Babak Baru Hubungan Budaya Indonesia-Mesir
Menyambut Kedatangan Bahaa Taher
Pada kesem
Sabtu siang, 11 Oktober 2008, u
Dialog siang itu tera
Dalam beberapa kali kesem
Duta Be
Bahaa Taher sendiri kini berusia 73 tahun. Ia menerbitkan beberapa novel, yakni East of The Palms (1985), Qalat Duha (1985), Aunt Safiyya and The Monastery (1991), Love in Exile (1995), The Point of Light (1999), Sunset Oasis (2007). Tampaknya ”tradisi” yang berlaku di Mesir, seorang pengarang baru layak menerbitkan buku pada usia 40 tahun. Sementara situasi di Indonesia lebih menguntungkan bagi para penulis muda. Bertebaran novel-novel teenlit yang ditulis oleh para remaja, usia bela
Penerbit buku-buku Islam di Indonesia mengakui bahwa lebih dari 50% kitab-kitab terjemahan dari bahasa Arab datang dari ranah Mesir dan Arab. Itu menunjukkan bahwa ada banyak sumber ilmu dari khazanah bacaan Timur Tengah yang mendapat sambutan baik di Indonesia. Humam Chudori mengingatkan, bahwa banyak tokoh Mesir tersohor seperti Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun, namun mengapa kiblat pengetahuan masih ke Eropa dan Amerika?
Dalam penjelasan Bahaa Taher, Eropa masih dianggap sebagai pusat budaya dunia. Bidang hukum, seni, dan kedokteran, belum dapat dilepaskan dari pengaruh negera-negara seperti Belanda, Prancis, dan Italia. Dari pembicaraan itu berkembang kepada tokoh-tokoh Indonesia semacam Bung Hatta yang perlu juga diperkenalkan ke khalayak Mesir.
Para penulis mengambil kesempatan pertemuan berharga itu untuk menyerahkan buku karya mereka, baik kepada Duta Besar Mesir maupun Bahaa Taher. Keduanya menerima dengan senang. Dalam ruangan itu hadir pula Ketua perhimpunan dosen bahasa Arab dan seorang dosen perempuan yang berkebangsaan Mesir. Pada siang itu pula, Duta Besar Mesir menerima sebuah maket matematika Arab yang merupakan himpunan rumus berdasarkan jumlah ayat tiap surat dalam Al-Quran.
”Mudah-mudahan, Anda akan menjadi perintis kebangkitan Islam di Indonesia,” harap sang pemberi hadiah itu kepada Duta Besar. Momentum itu memang sangat penting untuk ditindaklanjuti oleh penerbit dan pengarang agar seluruh janji yang disampaikan pihak kedutaan Mesir itu akan menjadi kenyataan.
Di bulan Oktober, Komunitas Salihara sedang menyelenggarakan Festival Salihara. Guntur Romli, salah satu aktivisnya, mengumumkan bahwa ada pengarang Mesir yang diundang juga dalam perayaan itu.
Kembali kepada Bahaa Taher, selain seorang pengarang, dia juga menjadi penerjemah. Ia mengaku pernah keliling ke negara-negara seperti India, Senegal, Kenya, Srilanka, untuk mencari pekerjaan penerjemahan. Lahir di Kairo, 1935, dalam kariernya sebagai novelis, Bahaa telah mendapat tiga penghargaan. ”State Award of Merit in Literature (1998), yang merupakan anugerah tertinggi untuk sastra di Mesir. Pada tahun 2000, ia meraih “Italian Giuseppe Acerbi Prize” untuk novelnya, Aunt Safiyya and the Monastery. Dan untuk pertama kalinya “International Prize for Arabic Fiction” diluncurkan, diterima Bahaa tahun ini.
Mudah-mudahan karibnya hubungan antara Mesir dan Indonesia yang ditandai dengan banyaknya mahasiswa kita belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, memang akan memulai babak baru keharmonisan lintas budaya. Setidaknya kita jadi teringat pada novel dan film populer berjudul “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El-Sirazy yang mengisahkan tentang mahasiswa Indonesia yang mengalami drama cinta di Kairo. Usianya jauh lebih muda dari Bahaa Taher. Apabila niat untuk melaksanakan program pertukaran pengarang Mesir-Indonesia itu dilanjutkan, dari Indonesia sudah ada calon potensial.
(Kurnia Effendi)