Wednesday, October 29, 2008

Babak Baru Hubungan Budaya Indonesia-Mesir

Menyambut Kedatangan Bahaa Taher

Pada kesempatan yang menyenangkan, menjelang dibukanya Festival Ubud di Bali, Kedutaan Mesir di Indonesia menghadirkan Bahaa Taher. Ia seorang penulis yang belum dikenal luas di Indonesia, namun karya-karya novelnya mendapat penghargaan yang cukup bergengsi di wilayah Timur Tengah. Ditulis dalam bahasa Arab, berpotensi menyusul pamor Naguib Mahfouz, pengarang Mesir penerima Hadiah Nobel; dan Nawal El-Saadawi.

Sabtu siang, 11 Oktober 2008, usai hawa Lebaran, sejumlah wakil penerbit dan penulis Indonesia secara terbatas diundang ke kantor Kedutaan Mesir di Jl. Teuku Umar 68. Tampak di antaranya adalah M. Fadjroel Rachman, K. Usman, Lintang Sugianto, Eliza Handayani, Humam S. Chudori, Bambang Joko Susilo, Dianing Widya Yudhistira, Kartini Nurdin. Acara dibuka dengan sambutan dari Duta Besar Mesir memperkenalkan Bahaa Taher.

Dialog siang itu terasa karib, dengan hikmah yang sangat bermanfaat bagi masa depan hubungan budaya antara Indonesia dan Mesir. Beberapa kenyataan terungkap, terutama mengenai kesenjangan bahasa yang memang sudah saatnya untuk diretas. Masing-masing pihak, baik Indonesia maupun Mesir, menyadari bahwa banyak buku-buku Mesir dan Indonesia yang berkualitas untuk saling diterjemahkan.

Dalam beberapa kali kesempatan pameran buku internasional di Kairo, misalnya, menjadi ajang perburuan para penerbit Indonesia mendapatkan buku-buku bagus. Sayangnya, tidak didukung dengan akses yang terbuka dalam upaya mendapatkan hak cipta (copyright) dan pengalihbahasaan yang mumpuni. Maka dalam pertemuan yang singkat dan bersahaja itu, simpul-simpul yang semula tertutup mulai disingkap.

Duta Besar Mesir menawarkan jembatan untuk hubungan budaya terutama melalui karya sastra dengan program undangan bagi penulis Indonesia untuk berkunjung ke Mesir. Dan sebaliknya, tentu saja. Kemudian hubungan sosialisasi karya ditingkatkan dengan upaya terjemahan karya novel dan memoar. Seorang pengarang yang menulis sejarah aktivis pers Rohanna Koedoes, segera menawarkan bukunya itu untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ia menjelaskan bahwa pejuang surat kabar itu juga seorang tokoh perempuan islami. Di luar dugaan, Duta Besar Mesir mengajaknya untuk pertemua di minggu berikutnya.

Bahaa Taher sendiri kini berusia 73 tahun. Ia menerbitkan beberapa novel, yakni  East of The Palms (1985),  Qalat Duha (1985),  Aunt Safiyya and The Monastery (1991),  Love in Exile (1995),  The Point of Light (1999), Sunset Oasis (2007). Tampaknyatradisi” yang berlaku di Mesir, seorang pengarang baru layak menerbitkan buku pada usia 40 tahun. Sementara situasi di Indonesia lebih menguntungkan bagi para penulis muda. Bertebaran novel-novel teenlit yang ditulis oleh para remaja, usia belasan tahun. Bahkan ada beberapa pengarang cilik yang sudah memiliki buku. Bahaa Taher merasa surprise mendengar kenyataan itu. Barangkali, ketika ia berada di Ubud dan bergaul dengan banyak novelis muda Indonesia, akan semakin terheran-heran.

Kartini Nurdin yang mewakili Penerbit Yayasan Obor, mengatakan sangat berminat untuk menerjemahkan karya Bahaa Taher, menyusul beberapa novel Naguib Mahfouz yang telah terbit dan beredar luas di Indonesia. Bahaa Taher dan pihak kedutaan menyambut baik. Seperti layaknya negara-negara maju, etika untuk menerbitkan karya pengarang dari negara lain tentu ada perjanjian hak cipta yang terkait dengan royalti dan izin distribusi. Namun yang jelas, kini telah terbuka luas kemungkinan untuk saling mempromosikan karya pengarang kedua negara.

Penerbit buku-buku Islam di Indonesia mengakui bahwa lebih dari 50% kitab-kitab terjemahan dari bahasa Arab datang dari ranah Mesir dan Arab. Itu menunjukkan bahwa ada banyak sumber ilmu dari khazanah bacaan Timur Tengah yang mendapat sambutan baik di Indonesia. Humam Chudori mengingatkan, bahwa banyak tokoh Mesir tersohor seperti Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun, namun mengapa kiblat pengetahuan masih ke Eropa dan Amerika?

Dalam penjelasan Bahaa Taher, Eropa masih dianggap sebagai pusat budaya dunia. Bidang hukum, seni, dan kedokteran, belum dapat dilepaskan dari pengaruh negera-negara seperti Belanda, Prancis, dan Italia. Dari pembicaraan itu berkembang kepada tokoh-tokoh Indonesia semacam Bung Hatta yang perlu juga diperkenalkan ke khalayak Mesir.

Para penulis mengambil kesempatan pertemuan berharga itu untuk menyerahkan buku karya mereka, baik kepada Duta Besar Mesir maupun Bahaa Taher. Keduanya menerima dengan senang. Dalam ruangan itu hadir pula Ketua perhimpunan dosen bahasa Arab dan seorang dosen perempuan yang berkebangsaan Mesir. Pada siang itu pula, Duta Besar Mesir menerima sebuah maket matematika Arab yang merupakan himpunan rumus berdasarkan jumlah ayat tiap surat dalam Al-Quran.

”Mudah-mudahan, Anda akan menjadi perintis kebangkitan Islam di Indonesia,” harap sang pemberi hadiah itu kepada Duta Besar. Momentum itu memang sangat penting untuk ditindaklanjuti oleh penerbit dan pengarang agar seluruh janji yang disampaikan pihak kedutaan Mesir itu akan menjadi kenyataan.

Di bulan Oktober, Komunitas Salihara sedang menyelenggarakan Festival Salihara. Guntur Romli, salah satu aktivisnya, mengumumkan bahwa ada pengarang Mesir yang diundang juga dalam perayaan itu.

Kembali kepada Bahaa Taher, selain seorang pengarang, dia juga menjadi penerjemah. Ia mengaku pernah keliling ke negara-negara seperti India, Senegal, Kenya, Srilanka, untuk mencari pekerjaan penerjemahan. Lahir di Kairo, 1935, dalam kariernya sebagai novelis, Bahaa telah mendapat tiga penghargaan. ”State Award of Merit in Literature (1998), yang merupakan anugerah tertinggi untuk sastra di Mesir. Pada tahun 2000, ia meraih “Italian Giuseppe Acerbi Prize” untuk novelnya, Aunt Safiyya and the Monastery. Dan untuk pertama kalinya “International Prize for Arabic Fiction” diluncurkan, diterima Bahaa tahun ini.

Mudah-mudahan karibnya hubungan antara Mesir dan Indonesia yang ditandai dengan banyaknya mahasiswa kita belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, memang akan memulai babak baru keharmonisan lintas budaya. Setidaknya kita jadi teringat pada novel dan film populer berjudul “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El-Sirazy yang mengisahkan tentang mahasiswa Indonesia yang mengalami drama cinta di Kairo. Usianya jauh lebih muda dari Bahaa Taher. Apabila niat untuk melaksanakan program pertukaran pengarang Mesir-Indonesia itu dilanjutkan, dari Indonesia sudah ada calon potensial.

(Kurnia Effendi)

 

Friday, October 24, 2008

Ridwan Saidi, Kuncen Betawi

Masyarakat Betawi perlahan-lahan terpinggirkan oleh datangnya kaum urban. Lahan-lahan luas tuan tanah sekavling demi sekavling berpindah tangan. Kini sudah banyak rumah gedongan berdiri sampai ke wilayah pedalaman, di atas tanah yang semula milik keluarga Betawi. Lantas ke mana mereka bermigrasi? Semakin ke pinggir, ke arah Depok, Bekasi, Tangerang, dan berpencaran. 

Apakah kebudayaannya juga lambat laun akan hilang ditelan zaman? Seharusnya tidak sepanjang masih ada orang-orang semacam Ridwan Saidi, yang tetap teguh memeliharanya. Setidaknya dari sisi seni sastra Betawi. Pada Minggu 21 September, ia meluncurkan buku antologi puisi Betawi yang diberi nama Lagu Pesisiran. Ia mengundang sejumlah sahabat dan peminat sastra untuk hadir seraya berbuka puasa bersama di Gallery Café Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.

Memang tidak banyak budayawan Betawi yang masih aktif memperjuangkan tradisi seni, ketika peta sosial politik seolah-olah tinggal menyisakan Betawi Rempok (Rembuk) sebagai wadah aspirasi masyarakatnya. Gambang Kromong, seni musik tradisi Betawi terdesak oleh datangnya gelombang aliran musik yang sangat dipengaruhi oleh Barat (Amerika-Eropa). Oleh karena itu, setelah Firman Muntaco meninggal dunia, karya-karyanya yang khas berlogat Betawi diterbitkan ulang untuk memperpanjang gema sastra Jakarta tempo dulu.

“Entah kenapa saya ingin menulis sajak kembali. Saya baca lagi Romanza Batavia, yang terbit 2003, lalu mengambil beberapa di antaranya untuk disesuaikan dan masuk dalam antologi Lagu Pesisiran.” Demikian Bang Ridwan mengaku. “Saya mengangkat kembali dua ‘Syair Emas’ dari khazanah sastra Betawi tahun 1930-1950an, entah siapa dulu penulisnya. Termasuk di antaranya sejenis pantun atau congcowakan yang dikenal dalam masyarakat Betawi, sebagai pembuka puisi atau penutup.”

Beberapa temannya mengenal Ridwan Saidi sebagai orang yang vokal. “Pantas jika dia punya banyak musuh,” ujar Yahya Andi Saputra. Memang. Bahkan di masa Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK), Ridwan Saidi termasuk yang paling keras menentang.

Rumah Ridwan Saidi di masa lalu terletak di Gang Arab 20, Sawah Besar. Bersebelahan dengan rumah Chairil Anwar (nomor 18). Ridwan juga masih terhitung keponakan Idrus, sastrawan angkatan 45. Menurut Taufiq Ismail, awalnya Ridwan tak pernah berkeinginan menjadi penyair. Apalagi 13 tahun masa mudanya justru digunakan untuk bergiat sebagai aktivis mahasiswa dan terjun ke dunia politik sepanjang 15 tahun berikutnya. Sempat pula menjadi anggota DPR sejak 1977 sampai 1987 (dua periode).

“Tak banyak di antara yang hadir di sini mengalami naik trem,” Ridwan memandang kami. “Trem di Jakarta berakhir tahun 1960, di Surabaya sampai 1962. Nah, saya akan bacakan puisi tentang trem. Judulnya ‘Trem Lijn 1 Pasar Ikan – Kampung Melayu’. Dengerin ya.”

Sejumlah puisi dibacakannya di atas panggung. Kami yang mendengar kerap terpingkal-pingkal. Selain dialek Betawi medok yang digunakannya dalam menulis puisi, isinya memang banyak berhias humor.

“Membaca buku ini, seperti memandang miniatur Indonesia,” demikian kata Maman Mahayana ketika mengulas Lagu Pesisiran. “Ada Betawi, ada Cina, Arab, Jawa, Sunda, Cirebon, Belanda… Ridwan Saidi memiliki semangat berkelakar, tulisannya ceplas-celos tanpa beban, banyak mengangkat istilah yang tak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Hati-hati ini, Bang. Ada yang nyerempet ke wilayah pornografi, bisa dibereidel kalau Undang-undangnya jadi terbit.”

Ridwan Saidi menjawab kalem. “Pornografi kan kalau tujuannya membangkitkan syahwat. Ini bukan seperti itu. Kalau ungkapan yang muncul dalam buku ini dilarang, kuliah kedokteran bisa ditutup dan pelajaran fiqih dihentikan, haha.”

Kami berharap, sosok seperti Ridwan Saidi, yang lahir di Kampung Sao Besar Jakarta, 2 Juli 1942, ini memiliki generasi pengganti yang siap melanjutkan tradisi dan budaya Betawi agar tak tenggelam. Semoga.

(Kurnia Effendi)

 

 

Tuesday, October 21, 2008

25 Tahun Mizan

Menjelajah Semesta Hikmah

Banyak penanda diletakkan pada peringatan 25 tahun Mizan Group, sebagai titik awal baru untuk meneruskan perjalanan. Haidar Bagir menulis dalam pidato yang dibacakan oleh Ratih Sanggarwati, dengan pernyataan syukur dan upaya untuk tetap rendah hati.

“Yang kami lakukan hanyalah mengais kebenaran yang terserak. Setelah seperempat abad berlangsung, mungkin baru beberapa keping saja yang dapat kami kumpulkan. Dua puluh lima tahun, satu generasi telah lewat. Namun dengan kebenaran dan kesabaran, tak ada waktu selama apapun dianggap terlampau panjang. Kami masih hendak meneruskan perjalanan, menjelajah semesta hikmah.”

Mizan, sebagai penerbit, didirikan oleh 3 orang yang saat itu, 1983, belum lulus kuliah. Mereka adalah Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin Shahab. Awalnya memang menerbitkan buku-buku agama atau yang bernapaskan Islam. “Seri Cendekiawan Muslim”, dalam catatan Putut Widjanarko, adalah rekaman terlengkap Mizan atas jejak-jejak pemikiran para intelektual Muslim Indonesia. Namun kini, tema-tema dan genre yang diterbitkan oleh Mizan semakin meluas. Sampai, boleh dikatakan, seri “Kecil-Kecil Punya Karya” adalah cara Mizan mewadahi para penulis cilik yang ingin menyampaikan gagasannya kepada khalayak pembaca.

Kelompok Mizan telah sampai pada tahap mediamorfosis. Roger Fidler (pada tahun 2003) menyebut mediamorfosis sebagai istilah yang menandai proses metamorfosis media komunikasi akibat hubungan timbal-balik yang kompleks antara kebutuhan konsumen, tekanan persaingan bisnis, pelbagai inovasi sosial, dan teknologi. Fidler menengarai tiga konsep kunci mediamorfosis, yakni koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas.

Demikianlah, Mizan telah berkembang pesat, dapat ditunjukkan melalui sejumlah anak-anak perusahaan (penerbitan) yang semakin spesifik menangani lini buku tertentu. Di bawah payung besarnya, dapat disebut antara lain: Hikmah, Qanita, DaarMizan, Bentang Pustaka (sebelumnya Bentang Budaya), C-Publishing, Mizania, Lingkar Pena Publishing House, B-First, dan beberapa lagi. Selain itu, mengikuti jejak Kompas-Gramedia, Mizan juga memiliki toko buku bernama Mizan Publika (MP Book Point), yang ada di Jakarta dan Yogyakarta. Walaupun belum tampak gebyarnya, toko buku itu sedikit mengarah pada ruang komunitas dengan pelbagai kegiatan off-air, seperti yang pernah dirintis oleh QB (Richard Oh).

Bukan hanya itu, kini Mizan tengah mengembangkan bisnis baru di bidang sinema dengan nama Mizan Production. Produksi pertamanya adalah film Laskar Pelangi (diangkat dari novel fenomenal karya Andrea Hirata), bekerja sama dengan Miles (Mira Lesmana Production). Debut pertama yang menyenangkan, karena film tersebut diduga akan menjadi box office.

Ulang tahun Mizan yang ke seperempat abad itu digelar di auditorium Succofindo, Jakarta Selatan. Sejumlah penanda yang disematkan pada usia ke-25 itu, antara lain: pengukuhan dan peluncuran Kuntowijoyo Award, penghargaan Mizan terhadap tokoh yang berjasa dalam dunia perbukuan (Andy F. Noya) dan penulis novel fenomenal dengan penjualan tertinggi saat ini (Andrea Hirata). Selebihnya, Kelompok Mizan memperkenalkan film perdananya, Laskar Pelangi, dengan memutar thriller dan menyanyikan lagu tema: “Seroja” dan “Laskar Pelangi”. Lagu “Laskar Pelangi” diciptakan dan dinyanyikan oleh grup musik Nidji.

Pertanyaannya sekarang, mengapa Kuntowijoyo, Andy Noya, dan Andrea Hirata?

Kuntowijoyo mendapat gelar sebagai Penulis Terbaik (1998) dari Mizan. Ikatan historikal ini boleh jadi menjadi alasan utama, dengan penilaian yang telah mempertimbangkan semua unsur kelahiran gelar itu secara kompetitif denga nama penulis lain. Dalam esai Putut Widjanarko yang ditulis sesaat setelah Kuntowijoyo meninggal (2005), disebutkan bahwa energi-intelektualnya begitu dahsyat. Perjuangan untuk tetap menulis dengan mutu yang tak kendur ketika ia mengidap penyakit degeneratif, membuktikan kedahsyatan itu. Karya-karyanya yang berbobot, dengan merangkum Islam, filsafat, dan tradisi Jawa, antara lain: Khotbah di Atas Bukit, Pasar, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Suluk Awang-Uwung, Mantra Pejinak Ular. Dan yang tak dilupakan, pernah secara berturut-turut 3 tahun memenangkan cerpen pilihan Kompas.

 Andy Noya, seperti yang kita keahui bersama adalah pemilik acara Kick Andy yang ketenarannya meluas itu. Dalam deretan penampilannya, banyak memperkenalkan buku-buku berkualitas, yang memiliki dampak positif bagi para pembacanya. Ia, menurut Mizan, mirip dengan Oprah Winfrey, presenter terkaya Amerika yang bahkan memiliki semacam lembaga untuk merekomendasikan buku-buku bagus. Andy Noya dianggap telah berjasa dalam dunia perbukuan, karena setiap buku yang direkomendasi dalam acaranya mendapat sambutan luas di tengah masyarakat.

Untuk Andrea Hirata, tak pelak lagi, harum namanya oleh novel tetralogi Laskar Pelangi. Hingga kini, telah terjual lebih dari 500 ribu eksemplar. Meskipun menurut pengakuannya, bahkan andaikata nanti menyentuh angka sejuta, masih jauh dibandingkan jumlah penduduk Indonesia (yang tak suka membaca). Novel itu telah memotivasi banyak orang di Indonesia terutama terkait dengan pendidikan dan harapan untuk meraih masa depan. Jasa Laskar Pelangi itu membuat Andrea menapak puncak popularitas dan mencatat sejarah sastrawan termahal saat ini. Kini, filmnya yang telah beredar luas, dalam satu setengah bulan sudah menjaring 2 juta penonton.

Malam itu, 20 September, bahkan Jakob Oetama, orang nomor satu Kompas-Gramedia Group, berkenan hadir dan berpidato untuk ulang tahun Mizan. Menurutnya, Mizan telah banyak berjasa membuka wawasan pembaca dan besar kontribusinya dalam sejarah perbukuan di Indonesia. Tentu dalam era yang lebih kompetitif sekaligus penuh gairah. Kesabaran dan kesadaran Mizan untuk mengisi jumlah penerbitan buku di Indonesia patut dipuji. Pada akhirnya, penerbit di Indonesia tidak lagi saling mendominasi, karena justru harus bahu-membahu berupaya mencerdaskan bangsa melalui karya-karya berkualitas.

Secara pribadi, Haidar Bagir, yang lebih familiar terjun ke wilayah operasional, selalu memperhatikan mutu buku. “Jangan hanya mengambil keuntungan dari penjualan, tetapi berikanlah buku-buku berkualitas kepada pembaca. Tanpa pembaca setia, Mizan bukan apa-apa.”

Andaikata dunia perbukuan di Indonesia semaju negara Eropa dan Asia yang lain, mungkin tingkat intelektual warganegara dunia ketiga ini akan menempati posisi yang lebih baik. Mudah-mudahan krisis yang sedang melaju dari arah Amerika tidak menurunkan semangat belajar manusia Indonesia dari buku. (Kurnia Effendi).

 

Friday, October 17, 2008

Menyapa Hirawati-Katyusha

Hi, Hirawati

Lama nian kita tak bertemu, barangkali separuh dari usia kita sejak masih sama-sama di kampus. Beruntung di dunia ini ada internet, membuat bumi ini serasa kecil. Obrolan kami (saya, Endah, dan Baby Ahnan alias Kembangmanggis di sebuah resto di Bogor) mengingatkan nama sekaligus karyamu di masa lalu.

Mudah-mudahan, Katyusha masih ingat, setelah kita beracara di Grup Apresiasi Sastra ITB, pada kesempatan berikutnya, saya main ke rumahmu di Cisitu (atau Sangkuriang?) menunjukkan dan meminjamkan majalah yang memuat cerpen-cerpen saya atas inspirasi cerpen-cerpenmu.

Kepada banyak orang saya mengaku, cerpen-cerpen dan novel-novelmu (yang tak sebanyak teman-teman lain) sangat memengaruhi saya. Jadi, ketika “Polong Saga Retak” terselip dan akhirnya tak tersua lagi, saya sedih betul.

Saat muncul respons darimu melalui multiply yang masih “blank”, saya sangat gembira. Tampaknya, meskipun awalnya ‘misterius’, haha, saya bagai menemukan lorong yang di ujung nun jauh terdapat titik cahaya: di sana ada kabar tentang Katyusha. Terimakasih, Tuhan membuat peristiwa ini jadi manis.

Semoga dirimu dan keluarga (di mana kini berada?) sehat senantiasa. Selanjutnya, mungkin kita akan sering bertegur sapa, sebelum keinginan saya untuk bisa berjumpa akan terlaksana.  Terima kasih untuk Endah Sulwesi yang telah menjembatani.

Salam untuk “sebuah makhluk mungil” yang lama tak terpaut,

Kurnia Effendi

 

Cloe untuk menggali masa silam:

-“Pendakian Terakhir” telah menginspirasi lahirnya cerpen “Kemilau Senja” (kini ada dalam buku “Burung Kolibri Merah Dadu”)

-“Polong Saga Retak” telah menginspirasi lahirnya cerpen “Aquarel Buat Mama” (kini ada dalam buku “Aura Negeri Cinta”)

-“You Are So Beautiful” bagian lari pagi di Gasibu sedikit mmercik pada “Nyanyian Elang Terluka” (cerpen ini belahan lain dari cerpen Djenar Maesa Ayu yang dimuat di Republika, kini ada dalam buku “Bercinta di Bawah Bulan” dengan judul “Aku Mulai Mencintaimu”)

 

 

 

Thursday, October 16, 2008

Mengenal "Multiple Intelligences

Pendidikan umumnya dikaitkan dengan tingkat kecerdasan. Tujuan pendidikan secara umum adalah untuk mencerdaskan seseorang, membekali ilmu dan pengetahuan untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup. Secara formal maupun informal (melalui keluarga atau lingkungan diskursus). Lembaga pendidikan merupakan tempat dan sarana untuk mengubah seseorang dari strata awal menuju strata lanjut.

Satu dan lain orang masing-masing merupakan pribadi unik. Oleh sebab itu, pendidikan yang sama dapat menghasilkan orang-orang yang berbeda. Semua itu terkait dengan skala minat, bakat, atau talenta, dan kegigihan masing-masing dalam menggunakan waktu dan cara menyerap ilmu. Pola asuh dalam keluarga pun membentuk sosok pribadi yang berbeda satu sama lain, meskipun digodok dalam almamater yang sama. Lingkungan di luar sekolah berkontribusi penting terhadap pembentukan karakter seseorang.

Dulu kita hanya mengenal satu macam kecerdasan. Seseorang akan dianggap pintar bila dapat memecahkan soal hitungan dengan lekas dan tepat. Muncul sebuah metode untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang dengan nama Intelligence Quotient (IQ). Bertahun-tahun, parameter itu digunakan untuk menentukan seseorang berada pada posisi tertentu: cerdas, genius (ekstrem positif), dan idiot (esktrem negatif). Para orang tua sering dianjurkan oleh guru TK, SD, atau SMP mereka untuk menguji anak-anaknya dengan tes IQ.

Selanjutnya, seiring dengan kemajuan ilmu psikologi, “lahir” parameter baru untuk menilik kecerdasan manusia dari sisi yang berbeda. Emotional Quotient. Pada perkembangan penelitian, tingkat emosi manusia ternyata sangat berpengaruh terhadap kecerdasan yang ditunjukkan dalam perilaku atau tindakan. Respon seseorang atas aksi (serangan ucapan, peristiwa, atau kondisi alam) memperlihatkan tataran emosi. Apakah emosi itu tampak “cerdas” atau “bodoh”. Boleh jadi, kecerdasan seseorang dalam matematik tidak serta-merta mendukung kecerdasannya dalam berperilaku.

Unsur empati dalam kecerdasan emosi sangat berpengaruh. Jam terbang seseorang dalam menghadapi situasi sulit akan memperkuat basis kecerdasan emosi. Lingkungan pendidikan keluarga, pondasi moral yang ditanamkan, dan adanya keteladanan, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pertumbuhan emosi seseorang. Dalam sebuah pelatihan 7 Habits, pernah ditanyakan: “Apakah perilaku orang yang tidak menyenangkan terhadap anda sanggup membuat anda marah?”

Jawabannya: “Tidak. Marah dan tidak marah adalah keputusan saya.”

Mungkin itulah bagian dari kecerdasan emosi. Ungkapan Gandhi terhadap kaumnya, berbunyi seperti ini: “Tidak seorang pun boleh menghina saya kecuali atas izin saya.” Sebuah jiwa besar yang dicontohkan oleh orang besar, negarawan yang memiliki tingkat kecerdasan emosi sangat tinggi.

Belakangan muncul tingkat kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Orang-orang dengan kepasrahan transendental, mengembalikan semua persoalan dunia kepada hukum takdir dan ikhtiar, memiliki tingkat kecerdasan spiritual. Ada nilai sufistik dan kepercayaan terhadap kekuatan yang tak tampak sebagai pengendali gerak hati maupun raga. Kesabaran menjadi inti dari kecerdasan spiritual. Dalam kisah para nabi, disampaikan bahwa sifat ulul azmi adalah posisi terhormat yang tak sembarang manusia sanggup menyentuhnya. Dengan kecerdasan spiritual, emosi lebih terkendali. Dengan kecerdasan spiritual, segala hal yang bersifat duniawi tidak lagi menjadi parameter utama.

Berdasarkan kecerdasan umum yang ditandai dengan skala IQ, sejumlah lembaga pendidikan mencoba mendapatkan cara efektif dalam melahirkan para cendekia. SMA Negeri 8 di Jakarta Timur sebagai sekolah unggulan nasional sudah sejak lama melakukan sistem akselerasi. Bagi siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata mendapat kesempatan lompat kelas (bukan sekadar naik kelas). Banyak pula SMP yang mengelompokkan siswa-siswa dengan kepandaian di atas rata-rata menjadi satu kelas unggulan. Dengan cara itu, pelajaran akan diserap lebih cepat dan merata, tak harus terhambat oleh murid yang lamban penangkapan.

Buku-buku ajar untuk siswa, mula-mula materinya hanya menggunakan basis kurikulum tahun tertentu. Selanjutnya dengan basis kompetensi, agar anak didik bersiap menjadi lulusan yang memiliki daya saing tinggi. Potensi siswa diasah, ditantang, dan diarahkan menjadi tunas-tunas unggul untuk meraih pendidikan lanjutan.

Pada 1983, profesor pendidikan Universitas Harvard, Howard Gardner, memperkenalkan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligences). Ia menyimpulkan paham itu, karena ternyata tidak ada manusia “bodoh”. Ketika seorang anak tak sanggup menyelesaikan soal matematika sederhana, dulu dicap bodoh. Namun kini, siswa yang lemah dalam hitung-hitungan dapat diuji kecerdasan lainnya untuk mendapat predikat pintar. Mungkin dia memiliki bakat tinggi dalam seni (musik, sastra, rupa), atau justru piawai dalam memengaruhi orang lain melalui kemampuan persuasif yang tinggi. Jadilah ia organisatoris ulung atau pemain musik andal.

Dalam multiple intelligences dikenal 8 jenis kecerdasan. Linguistik, Matematik-Logis, Spasial, Kinestetik-Jasmani, Musikal, Interpersonal, Intrapersonal, dan Naturalis. Teori ini merupakan koreksi atas Intelligences Quotient yang diperkenalkan oleh Alfred Binet sejak 1904.

Kecerdasan musikal adalah kemampuan seseorang mengapresiasi, membedakan, menggubah, dan mengekspresikan potensi musik dirinya. Sedangkan kecerdasan kinestetik-jasmani lebih berpusat pada keahlian menggunakan seluruh tubuh dalam menyampaikan ide, perasaan, dan keterampilan; semacam bahasa tubuh. Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan memahami diri sendiri sebagai dasar setiap tindakan. Berbeda dengan interpersonal yang mempersepsikan dan membedakan suasana hati, motivasi diri dan perasaan orang lain. Orang dengan kecerdasan interpersonal sangat cocok dan berbakat menjadi politikus.

Matematis-logis dekat hubungannya dengan IQ yang mengukur kepandaian dari angka dan penalaran secara tepat. Sedangkan kecerdasan spasial lebih erat dengan bagaimana mengekspresikan dunia visual, kemampuan mentransformasikan pada kehidupan. Umumnya sensitif terhadap warna, garis, bidang, ruang, dan bentuk.

Tetapi, percaya atau tidak, sepuluh tahunan sebelum Howard Gardner memperkenalkan multiple intelligences, Ibu Muslimah, guru SD Muhammadiyah di desa Gantong, Belitong, sudah mempraktikkan tentang kecerdasan majemuk. Ia tidak pernah ‘melihat’ ada murid yang bodoh, karena sesungguhnya setiap anak didik memiliki kecerdasan di bidang masing-masing. Dasarnya adalah mengajar dengan kasih sayang.

Tidak hanya itu, Ibu Muslimah (tokoh nyata dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata) juga menjalankan pendidikan inklusif. Sampai kini, bahkan. Ia menempatkan anak dengan kelemahan mental dan fisik tertentu di tengah murid lain yang normal. Hasilnya jauh lebih baik bagi si cacat karena ia telah menjadi bagian yang sama dengan si normal, diterima apa adanya, tidak dengan fasilitas khusus yang cenderung memanjakan.

Bagaimana tanggapan para guru di Indonesia dengan kedua “aliran” (multiple intelligences dan inklusif) ini? Sebuah tantangan untuk menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik.

(Kurnia Effendi)

 

 

Tuesday, October 14, 2008

Feby Indirani Menunggu September

Ketika ditanya kapan menikah, Feby menjawab: ”Maunya sih September.” Ketika lebih jauh diminta penjelasannya, mengapa September, dengan sedikit berseloroh ia beralasan: ”Mungkin karena aku menggemari lagu ’September Ceria’-nya Vina Panduwinata.” Ah, itu lagu lama, yang ternyata masih menjadi favoritnya.

Demikianlah, Feby Indirani, yang lahir di Jakarta, 15 Februari (sehari setelah Valentine’s Day) 1979, pribadi yang santai dan mengalir mengikuti irama hidup. Sebagai alumnus Jurusan Jurnalistik di Universitas Padjadjaran Bandung, digelutinya bidang pekerjaan yang sesuai dengan hobi dan pendidikannya.

Ia pernah bergabung di Koran Tempo, sebelum kini bekerja di Majalah Business Week edisi Indonesia. Job title-nya seolah-olah ’sangar’, menurutnya. Senior reporter. ”Itu karena kami tak punya junior reporter aja, haha.” Sebaiknya jangan dipercaya celoteh Feby itu. Ia memang andal dalam pekerjaannya sebagai jurnalis, jadi sudah sepantasnya mengemban tugas dan jabatan itu.

Sejak tahun 2006, Feby telah menerbitkan buku. Simfoni Bulan, novel debut pertamanya, dan laris penjualannya. Dalam novel itu, tokoh utamanya menjalani eksperimen sebagai pelacur demi sebuah riset karena ingin menulis tentang perjalanan hidup seorang ’kupu-kupu malam’. Namun akhirnya terjerat masalah cinta dan kepelikan persoalan lain yang membuat sang tokoh sempat mencari ketenangan di India.

Pada tahun yang sama, atas kepercayaan Gagas Media, Feby menulis novel adaptasi film Cewek Metropolis. Selanjutnya Lantai 13 (2007), Gerimis (2007). Dan yang terakhir terbit adalah buku Model Portfolio: Semua yang Perlu Kamu Tahu untuk Jadi Model (2008). ”Aku membantu Arzetty Biblina yang top model itu.” Feby menjelaskan.

            Jadi, apa lagi yang mau ditulis dalam waktu dekat? ”Saat ini sedang mau menyelesaikan daftar ‘yang ingin ditulis’ yang belum selesai-selesai. Jangan disebutin dulu ya, pamali takut makin gak jadi, hehehe.”

            Ketika ditanya kesan terindah sepanjang hidupnya sebagai wartawan, Feby tidak menemukan peristiwa yang tepat. Menurutnya, sebagai wartawan selalu bertemu dan kenalan dengan banyak orang. Itu yang menyenangkan. Karena dapat belajar banyak hal meski dari sedikit demi sedikit. “Satu hal, jadi wartawan mesti tebel muka, memberanikan diri mengajukan pertanyaan meskipun bakalan keliatan bodoh,” Feby mengaku.

            Nah, akhirnya Feby teringat sesuatu. “Kalau pengalaman yang bikin bingung dalam pekerjaan, kayaknya ada, yaitu habis wawancara malah dirayu narasumber. Diajak jalan huahaha… Bingung jawabnya, euy!”

            Itulah risiko menjadi dara imut, cantik, dan pintar sekaligus. Feby memang patut menjadi sahabat yang baik karena mudah bergaul. Modal utama wartawan, tentu saja. Ia mengaku, sebagai penulis, sangat senang bila ada yang mengirim email dari tempat-tempat jauh dan memberi respon positif.

 

Ada target pribadi? “Hmm, ingin bisa jadi Feby yang terbaik sesuai dengan kapasitas yang sudah Tuhan takdirkan buat Feby. Ingin sekolah lagi dan bisa poduktif berkarya.” Ketika ditanya tentang prestasi, ia menolak membeberkan, karena semua sudah jadi masa lalu. Feby juga tidak punya tokoh idola secara spesifik. Ia selalu dapat menemukan hal bagus yang bisa dipelajari dalam diri siapa saja. Mengenai buku yang berkesan baginya adalah Broken Verses karya Kamila Syamsie.

Komentar ringkasnya tentang politik Indonesia: ”Melelahkan! Bergelimang politik pencitraan dan minim kualitas! Sikapku sekarang: Abaikan para politisi, dukung para entrepreuner (ekonomi maupun sosial).”

            “Jadi masih menunggu September? Tahun ini sudah lewat lho…”

”Yah orang bilang segala sesuatu itu indah pada waktunya. Jadi biarlah waktunya itu tiba. Aku nggak tergesa-gesa dan nggak merasa kepepet umur juga, haha.”

 

(Kurnia Effendi)