Monday, October 30, 2006

RAHASIA

SEORANG ayah dengan sembilan anak dari seorang isteri, memiliki cita-cita ingin membahagiakan keluarganya. Hal yang wajar dan umum terjadi, sebagaimana keluarga lain yang hampr seluruh harinya habis tersita oleh pekerjaannya. Mereka  bersebelas adalah keluarga Inggris yang sederhana. Untuk mewujudkan cita-citanya, diperlukan usaha menabung, sedikit demi sedikit dari hari ke bulan. Sang ayah ingin membawa keluarganya piknik ke New York. Sebuah jarak yang alangkah jauh dan berbeda kontinen.

Kisah nyata ini terjadi sekitar tahun 1911. Pada saat yang sama, perusahaan perkapalan di Inggris sedang membangun sebuah kapal pesiar yang spektakuler. Untuk menjadi calon penumpang kapal pesiar itu, perlu mendaftar setahun sebelumnya. Sang ayah yang berniat membawa keluarganya berlayar jauh itu pun mencatatkan sebelas nama sebagai calon penumpang. Sejak itu ia menabung dengan semangat membukit, karena tak semua orang akan mendapatkan kesempatan langka itu.

Ringkas cerita, kapal pesiar itu pun rampung. Jadwal pelayaran perdana telah diumumkan. Kegembiraan meliputi keluarga yang telah bersusah payah mengumpulkan uang untuk menjadi penumpang perjalanan pertama. Namun sungguh di luar dugaan, beberapa hari menjelang keberangkatan, si bungsu dari keluarga bersebelas itu digigit anjing gila, ketika sedang main di rumah tetangga.

Tentu kita paham, apa yang harus dilakukan oleh korban gigitan anjing gila? Dokter menyarankan agar si bungsu dirawat secara karantina. Perawatan itu memerlukan waktu yang lama. Selain anjingnya yang harus dilenyapkan, seluruh keluarga pun mendapatkan suntikan anti rabies. Bagaimana mungkin keluarga itu dapat berangkat ke New York, dalam kondisi seperti itu?

Sang ayah menangis dengan rasa kecewa luar biasa. Perasaannya terlunta. Ia bahkan bertanya-tanya, menggugat Tuhan yang begitu tega menggagalkan rencana sepanjang berbunga harapan itu. Ia menunggu dengan berdebar, berharap ada keajaiban, misalnya jadwal perjalanan kapal pesiar itu diundur. Bagi korporasi yang arogan, tentu tak ada dalam kamusnya untuk melakukan penundaan demi segelintir orang yang bermasalah. Oleh karena itu seluruh cita-citanya seketika pupus, oleh peristiwa yang tak terbayang sebelumnya. 

Kapal pun akhirnya bertolak dari pelabuhan Southampton, Inggris, dengan gagahnya. Sementara itu, di rumah sakit, sang ayah menjenguk anak bungsunya, dan dengan penuh amarah, ia menghardik, menyalahkan anaknya seraya merobek kesebelas tiket yang telah dibeli dengan harga seluruh tabungan mereka.

 

***

RASA kecewa dan amarah itu belum hilang, ketika beberapa hari kemudian ia mendengar kabar, bahwa pada hari Minggu tanggal 14 April 1912, kapal pesiar yang hendak ditumpangi keluarganya itu tenggelam. Hanya dalam dua jam empat puluh menit setelah menabrak gunung es. Kapal yang menjadi impian banyak orang dan hampir saja membawa serta keluarga bersebelas itu mengunjungi Amerika, lenyap dari permukaan air laut. Tubuhnya yang terpotong menjadi dua bagian meluncur seperti dalam gerak lambat menuju dasar samudera.

Berita itu tentu diterima tak selekas saat ini, ketika internet sanggup menyebarkannya ke seluruh penjuru bumi hanya dalam hitungan detik. Tetapi seluruh surat kabar ternama saat itu memberitakannya dengan foto yang membuat pembacanya percaya. Kapal itu kandas menjelang tengah malam di laut yang dingin dengan serpihan es di sana-sini, dan tak tertolong lagi. Tak banyak yang selamat, rasanya, karena peristiwa begitu lekas berlangsung, dalam suhu yang tak tertahankan.

Mendengar (atau membaca) kenyataan itu, apa yang dirasakan oleh ayah keluarga bersebelas itu? Ia pun kembali menangis. Segera didatanginya anaknya yang masih dalam perawatan. Di rumah sakit, setulusnya ia meminta maaf kepada anaknya, lalu mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Sikap sebelumnya telah berubah seratus delapan puluh derajad oleh peristiwa yang membuatnya bersyukur. Ternyata, Tuhan justru telah menolongnya, dengan cara yang sungguh rahasia.

Demikianlah kiranya, rahasia Tuhan tak pernah terbaca sejak awal kejadian. Segala yang terasa gelap dan menyedihkan, boleh jadi ada sinar kegembiraan yang tersembunyi di dalamnya. Hikmah pada umumnya berada di balik peristiwa, bukan dipamerkan sejak muasal. Manusia harus diuji dulu sebelum memperoleh nilai atas perjuangannya: bersabar, ikhtiar, dan ikhlas.

Mungkin anda tahu nama kapal pesiar itu. Benar. The Titanic. Kapal yang diberi nama indah Titanic itu memang luar biasa megah. Kapal pesiar yang agaknya dibuat dengan sebuah kesombongan, seolah hendak mengalahkan Sang Maha Pencipta. Ketika lepas dari dok dan mulai turun ke dermaga, sang pemilik (atau perancangnya?) mengatakan kepada publik: “Titanic, kapal yang luar biasa, bahkan Tuhan pun tak sanggup menenggelamkannya.”

Boleh jadi itu hanya bercanda, untuk meyakinkan kepada para calon penumpang yang tentu merasa bangga dapat ikut berlayar di dalamnya. Tapi malaikat mencatatnya, barangkali, sebagai semacam arogansi yang harus diberi pelajaran. Alangkah kerdilnya jiwa manusia, yang merasa betapa hebatnya dengan hasil karyanya. Sementara ada Maha Pencipta yang tak mungkin dilawan.

Gunung es, hanya dengan sepucuk gunung es, selesai sudah. Dan sesumbarnya gugur oleh kenyataan: Titanic ditenggelamkan Tuhan.

 

(Kurnia Effendi, untuk JEDA tabloid PARLE edisi pralebaran)

 

 

Wednesday, October 11, 2006

Tentang Goenawan Mohamad

PENYAIR, jurnalis, dan esais Goenawan Mohamad (selanjutnya saya tulis dengan GM) lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Menulis puisi untuk publik pada usia 20 tahun. Sebelumnya, di saat masih duduk di bangku SMA, pernah menerjemahkan puisi Emily Dickinson dan dimuat di Harian Abadi.

Sepanjang karirnya sebagai penyair, ia menulis banyak puisi, meskipun ada beberapa tahun yang sama sekali tidak menulis puisi, yakni 1974, 1975, dan 1999. tidak terjelaskan apa sebabnya, namun sebagaimana umumnya seorang sastrawan, ada masanya ketika gagasan tidak berbuah karya. Sementara itu, pada tahun 1980-an, ia disibukkan dengan kegiatan membidani kelahiran majalah Tempo, yang menyebabkan produktivitasnya dalam menulis puisi juga menurun.

Puisi-puisinya dibukukan  dalam  Pariksit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 (2001) – dikumpulkan oleh Ayu Utami dan Sitok Srengenge; yang kemudian mendapat hadiah Khatulitiwa Literary Award 2002. Laksmi Pamuntjak kembali menerbit puisi-puisi GM dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) dengan judul: Goenawan Mohamad, Selected Poems (2004). Artinya, GM masih berkarya selepas tahun 2001, bahkan yang dibukukan sampai titimangsa 2004.

Karirnya sebagai jurnalis tampak pada perjalanan hidup majalah Tempo. Selain turut melahirkannya, GM juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi sepanjang dua periode. Periode pertama berlangsung sejak 1971 hingga 1993. Dan periode kedua hanya satu tahun, 1998-1999. Pada tahun 1994 majalah Tempo dibreidel oleh pemerintahan Soeharto, dan seluruh kegiatan jurnalistik GM bergerakdi bawah tanah’, di antaranya melalui Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pada masa itu, GM bersama teman-teman AJI dan sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan ekspresi, mendirikan organisasi bernama Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Melalui organisasi ini, tampak GM gigih melawan kondisi represif yang dilakukan oleh Orde Baru. Ia tak berhenti menulis Catatan Pinggir – yang tentu tidak diterbitkan secara umum dan luas. Dalam sebuah obrolan, GM mengaku: “Saat itu, gerakan menulis saya didasari oleh kesombongan, perasaan ingin melawan.” Mungkin karena usia GM saat itu yang masih terhitung muda dan produktif.

Bermarkas di Jalan Utan Kayu no. 68H, sebuah kompleks ruko niaga, secara sembunyi-sembunyi, ISAI menerbitkan serangkaian media yang kontraorde-baru, salah satunya majalah Pantau. Banyak tergabung elemen aktivis di tempat itu, antara lain: pejuang prodemokrasi, seniman, dan cendekiawan, saling bekerja bahu-membahu. Perpaduan pemikiran dan kegiatan itu telah melahirkan Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, dan Jaringan Islam Liberal. Keberlangsungan kegiatannya yang melibatkan banyak seniman dalam acara-acara berkala itu, kemudian dikenal dengan nama Komunitas Utan Kayu.

Sebagai esais, jejak tulisan GM bertebaran di pelbagai media dan acara (sebagai pembicara). Namun yang paling lekat pada sejarah kepengarangannya adalah Catatan Pinggir; tulisan khas yang menjadi ciri majalah Tempo sampai hari ini. Bahkan telah diterbitkan secara berturut-turut hingga buku ke-6 dan persiapan buku ke-7. Catatan Pinggir juga terbit dalam edisi bahasa Inggris, terjemahan Jennifer Lindsay, dengan tajuk Sidelines (1994) dan Conversations with Difference (2002).

Kumpulan esainya juga dihimpun dalam beberapa buku, antara lain: Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972). Seks, Sastra, dan Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002). Dapat dibayangkan, alangkah banyak tulisannya. Dapat dibayangkan pula, betapa pikirannya terus hidup, memandang dan mencerap segala yang terjadi di sekitar dirinya, dan menuangkannya, bahkan lebih tajam dari itu karena ada masa-masa ia melawan pemerintah dengan penanya itu.

Kini, setelah meletakkan tugasnya sebagai pemimpin redaksi majalah Tempo, ia menjadi seorang kreator yang lebih bebas secara kedinasan, namun tetap terikat deadline Catatan Pinggir majalah Tempo yang terbit sekali seminggu. Agaknya, tidak semata menulis secara tunggal saja ia bekerja; GM juga menciptakan komposisi pertunjukan bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel dengan karya libretto untuk opera Kali (1996 sampai dengan 2003, dengan sejumlah revisi). Pementasan di Seattle (2000) dan New York, berjudul The Kings’s Witchbersama Tony Prabowo. Bersama musisi eksperimentalis muda itu pula, puisinya yang berjudul Pastoral dimainkan dalam bentuk konser di Tokyo tahun 2006. Selain itu, GM juga menulis teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut Rina beserta gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California. Karir pertunjukannya di dalam negeri antara lain: teks Wisanggeni (1995) untuk dalang Ki Sujiwo Tejo, dan Alap-alapan Surtikanti (2002) untuk dalang Ki Slamet Gundono, serta drama-tari Panji Sepuh bersama koreografi karya Sulistyo Tirtosudarmo. (Dalam puisi Persetubuhan Kunthi, tertulis dedikasi: untuk tarian Sulistyo Tirtokusumosaya tak tahu apakah ini orang yang sama atau berbeda).

Ia berkarya dan terus berkarya, sebagai pertanda masih peduli dengan keadaan negeri ini, terutama mengenai pemikirannya yang kritis terhadap politik dan budaya. Sejak lahir hingga SMA memang tinggal di Jawa Tengah, namun pengembaraan bacaannya jauh melampaui negerinya. Tak heran jika Hamid Basyaib, salah seorang sahabatnya, menyebut bahwa Goenawan Mohamad adalah orang Barat yang lahir di Batang. Mengapa demikian? Karena intelektualitas diasah melalui pelbagai referensi pemikiran Barat antara lain Brecht, Derrida, Adorno, Habermas, Nietcszhe, Camus, Foucault, Eco, Benjamin, dan banyak nama lain.

Sebagai jurnalis yang acap bersentuhan dengan kepentingan politik, sejak muda GM sudah turut mencetuskan Manifes Kebudayaan, sebagai lawan Lekra di tahun 60-an, sejak ia mulai bergiat di Jakarta. Meskipun, ketika meletus G30S PKI,  ia justru sedang berada di  Belgia dalam rangka studi. Namun demikian, perannya di masa represif Orde Baru tampak menonjol saat era Reformasi. Dalam perbincangan sembari makan sahur di Jogja (bersama Saut Situmorang dan Katrin Bandel) baru-baru ini, ada bantahan dari Saut bahwa pengakuan Ayu Utami di majalah Der Spiegel edisi Jerman yang mengatakan gerakan reformasi berawal dari Utan Kayu itu, tidak benar. Saya tidak perlu berdebat di tempat lesehan itu. Apalagi setelah menelusuri ke masa lalu, ternyata memang ada perintisan Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang memang dikerjakan di Komunitas Utan Kayu. Kita tahu, MARA adalah cikal bakal dari Partai Amanat Nasional. Meskipun GM tidak mau duduk dalam kepengurusan, melainkan hanya turut mebidani kelahiran partai yang mengemban amanat untuk meneruskan perjuangan reformasi itu, ada peran besarnya di sana. Selanjutnya yang gigih melanjutkan gerakannya setelah bersama-sama mahasiswa menurunkan Soeharto sebagai presiden Indonesia dengan masa jabatan 32 tahun, adalah Amin Rais.

Kasus lain yang mencuatkan nama GM di permukaan, adalah pertikaiannya dengan Tomy Winatamasalah pemberitaan majalah Tempo mengenai pasar Tanah Abang. Tuntutan 1 miliar dan kabar penyitaan rumahnya sebagai jaminan, membuat para sahabatnya turut murka dan prihatin (saya sempat berkomunikasi dengan Sitok Srengenge dan Nirwan Dewanto dalam menghimpun simpati). Akhirnya memang selesai dengan melegakan.

Sebagai aktivis, karir GM bukan tanpa cela. Upayanya dalam menegakkan demokrasi memang mengundang pro-kontra, terutama terhadap Islam militan, terkait dengan Jaringan Islam Liberal yang mencuatkan nama Ulil Abshar Abdalla. Sebenarnya di era sebelumnya, GM juga sempat mengangkat Nurcholis Madjid dengan pemikiran-pemikirannya yang moderat. Kini, secara tidak langsung, mungkin ada peran GM melalui Freedom Institute yang turut memberi sumbangsih pemikiran untuk pemberian hadiah Ahmad Bakrie kepada dua budayawan Indonesia: Rendra dan Arif Budimanjustru di saat kelompok usaha Bakrie sedang bermasalah dengan kasus luapan lumpur Lapindo Brantas. Apakah benar demikian? Wallahu alam.

 

(Kurnia Effendi, untuk diskusi Milis APresiasiSAStra, selain materi: Menikmati Puisi-puisi Goenawan Mohamad)

 

Monday, October 09, 2006

Pijar Para Penyair Muda di Kedai Kebun

Kedai Kebun Forum terletak di Jalan Tirtodipuran, wilayah Prawirotaman, Jogja Selatan. Tempat asri yang terdiri dari dua lantai, dengan dua ruang pertunjukan dan sebuah café, menjadi ajang bersuanya para penyair muda. Di sanalah acara peluncuran kedua, buku JOGJA 5,9 SKALA RICHTER berlangsung, pada malam Minggu 30 September 2006 sehabis shalat tarawih.

Lebih dari seratus orang hadir, agak di luar dugaan, duduk lesehan memenuhi ruang seluas lapangan badminton. Panggung yang dirancang sederhana dengan leveling berbalut kain hitam, sebagai latar belakang dipasang layar lebar untuk keperluan pemutaran puisi.multidimensi.

Acara yang dipandu oleh Widzar Al-Ghifary, penyair dan cerpenis muda dari Bandung, merupakan kelanjutan dari booklaunching yang diselenggarakan di MP Book Point Jakarta. Antologi puisi yang berisi 100 puisi dari 100 penyair itu diterbitkan dan diluncurkan dalam rangka memperingati 100 hari peristiwa gempa Jogja dan Jateng yang terjadi tanggal 27 Mei 2006 lalu. Tentu, puisi-puisi di dalamnya mengandung tema gempa, antara lain kesaksian, doa, dan ajakan agar Jogja bangkit kembali. 

Selain penyair Afrizal Malna, hampir seluruh penampil malam itu, adalah para penyair muda. Dengan semangat berkarya yang menggebu, mereka telah menyumbangkan puisinya untuk sebuah antologi yang diharapkan dapat menandai sebuah peristiwa bencana dramatik tanpa bermaksud memperpanjang kenangan pahit. Setidaknya, ini menjadi pemicu untuk mengingatkan pemerintah yang sudah seharusnya bergegas melakukan recovery lokasi gempa.

Saut Situmorang mengawali pembacaan puisi yang dilanjutkan dengan presentasi multimedia: foto-foto akibat gempa bumi tektonik berkekuatan 5,9 Skala Richter dengan iringan musik yang menyayat. Setelah itu berturut-turut naik ke atas pentas adalah Joko Pinurbo, Katrin Bandel (dikenal sebagai pengamat sastra Indonesia asal Jerman), Abdul Wachid BS, Agus Manaji, TS Pinang, Indrian Koto, R. Toto Sugiharto, Muhammad Fuad Riyadi, dll. Tampak di antara penonton adalah cerpenis Indra Tranggono, Joni Ariadinata, Dwicipta dan Dyah Indra Mertawirana, juga penyair Hamdy Salad dan Dina Oktaviani. Beberapa komunitas seperti Tanda Baca, Klub Sastra UII, Charm, Milis Apsas, turut meramaikan suasana. Di antara pembacaan puisi, Sanggar Jepit yang terdiri dari tujuh anggota menyanyikan beberapa musikalisasi puisi.

Penerbitan antologi puisi JOGJA 5,9 SKALA RICHTER ini awalnya diprakarsai oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang bekerjasama dengan Penerbit Bentang Pustaka. Untuk merealisasikan buku itu terbit dan diluncurkan, KSI merangkul PT. Excelcomindo Pratama yang sedang menjalankan program Pulihkan Jogja melalui XL-Care.

Malam itu, sambutan Komunitas Sastra Indonesia diwakili oleh Kurnia Effendi. Bersama-sama Adi Yuharman (mewakili XL Jogja), meluncurkan buku tersebut secara simbolik dengan menyerahkan kepada Saut Situmorang sebagai wakil tuan rumah Jogja.

Semoga hasil penjualan bukuJogja 5,9 SR” yang dimaksudkan untuk sumbangan bagi korban gempa Jogja sesuai dengan harapan bersama.

Acara yang mengalir itu berakhir menjelang pukul 23, ditutup dengan pembacaan puisi dan doa oleh penyair Amin Wangsitalaja. Sebetulnya, forum perbincangan para penyair muda, ibarat pijar api semangat sastra, terus berlangsung hingga menjelang sahur. Seperti pengakuan Saut Situmorang, Jogja memang memiliki suasana kesenian yang hangat.

 

***                                                                 

 

(Kurnia Effendi)

 

Doa untuk Cheryl Kiarra dan ayah bundanya, Audrey - Krishartanto

Our 1st baby, Cheryl Kiarra Hartanto has perfectly born on 8th October, 2006, 14.20 p.m. Thankyou for yaou love and pray. God bless you.

 

(Audrey, 15:02:17, 08-10-2006)

 

 

 

Hanya kepada Tuhan, syukur pantas dipanjatkan. Doa kami titipkan pada tiap helai sayap malaikat untuk kebahagiaan ayah-bundanya. Selamat datang Cheryl Kiarra, sebagai penghias bumi.

 

(Kurnia Effendi, 15:06:46, 08-10-2006)

 

 

Saturday, October 07, 2006

Menikmati Puisi-Puisi Goenawan Mohamad

Bak keinginan menyentuh permukaan air telaga atau kolam hijau yang berhiaskan teratai, ada kecemasan akan mengganggu ketenangan dan kebeningannya; demikianlah cara saya menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad (selanjutnya akan saya tulis GM).

Saya mengenal puisi-puisi GM secara agak seksama ketika kuliah, karena kemudian terhimpun bersama kawan-kawan penggemar sastra di Grup Apresiasi Sastra ITB. Masa itu (tahun 80-an), saya sering secara sengaja atau tidak sengaja, bertemu dan berdialog dengan Arya Gunawan, Nirwan Dewanto, Acep Zamzam Noor, M. Fadjroel Rachman, dan Enin Supriyanto. Rasanya, kini, kelima teman saya itu masih berkibar namanya di antara penggiat sastra dan budaya.

Puisi Goenawan Mohamad adalah salah satu yang kerap kami perbincangkan. Bahkan, ada semacam sihir keajaiban, ketika Arya Gunawan membaca “Dingin Tak Tercatat” dalam lomba baca puisi nasional tahun  84/85, tiga juri antara lain Jakob Soemardjo dan Saini KM memberi nilai tertinggi hingga ia menggondol piala juara pertama.

Puisi “Dingin Tak Tercatat” sudah saya tampilkan bersama delapan puisi yang lain. Memang sengaja menampilkan puisi-puisi GM lebih dulu, agar teman-teman dapat merasakan sesuatu yang saya rasakan. Adalah suasana ngungun, terpisah dari keramaian, namun terselip rasa bahagia yang menimbulkan tanya. Seolah mereka (GM dan Tuhan) sedang berdua menikmati ‘kesepian’ itu bukan dengan ‘kesedihan’. Kata “cahaya berenang” dalam puisi itu, kemudian, sungguh-sungguh kami (bersama Arya Gunawan) buktikan saat menikmati larut malam di tepi pantai Ancol. Dalam ribuan gelombang mungil sebagai anak ombak yang menepi ke pantai, pada tiap punggung dan cekungannya, terpantul cahaya yang bersumber dari lelampu gedung-gedung yang dari kejauhan seperti terletak di pinggir laut. “Itu dia cahaya yang berenang…!” seru kami takjub. Sebenarnya ketakjuban itu terbit justru karena GM mampu menuliskan pemandangan itu dalam frasa yang sederhana namun tepat.

Kemampuan seperti itu layak dipunyai oleh seorang penyair. Teman saya Tia Lesmana (beberapa hari lalu sempat bertemu di Jogja seusai peluncuran buku “Jogja 5,9 Skala Richter”), pernah menyebut sebagai “bahasa dewa” untuk kata-kata yang lahir dari seorang penyair. Di masa yang sangat lalu, pujangga umumnya adalah orang berdarah biru yang dekat dengan silsilah raja-raja (Misalnya Jayabaya dan Ronggowarsito). Dengan demikian, istilah bahasa-dewa atau bahasa-para-raja tak terlampau keliru. Sementara Joko Pinurbo menganggap pilihan kata pada puisi GM begitu mewah.

Menggunakan kata-kata ‘mewah’ atau ‘sederhana’, istilah itu mungkin semata menurut sang penafsir saja. Mari kita cermati setiap kata yang digunakan oleh GM dalam setiap puisinya. Tampaknya tidak terlalu asing (jika asing diartikan dengan kemewahan yang mungkin jadi ‘mahal’ nilainya). Persoalannya adalah, GM memetik pelbagai idiom atau istilah yang berbeda secara kreatif. Pembaca, yang perbendaharaan bahasanya belum begitu luas, merasa harus berpikir, merasa-rasa seperti orang mencecap menu makanan baru, kemudian menelannya dengan sedikit sensasi. Apakah dengan demikian kemudian terjadi kesenjangan kimiawi antara penyair (GM) dengan kita (sebagai pembaca)?

Idiom, frasa, atau bentukan kata yang dipungut dari hamparan bahasa sendiri itu seperti mutiara yang tercuci dari lumpur. Setelah dipikir-pikir, apa anehnya? Misalnya ungkapan: kedai tukang las, sirkel api, kemah-kemah awan, cakrawala aspal, gerimis telah jadi logam, hutan besi, cahaya berenang, garis-garis suara, ornamen embun, bulan yang berlumut, derum daun-daun Ithaca, mencambukkan pijar…

Ah, alangkah banyak komposisi kata yang tak terduga (menurut saya). Yang apabila kita, bahkan tak sengaja, memungutnya, bakal segera diketahui sumbernya: Goenawan Mohamad.

Sebagai contoh, karena kata-kata itu ditemukan oleh GM, maka saat membaca ‘sirkel api’ dalam salah satu puisi Arif Bagus Prasetyo, terasa ada proses adopsi, walau mungkin tak sengaja. Kata ‘lampus’, ‘akanan’, dan ‘melankoli’, saya temukan juga dalam gugus puisi GM. Sehingga ketika bertebar pada puisi Acep Zamzam Noor (yang dimuat Kompas minggu lalu), seakan-akan ada pengaruh yang merasuki proses kreatif AZN.

Saya, secara pribadi, memang seolah selalu mendapatkan pengalaman baru, sensasi baru, ketakjuban baru, setiap kali menelusuri baris-baris puisi GM. Hampir seluruh puisinya yang tak ‘berteriak’ (mungkin hanya satu-dua seperti misalnya “Gatoloco”, yang agak terasa lantang), mengandung makna tak terbatas pada yang tersurat. Lalu kami, dengan pengalaman menghayatinya, menganggap puisi-puisi GM sebagai puisi kontemplatif, puisi imajis, puisi suasana, atau juga puisi kamar. Puisi yang dibacakan dengan tenang, mungkin tak perlu panggung atau suara genderang. Saat dibaca, antara penyair dan penikmat hanya ada jarak yang intim. Mungkin boleh serupa bisik.

            Namun demikian, seperti paradoks, beberapa puisi GM justru digelar dalam kemasan pertunjukan. Yang tentu membutuhkan orang banyak sebagai penonton. Salah satunya yang berjudul “Doa Persembunyian” . GM bekerjasama dengan pemusik Tony Prabowo dan pelantu lagu Ubiet.

Tuhan yang meresap di ruang kayu

di greja dusun

di lembah yang kosong itu,

kusisipkan namamu

“Kalau bikin puisi, kata-katanya harus monumental, agar orang selalu ingat,” demikian kata teman saya, penyair Herdi SRS. Ia pun hendak mengarah ke sana. Sejumlah besar puisinya, terutama yang berlatar mancanegara, berusaha menggapai suasana imajis. Namun tak sepenuhnya sampai. Sementara GM, belum tentu sebulan menulis satu puisi (lihat pada bukunya “Sajak-sajak Lengkap 1961-2001”). Sepertinya ia begitu sabar menanti netasnya kata-kata yang tak terduakan.

Seperti juga dalam menggarap Catatan Pinggir, GM tentu tak ingin mengulang frasa atau komposisi yang sama pada satu puisi dengan yang lainnya. Itu cukup berhasil. Namun saya temukan kata: “berlari dalam darah” pada dua buah puisi, yakni: “Di Tengah Rumah  (sekitar 1986) dan “D Serambi” (1979). Saya kutip masing-masing satu bait:

Di dalam rumah ini kita dengarkan sebuah Bach

Di ujung jalan siapa berlari dalam darah?

(Di Serambi)

 

Di tengah rumah kaubaca sajak
Amir Hamzah

Di ujung jalan

Orang-orang berlari

Dalam darah

(Di Tengah Rumah).

 

Adakah yang mempengaruhi karya-karya GM, atau dengan kata lain, siapa penyair yang menjadi inspirator GM? Saya tak tahu persis. Saya hanya meraba-raba, mungkin Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Mengapa demikian? Saya merasakan ada beberapa struktur kalimat yang beraroma sajak lama. Misalnya pada bait-bait “Surat-surat Tentang Lapar” atau “Catatan-catatan Jakarta”. Tapi itu memang puisi-puisi awal GM, dengan titimangsa 1961. Sedangkan pilihan judul yang sangat lekat dengan suasana, umumnya juga yang dgunakan oleh Chairil. Semisal: “Cemara Menderai Sampai Jauh”, “Senja di Pelabuhan Kecil.” Untuk telaah lebih jauh, sebaiknya menjadi tugas kritikus saja. Saya sampai saat ini sedang bahagia menjadi penikmat.

Bak keinginan menyentuh muka air telaga atau kolam hijau kebiruan yang berhiaskan kuncup-kuncup padma, muncul semacam kecemasan akan mengganggu ketenangan dan kebeningannya; demikianlah cara saya menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad. Betapa tidak? Sering saya merasa berdebar saat menemukan sejumlah kecil puisi GM yang tertcantum di Jurnal Kalam, misalnya. Berdebar ingin segera membacanya, sekaligus berdebar ingin berhemat agar tak segera mengakhirinya. Saya berdebar akan menemukan idiom-idiom atau metafor-metafor baru. Dan dengan ‘kemewahan’ pilihan kata-katanya (mengutip Jokpin), puisi GM menjadi semacam sidik jari penyairnya. Sehingga ketika puisi berjudul “Mezbah” diposting di milis ini saat hari puisi sedunia (21 Maret yang lalu) oleh Endah Sulwesi tanpa mencantumkan nama pengarangnya, saya sempat takjub. Hebat puisi itu, seperti gaya Goenawan Mohamad. Dan ternyata benar.

Malam pun menemui kurban

di hamparan. Cahaya warna kusta

dan plaza jadi dingin, ketika Ajal

memandang

Karena sikap saya demikian terhadap puisi-puisi GM, jangan-jangan ketika menulis puisi, saya pun terpengaruh padanya. Saya katakan: tentu! Meskipun, seperti juga Herdi SRS, tak sepenuhnya berhasil. Dan memang seharusnya begitu. Karena ada yang meronta untuk menunjukkan dirinya sebagai berbeda.

Dalam hal pencapaian suasana, saya kira GM tak perlu diragukan – atau setidaknya tidak saya ragukan. Suasana juga dicapai oleh sajak-sajak Rendra di awal kepenyairannya saat jatuh cinta pada Sunarti. Juga dicapai satu dua puisi Sutardji Calzoum Bachri, misalnya pada sajak berjudul “Alina”, atau “Idul Fitri”. Dan terutama yang dicapai oleh Sapardi Djoko Damono (SDD) dalam hampir seluruh puisinya. Di satu saat, saya sempat curiga, bahwa antara GM dan SDD ada kesepakatan untuk saling memuji, saling membesarkan, melalui cara saling memberi pengantar pada buku antologi puisi mereka. Tapi itu sah-sah saja. Karena, toh secara umum, keduanya berada pada tataran yang saling menghormati.

            Kembali pada suasana, makna kata di dalam puisi GM saling menguatkan kesan, dan seolah ada warna yang bermain, ada suara yang bergerak, ada suhu yang meresap, ada desir perasaan yang menggelinjang. Misalnya pada judul, “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”. Yang saya bayangkan adalah runcing jarum air yang jatuh menusuk dari langit. Saat gerimis itu menyentuh kulit, ada suhu dingin yang kontras dengan hangat tubuh kita, menghunjam tajam serupa lidi besi…

Lalu kisah apa yang terjadi pada “Perempuan yang Dirajam Menjelang Malam”? Mungkinkah itu Maria Magdalena? Atau ketika saya membaca “Persetubuhan Kunthi”, metafor erotisme itu begitu lembut tertera:

Semakin ke tengah tubuhmu

yang telanjang

dan berenang

pada celah teratai merah

ada lempang kayu apu

yang timbul tenggelam

meraih

arus dan buih

 

Sampai badai dan gempa seperti menempuhmu

dan kauteriakkan

jerit yang merdu itu

Atau pada puisi “Kwatrin tentang Sebuah Poci”, kata ‘tolol’ di sana memang harus diakui oleh semua pecinta nostalgia. Barangkali ada serumpun surat-surat lama yang begitu menghanyutkan saat kita baca: mengingatkan kembali pada cinta masa lalu. Menghidupkan kenangan, yang boleh jadi, sudah tiada lagi atau tak mungkin dipanggil kembali dalam situasi apa pun. Sama halnya ketika kita memandang secercah bintang, dengan jarak sekitar ratusan tahun cahaya. Adakah benda pemilik kerlap itu masih benar-benar bertengger di sana? Bukankah separuhnya hanya ilusi?

sesuatu yang kelak retak

dan kita membikinnya abadi

 

Namun GM tak hanya sentimental dengan perasaan-perasaan pribadi. Saat ia mengambil materi sajak dari peristiwa politik, bersit suasana tetap hadir, bahkan ditambah dengan aroma ketegangan yang kita butuhkan. Misalkan pada “Zagreb

Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong kepala, dan

berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya:

“Ini anakku.”

dan ia bercerita:

“Tujuh tentara menyeretnya dari ranjang rumah sakit,

tujuh tentara membawanya ke tepi hutan dan menyembelihnya,

tujuh musuh yang membunuh sebuah kepala yang terguling dan

menggelepar-gelepar dan baru berhenti, diam, setelah mulutnya yang

berdarah itu menggigit segenggam pasir di sela rumputan.”

 

Atau pada “Misalkan Kita di Sarajevo”. :

 

Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk

dengan kanon sepucuk,

dan bertanya benarkah ke sarajevo

ada secelah pintu masuk.

Tapi misalkan kita di Sarajevo:

di dekat museum itu kita juga akan takzim

membersihkan diri: “Biarkan aku mati

dalam warna kirmizi.”

Atau jauh di masa lalu, GM juga berhasil memotret tak sekadar warna datar dari situasi pemilihan umum. Kita simak puisi berjudul “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”

Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan

Liang luka yang lebih. Bayang-bayang bergoyang sibuk

dan beranda meninggalkan bisik. Orang ini tak

berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak

bertanda gambar…

 

Kita memang merasakan, menjelang atau sesudah revolusi, situasi politik menjelang atau ketika berlangsung Pemilu, adalah situasi yang seakan tak aman bagi semua pihak. Tak ada ukuran benar dan salah, kecuali dengan parameter kekuasaan pada saat itu. Dan kekuasaan ternyata serapuh benang basah yang harus ditegakkan.

Untuk memilih mana yang paling saya suka dari sajak-sajak GM, terlampau sulit menjawab dan menentukannya. Biarlah semua sajak GM tetap tenang serupa permukaan kolam atau telaga yang biru kehijauan. Saya belum, dan mudah-mudahan tak akan, bosan menikmatinya. Karena senantiasa ada pengalaman baru setiap kali membacanya.

Mungkin yang dapat saya katakan dan mudah-mudahan benar: puisi-puisi GM tidak labil sejak awal kepenyairan hingga yang terakhir ditulisnya. Keinginannya untuk tidak mengulang, membuatnya tetap setia pada kualitas kata yang dipilihnya. Dan karakternya tidak berubah oleh waktu atau musim tertentu, dengan kematangan yang terus terbangun melalui tahun-tahun pengalaman penciptaan.

Bak keinginan menyentuh permukaan air telaga atau kolam hijau yang berhiaskan teratai, saya dengan sendirinya hati-hati menangkap tiap tafsir yang berkelindan pada suasana perasaan saya, yang tak hendak mengganggu ketenangan dan kebeningannya; demikianlah cara saya menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad.

 

(Kurnia Effendi)