Tuesday, April 29, 2008

Sosok Gangsar Sukrisno

Bangga di Belakang Layar.

Apa yang menarik dari dunia penerbitan? Yang dapat menjawab pertanyaan itu tentu seorang yang bertugas mengelola penerbitan. Salah satunya Gangsar Sukrisno, CEO Penerbit Bentang Pustaka.

“Tantangannya! Itu yang menarik. Memang berat menggelindingkan roda penerbitan karena buku bukan kebutuhan utama. Bagaimana cara menjadikan buku sebagai bagian kehidupan masyarakat? Selain itu, fungsi penerbit mirip sebuah klub sepakbola. Untuk mendapatkan naskah dan penulis hebat, kita harus punya seni dan kemampuan manajemen yang hebat pula. Terutama untuk merekrut dan mengakuisisinya.” Demikian ungkap Kris, sapaan karib Gangsar Sukrisno.

Tetapi rasanya nama “Bentang” pernah berkibar sebelum ditanganinya sejak tahun 2004. Benar adanya. Bahkan menurut pandangan beberapa kawan dalam dunia perbukuan, “Bentang” pernah membuat perubahan gaya penampilan sampul dalam khazanah buku sastra, dengan melibatkan para perupa grafis, sehingga kini muncul varian yang lebih kaya pada cover.

Lelaki yang hobi melakukan travelling ini lahir tanggal 12 Agustus 1966. Kuliah di Universitas Padjadjaran, Fakultas Jurnalistik, Jurusan Ilmu Komunikasi. Sebuah bekal yang pantas untuk pekerjaannya saat ini. Pergaulannya yang luas, di samping memang senang bicara (rasanya bakal sakit jika sempat kesepian), juga terkait dengan tugasnya dalam mencari bibit-bibit pengarang berbakat.

“Penciuman”nya yang tajam itu, di bulan Mei 2005, menemukan sebuah naskah manuskrip novel, yang kini jadi mega best seller. Laskar Pelangi. Pengarangnya, Andrea Hirata, mengaku tulisannya itu merupakan persembahannya kepada guru SD-nya, Ibu Muslihah. Tetapi tentu tak akan pernah menyesal ketika Bentang Pustaka berniat menerbitkannya sekitar tiga tahun yang lalu.

 Bagaimana dengan iklim pembaca sekarang? Kris menilai, minat pembaca masyarakat Indonsesia sekarang sudah membaik. “Sebetulnya, kalau mau sukses, kita buat agar pembaca bisa tahu ada buku bagus. Jadi kita harus pintar mengemas produk. Sebab, bagaimanapun buku adalah salah satu produk gaya hidup,” kata Kris.

Sebenarnya Kris memasuki dunia penerbitan tahun 1992, bergabung dengan Penerbit Mizan di Bandung. Setelah mendapatkan kepercayaan mengendalikan Bentang Pustaka yang dibeli oleh Mizan Group, kantornya pindah ke Yogyakarta. Pernah pula nyambi mengelola MP Book Point (toko buku dan kafe milik Mizan Publika) di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Namun sampai kini, minimal 3 kali dalam sebulan ia terbang ke Jakarta untuk rapat grup. Tak lupa istirah di Bandung setiap akhir pekan untuk berkumpul dengan istri (yang menjadi dosen di Unisba) dan kedua anaknya.

Ingin jadi pengarang? “Dulu, waktu kuliah, ada keinginan. Tapi, seperti manajer klub sepakbola, biarlah sekarang ini saya cukup menjadi bagian dari kesuksesan seorang penulis. Rasanya bangga dan bahagia kalau melihat penulis yang bukunya saya terbitkan bisa sukses,” ujarnya rendah hati.

Peran tokoh di belakang layar juga sangat penting. Penyandang nama Gangsar (dalam bahasa Jawa bermakna: lancar) ini, diharapkan oleh orangtuanya akan lancar hidup dan rejekinya, kebalikan dari saat kelahirannya yang sulit. Nah, nama memang sebentuk doa yang terabadikan, bukan?   (Kurnia Effendi)

 

 

Monday, April 28, 2008

Bincang Buku Hee Ah Lee di Gramedia Paris van Java Bandung, Minggu 27 April 2008

Teman-teman semua

Ternyata acara bincang buku The Four Fingered Pianist, Memoar of Hee Ah Lee, di Gramedia Paris van Jawa Bandung, Minggu 27 April 2008 jam 10:30, dihadiri oleh banyak sahabat. Termasuk Mas Gamawan Waloeyo dari Komunitas Leo Kristi bersama istri dan putranya. Terima kasih saya ucapkan dan saya bahagia sekali.

Di kala jeda, sewaktu penampilan teman-teman tunanetra dari Wiyata Guna di panggung, saya turun menghampiri Mas Gam. Saya bilang: ”Jika ada pertanyaan, memoar siapa yang akan ditulis berikutnya... saya akan jawab Leo Kristi”. Mas Gam meminta Mbak Wiwied, istrinya untuk mengajukan pertanyaan itu, namun sayang sampai akhir acara tak teralisasi. Ada tiga atau empat sesi pertanyaan (masing-masing dengan 3 penanya) yang diberikan oleh Andrea Hirata sebagai moderator, disambut cukup atraktif. Seputar Hee Ah Lee, tentu saja, dan bagaimana proses menulisnya.

Sesudah itu, ada waktu untuk book signing, sebelum saya ditarik oleh manajer Gramedia untuk foto di depan counter buku Hee Ah Lee. Saya mencari-cari Andrea yang ternyata sudah mendahului pesan tempat makan di Chi Met (dua ratus meter dari Paris van Java), sekaligus ada sekelompok mahasiwa Unisba yang hendak melakukan wawancara. Saya bersama Gangsar Sukrisno (mewakili grup Mizan, karena Deden Maulana dan Diana Caroline sudah mendahului kembali ke Jakarta) dan teman-teman tunanetra, digiring oleh Dhipie Kuron dari Renjana Orgainizer menuju tempat makan. Rupanya masih ada beberapa pembeli buku yang mengejarnya ke saung kami untuk meminta tanda tangan.

Sayang sekali, teman Mas Adi, Ir Dharmawan, alumni ITB yang memiliki jabatan intelektual di ITB akan mengembangkan bakat menulisnya ke khazanah fiksi tidak hadir. Atau hadir namun tidak sempat bertemu? Saya belum pernah melihat wajahnya jadi tak mengenalinya di antara hadirin.

Saya bawa putri saya bersama sepupu dan teman sekelasnya yang ingin banget ketemu Andrea Hirata dan bisa ngobrol dan foto-foto. Terpenuhilah cita-cita mereka, baik di dalam toko buku Gramedia sebelum kami dipanggil oleh Rinrin sang pemandu acara, juga ketika makan bersama di Chi Met.

Pada akhirnya saya mengucapkan terima kasih untuk semua pihak. Kepada Senny Alwasilah dan putrinya yang mengaku baru tahu saya menulis buku itu. Kepada Hermawan Aksan, salah satu penyunting selain Shinta, yang menunda pulang ke Bumiayu untuk ulang tahun anaknya. Kepada Sita, produser Female Weekend yang ramah menyambut kami di kantor radionya. Kepada Dewi di Cafe de Risol yang telah menyiapkan sarapan buat saya dan 3 ABG (Nifa, Dita, Firda) yang menemani saya. Kepada teman-teman tunanetra yang menyanyikan lagu ”Sempurna” dan menawari saya untuk singgah di Blind Cafe Cihampelas Walk (kapan-kapan, ya, pasti!). Kepada Andrea Hirata yang sudah jauh-jauh hari ngotot ingin menjadi moderator dalam bincang buku itu. Kepada Dhipie Kuron yang yak kunjung lelah dan tetap tersenyum cantik walau seminggu sebelumnya terbang ke mana-mana mengawal Laskar Pelangi. Kepada PARLE yang telah membagikan tabloidnya sehari sebelum tanggal terbit demi acara itu dan sosok Gangsar Soekrisno di cover belakang...dan yang tak tersebutkan satu per satu

Semoga buku itu, sketsa kehidupan Hee Ah Lee The Four Fingered Pianist yang dikemas dalam format cantik hardcover, benar-benar membuahkan inspirasi dan motivasi bagi semua sahabat serta pembaca di Indonesia. Karena seperti yang berulang-ulang saya sampaikan dalam perjumpaan dengan khalayak maupun saat talkshow (oya, sebelum bincang di Gramedia, jam 9:30 - !0:15 saya dan Deden Maulana dari penerbit Hikmah diundang talkshow di Radio Female Bandung) di pelbagai radio (Pro 2 FM, Delta, Kis FM, dan ”D” Radio), bahwa:

1. Kisah hidup Hee Ah Lee dan ibunya yang luar biasa itu harus ditulis dalam sebuah buku.

2. Buku itu harus dibaca oleh banyak orang

Salam persahabatan bagi dua ratus dua puluh juta jiwa di Persada Nusantara

Kef

 

Thursday, April 24, 2008

Ucie Soemarmo, Si Charming yang Energik

Nama sebenarnya Srie Eka Suryantiningsih. Sejak menjadi mahasiswa ITB Jurusan Desain Grafis angkatan 83, dikenal dengan panggilan Ucie Soemarmo. Logo majalah Gadis yang Anda lihat sampai sekarang adalah hasil kreasi Tugas Akhir ketika ia menjadi mahasiswa.  Setelah lulus tahun 90, ia menempati kursi proyek khusus di bidang promosi majalah Femina. Tahun 1997 ia memutuskan menjadi freelancer. Bertemu kembali dengan teman-teman mantan Femina Group, Aini Sani Hutasoit dan Reni Kusumawardhani, mendirikan Red Communication.

            Event organizer atau lembaga kaum feminis?”

            “Bukan. Itu singkatan dari Reka Estetika Dwimatra Communication. Kami berkumpul secara berkala untuk menyiapkan materi penerbitan buku.” Ucie menjelaskan.

            “Apa saja yang dihasilkan sampai saat ini?”

            “Tentu saja beberapa buku. Empat judul diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Gaya Rambut Anak, Buah Segala Musim, Kalung Buatan Sendiri, Kalung Chik dan Unik. Ada juga yang bekerjasama dengan Tupperware, yaitu Tata Meja dan Merangkai Parcel.”

            “Ditulis sendiri?”

            “Saya tulis bersama teman-teman.”

            Sebetulnya Ucie juga secara beriringan merangkap kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran. Oleh karena itu kiprahnya selalu berhubungan dengan banyak orang. Sifatnya yang charming dan cerewet, membuatnya memiliki sejumlah teman dan jaringan. 

            Setelah menikah dengan Ir. Zulfikri, alumni Teknik Sipil ITB yang bekerja di Departemen Perhubungan sekolah, Ucie memiliki dua putra. Tinggal di Pejaten (sebelumnya di Pamulang), namun kegiatan sehari-harinya dibagi di banyak tempat. Kawasan Menteng untuk Red Communication, berkumpul dengan ibu-ibu Perancis di CCF dan Indonesia Herritage Society Franco-Phone, serta seminggu sekali ke Bandung.

            “Ngapain ke Bandung? Kangen orangtua atau almamater?”

            “Saya punya pekerjaan sebagai konsultan dan merancang konsep kafe De Risol.”

            “Milik siapa?”

            “Adik saya.”

            Sejak November 2007, De Risol, sebuah kafe dengan suasana hommy, berdiri di Jl. Citarum 24, Bandung. Sebelumnya mengisi booth di kawasan Jl. Riau yang dipenuhi deretan factory outlet. Sesuai dengan namanya, risoles adalah makanan andalannya. Dengan berbagai rasa, tentu saja. Dan semuanya lezat!

            “Karena adik saya membuatnya dengan kecintaan, menginspirasi saya untuk membuat De Risol yang made by heart. Jika Anda singgah ke De Risol, sama seperti pulang ke rumah. Kami juga menyediakan sarapan pagi bagi yang hendak ke kantor atau baru saja tiba dari Jakarta.” Lebih jauh Ucie cerita tentang café yang siap untuk menjadi tempat acara. Termasuk untuk bedah buku atau pameran lukisan.

            Aktivitasnya yang padat, masih ditambah keinginannya untuk menjadi dosen desain grafis—barangkali—menyebabkan tubuhnya tetap langsing. Inisiatifnya kadang-kadang membuat dirinya repot sendiri. Misalnya yang  baru saja terjadi, fashion show dengan model para wanita Perancis di Danarhadi, membuatnya “mules”. Tetapi, wanita yang berulang tahun setiap 7 September ini tetap energik dan murah senyum.

Punya cita-cita apa lagi nih? ”Saya bermimpi bisa mendirikan Partai Perempuan. Anggotanya semua perempuan, berjuang untuk kaum perempuan di negeri ini. Jadi, kalau perempuan dijatah ’hanya’ 30% duduk di parlemen, mereka harus berasal dari partai perempuan, bukan partai laki-laki,” kata Ucie mantap sambil tertawa.

Wah, cita-cita yang mengandung nilai emansipasi rasanya. Semoga lekas tercapai!

(Kurnia Effendi)

 

Wednesday, April 16, 2008

foto-foto dita

Dita, si upik abu, sebelum jam 12 malam

Berbincang dengan Rieke Dyah Pitaloka

Surat-Surat Kartini Selalu Inspratif

            Di Jumat pagi yang cerah, menjelang pukul 7, sms masuk ke ponsel saya. Tertera nama Rieke Pitaloka. Mengingatkan: pukul 9.30 wawancara di Coffe Bean Trans TV. Tentu saya langsung menjawab: “Okay, Rieke. Noted. Thanks.”

Rupanya perjalanan menuju Jl. Tendean terhambat di Pancoran. Untunglah hanya terlambat 5 menit, sesuai dengan usainya Good Morning di Trans TV. Tangan Rieke melambai dari jauh saat melintasi lobi gedung. Kami pun memilih tempat duduk.

“Saya ingin tahu tentang Yayasan Pitaloka, bergerak di bidang apa?”

Sambil mencelupkan kantung kertas green tea di cangkir berisi air mendidih, Rieke menjawab: “Yayasan Pitaloka memang baru diresmikan Februari 2007, tapi kegiatannya sudah berlangsung sejak lama. Kami melakukan kegiatan sosial. Misalnya respon terhadap busung lapar, menyelenggarakan kegiatan amal, dan mendirikan taman bacaan di Porong.”

“Di Jakarta juga?”

“Kami melakukan sosialisasi sastra masuk SMU. Bekerjasama dengan The Body Shop.”

“Lho, apa hubungannya? Itu kan produk kecantikan…”

“Betul. Tapi TBS itu peduli lingkungan. Penggunaan bahannya bukan dengan cara merusak lingkungan. Kami bicara di sekolah-sekolah, bahwa sastra bisa menjadi media untuk bicara tentang lingkungan.”

“Cukup beragam juga kegiatannya.”

“Yayasan Pitaloka punya jargon keren: Bekerja untuk Demokrasi dan Kemanusiaan. Sangat luas, kan?”

“Siapa yang berada di balik yayasan?”

“Saya, Vivi, dan Rini. Tapi bila ada kegiatan, kami merekrut orang-orang. Tergantung kebutuhan.” Rieke menjelaskan. “Untuk kegiatan amal dan pendirian taman bacaan, saya bisa diundang free, tetapi yang hadir diwajibkan membawa buku baru atau bekas. Misalnya seperti itu.”

“Beralih pada kegiatan berkesenian, saya nonton lho, Monolog Perempuan Menuntut Malam…”

“Oiya? Apa komentar terhadap pertunjukan itu?”

“Bagus!” Saya memuji. “Hanya, menurut saya, seharusnya adegan berakhir ketika Ria Irawan dikejar-kejar oleh regu Trantib. Itulah klimaksnya.”

“Sebetulnya bukan begitu urutannya. Saya sudah membuatnya “naik-turun” untuk mengatur emosi penonton. Seharusnya dimulai dengan Niniek L. Karim, Ria Irawan, baru saya. Nah, waktu main di Bandung dan Aceh, berbeda.”

 “Sebetulnya apa yang hendak disampaikan?”

“Dalam rangka Hari Perempuan, kami ingin memperlihatkan problem kekerasan perempuan dalam tiga wilayah. Rumah, tubuh, dan negara. Niniek L Karim berkisah tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Sedangkan Ria Irawan menyampaikan problem perempuan di sekitar tubuh. Bahwa keterbedaan bentuk tubuh antara laki-laki dan perempuan, misalnya soal payudara, berpotensi menimbulkan masalah seksual. Yang ketiga adalah problem perempuan dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah.”

“Siapa yang menulis naskah itu?”

“Saya, tentu dengan banyak masukan dari teman-teman.”

“Agaknya Rieke berbakat kuat dalam menulis. Kapan buku fiksinya terbit?”

Rieke tertawa. “Cerpen saya belum banyak. Saya justru lebih suka menulis opini tentang berbagai topik. Yaaa, nyentil-nyentil politik.”

Tampaknya Rieke memang tertarik dengan politik. Dalam obrolan dia menyitir ucapan seorang pejabat yang menanggapi tertengkapnya suami pedangdut Kristina, membahas kasus grup musik Slank yang membawa-bawa nama Senayan, dan tak lupa soal dicekalnya Dewy Persik... Mungkin bukunya yang bakal terbit berisi kumpulan tulisan dalam aneka topik semacam itu.

“Nah, kalau sudah menyinggung politik, pasti dekat dengan partai. Sekarang sedang aktif di mana?”

“Sejak 10 Januari 2008, saya resmi menjadi kader PDIP.” Jawab Rieke tegas. “Pasti tanya, kenapa? Karena partai itulah yang cocok buat saya. Sebelumnya selama 9 tahun saya bernaung di bawah Partai Kebangkitan Bangsa sejak baru merintis menjelang Pemilu 2004. Di sanalah saya belajar dan berproses. Kini, menjelang usia 35, saya harus lebih serius jika masuk ke dunia politik. Harus punya posisi tawar.”

“Apa yang dimaksud dengan cocok?”

“Saya dan partai harus memiliki ikatan emosional. Partai itu buat saya bisa menjadi tempat sekolah, dan saya dihargai sebagai kader partai. Ideologinya sama. Masuk ke dalam partai bukan karena ajakan orang lain. Karena partai bukan tempat mencari uang seperti LSM meski basisnya nonprofit.”

“Lalu apa tanggapan Rieke perihal kuota 30% untuk perempuan dalam parlemen?”

“Kritik saya terhadap ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Pemilu tentang kuota perempuan, seharusnya untuk memenuhi kualitas, bukan kuantitas. Setiap partai harus memiliki keseriusan dalam melakukan kaderisasi perempuan. Bagaimana ia memahami konstituen dan yang terpenting memiliki satu ideologi. Karena sangat berbeda bekerja di dalam partai dan di luar partai. Atmosfer dan emosi harus diselaraskan. Dalam politik, unsur sukarela lebih kuat.”

“Lantas bagaimana cara partai mencari perempuan berkualitas untuk dijadikan kader?”

“Saya menghimbau kepada para perempuan yang berkualitas, segeralah masuk ke dalam partai. Mengapa demikian? Agar tidak masuk menjelang dekat pemilu. Akan tidak fair bila dalam tubuh partai sudah ada beberapa perempuan yang sedang membangun “karier” lalu mendadak tersisih oleh kader yang baru masuk karena lebih potensial. Itu justru akan menimbulkan diskriminatif dan perpecahan di tubuh partai.”

“Benar juga. Artinya Rieke sedang menjalankan cara seperti itu?”

“Ya. Adaptasi di dalam partai tidak mudah. Kita harus membangun jaringan internal partai termasuk terhadap daerah. Itu hal yang tidak gampang, butuh kesabaran. Jangan sampai kita tidak tahu segala sesuatu yang harus diperjuangkan. Keterikatan yang dibangun bukan hanya terhadap profesinya namun lebih utama terhadap masyarakat. Bukankah kader partai nantinya akan menjadi pelayan publik?”

“Apa upaya Rieke untuk melaksanakan metode itu?”

“Apa, ya? Antara lain dengan cara melihat kesengsaraan rakyat dari dekat, bukan hanya lewat televisi. Itu lebih memberikan kekuatan dan ikatan emosi di kedua belah pihak.”

“Menjelang Hari Kartini, apa yang biasanya dilakukan oleh Rieke?”

“Ini pertanyaan yang saya tunggu-tunggu!” Rieke bersemangat. “Sebenarnya saya punya kebiasaan semacam ritual. Setiap April, saya selalu membaca ulang atau melanjutkan Surat-Surat Kartini. Mungkin karena sering diwawancara media di sekitar peringatan Hari Kartini, saya selalu membawa buku tentang itu. Nah, anehnya, setiap kali saya membaca Surat-Surat Kartini, setiap kali pula saya mendapatkan inspirasi baru. Tahun ini, saya menemukan bargaining power Kartini saat hendak menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Kartini tidak setuju dengan tugas perempuan yang semata-mata urusan sumur-dapur-kasur. Ia berjanji akan mengurus anak-anak, sebagai kewajiban seorang ibu. Tetapi ia mengajukan permintaan kepada calon suaminya untuk memiliki apa yang diinginkan. Salah satunya adalah membangun sekolah. Apabila suami kelak tidak mengizinkan kegiatan itu, lepas pula kewajibannya sebagai istri. Apa artinya? Cerai! Nah, kebetulan, suaminya mendukung niat Kartini, layaknya seorang kolega. Ia justru mencarikan referensi buku-buku yang perlu dibaca Kartini untuk cita-cita mulianya itu.”

“Hebat, hebat! Padahal itu zaman awal abad 20, ya?”

“Jadi, selain perempuan harus setara dengan laki-laki di ruang publik, emansipasi pun harus terbangun di dalam rumah.”

“Baiklah. Wawancara selesai. Kabarnya mau ke Riau sore nanti, dalam rangka apa?”

“Diundang Dewan Kesenian Riau menjadi pembicara mengenai penulisan cerpen dan puisi.” Rieke tersenyum. Lalu kami mengakhiri dengan pengambilan foto di beranda kafe.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, April 15, 2008

Berbincang dengan Nova Riyanti Yusuf

Psikiater Layak Duduk di Komisi IX

Melampaui pukul 20:00, di Starbucks lobi Hotel Ritz Carlton One Pacific Place kawasan Sudirman Central Business District, saya menanti kedatangan Nova Riyanti Yusuf. Memang tak mudah mencari waktu untuk mengobrol dengan Noriyu (panggilan akrabnya) di tengah kesibukannya sebagai Supervisor Bangsal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sembari menempuh spesialisasi Kesehatan Jiwa di Universitas Indonesia, yang juga penulis novel. Apalagi kini ia semakin aktif dalam tubuh partai.

Noriyu tiba dalam setelan hitam yang elegan. Senyumnya sudah terkembang dari jauh. Memesan teh rasa mint, menuang karamel ke dalam cangkirnya, lalu duduk di sofa.

“Puyeng aku!” katanya. “Ternyata acaraku nanti di Ritz Carlton Mega Kuningan. Jadi sesudah ketemuan ini, aku harus kabur.”

Aku memberi kesempatan Noriyu untuk duduk enak dan mulai mengajukan pertanyaan.

“Nor, cerita dulu tentang rencana bukumu, ya? Sudah berapa buku? Dan yang akan terbit ini buku ke berapa?”

“Ini buku ke-9. Ada 3 novel, 3 novel adaptasi film, 1 kumpulan esai, dan 1 skenario film. Buku yang akan meluncur 16 April ini merupakan kumpulan esaiku yang kedua.”

Tiga novel yang dimaksud adalah: Mahadewa Mahadewi, Imipramine, dan Three Some. Sedangkan novel adaptasi yang seluruhnya diterbitkan oleh Gagas Media adalah 30 Hari Mencari Cinta, Garasi, dan Betina. Kumpulan esai pertamanya diberi tajuk Libido Junkies. Merah Itu Cinta merupakan judul skenario film yang ditulisnya tahun lalu.

“Boleh tahu judul buku terakhir ini? Nama penerbitnya?”

Stranger Than Fiction, Cerita dari Kamar Jaga Malam…”

“Cerita misteri?”

“Haha, sebenarnya bukan. Itu cerita nyata, sehari-hari, beberapa curhat sahabat, tanggapanku terhadap peristiwa di sekitar kehidupanku sebagai dokter. Kebanyakan dimuat di free magazine Djakarta, ada juga yang di harian Koran Tempo, dan beberapa media lain. Rata-rata, itu kutulis saat aku piket dai RSCM. Setelah lewat tengah malam, biasanya tak ada lagi kesibukan, aku membuka lap top dan menulis. Penerbitnya kali ini Gramedia Pustaka Utama.”

“Ada editor?”

“Mirna, tentu saja. Eh, ternyata dia cukup hapal dengan beberapa istilah dalam tulisanku di buku esai sebelumnya, dan menganggap ada hal-hal yang tak perlu, kemudian tangan penyuntingannya bekerja terhadap 30 esaiku itu.”

Judul buku Noriyu mengingatkan saya pada ucapan Radhar Panca Dahana di suatu diskusi sastra. Akhir-akhir ini, katanya, kenyataan lebih mengerikan ketimbang fiksi. Kalau tidak percaya, baca saja berita kriminal di suratkabar, atau perilaku orang-orang putus asa yang kemudian mengakhiri hidupnya.

 “Baiklah, aku akan datang pada peluncuran bukumu. Siapa pembicaranya nanti?”

“GM, Budiman Sudjatmiko, Garin Nugroho, dan Sandi Uno. Tidak tanggung-tanggung, kan?” ujarnya. “Moderatornya Fadjroel Rachman. Ya, siapa lagi yang bisa mengendalikan diskusi mereka selain dia?”

Menarik pasti! Lebih menarik lagi karena penulisnya juga seorang aktivis partai.

“Ngomong-ngomong, sekarang sedang berkiprah di partai mana?

“Aku seorang demokrat, ya Partai Demokrat. Bukan baru-baru ini, lho. Aku sudah aktif cukup lama.”

“Adakah jabatan tertentu?”

“Aku menjadi pengurus DPP di bidang Pembinaan, Partisipasi, dan Pendidikan Politik Korwil DKI I. Aku jadi sekretaris Korwil DKI I, membantu Anas Urbaningrum.”

“Mantap! Bagaimana pendapatmu tentang syarat menjadi presiden? Soal kesehatan dan pendidikan, misalnya.”

“Mengenai kesehatan, tentu saja penting. Presiden kan bukan jabatan main-main? Seorang presiden diharapkan mampu mengatasi segala tekanan dan sanggup bekerja keras secara fisik maupun mental. Sedangkan pendidikan, tampaknya menjadi pendukung luasnya wawasan dan kearifan dalam menghadapi berbagai tantangan dunia saat ini.”

“Tentunya dalam tubuh partai pun harus berisi orang-orang yang sehat lahir dan batin.”

“Persisnya, dalam partai harus lebih banyak good people.”

“Bagaimana kontribusimu terhadap partai?”

“Sejak lama aku punya idealisme tentang mental health. Ketahanan dan kesehatan jiwa. Tubuh yang sehat tak akan cukup tanpa jiwa yang sehat dalam membangun bangsa. Tak usah muluk-muluk dulu, aku ingin menyadarkan masyarakat untuk hal ini.”

“Lewat parlemen?”

“Itu salah satu cita-cita. Target 2009 memang ke arah sana.”

“Komisi yang disasar?”

“Komisi IX. Itu komisi yang membidangi kesehatan. Menurutku seorang psikiater layak mendapat tempat di DPR Komisi IX. Tugasnya sangat jelas.”

“Kalau mengenai kuota 30% untuk kaum perempuan, apakah setuju?”

“Setuju, sepanjang kuota itu tidak dinilai sebagai semata jumlah. Kalau tidak salah ada semacam komposisi, bahwa setiap 3 anggota dewan akan terdiri dari dua laki-laki satu perempuan. Tetapi jika perempuan itu tidak berkualitas, patut dipertimbangkan. Yang dinilai adalah kapabilitasnya.”

“Jalan menuju ke arah itu?”

“Dari sisi aku sendiri, partai bukan organisasi yang membentuk aku jadi berpotensi. Sebelum masuk partai aku sudah punya kapasitas tertentu. Partai menjadi tempat aku memberikan sumbangan melalui profesi dan kemampuan yang kumiliki.”

“Nah Partai Demokrat mendukung SBY, bagaimana dengan pemilu berikutnya?”

“Bagaimanapun Partai Demokrat memang identik dengan SBY. Sementara kita tahu, prosentase keterwakilannya di DPR sangat kecil dibanding Golkar dan PDIP. Ini yang membuat kondisi wakil rakyat kurang solid.”

“Pada pemerintahan SBY tampaknya ada kesan bahwa kesulitan hidup masyarakat bertambah. Menurutmu?”

“Sebenarnya soal krisis itu terjadi pada hampir semua negara. Misalnya kenaikan harga minyak. Di sisi lain banyak hutang-hutang negara yang sudah terbayar, tetapi tidak terekspos karena kondisi rakyat sekarang ini sedang susah. Seharusnya anggota DPR melakukan check & balance, bukan malah menjadi “musuh”. Kurang solid dan bersatu. Langkah SBY jadi seperti terhambat, padahal banyak yang sudah dikerjakan. Ya itulah, karena berasal dari dukungan partai kecil.”

“Apa yang dilakukan oleh SBY, semacam konsolidasi terhadap partai?”

“Beliau pernah memanggil kami, 15 perempuan, untuk berdialog di Cikeas.” Noriyu mengaku. “Ya, antara lain kami diminta untuk berpolitik dengan baik, kreatif, dan tetap etis.”

“Itu saran yang baik, tentu saja. Sesuai semangat Kartini, sudah waktunya pula perempuan terjun ke dunia politik dengan kesempatan 30% itu.”

“Benar. Tetapi sekali lagi menurutku bukan sekadar mengejar jumlah. Jangan merasa diuntungkan dengan porsi 30%. Lebih penting kualitas perempuan itu sendiri. Artinya, para perempuan berkualitas harus mepresentasikan dirinya, tidak lagi menunggu diminta. Emansipasi juga bukan berarti segalanya ingin disamakan dengan laki-laki, melainkan harus sesuai dengan kodrat dan kapasitas. Mungkin lebih pada intelektual dan nilai demokrasinya yang setara.”

“Wah, ngomong politik tak akan ada habisnya. Mengingat jumlah kesibukanmu aneka ragam, bagaimana membaginya dalam bentuk prosentase?”

Noriyu seorang dokter yang berniat menyelesaikan spesialisasinya dalam bulan Oktober tahun ini juga. Panggilan profesinya telah ditunggu oleh banyak pihak. Semester ini ia melepaskan tugas menjadi dosen di Universitas Paramadina demi fokus mengejar tesis dan target ujian akhir. Sebagai politisi, sebentar lagi akan semakin sibuk, menjelang pemilu 2009. 

“Apakah masih punya waktu untuk pacaran?” tanyak.

Noriyu terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Percaya nggak, sih? Aku kalau pacaran bisa intens sekali, tetapi suatu saat, ketika harus sibuk dangan banyak pekerjaan dan kewajiban, menelepon pun bisa tak sempat. Ada seseorang di RSCM, dokter bedah, yang sudah demikian serius, tapi kini kami jarang bertemu.”

“Serius?“

“Ya, misalnya sampai menyiapkan cincin.“

“Lalu, apakah tidak ingin dilanjutkan?”

“Tentu ingin! Banyak teman-teman mengingatkan agar aku memikirkan pernikahan. Siapa yang tak ingin? Masalahnya tinggal jodoh atau tidak, haha.”

Satu jam lewat. Aku teringat Noriyu akan segera bergabung dengan komunitas sosialitanya di Ritz Carlton Mega Kuningan—konon hendak melepas beberapa teman yang akan pulang ke Amerika—aku tak ingin berlama-lama. Kami berfoto-foto sebentar. Dekorasi lobi yang luas itu di lantai 4 itu sangat menarik untuk ajang berfoto.

Kopi di gelasku sudah tandas, teh di cangkirnya pun sudah mencapai dasar. Setelah bercium pipi, kami berpisah di lobi karena mengambil lift yang berbeda.

(Kurnia Effendi)

.

 

 

 

 

 

 

Monday, April 14, 2008

Warung Pi'an, Anno 1926

Sudah menjaditradisi”, setiap hendak melakukan perjalanan dinas, saya mengontak sejumlah teman di daerah tujuan. Mereka adalah para sahabat, penyair, redaktur, atau budayawan setempat. Maka, ketika saya belum lama ini bertugas ke Tegal, saya janjian ketemu dengan beberapa orang. Namun, yang lebih prioritas adalah berkunjung ke rumah ibu saya di Slawi setelah selesai dengan urusan pekerjaan.

Perjalanan naik kereta api Argo Muria dimulai dari stasiun Gambir. Saya merasa sedikit kesepian, karena saya dinas sendirian, sehingga seperti terpisah dari keramaian sekitar. Seorang Kopassus yang duduk di sebelah saya, di ruang tunggu, tentu tak bisa saya colek untuk digodain. Maka saya mencoba mencari kesibukan dengan mengirim pesan pendek yang panjang kepada teman-teman di seberang berbagai jarak.

Urusan pekerjaan setengah harian di Tegal sudah selesai dengan  baik dan penuh semangat. Mungkin karena diawali dengan makan siang di warung sate kambing muda Sari Mendo (mendo itu bahasa Jawa halus untuk kambing), dan minum teh poci bergula batu. Setelah menjelang naghrib mandi di hotel, saya meluncur ke Slawi dengan Swift yang tak mau diajak pelan. Malam dengan aroma wangi melati teh terhirup hidung yang sudah rindu kampung.

Ibu tak terkejut karena saya sudah mengabari sebelumnya. Ibu juga tidak terkejut ketika saya tawari menginap di hotel saja agar bisa ngobrol lebih panjang. Demikianlah, sepanjang jalan kembali ke Tegal (13 km dari Slawi—untuk kondisi Jakarta tentu sudah lazim sebagai jarak tempuh dari permukiman ke kantor), sms dari teman-teman pun berkelebat menagih janji untuk ketemu.

Mereka adalah penyair Nurhidayat Poso, Entieh Mudakir, dan wartawan RCTI

Yono Daryono. Oleh karena saya bakal sampai hotel sekitar pukul 21, Yono menyempatkan diri untuk menghadiri acara ”Muludan” (Peringatan Maulid Nabi Muhammad) di tempat Ki Dalang Enthus. Menjelang tiba di Tegal, Mas Entieh menelepon agar saya mampir ke Karlita Hotel, tempat dia sedang nonkrong di Kafe Gemini, tempat Igo bermain musik. Rupanya, di kafe itu, ada kantor terbuka, dan Walikota Adi Winarso ada di sana. Kami mengobrol ringan. Mereka (bersama Pak Atmo dari Departemen Komunikasi dan Informasi) sedang menyiapkan ulang tahun kota Tegal, 12 April, akan meluncurkan buku yang mengangkat profil walikota. Agaknya ini semacam buku ”pamitan”, karena Desember nanti akan berlangsung Pilkada.

Menjelang pukul 23, sudah berkumpul Yono Daryono, Nurhidayat Poso, dan Iqbal (yang terakhir ini salah satu calon Walikota Tegal, putra mahkota pemilik bis Dewi Sri, dari PDIP). Sisdiono Akhmad, salah satu budayawan lokal, mengabari lewat sms bahwa dia tak jadi bergabung karena sedang berbincang dengan komunitas politik.

Obrolan bersambung ke Hotel Plaza, tempat saya menginap. Kami berbincang banyak hal, termasuk bagaimana menjaring suara pendukung untuk Iqbal (dia malam itu membayari makan dan minum kami). Soal sastra hanya mendapat porsi kecil saja. Namun, ada satu presentasi Nurhidayat Poso yang menarik bagi saya. Ia bercerita tentang pengalaman makan di Warung Pi’an, yang terletak di depan stasiun kereta api Tegal.

”Itu warung sudah ada di situ sejak saya kecil,” ujar sang penyair. ”Bukan hanya enak rasanya, tapi penyajiannya juga digarap dengan baik.”

Lalu Nurhidayat menggambar dengan isyarat tangan, porsi untuk minuman, sajian makan, yang menurutnya tidak banyak rumah makan melakukan ”akurasi” semacam itu.

Rasa penasaran itu saya sampaikan kepada tuan rumah (maksud saya Dealer Suzuki di Tegal) pada keesokan harinya. Demikianlah, setelah rapat dengan kontraktor, kami meluncur ke kawasan stasiun Tegal. Tepatnya di Jl. Sugiarto No: 30 (dulu tertulis nomor 25). Halamannya bertemu dengan jalan raya, cukup untuk parkir 3-4 mobil.

Dari luar biasa-biasa saja. Di dalamnya pun biasa-biasa saja. Beberapa meja panjang dengan kursi panjang juga. Seperti layaknya warung dengan aneka menu yang ditulis besar-besar di dinding. Warung Pi’an tentu menjadi shopsign di luar, di atas bangunan. Ditambah dengan keterangan: Pusat Informasi Anda (tertulis di atas pintu menuju dapur). Itu tentu cara mencocokkan dengan kata ”PIAN”.

Ketika saya mau memotret foto pemiliknya yang tergantung di sana, diingatkan oleh tuan rumah. ”Kenapa tidak memotret orang aslinya saja?”

Ah! Saya baru tahu, bahwa seorang lelaki perkasa yang jangkung berkulit legam dengan rambut beruban itu adalah Pak Pi’an. Akhirnya tak hanya memotret dirinya dan warungnya, saya pun berfoto bersamanya.

Namanya Rapi’an. Anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yang dilahirkan oleh istri Pak Nurrachman. Warung itu didirikan pada tahun 1926, dengan menu sederhana: nasi lengko, goreng pisang tanpa tepung, tahu dan tempe goreng, serta teh poci. Semua khas Tegal.

Rapi’an muda, yang memiliki tinggi 185 cm, gemar olah raga badminton. Teman-teman bermainnya kerap mampir ke warung itu untuk melepas lelah, makan, dan minum. Namun yang lebih lama berlangsung adalah perbincangan di antara mereka. Jadilah warung itu sebagai tempat berkumpul kaum muda kota Tegal.

Sampai tahun 1970, warung itu dikelola oleh Pak Nurrachman. Setelah itu diambil alih oleh Pak Rapi’an, setelah menikah dengan seorang perempuan yang hanya ¾ tinggi tubuhnya. Pada kesempatan siang itu, saya pun berkenalan dengan ibu yang selalu mengenakan celemek. Aroma dapur membaur di wajahnya yang ramah.

Saya pesan nasi lengko ditambah aksesoris hati-rempela-ayam goreng, dan tentu segelas es jeruk. Benar yang dikatakan oleh teman saya Nurhidayat Poso. Remasan kerupuk mi kuning yang ditabur di atas nasi lengko itu begitu merata, tidak melebihi lingkaran dalam piring dan tidak menampakkan nasi-tauge-tahu-sambalkacang di bawahnya. Lezatnya pun benar-benar pas di lidah. Saya telah makan berulangkali lengko di mana pun, ada saja yang terasa terlalu gurih, atau justru hambar, karena komposisi satu sama lain tidak tepat.

 Apa yang tidak berubah sejak tahun 1926 hingga kini? Menu nasi lengko, pisang goreng, tahu dan tempe goreng, teh poci. Kini telah berkembang menjadi 18 menu, termasuk di antaranya: soto tauco, sate dan gule kambing, capcay, tongseng, sop, dan sayur asem. Saya tentu tak mungkin mencicipi seluruh jenis masakan dalam satu kesempatan. Tetapi saya berniat untuk mampir lagi bila pulang kampung untuk melahap menu yang lain.

Saya kira, Pak Bondan Winarno belum singgah ke sana. Ahli ”mak nyus” itu harus giliran saya sarankan untuk mampir dan mengudap beberapa menu. Saya melihat sajian tongseng, tampak materinya tidak sampai kematangan. Warna sayur untuk capcay pun tampil sangat segar. Sudahlah, Anda memang harus menikmati sendiri: rasa dan estetikanya. Padahal, sekali lagi, warungnya biasa saja, sebagaimana warung nasi.

Ingin tahu siapa saja yang pernah ke sana? Mendagri Makruf, Mendagri Mardiyanto, juga pejabat di Sampoerna, Angky Camaro. Ia bahkan pernah membuat event yang dicatat sebagai rekor MURI: poci terbesar yang air tehnya diminum oleh 1000 orang! Itu terjadi Agustus 2005. Sekarang poci raksasa itu disimpan di mana, pak? Beberapa tamu VIP, konon, jika memesan teh poci, disajikan dengan poci keramik tua buatan Cina.

Suatu kali saya akan memperkenalkan diri sebagai very important person, hahaha. Sampai ketemu lagi Pak Rapi’an!

(Kurnia Effendi)