Tuesday, November 28, 2006

Selamat Ulang Tahun untuk Bapak Ganda Kusuma, Presiden Direktur Imeco

Bapak Ganda Kusuma,

selamat ulang tahun

 

“Yang fana adalah waktu, dan kita abadi.”

Itu harapan seorang penyair yang mencintai hidup

Harapan saya:

Rahmat Tuhan senantiasa tercurah bagi Bapak,

melalui kesehatan dan kebahagiaan lahir dan batin

 

Semakin bertambah usia, kian terasa,

Bapak menjadi ayah bagi saya dan kami semua

Perhatian yang serupa cahaya, membuat ruang hati kami benderang

 

Ketekunan Bapak dalam mengembangkan usaha

hingga mekar serupa taman bunga untuk kami nikmati bersama,

mustahil bagi saya dan teman-teman untuk membalas budi

kecuali dengan doa yang tulus dan tak ingin putus

 

Genap 70 tahun usia Bapak hari ini

Ibarat batang jati, galih kayu tegak kukuh sebagai panutan

Ibarat karang, keras batu nyaris sempurna sebagai pelindung

Dengan sepasang anak yang sehat dan pintar

Niscaya terbujur rimba subur bagi jati-jati muda perkasa

Niscaya terbentang samudera harapan bagi karang-karang masa depan

 

Bapak Ganda Kusuma,

selamat ulang tahun

 

Irama country  adalah keriangan perasaan

yang memandang hidup selalu penuh harapan.”

Mungkin kearifan tak bisa sekaligus diajarkan:

Di sana ada dispilin, tenggang rasa, berpikir positif, dan cinta lingkungan

Tentu saya ingin meniru sang teladan

Termasuk suatu hari kelak, menabur benih cendawan

 

Akhirnya, segala permohonan kebaikan kepada Tuhan

Ingin dicurahkan bagi Bapak, pada hari bahagia ini.

 

Salam dan hormat

 

 

 

 

 

 

 

 

Friday, November 24, 2006

SEPUR

saat pulang kini telah tiba

kereta pagi berangkat siang hari

satu gerbong seratus penumpang

di sela-sela tumpukan keranjang dan karung-karung

perempuan berteriak ribut

bayi-bayi menangis

huuu, jalan menuju kota, gaduh slalu

 

Ketika Leo Kristi menulis lirik lagu di atas, Di Deretan Rel-rel, yang dirilis tahun 1976 dalam album “Nyanyian Fajar”, saya agak yakin, dia tidak sedang mengkritik siapa pun. Tidak sedang mencemooh jawatan kereta api, Menteri Perhubungan, atau bahkan pemerintah. Ia tentu (hanya) sedang memotret, memandang dan merekam realita, mengemas kesaksian, menjadi sebuah senandung penuh penghayatan. Setidaknya, di sana ada suara peluit masinis, gojes-gojes mesin uap lokomotif yang ditiru oleh mulut Leo secara ekspresif. Di sana hadir suasana yang kita acap tahu, bahkan mengalami.

Kereta api, alias sepur, hampir menjadi bagian dari pengalaman kita semua.

Oleh karena itu, tak seorang pun asing dengan nyanyian masa kecil: Naik kereta api tut-tut-tut, siapa hendak turut? Ke Bandung, Surabaya. Bolehlah naik dengan percuma. Ayo temanku lekas naik. Keretaku tak berhenti lama…

Tapi sekarang ini, mana ada kereta api yang kita tumpangi dengan gratis? Banyak, jawab teman saya. Hah, apakah itu di sebuah taman wisata yang memang menyediakan fasilitas kereta-mini untuk keliling area menikmati tiap sudut tempat? Ternyata bukan. Ini sungguhan. Ada jadwal, strategi, dan tempat, yang akhirnya menjadi rutin dan bagian darilangganan’. Pada jam tertentu, dari stasiun tertentu, di Jabotabek ini, ‘disediakankesempatan untuk membayar separuh tarip kepada kondektur. Dengan kata lain, tidak membeli karcis. Ada juga, pada kesempatan yang lebih tertentu lagi, penumpang akan diantar ke wilayah tempat tinggalnya tanpa membayar, karena memang tidak ada lagi pemeriksaan.

Andai Jawatan Kereta Api senantiasa rugi, percayakah kita? Dengan praktik yang tidak patut itu, tentu saja, apa boleh buat, bisnis kereta api merugi. Terlepas dari kondisi itu, fasilitas apa sebenarnya yang diberikan jasa transportasi orang banyak itu kepada penumpang? Tempat duduk di atap gerbong? (Tentu ini kemauan penumpang, tapi seharusnya dilarang). Sebuah toilet yang layak? (Kadang-kadang menjadi ruang penumpang cadangan, atau tempat ngumpet si penumpang gratis, walau aroma amoniaknya menyengat). Jadwal yang tepat waktu? (Ah, oleh seringnya terlambat, justru aneh jika kereta api tiba persis dengan skedul).

Padahal, dengan rel yang secara spesifik berbeda karakter dibanding jalan raya, kesempatan untuk istimewa tentu lebih banyak. Sebuah bus malam boleh antre karena jalan yang dilaluinya dipenuhi truk-gandeng yang merayap lamban, atau terpaksa berhenti oleh kereta api yang melintas di depannya. Travel sekalipun, bisa kempes ban dan harus menepi ke restoran saat penumpangnya hendak rehat makan, sedangkan kereta api semacam rumah kita sendiri, bisa makan seraya memandang lanskap di luar jendela. Atau datanglah ke gerbong restorasi, dengan meja makan yang nyaman.

Tapi kita perlu transportasi yang murah, ujar sebagian rakyat. Mengapa tidak? Murah bukan berarti terlambat berangkat, atau mendapati lantai yang kumuh. Murah bukan berarti masinisnya lena lalu melanggar rerambu. Murah bukan berartiastagapenumpang naik lewat jendela karena pintu tak lagi dipercaya, terutama di saat mudik Lebaran. Keamanan bagasi kita juga seharusnya menjadi jaminan bagi tenangnya perjalanan. Sementara, pada musim kompetisi sepakbola nasional,  kereta api bergegas cemas oleh perilaku anarkis para bonek. Menunduk pun tak luput dari lemparan batu.

Oh, Indonesia! Mari kita ulang nyanyian Leo Kristi, yang tidak sedang mengkritik siapa pun:

Pagi masih sunyi seperti hatiku

Ketika kududuk di bangku peron

(Kurnia Effendi, untuk Jeda tabloid PARLE edisi 64)

 

 

 

 

 

Tuesday, November 14, 2006

Pahlawan

ORANG-orang itu menunggu pahlawan mereka. Yang biasanya datang dengan menunggang kuda. Berputar-putar sebelum menurunkan pundi-pundi dalam buntalan dari punggung dan pelana kudanya. Membagi keping uang, perhiasan dan harta lainnya untuk rakyat yang tertekan oleh lapar dan rasa takut.

Siapakah dia yang dielu-elukan kaum proletar di sekian abad lampau?

Robin Hood namanya. Lelaki yang rela meninggalkan istana karena melihat kesewenang-wenangan berlangsung di depan mata, justru oleh penguasa pengganti ketika Raja Richard in absentia karena pergi memimpin Perang Salib.

Di benua lain ada pahlawan bertopeng bernama Zorro. Yang digambarkan dalam film tentu sebuah hiperbolisme: pedangnya berkelebat secepat bayangan. Selain itu, sisi romantisme menjadi bagian yang bukan sekadar bumbu, tapi estetika yang mengemuka.

Dan di ranah Batavia, Si Pitung menjadi pahlawan yang dipuja masyarakatnya karena dianggap sebagai pembela si miskin. Bila Robin Hood merampok kaum kaya raya yang menjadi kroni lingkungan istana, barangkali sasaran Si Pitung adalah para antek Belanda yang turut mengisap darah kaum saudaranya.

Jadi, siapakah sebenarnya pahlawan? Apakah mereka yang menolong satu pihak dan merugikan pihak lain? Yang menjadi penderma sekaligus mengambil milik orang tamak? Lalu, antara benar dan salah, dipandang dari sudut yang mana?

Mungkin benar, asal kata pahlawan adalah pahala. Pahlawan pada mulanya menjadi sebutan bagi para pejuang yang mati syahid dalam peperangan membela kebenaran. Dalam kitab suci Al-Quran, jaminan bagi para syuhada (orang yang mati syahid), adalah surga. Artinya, mereka hanya menerima pahala tanpa tertoreh noda dosa, sehingga ada jalan singkat tanpa hisab ke pintu Firdaus. Dengan kata lain, pahlawan adalah orang yang menerima semata-mata pahala atas jasa di sepanjang atau akhir hidupnya.

Perang tentu melibatkan dua pihak yang saling berhadapan. Entah apa pun bentuk yang diperebutkan, sebuah perang meledak di saat kedua belah pihak menginginkan yang satu dan tak mungkin berbagi. Sejarah demi sejarah, selalu menyampaikan hikayat seperti itu, hingga kisah yang terpanjang: kemelut Timur Tengah. Antara Palestina dan Israel, berebut tanah air di Jalur Gaza. Andai pada kedua belah pihak timbul korban tewas akibat perang, siapa yang menjadi pahlawan? Apakah keduanya akan masuk surga, karena sama-sama dianggap mati syahid?

Keluarga yang memiliki ayah atau kakek gugur dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, mencoba setahun sekali duduk tepekur di depan nisan bertanda sepasang senapan. Memanjatkan doa untuk moyangnya. Lebih dari itu, mereka berdoa untuk pahlawan yang pernah berguna bagi sejumlah rakyat atau negara. Ada rasa bangga berdetak dalam dada. Dan kita, semisal keturunannya, berusaha sebaik mungkin menjaga diri agar tak terpeleset pada perilaku yang ‘di luar kepahlawanan’.

Tapi, di negeri Belanda, yang menjajah kita dulu, ada sejumlah pahlawan yang ditanam di pekuburan khusus. Mereka, dalam posisi sebagai penjajah, yang tewas oleh tusukan bambu runcing, juga seorang pahlawan. Pertanyaannya: di mana kebenaran berpihak? Dengan kata lain: pahlawan tidak lagi ditafsir sebagai seorang manusia yang mati dengan jaminan pahala dan tanah surga.

Sinchan juga punya pahlawan bernamapahlawan bertopeng’ yang tidak lain ayahnya dalam peran sebuah permainan. Guru-guru kita, terutama pada Sekolah Dasar,  adalahpahlawan tanpa tanda jasa’, yang telah meletakkan pondasi intelektual sejak dini. Mereka telah mengajari kita membaca dunia melalui aksara dan angka pertama. Ibu kita adalah pahlawan kehidupan, yang mempertaruhkan nyawa saat melahirkan, dan tak pernah berpikir suatu ketika anaknya akan menjadimalin kundang’.

Mari kita telaah kembali, perilaku dan moral seperti apakah yang paling tepat untuk seorang pahlawan? Adakah selalu yang telah meninggal saja yang patut mendapat sebutan pahlawan? Sementara ada akar kata pahlawan yang dirunut dari pala (nama buah) atau palapa. Sumpah Amukti Palapa Gajah Mada justru sebuah target yang mungkin sekarang dikenal sebagai komitmen dalam bidang marketing. (Nah, mengingat Gajah Mada, seolah ada yang perlu diluruskan jika dipandang dari cakrawala Padjadjaran atau ranah Sunda).

Seorang pakar trainer, Reza Syarif, dalam sebuah perbincangan Friday Spirit di salah satu stasiun radio, mencoba merumuskan pahlawan dari kata HERO (yang berarti pahlawan dalam Bahasa Inggris). Setiap huruf  sengaja diciptakan istilah yang pantas untuk dilekatkan pada predikat pahlawan. Huruf H yang diperpanjang menjadi history, menunjukkan bahwa seorang pahlawan harus mampu membuat sejarah. Kita tahu, setiap pahlawan di Indonesia memiliki sejarah hebat masing-masing. Huruf E dikaitkan dengan empati. Runtuhlah atribut pahlawan bagi orang yang tak berperasaan, kira-kira demikian. Sedangkan R merupakan singkatan dari Responsibility, artinya pahlawan tidak mungkin melepaskan tanggung-jawab moral. Huruf O, barangkali bermakna objektif, tidak pandang bulu, dan bukan bersandar pada pamrih.

Sangat menarik, dan menurut saya cukup masuk akal. Dengan memanggul predikat ‘HERO’ di pundak perjuangan, maka jadilah ia seorang pahlawan sejati.

Lalu saya, secara pribadi dan mungkin subjektif akan memilih figur ibu dan peran guru sebagai pahlawan sejati. Saya tidak tahu akan menjadi seperti apa jika tidak dilahirkan oleh seorang ibu yang baik. Untuk itu memang ada doa yang paling tepat buat beliau: “Ya Tuhan, kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi saya sewaktu masih kecil.” Saya juga tidak tahu, andai tak ada hasrat seorang guru (yang kebetulan kakek saya sendiri) untuk membawa saya ke sekolahnya setiap pagi dengan sepeda tuanya. Hanya untukdengan tekunmemperkenalkan saya kepada fungsi alfabet dan manfaat angka, melalui papan sabak dan batang grip.  Pantaslah jika tak pernah adabekas’ guru, karena beliau adalah orang tua kedua, sebelum mertua kita.

Bagi para remaja yang sedang dimabuk asmara, para kekasihnya adalah pahlawan hati. Terpujilah mereka setinggi langit. Pahlawan yang bersedia datang di saat kita memerlukan dan menghibur di kala kita dalam rundungan duka. Saling berkorban atas nama cinta yang membara. Apa pun dikorbankan, kadang-kadang, sampai titik darah yang pertama (maaf, ini tentu berbeda dengan pahlawan perang yang berjuang hingga titik darah penghabisan). Mereka (atau saya?) adalah pahlawan hati yang kadang-kadang luntur seluruh kebaikannya setelah targetnya diperoleh.

Baiklah, saya kembalikan saja kepada pendapat masing-masing, karena arti pahlawan kini menjadi semakin luas. Mungkin yang terpenting: janganlah menjadipahlawan kesiangan’ …

 

(Kurnia Effendi, penulis cerpen dan peneliti LPKP – untuk kolom REHAT majalah PROTEKSI edisi Nopember 2006)

 

 

Pulang Bersama HAPPY SALMA

TAMBAH satu lagi: seorang selebritis menulis buku. Siapakah dia? Happy Salma!

 Dimulai sejak Katon Bagaskara, Dewi ‘Dee’ Lestari, Ratih Sanggarwati, Rieke Diah Pitaloka, Trie Utami, Melly Goeslaw, Ingrid Widjanarko, Tamara Geraldine, dan mungkin ada lagi yang luput dari ingatan saya. Apa sesungguhnya yang mereka cari darilahansastra ini? Popularitas atau bermaksud menunjukkan kemampuan di bidang lain? Atauini yang mendebarkaninginmerebutrejeki para sastrawan yang kononberdarah-darahketika melahirkan sebuah novel atau buku kumpulan puisi?

Ada baiknya kita tepis kecurigaan-kecurigaan semacam itu. Bagi seorang manusia kreatif, setiap kesempatan harus dapat dimanfaatkan secara optimal. Justru merugilah para insan berbakat yang menyia-nyiakan waktu dan kemampuannya, sehingga dalam sepanjang hidupnya tak sebuahjejak’ pun diwariskan.

Pada senja Sabtu yang cerah, 4 Nopember 2006 yang lalu, di Galeri Nasional Jalan Medan Merdeka Jakarta, Happy Salma meluncurkan sebuah buku kumpulan cerpen berjudulPulang”. Ini bukan acara peluncuran diam-diam, karena yang hadir lebih dari dua ratus orang, tentu termasuk para jurnalis pemburu infotainment dari pelbagai stasiun televisi. Di antara para tamu yang hadir, tampak WS Rendra, Romo Mudji Sutrisno, Ibu Pramoedya Ananta Toer, Moamar Emka, Richard Oh, Djenar Maesa Ayu, Evawani Chairil Anwar, dan para pegiat sastra lainnya. Namun yang paling mengharukan adalah undangan Happy Salma terhadap Ibu Aminah, guru Bahasa Indonesianya semasa SMA di Sukabumi. Inilah sebuah penghormatan bagi seorang guru, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Tentu Ibu Aminah merasa bangga memiliki murid yang kini memberikan kenang-kenangan kepada riwayat hidupnya dengan sebuah buku.

Acara yang dipandu oleh Tika Panggabean tidaklah terlalu njlimet dan berkepanjangan. Semua mengalir mulus. Dan dalam aliran itu, Tika Bisono dan Sita dari RSD mengumandangkan lagu kesukaan Happy Salma: Melati Suci karya Goeroeh Soekanoputra. Lagi-lagi persembahan bagi pahlawan, karena lagu itu ditulis untuk penghormatan kepada ibunda Fatmawati, yang dikenal sebagai penjahit bendera pusaka Merah-Putih sebelum dikibarkan pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Acara tidak akan lengkap tanpa pembacaan karya. Maka tampillah dengan sangat menawan, Niniek L Karim. Sebuah kemampuan penghayatan yang tak diragukan lagi. CerpenPulangdibaca dalam keheningan yang memukau, diakhiri dengan gemuruh aplaus para hadirin. Sementara di belakang panggung cappuccino sponsor boleh diminum bebas oleh para tamu.

Siapa yang berjasa menerbitkan buku Happy Salma? Memang sebuah penerbit baru. PenerbitKoekoesannamanya. Pemiliknya adalah suami isteri: Donny Gahral Adian dan Rieke Diah Pitaloka. Secara simbolik Rieke menyerahkan bukuPulangkepada Happy Salma disertai sebuah lukisan besar berpigura cantik. Kesempatan itulah yang kemudian menarik berpuluh kamera wartawan melingkar di depan panggung. Termasuk mendaulat Happy Salma untuk berpose, sembari membubuhkan tanda tangan pada buku-buku yang disodorkan.

BukuPulang” yang sampulnya dirancang oleh pelukis Gilang Cempaka, berisi 8 buah cerpen. Pulangadalah salah satu cerpen di dalamnya, yang mengandung siratan kerinduan manusia untuk kembali kepada ingatan masa lalu, pada wilayah yang pernah menjadi bagian hidupnya. Proses penulisan, menurut sumber-sumber yang paling dekat, memang cukup berliku. Happy Salma menulis gagasan cerpen itu dengan tulisan tangan. Secara materi, ide-ide itu bagus dan dianggap orisinal. Sebagai pengagum Pramoedya Ananta Toer, tentu Happy ingin juga melahirkan sebuah karya berupa buku. Maka selain penerbit, sejumlah editor membantu proses itu. Antara lain Damhuri Muhamad (cerpenis, novelis) dan Risdi dari Banana Publishing. Selanjutnya peredaran buku itu memang dipercayakan kepada Banana Publishing (di bawah manajemen Yusi Avianto Pareanom).

Dalam pengantar buku itu, disampaikan secara sadar bahwa: Happy Salma adalah seorang selebritis yang dikepung cahaya. Namun ia menulis dalam kesunyian. Baginya yang penting bukan naiknya grafik penjualan, melainkan grafik aktualisasi dirinya Pada halaman lain juga disampaikan bahwa: Kepenulisan Happy adalah perjalanannya pulang menuju kesahajaan. Kesahajaan yang kini semakin tersamar oleh gempita dunia yang baru ditapakinya.

Kalimat-kalimat di atas menunjukkan bahwa dunia gemerlap yang dijalani Happy tidaklah kekal, bahkan akan berlangsung singkat saja. Oleh karena itu, harapannya, karya yang bermutu akan sanggup melampauinya. Semoga memang demikian adanya. Happy yang begitu terbuka dalam menerima setiap masukan sepanjang proses penciptaan karyanya itu, kiranya akan belajar lebih cepat dibanding yang merasa sok pintar.

Selamat untuk Happy Salma, denganPulang” yang menjadi fitrah bagi setiap manusia di dunia.

 

 

(Kurnia Effendi, untuk kolom JEDA tabloid PARLE) 

 

Friday, November 10, 2006

TKI

HUJAN emas di negeri orang telah memikat ribuan tenaga kerja Indonesia berbondong-bondong merantau jauh, meninggalkan tanah air, bermaksud meraup nilai uang yang memiliki posisi beberapa tingkat di atas pendapatan di negeri sendiri, dengan menutup seluruh atau sebagian aib yang mungkin terjadi, demi panjangnya nafas kehidupan atas nama keluarga. Kemudian tersebutlah nama-nama negeri yang semula bagai dongeng: Saudi Arabia, Hongkong, Malaysia, Singapore – jauh di mata, kadang hadir kepada kita hanya berupa cerita dari orang-orang yang menempuh rukun Islam kelima, ziarah ke tanah suci dengan atau tanpa mabrur (Arab Saudi); atau kisah para pelancong yang memandang gemerlap cahaya oriental dengan dominasi warna merah dan kuning emas (Hongkong), atau aroma khas Melayu yang muncul dalam penampilan santun kaum fanatik (Malaysia) dan hebohnya para pembelanja yang tak letih-letihnya memilih kemilau barang yang dipamerkan di plaza-plaza besar bertudung kaca (Singapore).

Lalu berangkatlah mereka berbekal cerita dari mulut ke mulut, bahkan seperti peristiwa migrasibedol deso’, yang nyaris tak menyisakan penghuni kecuali anak-anak dan para lansia. Bertahun-tahun mereka, lelaki dan perempuan, seperti terlindung bumbung besi yang kedap berita, karena sulit menyampaikan kabar ke tanah air, namun dengan kepasrahan yang sulit dirumuskan, mereka yakin semua baik-baik saja, dengan atau tanpa kiriman uang, dan setelah sekian tahun muncul kembali seperti malaikat yang sanggup memberikan kesejahteraan bagi keluarga yang ditinggalkan, bahkan serasa meningkatkan harkat kemanusiaannya melalui ukuran bendawi.

Sementara itu, bak cendawan di musim hujan, agen-agen penyalur tenaga kerja, dengan atau tanpa ijin resmi, berlomba-lomba merekrut manusia yang tergiur cerita para pendahulunya yang berhasil membawa pulang dollar, real, dan ringgit. Perkebunan kelapa sawit yang demikian luas di tanah Malaysia menunggu. Menunggu harga buruh yang murah. Menunggu orang-orang yang begitu haus karena merasa telantar di negeri sendiri. Oleh kebutuhan yang luar biasa, maka tak seluruh tenaga kerja lelaki itu berbekal ijin resmi. Melalui gelapnya birokrasi, mereka mirip ribuan laron yang dihimpun terang cahaya di hamparan kebun keluarga palma itu.

Sementara itu pula, kaum perempuan yang merasa diritrengginas’, sehat fisik dan muda, memiliki keberanian kolektif, lantas berduyun-duyun mendaftar. Mereka dilatih, dikarantina, dipsahkan dari keluarganya, dibubuhi atribut yang sama, dan bertebarlah sebagai tenaga kerja memasuki populasi dan habitat rumah tangga keluarga modern, di rumah-rumah maupun apartemen. Sejak masuk ke dalam lingkungan itu, seolah putus semua jalinan komunikasi ke tanah air. Rimbabaru itu menjadi bagian yang harus dijelajahi dalam pengembaraannya. Menyesuaikan diri dengan cara dan gaya hidup pribumi di negeri orang. Derita dan bahagia disimpan sendiri. Tak perlu dikumandangkan karena ada cita-cita yang harus diperjuangkan, yakni sejumlah uang.

Sekian tahun berlangsung, sebuah desa atau kecamatan mendadak bersinar karena sebagian besar anggota penduduknya menjadi pegawai di tanah seberang, harapan semakin benderang. Pantas jika pemerintah Indonesia kemudian menyebut mereka sebagai Pahlawan Devisa. Uang mereka mengalir ke tanah air. Mengangkat taraf kehidupan kian menjadi mapan.

Tetapi apakah benar semuanya mendapatkan kesempatan yang menyenangkan?

Di antara yang pulang dengan senyum, ada pula cerita dengan tangis yang menyayat, karena mudik dengan luka lahir batin. Kenyataan pahit mulai dari tidak dibayar sesuai janji, bekerja melampaui waktu yang lazim, dihukum kelewat batas bila melakukan kesalahan kerja, dan dilecehkan secara seksualPada saat hal itu terjadi, terutama yang diseterika dan diperkosa, lalu mencoba meminta perlindungan, adakah kita mengulurkan tangan untuk memberikan keadilan?

Mungkin benar telah dilakukan upaya untuk membela mereka yang terjepit antara kesulitan hidup di tanah air dan kejahatan yang mengancam di negeri orang. Namun kita tahu, birokrasi hukum antarnegara, basa-basi politik, ketidakmampuan diplomasi, dan kelambanan dalam penanganan kasus, akhirnya membuat kesabaran tak cukup lagi menjadi bagian dari proses. Dan ketika seorang TKW terpaksa melakukan pembunuhan, sebagai simpul dari kemanusiannya yang terluka, boleh jadi kita hanya sampai pada permintaan belas kasih, bukan lagi dengan semangat nasionalisme.

Baiklah, salah atau benar kita serahkan saja kepada hati nurani dan campur-tangan Tuhan. Justru saya sering tak dapat memahami perilaku saudara sebangsa yang memeras para TKI (khususnya TKW) saat kembali ke tanah air. Ketika berangkat, investasi yang mereka serahkan adalah sebuah pengorbanan dengan harapan akan mendapatkan ganti yang lebih memadai. Barangkali kerugian itu tak lagi perlu diingat-ingat, karena cukup terhibur dengan gaji berkali lipat. Namun manakala mereka hendak membuktikan keberhasilan itu, dalam ukuran-ukuran tertentu, seraya membuka keran rindu yang selama bertahun-tahun disumpal jarak dan waktu, justru muncul rasa cemas.

Rasanya kita sering mendengar TKW yang dirampok sopir taksi, yang dikibuli oleh uluran tangan penawar jasa sejak dari bandara, yang harus melakukan ini-itu agar sebagian bawaannya dapat lolos ke tangan keluarga, dan banyak cerita lagi yang mungkin jauh lebih muram.

Mereka Pahlawan Devisa, menurut pemerintah. Pahlawan untuk siapa? Bagi Negara, bagi keluarganya, atau bagi para calo yang mendistribusikannya? Sekali lagi, yang saya sulit memahami, kenapa banyak yang masih tega memeras mereka, padahal kita tahu ada sederet penderitaan panjang mereka di tanah seberang saat mengumpulkan penghasilan itu.

Bukankah masih lekat dalam ingatan ketika polisi Malaysia mengusir para TKI yang sesungguhnya mereka butuhkan untuk menggarap perkebunan? Mungkin cara datangnya para buruh itu yang salah sehingga tak layak mendapat penghargaan dari pihak berwenang di sana. Pada saat itu, sekaligus kita malu untuk dua hal: kedatangan yang ilegal dan pengusiran yang tak manusiawi. Harga diri Indonesia serasa rontok. Lalu kita menghibur diri dengan istilahpahlawan’.

Jika memang demikian: jadilah TKI dengan kemampuan profesional yang tinggi.

Percaya atau tidak, banyak pahlawan di Indonesia yang bernasib malang. Guru, atau para pahlawan tanpa tanda jasa, termasuk dalam daftar itu. Dengan demikian, barangkali, pahlawan adalahmemangseseorang yang berjuang benar-benar tanpa pamrih demi kepentingan banyak kaum, dan tentu tak harus dengan imbalan yang pantas.

Jadi, siapa yang masih ingin jadi pahlawan?

 

 (Kurnia Effendi. Esai untuk Kolom JEDA Tabloid PARLE, edisi 62)