Saturday, July 29, 2006

Adeke Dini Fahransa, Calon Kuat Puteri Indonesia 2006

DALAM sekali pandang, wajah dara jelita ini mirip dengan Siti Nurhaliza. Siapakah dia?

Saya Adeke Dini Fahransa,” ia memperkenalkan diri dengan senyum manis. Keponakan sekaligus pengagum almarhum Om Hamid Jabbar.”

Ah, jangan-jangan dia tahu kalau saya juga mengagumi Hamid Jabbar, penyair besar Indonesia itu. Jangan-jangan Adeke tak hanya mewarisi jiwa seni dari pamannya itu, melainkan juga kepopulerannya melalui berbagai prestasi. Mari kita omong-omong dengan Adeke, yang lahir tanggal 3 Mei 1986 di Jakarta.

Tapi saya orang Minang, lho.” Ujarnya. Benarkah? Ternyata kedua orang tuanya memang berdarah Minang. Ayahanda bernama Ir. Burhani Rahman St. Sampono Chatib, lahir dari pasangan Ibu Batu Palano Sungai Puar Agam dan Ayah Pandai sikat Tanah Datar. Sedangkan ibunya, Ranny Nooraini, meski lama tinggal di Sukabumi Jawa Barat, berasal dari Koto Gadang. Ya. Rasanya tak disangsikan lagi, bahwa gadis cantik ini keturunan Minang.

Apa yang istimewa dari Deke? Mahasiswi Psikologi Universitas Indonesia angkatan 2003 ini, tidak secara mendadak mencuat namanya. Ia telah membangun prestasi demi prestasi sejak duduk di SMA 28 Pasar Minggu. Lihat saja daftar reputasi di bawah ini: Juara Kebaya Krancang Betawi Putri Sangkrini di Taman Mini (2001), Abang-None Remaja Kencur di Ancol (2002), Juara II Lomba Penyuluhan Bahaya Narkoba bagi Generasi Muda (2002), Juara III Lomba Puisi Bahasa Inggris (2002), Juara I Lomba Karya tulis bidang Kebudayaan oleh depdiknas (2002), dan Juara I karya tulis Kompetisi Ekonomi FEUI (2003). Wah, luar biasa! Tentu ini bukan karena kebetulan, justru dilatari dengan perjuangan, ketekunan, kecerdasan, serta keluasan pandangan pemikirannya.

Apakah hanya berhenti sampai di situ? Pasti tidak. Buktinya, Adeke telah meraih gelar Arjuna Srikandi Pajak pada tahun 2004, yang penobatannya berlangsung di Jakarta Hilton Convention Centre pada tanggal 7 Desember 2004. Ini tentu merupakan pengalaman yang akan menempa sikap dan konsep berpikirnya sebagai sang juara. Dengan prestasinya itu, ia telah membawa pulang sebuah mobil Toyota Avanza, bea siswa, uang kehormatan selama satu tahun, dan rekomendasi sebagai pegawai di kantor Ditjen Pajak. Ah, siapa tak akan iri? Dan rupanya, Adeke satu-satunya peserta yang masih kuliah, sementara semua saingannya telah menjadi sarjana.

Saya jadi penasaran, apa hobi sang jelita ini? Saya suka membaca dan menulis,” jawabnya renyah. Nah, benar kan? Tak jauh-jauh dari kegemaran Hamid Jabbar dan Fakhrunas MA Jabbar, kerabat yang juga dikenal sebagai cerpenis dan menjadi jurnalis di Riau. Buku-buku yang dibaca sesuai dengan pendidikan yang dipilihnya: bidang psikologi. Tentu karya-karya berdasarkan pengalaman Torey Haiden juga menjadi koleksinya. Ketika ditanya cita-cita, sungguh mulia jawabannya. Selain ingin menjadi psikolog, saya berharap bisa mendirikan Taman Kanak-Kanak. Oleh karena itu saya memilih Psikologi Pendidikan untuk studi saya.”

 

***

 

ADEKE, sebagai panggilan yang bermula dari sebutanAdek Kecil”, sebentar lagi memasuki masa karantina yang akan berlangung dari tanggal 15 sampai 25 Agustus 2006 di Hotel Nikko Jakarta. Wahai, anugerah apa lagi yang menghampirinya? Ternyata Adeke telah berhasil menjadi wakil Puteri Indonesia dari Sumatera Barat. Balairung Sati Hall Hotel telah menjadi saksi mahkota yang diterimanya, untuk siap menyongsong kompetisi yang lebih berat berikutnya di tingkat nasional.

Keinginan saya melakukan wawancara ini, didasari dari sejumlah prestasi yang membuatnya pantas menduduki posisi itu. Dengan sedikit mengandalkan feeling, saya merasa Adeke akan menjadi calon kuat sebagai sang juara pada perhelatan final kelak. Saat ini, sejumlah pembekalan sedang dia terima di tempat yang diwakilinya, Sumatera Barat. Di tengah kesibukan itu, suaranya tetap renyah, dan optimis. Untuk melengkapi perbincangan, saya sengaja melontarkan pertanyaan yang mengandung pandangan pribadi. Tentu mengenai Pemilihan Puteri Indonesia.

Menurut saya,” kata Adeke. Kegiatan Pemilihan Puteri Indonesia ini sangat positif. Sebab menjadi ajang para gadis berprestasi untuk mengenal lebih banyak lagi tentang wawasan keindonesiaan. Kami semua akan mendapat pengalaman yang luar biasa, mendapat ilmu dari banyak orang yang juga luar biasa di bidang masing-masing. Dengan berkumpulnya 33 wakil provinsi, pergaulan semakin luas dan sahabat semakin banyak. Dengan acara ini, kita dituntut untuk terbuka dan ramah, berpandangan luas dan yang terpenting bisa mengangkat nama baik bangsa.”

Adakah yang cemburu, karena dating dari Jakarta dan memenangkan kompetisi di Padang?”

Mungkin awalnya demikian. Tapi saya justru diharapkan oleh kerabat Minang agar dapat mewakili Sumatera Barat. Dan ketika akhirnya saya terpilih, dua belas finalis yang lain memberi selamat dan mendukung.”

Apakah Deke didukung oleh orang tua?”

Sangat didukung,” sahutnya bersemangat.

Memiliki puteri yang dapat dibanggakan, tentu harapan banyak orang tua. Adeke yang memiliki tinggi badan 168, tergolong mungil. Tetapi IPK yang diraihnya tidak mungil, 3,6. Selain itu, gadis yang mahir berbahasa Inggris ini sering menjadi presenter pada acara-acara televisi, antara lain: TV Filler “Gettaxdi Global TV dan TVRI (2005), Pajak untuk Anak-anak di Lativi (2005), “MTV Weekend” di Global TV (2005), Poetry Reading on “Great Lecture” Program di Metro TV (2006), Host Off-Air “Panasonic Big Ball di Metro TV (2006).

Akhirnya tinggal menyiapkan fisik dan mental untuk menuju babak nasional. Dengan keyakinan dan dukungan doa, seluruh perjuangan tentu tak akan sia-sia. Selamat berkompetisi, Adeke!

 

***

 

(pewawancara: Kurnia Effendi, cerpenis, redaktur PARLE)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Friday, July 28, 2006

Kabar dari Hongkong

Kumpulan cerita pendekNyanyian Imigranmenjadi penting karena secara geografis tidak ditulis di tanah air Indonesia. Para penulisnya juga bukan sepenuhnya berprofesi sebagai pengarang Indonesia yang telah punya nama atau memiliki pengalaman berkarya di media massa. Mereka, sebagian besar, adalah Buruh Migran Indonesia (BMI) yang sehari-hari menjadi pembantu rumah tangga, atau pekerjaan lain yang sejenis.

 

Luar biasa! Itulah kesan saya pertama kali menerima buku ini yang menjadi setengah amanah, untuk dibaca dan diapresiasi, karena dipesan oleh salah satu pengarangnya masih tinggal dan bekerja di Hongkong. Saya tidak tahu persis, bagaimana cara mereka saling menjalin komunikasi, pertemuan yang melahirkan gagasan untuk membuat buku, dan proses persiapannya. Namun sungguh tak terduga, ternyata cerpen yang terhimpun begitu banyak sehingga ada proses seleksi di antara mereka, sampai akhirnya terpilih 16 cerpen (tiga di antaranya dari Jerman, Swiss, dan Amerika).

 

Kita tahu, tenaga kerja Indonesia, terutama yang di Malaysia, Timur Tengah, dan Hongkong, menjadi bagian dari situasi politik yang sesekali menghangat dan sempat memenuhi halaman surat kabar. Banyak hal menjadi penyebab, mulai dari perijinan, cara pengupahan, perilaku majikan, sampai nasib sial yang menimpa mereka saat tiba di tanah air. Tampaknya lebih dominan warna gelap bagi kehidupan mereka ketimbang suasana yang ramah. Apakah demikian yang tersurat dalam cerita-cerita mereka?

 

Agaknya masing-masingcerpenismemiliki suka-duka kisah yang lebih jujur dan cukup obyektif dalam penyampaiannya. Suasana tanah rantau terlihat lebih berwarna, bukan melulu kusam, bahkan latar itu tidak menunjukkan keberpihakan. Pada dasarnya masing-masing ingin bercerita, berkarya, merealisasikan ide yang tetap berakar pada hubungan antar-manusia: cinta. Cinta itu tentu mengandung unsur gairah, cemburu, pengkhianatan, kebencian, dan sebagainya. Misalnya kisah persahabatan dua perempuan dalam cerpenGoresan buat Windakarya Kris DS, atauSelingkuhkarya Nining Indarti, menunjukkan bahwa para perantau itu juga menjalani kehidupan seks di luar nikah di perantauan. Termasuk yang bahkan menjalaninya sebagai profesi, sebagaimana “Wan Chai” yang ditulis secara puitis oleh Ann.

 

Saya sangat terkesan dengan cerpen Mega Vristian, yang tampaknya juga menjadi orang yang dituakan dalam komunitas ini. Gelang Giok Mama” ditulis begitu lancar, mengalir dengan peristiwa yang cukup memancing rasa ingin tahu karena ada sedikit misteri di antara perilaku tokoh-tokohnya yang dijaga secara tak berlebihan. Rasa takut terhadap ramalan sial pada tokohakutidak diungkap dengan penjelasan, namun muncul melalui pelbagai peristiwa beruntun. Bahkan saya sempat tergelak oleh kelucuan yang tak dibuat-buat saat tiba pada adegan sang ayah mengenakan celana yang berlubang akibat panas seterikaSetting dan peristiwa saling mengisi secara harmoni, sementara endingnya juga tidak terlampau melodrama. Sedikit kejanggalan muncul ketika sang nyonya sedang beretelepon, pemeran aku bisa mendengar apa yang disampaikan lawan bicara di ujung sana.

 

Cerita-cerita yang tampil dalam buku ini bukanlah kelas sastra. Sementara tiga cerita yang berasal dari Swiss (Sigit susanto), Jerman (Gendhotwukir), dan USA (Joey Sambo) berjudulNyanyian Imigran” yang kemudian menjadi judul antologi ini, memang berbeda citarasa. Mungkin karena lokasi cerita bukan di Hongkong, atau boleh jadi karena penulisnya lelaki (sedangkan lainnya perempuan).

 

Dilengkapi pengantar oleh Sihar Ramses Simatupang, buku ini, sekali lagi menjadi penting, karena bukan ditulis oleh sastrawan. Sebagai karya, cukup manandai peta karya orang Indonesia yang mewakili secara empiris sebagai perantau (BMI), dan mungkin boleh ditilik secara obyektif. Ada kehidupan di sana, dengan aneka warna pengalaman, dan dikekalkan dalam bentuk teks cerita pendek. Kehadirannya patut kita sambut baik.

 

Pada tanggal 23 Juli 2006, buku ini diluncurkan di Pusat Dokumentasi HB Jassin, dengan wakil pengarang Etik Juwita, yang sengaja datang dari Hongkong untuk acara tersebut. Dia datang membawa kabar dari Hongkong, baik yang tersurat dalam buku maupun yang hendak disampaikan secara lisan. ***

 

 

Kurnia Effendi, cerpenis, redaktur PARLE

 

 

Saturday, July 22, 2006

Tentang Anakmu

Anakmu bukanlah anakmu… “ Itulah petikan kalimat paling popular dari naskah “The Prophet” karya Kahlil Gibran, Mungkin benar, bahwa orang tua, seorang ibu khususnya, hanya medium bagi kelahiran seorang manusia di muka bumi. Meskipun proses pembentukannya dalam sembilan bulan sepuluh hari dibarengi dengan tali ikatan emosional, tak sekadar sari makanan yang disantap calon bayi dari ibunya, tapi sesungguhnya: baik sang ibu atau sang anak sama sekali tidak dapat memilih. Seorang ibu tak dapat memilih anak yang dikandungnya. Sang anak pun tak kuasa memilih ibu yang hendak melahirkannya.

 

Apakah dengan demikian, anak akan memerdekakan diri begitu mencium aroma dunia? Atau seorang ibu merasa selesai tugasnya setelah bayi itu terlepas dari jalinan tali pusarnya? Berpisah dengankakang ari-aridan bernapas sempurna melalui paru-parunya. Lantas serta-merta, sebuah kekuasaan berupa undang-undang memberinya status: engkau warganegara ini atau itu.

 

Mengapa tidak kita sebut saja ia sebagai warganegara dunia? Atauseperti salah sebuah judul buku Pramoedya Ananta Toer: Anak Semua Bangsa.

 

Dalam ajaran Islam, anak adalah amanah yang dititipkan Tuhan. Ayah-bundanya wajib mengisitabula rasaitu dengan segala yang baik: nama, iman, dan ilmuMelalui perilaku hubungan itu, tumbuhlah cinta dan kasih sayang, sehingga amanah bukan lagi beban, justru menjadi sebentuk rasa memiliki yang terkadang sulit diukur dengan rasio. Apakah Kahlil Gibran perlu mengubah kalimatnya menjadi: “Anakku adalah anakku…”

 

Sebuah kisah di zaman Baginda Raja Nabi Sulaiman, kita ingat karena mengandung pelajaran yang berawal dari misteri perasaan cinta dan memiliki. Seorang bayi yang diperebutkan oleh dua orang ibu, yang masing-masing mengaku sebagai ibu kandungnya, terbuka tabirnya saat diputuskan oleh Sulaiman agar membelah tubuh bayi itu demi keadilan. Tentu, yang benar-benar sebagai ibu kandungnya menjerit berurai air mata nyaris pingsan dan lebih baik merelakan bayinya diserahkan kepada yang bukan ibunya dengan tujuan anaknya tetap selamat. Sebagai medium, seorang ibu sanggup bertaruh nyawa bagi titipan Tuhannya.

 

Di masa Firaun berjaya, setiap bayi lelaki yang lahir dianggap akan menumbangkan kekuasannya. Untuk itulah perintahnya lugas dan tak terperi: bunuh sejak jabang bayi! Kemudian Tuhan menggoreskan takdir, bayi lelaki Musa dihanyutkan bersama keranjangnya pada arus sungai Nil. Manakala Asyiah, isteri Firaun – yang oleh kebesaran Allah tak tersentuh tangan nafsu sang maharaja – mempertahankan bayi merah lelaki temuannya itu. Pengumuman mencari ibu susuan mempertemukan kembali Musa dengan bunda kandungnya. Selanjutnya kita tahu, bayi yang lidahnya terbakar arang membara sebagai pembuktian bahwa ia tak sanggup membedakan antara benda yang membahayakan dan menyelamatkan, menjadi nabi yang menenggelamkanayah’nya di Laut Merah.

Namun demikian, anak juga menyimpan fitnah. Dari sudut pandang ini, beban yang dipikul kedua orang tua alangkah berat. Kewajiban membesarkannya dibarengi rasa cemas terhadap kemungkinan sang anak kelak justru mencelakakan mereka. Durhaka. Atau sebaliknya, hak-hak anak yang tak dipenuhi membuat orang tuanya turut terseret oleh azab di pengadilan akhirat. Di satu sisi, mereka adalah buah-buah hati, sementara di sisi lain menjadi batu sandungan perjalanan hidup.

 

Akhir-akhir ini, dalam aibtainment (ah, ini sekadar menggarisbawahi ungkapan Bimbo sebelum menyanyikan lagu kasidah di sebuah panggung, bahwa tayangan gosip pada infotainment televisi adalah menjual aib), banyak peristiwa memprihatinkan seputar anak. Putra dan putri yang sukses tidak mengakui orang tua biologisnya. Selebritis yang sukses tidak mengakui anak biologisnya. Sementara ada keluarga yang dengan keras mempertahankan anak keturunan jalur darah sang ayah dan ibu, direbut dari hak asuh ibu kandungnya yang berposisi menantu cerai. Kenyataan ini mengingatkan saya pada sebuah buku karya Tariq Ali berjudulPerempuan Batu”. Betapa dalam lingkungan kehidupan keluarga ningrat selalu ada aib tersembunyi. Senantiasa terdapat hubungan rahasia yang sengaja ditutup rapat demi keagungan citra darah biru. Betapa sesungguhnya silang-sengkarut keturunan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rasa pongah di satu sisi dan kegetiran di sisi lain. Pada setiap peradaban, ternyata ada garis yang lepas ketika darah biru tercecer di luar istana atau sebaliknya, yang merasa separuh hidupnya menjadi sang ningrat ternyata titisan kaum jelata.

 

Kehadiran seorang anak begitu pentingnya bagi ayah dan ibunya. Seorang ayah dan ibu dianggap sempurna ketika berhasil melahirkan keturunan. Di mana pun tempat melahirkannya, dengan bangsa mana pun mereka saling mencintai dan menikah. Namun ternyata kini tidak lagi sederhana situasi dan kondisinya. Pembauran antarsuku, antarbangsa, ternyata bukan langkah yang mendapatkan restu dunia. Karena kini akan mengundang masalah menurut Undang-undang Kewarganegaraan Indonesia. Seorang perempuan Indonesia yang menikah dengan orang asing, anak yang dilahirkannya tidak serta-merta menjadi warganegara Indonesia. Apalagi bila kelahirannya berlangsung di Amerika, mialnya.

 

Sekali lagi, mungkin benar, bahwa sang ibu hanyalah berfungsi sebagai medium bagi lahirnya warga baru bumi.  Andaikata sosok ibu ternyata bisa dibuat seperti mesin dalam tubuh robot, bayi yang lahir kita sebut produk, lalu dengan bangga label diterakan: warganegara Indonesia! Sejak berbentuk embrio dan janin hingga tumbuh dewasa, diinjeksi oleh materi di luar cinta dan kasih sayang karena dijalankan oleh sistem. Perasaan posesif tidak akan muncul akibat label warganegara apa pun.

 

Jadi benarkah: “Anakmu bukanlah anakmu” ?

 

***

 

Kurnia Effendi

Kolom JEDA, Tabloid PARLE edisi 47, 24 Juli 2006

 

 

 

 

 

Tuesday, July 18, 2006

Gempa Jogja dan Kepekaan Perasaan Seniman

Di atas panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, ketika malam semakin suwung dan larut, Rendra berujar: “Saya tidak akan menambahi rasa duka. Apa yang telah disampaikan oleh Ahmadun dan Putu Wijaya, sudah melukiskan keadaan Jogja saat ini. Saya melihat, bahwa dalam setiap bencana, rakyat selalu bergerak lebih cepat, dibanding pemerintah…”

 

Kita tentu tak akan berdebat mengenai hal itu. Sudah menjadi kewajiban sebagai saudara sebangsa, tetangga terdekat maupun jauh namun dalam jangkauan, untuk segera turun tangan membantu yang sedang terpuruk dalam musibah. Gerakan itu bagai refleks, seperti ketika bagian tubuh kita terbentur sesuatu, anggota tubuh yang lain bergerak untuk menghalau sakit dan benturan berikutnya. Meskipun masyarakat modern mulai mengidap virus ego, berkembang menuju sifat hidup individual, rupanya masih tersisa lekat nilai kegotongroyongan yang muncul serta-merta di saat pihak lain sedang terjerembab dalam jurang mahaduka.

 

Pertanyaannya adalah: apakah selalu diperlukan peristiwa bencana (gempa bumi, tsunami, banjir-bandang, tanah longsor, gunung meletus) untuk memanggil atau membangunkan hati nurani seseorang? Musibah itu seperti musuh bersama, yang berjasa dalam mempertautkan antar satu dan hati yang lain, saling bahu-membahu. Kita tahu, melalui pelbagai ekspresi: posko-posko dibentuk, dapur umum didirikan, kotak amal beredar, nomor rekening diumumkansemua itu berjalan dengan antusiasme jiwa sang penolong. Meskipun sebagian, boleh jadi, ada yang mengandung unsur politis. Tapi itu tak penting benar, sepanjang tercapai tujuan untuk meringankan beban bagi penderita.

 

Namun demikian, Jogjakarta memang bukan kota biasa. Daerah istimewa yang awalnya dikenal sebagai kota pelajar, sekaligus kota seni, telah memberikan kenangan tertentu hampir bagi setiap orang. Bagi yang mengalami secara fisik, tentu akan sulit melupakan sebuah lingkungan yang telah membentuk ikatan batin tersendiri. Suasana budaya, karakter tradisi, perilaku antar-personal, pemikiran yang khas, sedikitnya berhasil menorehkan corak intelektual nJawani bagi penduduknya (asli maupun pendatang).

 

Secara statistika, banyak penduduk Jogjakarta yang berpredikat seniman (sebagai profesi maupun gaya hidup). Mulai dari seni rupa (lukis, batik, patung), seni sastra, seni tari, seni kriya (kerajinan), seni musik (karawitan), seni teater, seni pedalangan

 

***

 

Pada suatu pagi, kota dengan aroma tradisi yang kuat itu mendadak porak poranda. Gempa tektonik yang bekerja sepanjang 57 detik dari lepas pantai Laut Selatan itu membuat sekitar empat puluh ribu rumah ambruk ‘rata’ dengan bumi dan lebih dari lima ribu penduduknya tewas.

 

Subuh baru saja berlalu pada Sabtu 27 Mei itu, fajar menyepuh remang perbukitan, dan penduduk sebenarnya sedang dicemaskan oleh amuk Gunung Merapi. Demikianlah, musibah itu terjadi, tanpa tanda-tanda yang cukup dipahami.

 

Bencana tidak memilih korban. Apakah mereka petani, pedagang, pegawai negeri, anggota partai, bahkan seniman, tak luput dari mata maut. Rumah milik sendiri atau kontrakan rubuh bersama-sama. Yang terlepas dari guguran bangunan dan selamat, malam Minggu itu tak lagi terlindung atap saat hujan mengguyur deras.

 

Tak terbayang ilmu yang turut hancur karena sejumlah besar buku pada sebuah perpustakaan tertimbun puing reruntuhan dan basah oleh air dari langit. Siapa yang sanggup menyelamatkan, ketika keluarga sendiri masih belum ketahuan nasibnya? Seolah sempurna sudah penderitaan itu menghampiri mereka sebagai tabir kegelapan.

 

Di tengah upaya menolong mereka, para seniman di Jakarta segera tergerak untuk menggalang dana bantuan bagi para seniman yang menjadi korban gempa di Jogjakarta. Melalui prakarsa Wowok Hesti Prabowo, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) merangkul keluarga besar Yin Hua (komunitas sastrawan Tionghoa), Jakarta First Light Choir (kelompok paduan suara), Bengkel Teater, dan Dewan Kesenian Banten, beserta Serikat Pekerja Nasional, membangun Forum Solidaritas Perduli Jogja dan Jateng. Jalan yang ditempuh tentu saja menggelar pertunjukan seni, mengundang banyak orang, demi memperoleh dana yang pantas dan memadai sebagai sumbangan.

 

Barangkali ini menjadi semacam ujian, sehalus apakah perasaan kita sebagai seniman? Kreator atau pekerja seni yang selalu mengandalkan rasa dan imajinasi, tentu sangat sensitif terhadap peristiwa ini. Kita bukan hanya sedang kehilangan sahabat, lebih jauh dari itu, sejumlah potensi seni nyaris terhapus dari peta karya Jogjakarta.

 

Pertanyaan yang terlontar dari kita saat mendengar peristiwa itu antara lain: bagaimana nasib padepokan Bagong Kussudiardjo, sanggar Agus Suwage, Genthong HSA, Hamdy Salad dan keluarganya, Raudal Tanjung Banua, Joni Ariadinata, Dina Oktaviani, Evi Idawati, Mustofa W Hasyim, dan seterusnya... Rata-rata dari mereka telah kehilangan tempat tinggal dan tidak tahu harus menginap di mana. ”Kita telah menjadi kaum pengungsi raya,”  begitu kabar dari novelis Abidah el Khalieqi. Rasanya air mata tak bisa ditahan lagi.

 

Ketika malam penggalangan dana tiba, 9 Juni 2006, rasa haru itu memenuhi dada. Semua seniman yang tampil benar-benar dalam semangat kebersamaan yang tinggi. Antara lain dramawan Putu Wijaya, Ratna Sarumpaet, dan para penyair seperti Slamet Sukirnato, Slamet Widodo, Diah Hadaning, Yose Rizal Manua, Ahmadun Yosi Herfanda, Medy Loekito, Chavchay Syaifullah, Rukmi Wisnu Wardani, Endang Supriadi, Akidah Gauzillah, Herwan FR dan Sihar Ramses Simatupang, mencurahkan perasaan bela sungkawa dengan cara masing-masing.

 

Tidak hanya pembacaan puisi, paduan suara Jakarta First Light  Choir  dari keluarga besar Tionghoa (menampilkan medley 13 lagu Nusantara), group nasyid Snada dengan senandung religius, Deavi’s Sanggar Matahari menampilkan musikalisasi puisi yang melankolik, Bola Mata, dan tembang Cianjuran dari Dewan Kesenian Cianjur. Bahkan sejumlah penari muda dari Dewan Kesenian Banten telah memukau dengan koreografer yang menggabungkan antara gerak tradisi Islami dan modern, mempersembahkan Tari Beduk Warnane yang diawali dengan shalawat.

 

Keberagaman yang berpadu secara harmonis begitu terasa dalam pertunjukan malam itu. Pada saat saudara-saudara seniman sedang diliputi kesedihan, bahkan mungkin kehilangan harapan, karena untuk waktu yang tak sebentar akan kesulitan berkarya; solidaritas lahir tanpa pertimbangan batas-batas suku, agama, dan ras. Manusia kembali kepada fitrah sebagai makhluk sosial.

 

Kontribusi komunitas Yin Hua sangat terasa, melalui peran Ibu Jeanne Yap dan Wilson Tjandinegara yang selama ini aktif memperkenalkan khazanah sastra Tionghoa di Indonesia. Mereka merasa ringan ‘menyingsingkan baju’ untuk memberikan bantuan. Bahkan sebelum ”Malam Peduli Jogja-Jateng” berlangsung, telah terhimpun dana sekitar 55 juta rupiah.

 

Tampilnya para seniman keluarga Tionghoa, melebur melalui paduan suara yang apik dan penuh power, juga menunjukkan kesungguhan dalam mempersembahkan karya. Mereka membawakan 13 lagu yang sebagian besar dipetik dari pelbagai ranah di Nusantara secara medley. 

 

Pada kesempatan yang sama, Yin Hua meluncurkan buku antologi sastra (cerpen dan puisi) berjudul ”Seribu Merpati”. Di tengah-tengah parade pergelaran seni, buku antologi itu dilelang dalam tiga paket yang masing-masing berisi: 2 buku, 5 buku, dan 10 buku. Tidak sia-sia, dari lelang tersebut terkumpul dana sekitar Rp 6 juta. Hasil lelang dan penjualan buku malam itu, seluruhnya disumbangkan kepada korban gempa di Jogja dan sekitarnya. Melengkapi acara di panggung Teater Kecil, di lobi digelar pameran foto karya Wilson Tjandinegara, dengan tema kemiskinan di Indonesia.

 

Kepedulian yang ditunjukkan sebagai solidaritas sesama seniman ini diharapkan tidak berhenti sampai di sini. Keberangkatan tim relawan yang terdiri dari penyair dan cerpenis beserta wakil dari Serikat Pekerja, pada hari Sabtu 10 Juni 2006, untuk melihat langsung kondisi para sahabat dan menyalurkan bantuan; diharapkan bukanlah untuk yang pertama dan terakhir kali. Tindakan penuh simpati ini, menyusul gerakan relawan dari banyak penjuru, mesti berkesinambungan. Kehalusan perasaan para seniman tak boleh imun, justru seharusnya semakin peka dan luas jejaring upayanya dalam mengerahkan bantuan selanjutnya.

 

Dalam waktu dekat, forum solidaritas yang sama, bermaksud mengenang sebulan peritiwa gempa Jogja-Jateng dengan menyelenggarakan pameran foto para jurnalis dan relawan, untuk tetap memelihara sense of crisis di tengah riuh-rendah pesta sepak bola piala dunia. Sebagaimana cerita Bambang Widiatmoko, kordinator tim relawan seniman, secara jujur tak sanggup menyaksikan kondisi yang terhampar di lokasi bencana. Mudah-mudahan, kepekaan kita terus terasah, dan semangat solidaritas terus terpelihara. Siapa lagi yang akan membantu mereka selain kita semua?

 

Menjelang tengah malam, di panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Rendra dengan suara rendah tidak membaca puisi. Ia menyampaikan, betapa keberagaman telah sanggup mencapai kebersamaan, untuk membuat segala penderitaan menjadi ringan.

 

Acara yang padat dan hangat itu ditutup dengan doa oleh Amin Wangsitalaja. Orang tua penyair sufistik ini juga kehilangan rumah di Bantul. Maka simaklah awal doanya yang sangat menarik dan menunjukkan ketabahan: „Ya Allah, kami bersyukur kepadaMu, karena telah diberi kesempatan untuk memandang keindanhan langit dengan berjuta gemintang tanpa pengjhalang langit-langit...”

 

Ya, bagaimanapun kita sebagai makhluk yang lemah, tetap wajib bersyukur. Bahwa di antara hati kita yang rapuh ini, masih ada kekuatan doa, masih ada kebersamaan yang menghaluskan perasaan untuk selalu perduli. ***

 

 

 

 

Kurnia Effendi

(Dimuat di Republika Minggu 25 Juni 2006)