Tuesday, July 31, 2007

Surel untuk Helena Rea

Helen,

Lupakan kabar buruk tentang surelmu yang lenyap entah nyangkut di mana. Toh dirimu bisa kembali menulis panjang di sini. Baca cerita panjangmu seperti sedang berlari kecil di jalan setapak menuju ke pedalaman tempat para GAM (Gerakan Atjeh Merdeka) tinggal. Dag-dig-dug mencari akhir yang aman dan nyaman dari intaian para intel. Ah, apakah itu masih ada? Orang-orang Atjeh yang dulu pernah bertahun-tahun kehilangan malam akibat DOM (Daerah Operasi Militer), kini, menurut pengakuan teman-teman Lapena, telah mendapatkan suasana itu kembali.

Sudah terbayang bahwa pekerjaanmu sesungguhnya menyenangkan. Kita bisa melihat hal-hal baru, berkenalan dengan orang-orang yang punya pengalaman unik, tahu perangai mereka di pedalaman. Biasanya,

ketika kita melihat dari dekat daerah yang semula hanya terdengar melalui cerita orang, akan memberikan kesan yang berbeda. Mendalam dan mungkin mengubah cara pandang kita terhadap orang yang selama ini dibicarakan dengan santer di luar sana.

Sejumlah pengalaman itu sungguh menarik jika ditulis dalam feature perjalanan, apalagi bila dilengkapi dengan foto-foto jurnalistik. Seperti buku Dessy Anwar, mantan penyiar berita dan wawancara RCTI yang mengumpulkan semua catatan perjalanannya dengan foto-foto indah. Foto yang dia buat tidak semata untuk kebutuhan berita namun justru banyak hal unik ditampilkan. Lalu di setiap negara yang disinggahi ia meluangkan waktu untuk membeli kartu pos dan mengirimkannya ke tanah air sehingga ia memperoleh stempel resmi pos setempat dengan tanggal yang dokumentatif.

Andai aku punya kesempatan seperti itu pasti akan luar biasa senangnya. Sekarang saja, ketika perjalanan dinas ke luar kota dan keluar pulau saya dapatkan, selalu kucuri waktu untuk dapat berjumpa dengan para sahabat di kota yang kukunjungi. Mereka biasanya budayawan setempat, para sastrawan, pelukis, seniman musik, pegiat teater, dan redaktur koran lokal. Jauh sebelum melakukan perjalanan, sengaja saya cari informasi tentang orang-orang yang perlu saya kenal dan sambangi. Lalu kutelepon mereka agar dapat menyiapkan waktu untuk bertemu.

Oleh karena itu, ketika aku ke Denpasar, misalnya, aku akan bersilaturahmi dengan Warih Wisatsana, Tan Lioe Ie, Oka Rusmini, Wayan Sunarta, Pranita Dewi, Putu Vivi Lestari, Arief Bagus Prasetyo. Kadang-kadang teman-teman itu mengajakku ke Taman Budaya, menonton acara yang sedang berlangsung di sana. Misalnya pameran lukisan atau pertunjukan teater. Di sana, dulu, saya berkenalan dengan Gun-Gun, karikaturis yang memperoleh rekor MURI lantaran buku karikaturnya dinobatkan sebagai yang terbesar dan tertebal. Lantas, ketika jalan-jalan menyusuri wilayah pusat kesenian yang senyi karena malam telah larut, Warih membaca puisi yang dihapalnya di luar kepala. Atau pada malam yang lain, aku diajaknya ke toko buku yang terpencil di sebuah desa. Namanya Rumah Cengkilung, sesuai dengan nama desa tempat toko dan rumah baca itu terletak. Di sanalah saat itu, Wayan Jengki bertugas sebagai pengelola menggantikan Putu Vivi Lestari.

Saat aku dinas ke Lampung, sebelum berangkat aku sudah   menghubungi Isbedy Setiawan (penyair), Oyos Saroso (wartawan Jakarta Post). Ternyata aku bisa ketemu dengan yang lain-lain karena mereka mengajak teman lain. Meskipun kadang-kadang ada juga yang luput karena mereka ada acara dengan keluarga, seperti yang terjadi pada Lupita Lukman dan Inggit Putria Marga.

Kini setiap kali aku hendak jalan ke luar kota, kusiapkan beberapa eksemplar Parle. Ketika saya dinas ke Padang, kubawakan Parle buat penyair Gus tf dan Yusrizal Kawe. Atau waktu ke Atjeh bersama Unesco, sengaja kubawa Parle buat Radio Nikoya, Azhari, dan kebetulan saat itu ada teman-teman Jakarta yang juga berada di sana: Nirwan Ahmad Arsuka dan Hasif Amini. Lalu di hari lain aku bersantai dengan Reza Idria di Ulee Kareng. Bahkan pernah diminta ngariung di sekretariat Lapena.

Nah, Helen, jika ingin belajar menulis dan berkumpul dengan para penulis, selain dengan Azhari, bisa juga masuk ke Lapena. Di sana kan ada Sulaiman Tripa yang sangat produktif itu. Tripa ini pernah diminta setiap hari untuk menulis kolom di suratkabar lokal. Wah, pasti sangat menguras energi dan pikiran.

Soal bossmu itu, barangkali dia kesepian juga di Atjeh. Ia merasa jenuh dengan tugas-tugas yang mendera tiap hari sehingga perlu teman ngobrol saat week end. Sepanjang ia menjadi teman ngobrol yang asyik, tak ada masalah menemaninya kan? Asalkan ada teman-teman lain pula yang bareng dengan kalian jadi ramai. Tapi jika Helen ingin bebas pada saat libur, bilang saja terus terang, misalnya ingin baca buku yang sengaja dibeli di Jakarta. Atau ingin masak di rumah karena selama ini makannya selalu beli. Pokoknya belajar asertif lah.

Helen di Atjeh tinggal sama siapa? Ada saudara atau tinggal di mess, semacam wisma yang disediakan kantor? Bila banyak kenalan dengan orang-orang palang merah dari negara lain, buatlah acara pada hari Sabtu dan Minggu, sehingga punya alasan untuk menghindar dari ajakan boss. Oya, boss-mu itu laki-laki atau perempuan?

Helen suka bikin puisi? Tulis dong puisi-puisi yang mengambil inspirasi dari perjalanan dan kegiatan sehari-harimu itu. Kirim padaku, aku ingin membacanya.

Untuk feature Life Style di Parle, coba saja ditulis dari sekarang. Biar dapat kulihat dulu, siapa tahu perlu polesan di sana-sini. Dengan persiapan itu, kelak kami tak lagi khawatir kehabisan stok. Selain Helen, tentu ada juga teman-teman lain yang menulis. Misalnya Anya Rompas (pendiri Komunitas BungaMatahari), Endah Sulwesi (penulis book review), Aurelia Tiara (penyair dan dosen komunikasi), Adeke Dini Fahranza (finalis Putri Indonesia 2006), Nova Riyanti Yusuf (dokter jiwa dan dosen psikologi), Liza Marielly (psikolog), Dessy Sekar Astina (Forum Indonesia Membaca), dan Uci Sumarmo (perancang busana dari Red Communication). Masing-masing berangkat dari latar belakang yang berbeda. Tentu akan sangat bervariasi dan setiap tulisan bakal menampakkan keindahan.

Oke, nanti kita sambung lagi perbincangan kita. Pokoknya kalau Helen jenuh dan sedang merasa bosan dengan pekerjaan rutin, menulislah. Kirimlah email-email panjang padaku.

Oke, cantik? Salam kangen

Kurnia Effendi

 

 

 

 

KOMUNITAS

KOMUNITAS bukan sekadar peer group, tidak sesederhana “gang” yang ke sana-kemari bersama-sama. Komunitas mencakup lebih luas dalam jumlah (individu) maupun kawasan tempat tinggal. Komunitas ibarat partai, sebagian besar menempuh prosesi pendirian (establishment). Komunitas mirip dengan foundation, memang kadang-kadang dimulai atau berlanjut dengan pembentukan yayasan. Komunitas, oleh karena itu, memiliki ideologi.

Ideologi adalah ruh dalam organisasi, lembaga, atau komunitas. Ideologi dalam sebuah komunitas menjadi perekat yang membuat setiap anggotanya merasa harus berjalan lurus sesuai garis yang telah disepakati (dengan atau tanpa deklarasi) bersama. Masing-masing komunitas dibentuk dengan ideologi yang berbeda sesuai dasar pijakan keberangkatannya. Dari urusan sosial, seni budaya, politik, ekonomi, sains, bahkan kesukuan di tanah rantau. Lalu masing-masing bidang itu pun terbagi lebih rinci. Katakanlah bidang seni budaya. Dari ruang lingkupnya dapat diuraikan sesuai jenis atau aliran seni. Komunitas (seni) musik, komunitas seni rupa, komunitas (pelukis dan kolektor) komik, komunitas (pemain) teater, komunitas (penggemar) film, komunitas (pegiat) sastra, komunitas seni tradisional, dan seterusnya.

Syahdan, komunitas sastra pun terbentuk. Saya ambil contoh Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Para pendirinya kaum pecinta sastra, baik itu pengarang (penyair atau cerpenis), pembaca sastra, maupun orang-orang yang berminat menjadi keduanya. KSI didirikan oleh sekitar 10 orang yang masing-masing memiliki komunitas. Dengan kata lain, KSI beranggotakan komunitas-komunitas sastra yang tersebar di seluruh Jabodetabek. Dengan kata lain pula, para pendiri KSI adalah para ketua komunitas-komunitas “kecil”. Pada sebuah siang yang hangat, kesepuluh (kurang atau lebih) pemilik gagasan itu merasa satu hati. Chemistry masing-masing orang terpaut dan merujuk pada satu tujuan untuk menggalang rasa cinta mereka terhadap sastra. Sebagai sebuah organisasi (yang diresmikan dengan AD/ART), dipilihlah ketua untuk memimpin. Terpilih Wowok Hesti Prabowo, seorang penyair, ketua komunitas (awal) Roda-Roda Budaya Tangerang, dan penggerak kaum buruh yang bercita-cita menjadi sastrawan.

Di awal perjalanan memang terasa ada perhatian lebih banyak pada anggota buruh industri di kawasan Tangerang. Dua dari kebanyakan mereka kemudian menjadi penyair, yakni Dingu Rilesta (Ngudi Lestari) dan Husnul Khuluqi. Masih banyak nama-nama lain yang dilahirkan dari kawah komunitas. Kegiatan demikian intensif, nyaris tiap pekan dan tumbuh rasa kekeluargaan dalam komunitas itu. Dari langkah awal tentu tampak seperti apa ideologi yang diusung oleh KSI. Mula-mula berjalan mesra, sampai kemudian ada ketegangan antar-anggota dan pengurus, boleh jadi karena ada pengaruh dari luar yang membuat warna buruh merasa perlu dikoreksi.

Bagaimana dengan situasi atau kondisi pada komunitas sastra (atau seni budaya) yang lain? Ada banyak contoh, yang apabila disebutkan akan tampak rona ideologinya. Misalnya Teater Populer Teguh Karya. Hampir sama dengan Komunitas Bengkel Teater Rendra, keduanya bergerak di bidang penulisan naskah dan pertunjukan teater. Di sana ada unsur yang lebih beragam dibanding sastra (tulisan). Karena ada kegiatan pementasan, tentu saja terdapat proses latihan. Di dalamnya terlibat para pemain, sutradara, artistik (dekorasi dan tata lampu), dan penata musik (termasuk sound system). Kita kenal kedua komunitas itu menjadi semacam sekolah bagi para pemain teater yang kini memiliki reputasi dengan mendirikan komunitas-komunitas (sanggar) teater baru. Setelah berpisah mereka boleh mencari warna ideologi sendiri. Ideologi inilah yang kemudian tampil sebagai ciri estetika.

Teater Utan Kayu (TUK) dan Komunitas Utan Kayu (KUK) adalah satu keluarga. Digagas oleh Goenawan Mohaman dan teman-teman yang tergabung di majalah Tempo maupun di luar keluarga Tempo, juga telah menunjukkan ideologi tersendiri dan menampilkan karakter estetikanya. Menempati kawasan di Jalan Utan Kayu, kegiatan mereka yang terorganisasi dengan baik melalui sastra tulisan, teater, toko buku, dan radio, membuat “bendera” KUK atau TUK dikenal luas. Tokoh sastra dan seni budaya yang tergabung di dalamnya seolah terpilih melalui “seleksi” intelektual yang sepaham (dalam pemikiran Barat). Tersebutlah nama Nirwan Dewanto, Hasif Amini, Ahmad Sahal, Sitok Srengenge, Marco Kusuma Wijaya, Asikin Hasan, Ayu Utami, Tony Prabowo, dan lain-lain. Dengan standar ukuran di atas rata-rata dalam menjalankan kegiatan seni-budaya, tak semua sastrawan Indonesia mendapat tempat dalam komunitas mereka. Lambat-laun situasi tersebut membikin TUK menjadi eksklusif dan seolah menjauhi realitas keindonesiaan dan menciptakan semacam jurang dengan sastrawan yang tak terengkuh.

Kemampuan lobi para intelektual di balik “panggung” TUK dan KUK dengan jaringan internasional cukup mengagumkan. Mereka sanggup mentradisikan acara sastra internasional dengan biaya yang memadai, sekaligus administrasi dan profesionalisme yang sepadan. Di luar unsur politik kebudayaan (jika ada), antara karya dan sumbangan pemikiran mereka terhadap kemajuan sastra cukup terasa. Bahkan, meskipun belum berfaedah secara luas, infrastrukstur yang mereka bangun baik fisik maupun nonfisik, diabdikan untuk seni dan budaya. Siapa pun, saya kira, boleh berkegiatan di sana, baik modern maupun tradisional pinggiran, sepanjang kurasinya melibatkan mereka. Nah, sekali lagi, parameter kualitas yang terletak di atas rata-rata itu kadang-kadang berperan pilih kasih dan menimbulkan kecemburuan. Apalagi jika ditambah dengan sikap arogan.

Ada ideologi yang berbeda pada komunitas Forum Lingkar Pena (FLP). Komunitas yang digagas kakak-beradik Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia ini cukup “keras” dalam menjaga moral kesusilaan berkarya. Bagi para pengarang FLP, menulis adalah media dakwah. Jadi, sebebas apa pun tema yang hendak disajikan, harus tetap dalam koridor norma (islami). Bukan berarti karya mereka tidak menyentuh peristiwa seksual dan kekerasan, namun selalu diupayakan penyampaian dengan bahasa yang tidak menjurus pada eksploitasi. Bagi FLP, yang kini anggotanya telah lebih 5000 orang dan memiliki cabang di sejumlah negara (termasuk Mesir dan Hongkong), menulis tidak untuk konsumsi (nafsu) pribadi. Ada tanggung jawab yang melatarinya terutama ketika karya mereka tiba di tangan masyarakat pembaca.

Lantas bagaimana masing-masing komunitas sastra itu hidup dalam khazanah sastra Indonesia? Dapat ditebak: tidak semulus yang kita bayangkan atau yang mereka tuliskan dalam bentuk prosa dan puisi. Ada pelbagai friksi yang mengemuka. Dan kini, atas nama kepentingan masyarakat luas dan moral bangsa, ada gerakan yang sedang melawan dominasi kebudayaan komunitas yang satu terhadap komunitas yang lain. Sementara setiap sastrawan memiliki sepasang kaki yang kadang-kadang berpijak di dua tempat. Jika boleh disampaikan secara jujur, kita sebenarnya sedang menghadapi sebuah peta buta komunitas sastra.

(Kurnia Effendi. Untuk PARLE)

 

 

 

 

 

 

Monday, July 30, 2007

Asvega dan Dunia Peri

seni budaya

Asvega dan Dunia Peri

ASVEGA semula “hanyalah” pelukis anak-anak. Namun pada 20 Juli yang lalu, The Japan Foundation telah “melahirkannya” menjadi pelukis muda yang sangat menjanjikan melalui pameran tunggal. Sekitar 40 lukisan yang menggunakan teknik drawing dengan tinta Cina tiga warna, tampil memukau justru karena ketelatenannya dalam menggambar obyek khayalan dengan rinci. Di sana terdapat sejumlah peri dalam pelbagai perlambang. Menyelam di kedalaman laut sebagai ikan atau menari dalam siraman hujan. Selain itu, Asvega juga menggambar rumpun bambu dan bunga-bunga dengan gaya lukisan Cina. Ada satu lukisan berjudul “100 Burung” yang dengan rasa penasaran dihitung oleh salah satu pengunjung.

Pameran dibuka oleh Yuichi Takahashi (pihak The Japan Foundation) dan Eka Budianta, seorang penyair yang menggemari lukisan dan kebetulan kakek Asvega. Malam ini telah lahir seorang pelukis baru di tengah-tengah kita,” ujar Eka. Para pengunjung kini tahu, bahwa sejak Taman Kanak-Kanak, Asvega sudah mulai melukis. Kanvas awalnya adalah dinding rumahnya, yang hingga kini tidak dihapus.

Dilahirkan bulan Agustus, 19 tahun yang lalu, dari rahim seorang penyair Medy Loekito, kini Asvega sudah menginjak semester 3 Jurusan Komputer di salah satu perguruan tinggi di Singapura. Ia sekolah di Singapura sejak SMA, setelah menempuh TK, SD, dan SMP di Lab. School Jakarta. Pada malam pembukaan pameran lukisan bertajuk “Asvega’s World” tersebut, hadir teman-teman Asvega semasa SMA, para apresiator lukisan, dan beberapa sastrawan sahabat ibunya.

Pameran akan berlangsung sampai 3 Agustus 2007, menempati sebuah galeri kecil di lantai II gedung Summitmas I, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Saat tiba acara makan malam, Asvega melakukan demo melukis. Ia mengaku tidak memilih tema tertentu, tetapi jelas bahwa pada periode yang sekarang, ia banyak menggambar dunia peri dan sosok perempuan. Patut dikagumi, karena Asvega menggunakan medium yang terbatas namun jutsru menghasilkan warna-warna indah dengan komposisi yang baik. Lukisannya masih bersifat ilustratif dan menunjukkan dirinya sebagai perempuan, tetapi tampak ada karakter yang suatu saat akan menempatkannya pada posisi penting dalam dunia seni lukis. Meskipun tidak belajar secara formal (misalnya di institut seni rupa), dalam menggambar bentuk postur tubuh sangat proporsional.

Sebelumnya, beberapa tahun yang lalu, Asvega pernah mengikuti pameran bersama pelukis cilik lain di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki. Waktu itu, ia masih menggunakan crayon dengan warna-warna yang semarak. Dulu, ia justru meminta tanda tangan dari para tamunya, terutama sastrawan teman-teman ibunya. Kini Asvega tampil lebih dewasa, pun dengan cara menggambar yang jauh lebih matang. Bahkan telah berani melakukan sharing keterampilan dengan  melatih anak-anak yang ingin belajar melukis.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Kabar dari Jambi

Peluncuran “Negeri Angsa Putih”

Diam-diam Jambi terus hangat dalam kegiatan sastra. Selusin penyair berhimpun dalam satu antologi, meluncurkan karya puisi mereka bertajuk Negeri Angsa Putih. Launching yang dimeriahkan oleh pementasan Teater Tonggak dan Teater Air dengan artistik garapan Daya Kreativitas Insani, menunjukkan betapa insan seni di Jambi berjalan seiring dalam keindahan silaturahmi. Peristiwa sepanjang tiga hari di Gedung Teater Proscenium Taman Budaya Jambi, selain dihadiri oleh para sastrawan dan budayawan, juga tampak tamu-tamu dari jajaran birokrat (antara lain Pemda, Kepala Disbupar, Kepala Taman Budaya). Hubungan antara pekerja seni dengan pemerintah cukup karib, semoga saja tidak serta-merta menurunkan kualitas karya dengan cara-cara kompromis yang antikritik, misalnya. Panitia juga mengundang para jurnalis dari media cetak dan elektronik, di antaranya Kompas, Jambi Ekspres, Jambi Independen, Postmetro Jambi, TVRI, RCTI, SCTV, Metro TV, TPI, dan Trans TV.

Dimas Arika Mihardja, selaku inisiator, penyair, juga dosen sastra, mewakili penyelenggara menyampaikan maksud dan tujuan peluncuran karya. Antologi swadana berisi puisi 12 penyair itu dikemas begitu anggun dengan menampilkan penari. Lalu secara simbolik buku itu diserahkan kepada masyarakat (publik pembaca) melalui Dr. Maizar Karim, M. Hum (mewakili akademisi), Junaidi T. Noor (mewakili pemerintah daerah), Sakti Alam Watir (mewakili media massa). Acara berlanjut dengan pembacaan puisi dari masing-masing penyair untuk menginterpretasikan jiwa penciptaan mereka kepada audiens.

Sebelum dialog sastra, ada selingan lelang buku Negeri Angsa Putih. Panitia dan para penyair mengaku terharu ketika ada seseorang yang berani mebayar 1,5 juta rupiah untuk satu eksemplar. Tentu bukan karena buku itu dinilai mahal, namun merupakan penghargaan khusus terhadap karya sastra yang kenyataannya di Indonesia masih terpinggirkan.

Para penyair yang telah melepaskan karyanya ke tengah publik itu adalah: Chory Marbawi, Dimas Arika Mihardja, EM Yogiswara, F. Monthana, Hary S. Haryono, Nanang Sunarya, Nanang Tarsuna, Nicky Handayani, Siti Asiah, suardiman Malay, Titas Suwanda, Yohana, dan Ita Kustiawati. Mereka bekerjasama dengan Bengkel Puisi Swadaya Mandiri.

Angsa Putih bagi komunitas sastra Jambi merupakan simbol cinta, petualangan, kesetiaan. Keyakinan, dan kesucian. Puisi yang digubah dan dimuat dalam antologi itu secara metaforis ”serupa dengan angsa putih yang tak letih meniti buih kehidupan penuh kerinduan dan keharuan”. Tanggal 3 Juli memang sudah berlalu, namun gema kerukunan seniman di Jambi itu patut menjadi teladan bagi komunitas-komunitas sastra lain di Indonesia, terutama Jakarta yang terus meletup-letup karena saling menguasai melalui dominasi kebudayaan.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wednesday, July 25, 2007

Kuncup Salihara dari Taman Utan Kayu

Dua tahun silam sudah terbicarakan mengenai rencana pengembangan Komunitas  Utan Kayu (KUK) di kawasan Pasar Minggu. Banyak keterbatasan secara fisik, terutama parkir, ruang pertunjukan, dan wisma untuk seniman, yang menyebabkan para pendiri serta penggiat KUK, Goenawan Mohamad dan kawan-kawan, mencari alternatif. Berdasarkan survei yang pernah dilakukan oleh Gedung Kesenian Jakarta, sumber penggemar kesenian banyak datang dari wilayah selatan, maka hal itu menjadi salah satu pertimbangan juga dengan pemilihan lokasi di Jalan Salihara 16, Jakarta Selatan.

Sabtu siang, 14 Juli yang lalu, peletakan batu pertama dilakukan oleh Bang Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jaya yang cukup legendaris. Komunitas Salihara yang memiliki luas bangunan 2000 meter akan berdiri di atas lahan 3000 meter. Jalan menuju ke sana sebenarnya cukup sempit, padat oleh hunian, tapi daerah itu relatif dekat dengan sejumlah perguruan tinggi, terutama Universitas Nasional dan mudah ditempuh dari outer ring road Simatupang. Marco Kusuma Wijaya sebagai arsitek menjelaskan kepada hadirin sesudah seremonial mengenai fungsi-fungsi dari tiap gubahan massa yang dirancangnya secara komprehensif.

Sebuah gedung oval disediakan untuk pertunjukan dan pameran. Bentuk ruang tanpa sudut itu bermaksud mencerminkan falsafah kebebasan tanpa ujung pangkal, juga untuk mengakomodasi kegiatan yang tidak terkait dengan batasan matra. Hasif Amini selaku kurator mengatakan, bahwa Komunitas Utan Kayu tetap dipertahankan dengan sedikit perubahan fungsi. Di sana lebih dimanfaatkan untuk wahana latihan seni dan pameran yang tidak memerlukan ruang besar.

Melihat kemajuan yang telah ditempuh oleh Komunitas Utan Kayu ini, memang banyak mengundang rasa iri di kalangan komunitas yang lain. Banyak benturan dan kritik yang bersifat menyerang, karena dianggap ada unsur arogansi dan eksklusivisme dari kalangan KUK sehingga tidak mengakomodasi seluruh strata seni di kalangan masyarakat luas. Namun demikian, melihat reputasi baik nasional maupun internasional dan pengabdiannya terhadap perkembangan seni budaya (baik modern maupun tradisional), yang diperlukan adalah kegiatan tandingan yang sama-sama mengusung kualitas karya. Serangan yang bersifat provokasi justru memperkuat eksistensi mereka sebagai kubu budaya dengan pemikiran yang universal.

Diperkirakan satu tahun ke depan sejak agustus 2007, fasilitas fisik Komunitas Salihara akan dibangun dan diselesaikan. Di sana akan ada ruang pameran dan panggung besar, ruang diskusi, kafe, ruang teater terbuka, wisma seniman, kantor, dan taman-taman yang diletakkan di tengah-tengah kompleks. Hadir dalam acara syukuran antara lain: Danarto, Laksmi Pamuncak, Sri Malela, Martin Aleida, Anya Rompas, Jajang Pamoentjak, dan para relasi KUK.

(Kurnia Effendi)

 

   

 

Tuesday, July 24, 2007

Pekan Presiden Penyair

Sutardji Calzoum Bachri, Mata Kiri Sastra Indonesia

MEMPERINGATI ulang tahun penyair besar Sutardji Calzoum Bachri (SCB) yang ke-66, Yayasan Panggung Melayu memprakarsai dan melaksanakan sebuah kegiatan sepanjang 6 hari. Sejak 14 sampai dengan 19 Juli 2007, setidaknya ada 6 mata acara yang seluruhnya terfokus pada profil dan karya SCB. Selama tiga hari pertama berlangsung lomba baca puisi internasional puisi karya sutardji di Taman Ismail Marzuki, diikuti oleh sekitar 400 orang. Di lobi Teater Kecil dan Graha Bhakti Budaya dipamerkan sejumlah foto perjalanan karier Sutardji sejak mahasiswa, termasuk album perihal keluarga dan tanah kelahirannya. Juga acara dialog (talk show) yang melibatkan para pelajar peminat sastra.

Dua malam berturut-turut (17-18 Juli) berlangsung panggung apresiasi Presiden Penyair yang diisi dengan pembacaan puisi karya SCB oleh para penyair Indonesia, antara lain Jose Rizal Manua, Santinet, Chavchay Syaifullah, Slamet Sukirnanto, Brthold Brecht, Wowok Hesti Prabowo, Dimas Arika Miharja, Hudan Hidayat, Slamet Widodo, Diah Hadaning, Rara Gendis, si kembar Tjahjono Widianto dan Tjahjono Widarmanto, Warih Wisatsana, Amdai Siregar, dan banyak lagi. Ditutup dengan malam puncak Pekan Presiden Penyair, 19 Juli di Graha Bhakti Budaya yang dihadiri oleh keluarga Sutardji dan para pejabat tinggi, di antaranya Menteri Adhyaksa Dault, Gubernur Riau, Walikota Samarinda, Bupati Bintan, dan Anggota DPD Tanjung Pinang.

Pada acara seminar internasional 19 Juli di Galeri Cipta TIM, digelar 4 sesi dengan pembicara yang beragam. Masing-masing sesi mengantarkan satu tema pembahasan yang saling terkait. Bertindak sebagai pembicara, antara lain: Harry Aveling (Australia), Maman Mahayana, Dato’ Ahmad Kamal Abdullah Kemala (Malaysia), Donny Gahral Adian, Abdul Hadi WM, Muhammad Zafar Iqbal (Iran), Taufik Ikram Jamil, Suratman Sukarsan (Singapura), Maria Emelia Irmler (Portugal), Suminto A. Sayuti, dll. Dari makalah yang mereka sampaikan (dibukukan dengan tajuk Raja Mantra Presiden Penyair), menegaskan bahwa Sutardji Calzoum Bachri adalah penyair besar yang memiliki karakter karya yang unik, bahkan disebut-sebut melampaui Chairil Anwar (sebagai inspirator) dalam pencapaian estetik.

Sebenarnya anggapan itu tidak berlebihan, mengingat SCB masih mungkin terus berkarya, sementara Chairil sudah tinggal menjadi legenda. Puisi-puisi Sutardji berjalan sendiri meninggalkan para penyair sezaman, berkarya selama 10-15 tahun, oleh Harry aveling dianggap bukan sebagai pembaharu, karena tidak ada pengikutnya. Setiap penyair yang berusaha “meniru” gaya Sutardji tentun akan langung dicap sok Sutardji. Itu sebabnya karakter puisi yang mencoba melepaskan kata-kata dari beban makna yang dikandungnya justru telah memosisikan Sutardji dalam keunikan sastrawan.

Predikat Presiden Penyair yang konon dilontarkan oleh Abdul Hadi WM, melekat hingga kini. Menurut Kemala, sosok kepenyairan Sutardji ”ditemukan ” oleh Popo Iskandar dan dikampanyekan oleh Slamet Sukirnanto. Dua orang yang masing-masing berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah telah menyepuh Sang Melayu itu menjadi penyair mantra.

Dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juni 1941, SCB kecil tumbuh dengan kenakalan yang mencerminkan kreativitas. Dalam film dokumenter sepanjang hampir 20 menit, sejumlah kesan dari kerabat nmaupun sahabatnya, menunjukkan bahwa Sutardji bukan orang yang penurut. Kuliah di Universitas Padjajaran mengambil studi Ilmu Politik, namun justru lebih memilih sastra sebagai bentuk ekspresi kreatifnya. Pada tahun 1974, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan International Writing Program di Iowa City, Amerika. Sepulang dari sana, melalui Singapura, SCB tidak kembali ke Jakarta, melainkan singgah di Tanjung Pinang. Di sanalah awal lahirnya kumpulan puisi yang pertama dan kedua: O dan Amuk. 

Perjalanan kepenyairannya pernah dihiasi dengan kebiasaan minum bir sebelum naik panggung. Gaya pembacaan yang sangat ekspresif membawa namanya naik daun. Namun, sebagaiman sebuah lintasan pencarian, akhirnya ia bagai menemukan dirinya lahir kembali dengan puisi Idul Fitri. Sejak itu ia kembali khusyuk dengan keislamannya, sebuah perubahan yang tampaknya membangun citra kearifan seorang penyair dengan nuansa sufistik pada sajak-sajaknya. Banyak undangan dari luar negeri dalam rangka pentas atau diksusi sastra, antara lain Irak, Malaysia, Brunei, Belanda, Columbia, dan lain-lain.

Sebagai sastrawan ia sempat pula menjadi Redaktur majalah sastra Horison dan pengasuh halaman puisi di Kompas Minggu. Setelah lepas dari jabatan birokrasi ia justru lebih bebas bergaul dan menjadi sahabat sekaligus guru para penyair muda. Djenar Maesa Ayu, misalnya, merasa banyak mendapatkan ilmu dari Sutardji, meskipun bentuk tulisan yang dilahirkan Djenar berupa cerpen dan novel. Tempat nongkrong SCB adalah warung Alex (Citra) di tenda-tenda dalam kompleks Taman Ismail Marzuki Cikini. Di sana, bersama Tommy F. Awuy, Danarto, dan teman-teman sastrawan lain sering melakukan diskusi non-formal yang kemudian dikenal dengan sebutan ”Universitas Lidah Buaya”. Melalui pergaulan itu pula, gaya penyampaian puisinya berubah menjadi lagu dalam irama blues. Setidaknya, kini, bila Sutardji didaulat untuk membacakan puisi, yang muncul adalah senandung blues.

Meskipun pekan Presiden Penyair ini berlangsung di Taman Ismail Marzuki, penyelenggaranya bukanlah lembaga besar yang berkedudukan di TIM. Yayasan Panggung Melayu yang saat ini diketuai oleh Asrizal Nur. Terdengar sebagai nama baru dalam dunia sastrawan, namun acara yang dibuatnya ini cukup bergema. Panitia besar yang terdiri dari kaum muda dan para akademisi seperti Maman Mahayana dan Amin Wangsitalaja, perhelatan ini patut diacungi jempol. Di kala banyak kegiatan sastra yang melibatkan agenda besar, seperti Ode Kampung yang digagas oleh Pustaka Rumah Dunia (Gola Gong dkk.), Festival Sastra Internasional dua tahunan yang dikelola oleh Komunitas Utan Kayu, dan Kongres Cerpen 2007 yang rencananya akan berlangsung di Banjarmasin pada bulan Oktober nanti, Pekan Presiden Penyair yang baru saja berakhir ini cukup memadai sebagai bentuk apresiasi yang menyejarah.

Selamat ulang tahun untuk Bang Tardji. Kalau mata kanan sastra Indonesia adalah Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri adalah mata kiri (menurut Dami N. Toda). Namun Asrizal Nur dan Maman Mahayana sepakat menilai, Sutardji lebih besar dibanding Chairil Anwar. Pendapat boleh berbeda, boleh pula berkembang, tergantung perspektif cara memandangnya.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

Monday, July 23, 2007

NENEK

AURA nenek kadang-kadang masih begitu dominan di rumah kita. Seolah-olah kasih sayang nenek kepada kita, cucu-cucunya, lebih bebas-nilai ketimbang cinta ibu. Ini terjadi terutama pada keluarga yang sempat “singgah” di rumah mertua, sebelum memisahkan diri. Dari sudut pandang nenek (juga kakek), kehadiran cucu lebih membahagiakan. Bagai “orgasme” kedua setelah bertahun-tahun lalu melahirkan anak sendiri, yang kini telah memberinya cucu.

Barangkali dulu, ketika menjadi ibu, nenek tak hanya memiliki permata hati. Seiring dengan itu, ada tanggung jawab merawat dengan pengalaman yang minim dan terasa mendadak. Mungkin ada kesulitan ekonomi, mungkin ada perbedaan pendapat dengan suami, mungkin ada hubungan sosial yang kurang harmonis dengan lingkungan. Hal-hal serupa itu, juga ketakutan terhadap masa depan sang bocah yang masih samar-samar karena “hidup” baru mulai, membuat situasinya tidak sebebas ketika telah menjadi nenek.

Di sinilah kemudian lahir standar ganda, jika antara nenek dan ibu berbeda cara dalam memberikan kasih sayang atau perhatian. Ibu yang telah belajar segala sesuatu semasa sekolah, kuliah, dan bergaul, menjadi sedikit pintar. Di satu sisi ia membutuhkan pengalaman nenek dalam merawat bayi dengan sentuhan tradisi turun-temurun. Di sisi lain ada buku-buku pengetahuan yang membawa ibu-baru itu ke jenjang modern. Menurut nenek, bayi harus dibedong, misalnya. Sementara dokter masa kini justru menyarankan agar membebaskan seluruh anggota badan bayi bergerak sesukanya, jangan dipaksa untuk tertib lurus. Siapa yang benar?

Menjelang tiga tahun, cucu memasuki masa-masa lucu. Pipinya menjadi sasaran cubitan tangan. Makan dan minumnya sangat diperhatikan. Keterampilannya meraih barang sungguh mengkhawatirkan. Ada bahaya mengancam, namun di usia itu kreativitas sedang dipertunjukkan. Nah, mulailah nenek membiarkan setiap gerakan. Bahkan andaikata sang cucu ingin tidur larut malam atau menolak bobok siang. Sedangkan ibunya yang mungkin sibuk di kantor mencoba memonitor lewat pembantu untuk memastikan: apakah anaknya mengikuti semua aturan yang tadi pagi di”doktrin”kan? Dengan pelbagai varian, begitulah kira-kira awal munculnya perbedaan cara mendidik yang selanjutnya menimbulkan standar ganda bagi si mungil. Boleh jadi, ia akan lebih cinta pada nenek.

***

NENEK saya seorang pendongeng. Mungkin karena itu saya menjadi penulis. Saya tak pernah menemukan kaitan antara talenta saya dengan kemampuan ayah atau ibu dalam berkesenian. Ayah saya seorang olahragawan sekaligus pandai menari Serampang Dua Belas. Ibu saya tak bekerja, di rumah saja, namun pada usia separuh baya giat dalam kelompok karawitan dan kadang-kadang menembang mendampingi sinden, meskipun bukan untuk profesional. Jadi saya simpulkan saja, kemampuan merangkai cerita fiksi tumbuh dari kegemaran saya mendengar dongeng. Setidaknya ada peran imajinasi dalam proses itu.

            Nenek punya pengaruh besar bagi perkembangan masa kecil saya. Nenek yang lugu dan ilmunya terbatas (kecuali hasratnya yang tak terbatas dalam membaca buku-buku di perpustakaan Belanda sebelum kemerdekaan) itu tak pernah belajar ilmu psikologi. Itu terlihat dari caranya menyampaikan dongeng tanpa dipagari pandangan mengenai norma, sehingga saya pun menerima semua kisah tanpa sensor. Baru saya sadari setelah besar, bahkan ketika sudah kuliah, bahwa saya pernah menyerap cerita-cerita yang mengandung unsur seksual. Ketika saya kecil, nenek berkisah tanpa tedeng aling-aling. Tapi percayalah, saya tidak menganggapnya itu sebagai pornografi, meskipun menyangkut perbincangan tentang alat kelamin. Sejauh ini, saya belum berani menceritakan kepada anak-anak saya, padahal seharusnya saya tidak perlu menggunakan standar ganda. Jika saya menerima seperti dongeng-dongeng biasa, barangkali anak-anak saya pun akan memiliki persepsi yang sama.

            Kasih sayang nenek saya ternyata dirasakan juga oleh istri saya, sebagai cucu menantu. Dalam hal ini, ada perbedaan yang mungkin cukup beralasan. Nenek istri saya konon galak. Anaknya yang hidup tiga belas, maka terbayanglah sejumlah besar cucu yang berada di sekeliling kehidupannya. Sementara nenek saya hanya punya anak tunggal: ibu saya. Dari ibu saya lahir “hanya“ empat anak. Dengan demikian ada keluarga yang tampak kolosal di satu pihak, dan terasa minimalis di pihak lain. Tentu saja, secara logika, yang minimalis ini lebih terlimpahi perhatian ketimbang yang sulit dihapal nama-nama cucunya lantaran melewati angka belasan.

            Sebuah peristiwa yang membuat saya lebih terharu adalah ketika mendengar kabar nenek saya meninggal. Istri saya yang merasa paling kehilangan dan air matanya sulit dihentikan sepanjang jalan menuju kampung tempat jenazah itu disemayamkan. Menurut pengakuannya, ia baru merasa punya nenek sejak menikah dengan saya.

            Suatu saat, bila dianugerahi usia panjang, mungkin istri saya juga akan menjadi nenek. Ia sudah harus memilih, ingin menjadi nenek seperti apa? Cucu-cucunya yang akan menilai kelak.

(Kurnia Effendi untuk PARLE)

             

 

 

 

Monday, July 16, 2007

Savalas

”Memang sangat baik menjadi orang penting, namun jauh lebih penting menjadi orang baik.”

Bagi Anda yang dulu kerap mengikuti acara Ebet Kadarusman di salah satu stasiun televisi, tentu tak asing dengan ungkapan di atas. Bahkan sampai kini, kadang-kadang Kang Ebet, demikian ia akrab disebut, kerap mengucapkannya dalam acara OKE (Obrolan Kang Ebet) yang berlangsung Kamis pagi di radio Ramako. Tak tahu persis dari mana muasalnya, entah siapa ”penemu”nya, kita bilang saja anonim. Pepatah itu, meski terdengar sederhana, sungguh dalam maknanya. 

Seseorang yang menjadi pejabat dan memiliki tanggung jawab besar menyangkut hajat orang banyak, sudah barang tentu posisinya akan penting. Sosoknya bakal sering menghiasi halaman surat kabar atau muncul di layar televisi. Pentingnya seseorang mungkin bervariasi dalam rentang waktu. Bisa sepanjang masa jabatannya, kerap pula hanya ketika mendapatkan amanat yang diembannya. Namun kepentingan seseorang dapat juga diperpanjang dengan cara memanjang-manjangkan diri. Jika sudah demikian, akan tercium: ada kepentingan di balik posisi pentingnya.

Dalam politik, setiap orang, terutama yang terhimpun di tubuh partai, ingin memperoleh posisi penting. Untuk itulah dibuat peringkat, strata, atau urutan, berdasarkan pengaruhnya terhadap jumlah orang. Kemampuannya dalam merengkuh simpati—tulus atau terpaksa demi ”kepentingan”—akan menempatkan sepenting apa dirinya di antara kawan dan lawan politik.

Sebenarnya tak hanya dalam kancah politik atau organisasi yang terkait dengan usaha komersial, tingkat kepentingan seseorang tertandai. Dalam dunia hiburan terdapat banyak sosok penting yang ditengarai dengan jumlah pengagum. Seorang artis akan menjadi idola ketika reputasinya dalam entertrainment meningkat dan memiliki daya hibur tinggi. Sang idola dengan sendirinya menjadi penting dalam peta keartisan. Untuk sampai pada posisi penting, diperhitungkan banyak pihak (mulai dari penggemar, penanggap, dan sponsor yang berkepentingan terhadap kembalinya investasi disertai keuntungan), seorang seniman berjuang mulai dari bawah. Antara potensi dan keberuntungan saling berjalin membentuk anak tangga kariernya. Sesampai di puncak, kadang-kadang seorang seniman ternama ingin menghapus jejak muram masa lalunya.

Rasanya, Taufik Savalas, komedian serba bisa yang meninggal hari Rabu 11 Juli 2007, bukan tergolong insan seni yang malu dengan masa lalunya. Ia telah menjadi orang penting dalam dunia hiburan, terpakai dalam pelbagai acara sejak kelas lokal, nasional, maupun internasional (bersama negeri jiran), tidak secara dilahirkan. Taufik Savalas bukan artis kecil masa kini yang sudah menjadi bintang utama sinetron pada debut pertama. Ia, sebagaimana sekilas cerita Indro Warkop, mendaki perjalanan keartisannya dengan belajar dari bawah.

Berbeda dengan para sutradara kita di Indonesia akhir-akhir ini, yang sulit ditemui tilas jejaknya sebagai orang yang melata dalam dunia film. Bahkan mungkin tak pernah magang secara sempurna, namun tahu-tahu telah menempati posisi penting dalam sebuah produksi sinema. Banyak faktor ”x” yang membuatnya demikian, dan percayalah, ”karier” semacam ini akan rontok oleh uji waktu karena mengandung unsur prematur.

Kembali kepada almarhum Taufik Savalas yang usianya dicegat malaikat maut di Purworejo dalam sebuah kecelakaan mobil yang tragis, ia telah mencecap seluruh asin-pahitnya garam kehidupan kota besar melalui upaya yang keras. Sekali lagi ia tidak malu mengungkap sisi kelam masa silamnya sebelum akhirnya memetik seluruh hasil jerih payah. Bahkan ketika sudah sampai pada kondisi yang berkecukupan, cintanya terhadap orang tua, terutama bundanya, tidak berkurang. Ini patut menjadi pelajaran bagi semua orang, bahwa kebahagiaan itu banyak bermula dari doa bunda yang tak terucapkan. Cukup dengan rasa bahagia seorang ibu terhadap bakti anaknya, segala yang ditempuh bakal mendapatkan buahnya.

Benar, Taufik Savalas akhirnya menjadi orang penting, menjadi salah satu ikon pelawak di antara rekan-rekan seprofesi seperti Basuki, Eko Patrio, Dorce Gamalama, Ulfa Dwiyanti, Indi Barends (untuk menyebut beberapa nama), dan yang belakangan naik daun: Tukul Arwana. Berbeda dengan sejumlah artis yang selalu rimbun oleh gosip miring lantaran posisi pentingnya disalahgunakan, Taufik Savalas justru merasa lebih penting menjadi orang baik.

Mendiang Taufik yang tenar dengan nama-udara Savalas saat menjadi penyiar radio Suara Kejayaan, selain penting juga baik. Sepanjang perjalanan hidupnya yang sudah barang tentu bergaul dengan banyak orang, belum terdengar suara sumbang mengenai dia, misalnya, merugikan pihak yang diajak kerja sama, kecuali dengan menyelesaikannya secara baik. Dalam sejumlah acara yang diasuhnya, kita tahu, banyak sosok atau pribadi menjadi sasaran tembak lawakannya. Bahkan, seperti halnya Butet Kartarajasa, ia piawai menirukan suara dan gaya beberapa tokoh penting dalam pertunjukan parodinya. Mungkin saja tokoh-tokoh publik yang dikarikaturkan dalam akting, merasa sakit hati, namun sejauh ini tidak terjadi hujatan terhadapnya. Mudah-mudahan Taufik Savalas memang tidak bermaksud menorehkan luka pada hati sanubari orang-orang yang sering dijadikan objek lawakannya. Mari kita maafkan sebelum keluarganya meminta demi kelancaran perjalanannya menuju Sang Khalik.

Saya, sebagai orang biasa, mungkin sulit menjadi tokoh penting kecuali hanya sok penting. Tapi rupanya ada jalan lebih terpuji ketimbang menjadi ”sekadar” penting, yakni berusaha menjadi orang baik. Dengan bercita-cita menjadi orang baik, barangkali secara tak langsung akan tumbuh sebagai orang penting di hati khalayak yang mendapatkan manfaatnya. Bahkan prosesnya pun sudah menuai nilai.

(Kurnia Effendi, untuk PARLE)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Untuk Perca

Selamat Ulang Tahun

Pacar Kecilku:

Endah Sulwesi

15 Juli 2007

 

Ada yang selalu lucu saat bersamamu

Kita masuk dalam sebuah dongeng berwajah puisi

Milik seorang sahabat yang tampak begitu sederhana

: Joko Pinurbo, kelahiran Sukabumi yang hidup di Yogyakarta

          Karena kita selalu bertemu sejak ambang petang

          Kausebut aku pacar senja

          Karena dirimu mungil serupa kuntum kemiri

          Kusebut kau pacar kecil

Dan penyair yang selalu berkisah tentang kaum pinggiran itu

Sempat tergelak saat tercuri idiomnya untuk nama kita

 

Ada yang kerap mengharukan saat bersamamu

Rasa bela sahabatmu terhadapku nyaris tak surut oleh waktu

Hatimu terluka padahal lembar rencanaku yang ditusuk sembilu

Hatimu membiru berseteru, kaukirim air matamu padaku

 

Ada yang acap mengagumkan saat bersamamu

Diam-diam aku belajar dari yang tak terhampar

Di sana-sini kau menemukan susunan kataku yang janggal

Tiba saatnya aku bukan siapa-siapa, selain yang suka alpa

 

Ada yang kadang-kadang menggetarkan saat bersamamu

Impianmu memiliki galeri buku terasa menggebu

Memancingku berjanji menghias dinding-dinding itu

Dengan sejumlah foto para dewa kata-kata,  kaum pujanggamu

Mudah-mudahan hasrat dan kenyataan itu bertemu

 

Kini, biarkanlah gunting waktu memangkas ranting  usiamu

Yang berserak jadi jejak, yang terbang jadi angan

Mungkin selalu ada mata yang memindai setiap langkahmu

Dengan cara, doa, dan kasih sayang tersendiri

 

 

Jakarta, 15 Juli 2007

Kurnia Effendi