simple
Setiba di Semarang, pukul tujuh, saat sudah naik mobil jemputan, barulah saya merasa sungguh-sungguh bangun dari mimpi buruk pagi buta. Ada isyarat telepon masuk setelah sepanjang penerbangan saya matikan. Pradita Gifani, teman sejawat, berseru heboh: ”Jadi sekarang masih di mana?”
”Ajaib! Saya sekarang sedang makan Soto Ijo. Di Semarang!”
Rasanya, pagi itu, saya telah melakukan hot pursuit, untuk sebuah kredibilitas karyawan yang sedang menjalankan tugas. Sebab direktur marketing dan sejumlah kepala cabang hadir dalam rapat wilayah itu. Saya tak akan lupa kepada atasan yang berpikir positif, meskipun ia mengaku tahu, bahwa saya lalai. Baginya, tentu, melakukan check in buat saya, akan menambah deposit bank emosinya.
Saya kira, kejadian itu tak boleh berulang. Tetapi, saya pastikan, bahwa penggunaan e-ticket Garuda telah memudahkan banyak hal. Pelanggan mendapat banyak manfaat karena itu salah satu solusi untuk kondisi lalu lintas kota yang senantiasa mampat. Tiket hanya sebuah penanda bahwa seseorang memiliki bukti legal untuk berhak naik pesawat. Dengan teknologi informasi, semua data melintasi media maya, fisik kita hanya singgah pada titik-titik terminasi yang diperlukan saja. Sebagian kerepotan yang dilenyapkan telah membuat Garuda Indonesia berada paling depan di antara penerbangan domestik lainnya. Sudah seharusnya maskapai yang lain segera mengikuti karena sistem itu bukan sebuah rahasia.
Keberuntungan saya yang lain, mungkin suatu saat akan saya kisahkan, bersumber dari Garuda Frequent Flyer (GFF). Terima kasih, saya telah memilikinya sejak beberapa tahun yang lalu.
Akhirnya, kepada para pelanggan Garuda Indonesia: “Enjoy flight. Selamat terbang dengan nyaman.”
(Kurnia Effendi untuk majalah internal Garuda Indonesia)