Wednesday, August 20, 2008

Zaman Emas Selebriti

Ada pertanyaan besar mengenai perubahan besar yang terjadi dalam tubuh partai politik akhir-akhir ini. Mengapa seperti gelombang sebuah musim, serta-merta sejumlah parpol merekrut para artis untuk diajukan sebagai calon legislator? Sebaliknya, mengapa sejumlah besar artis berbondong-bondong masuk menjadi anggota partai politik? Apakah mereka diterima secara welcome atau justru menjadi pesaing internal bagi anggota partai yang sedang meniti karier politiknya?

Sebetulnya kaum selebriti masuk ke tubuh partai politik lantas duduk di kursi parlemen, bukanlah hal baru. Setidaknya pada dua periode sebelumnya, sudah dimulai. Namun saat itu, masih erat kaitannya dengan keterwakilan bidangnya. Misalnya Sys NS dari Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) walau sempat gontok-gontokan dalam organisasi internalnya, akhirnya duduk di kursi DPR untuk persoalan budaya. Selain Sys, ada juga Rhoma Irama (sebagai utusan golongan), Rano Karno (Golkar), disusul Sophan Sophiaan (PDI Perjuangan).

Kini yang sedang duduk sebagai anggota legislatif periode 2004-2009, antara lain Adjie Massaid, Angelina Sondakh, Marissa Haque, Guruh Soekarnoputra, Nurul Qomar, Deddy Soetomo. Marissa Haque melalui posisinya berusaha memperjuangkan para calon jemaah haji dari kesulitan prosedur untuk perjalanan ibadahnya.

Seorang artis tentu mengandalkan kepopulerannya. Populer terkait erat dengan massa yang mengidolakan, jumlah publik yang mengelu-elukan. Dengan logika sederhana, artis yang masih banyak penggemarnya lebih mudah merebut simpati suara ketimbang tokoh yang mungkin harus bekerja lebih keras untuk mengkampanyekan jati-dirinya. Soal kapabilitas saat ini bisa jadi nomor dua setelah popularitas. Kinerja partai politik tampaknya sedang berubah, kini lebih mengedepankan perolehan simpati massa terlebih dulu baru kemudian ”menjual” program. Barangkali dengan cara seperti itu, laju ”kendaraan” politiknya menjadi lebih cepat.

Pada sisi lain, pilkada juga menjadi sasaran ”karier” kedua bagi selebriti selain bidang keartisannya. Demam memilih wakil (gubernur, walikota, dan bupati) dari kalangan artis, seolah menjadi tren tersendiri. Politik sedang melumuri dirinya dengan warna glamour, dan menunjukkan sisi wanginya. Bayangkan saja, politik yang sering dipandang ”kotor” berubah menjadi entertainment situation.

Nama-nama selebriti yang terjun ke bidang pemerintahan, antara lain Dede Yusuf (Wagub Jawa Barat), Rano Karno (Wakil Bupati Tangerang), Syaipul Jamil dan Helmi Yahya bersiap-siap untuk wilayah Serang dan Palembang. Sementara Marissa Haque yang tersingkir oleh Ratu Atut di Banten, sempat menggugat soal ijazah palsu kompetitornya.

Dengan fakta di atas, selebriti naik ke pentas politik memang bukan hal baru. Siapa tahu itu juga terjadi di negara lain. Yang terdengar populer tentu Ronald Reagan dengan latar belakang bintang film, Arnold Schwarzzenegger yang menjadi Gubernur Negara Bagian California, Clint Eastwood yang juga pernah menjadi petinggi pemerintah. Namun di Barat sana, masih lebih banyak seniman layar lebar atau penyanyi yang aktif dalam bidang sosial dan umumnya bergiat secara tidak tanggung-tanggung. Misalnya memberi perhatian khusus kepada penderita penyakit aids, penyakit kanker, perlindungan terhadap hewan langka, penggunaan bahan-bahan anti polutan, dan hal-hal unik lain.

Kembali kepada pertanyaan soal kemampuan, mau tidak mau mesti ditelusuri latar belakang pendidikannya. Setidaknya masih dapat diterima dengan akal sehat bila Nova Riyanti Yusuf (seorang novelis, juga dokter yang sedang menempuh spesialisasi kesehatan jiwa) mengabdikan dirinya dalam Partai Demokrat. Ia merasa prihatin terhadap manusia yang tersisih karena menderita skizofrenia. Padahal dalam pelbagai survei menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sedang dalam keadaan ”sakit”. Ketahanan mental yang menurun akibat tekanan ekonomi dan sosial membuat terpuruknya kualitas kehidupan. Secara tidak langsung kondisi itu diciptakan oleh pemerintah (melalui serangkaian kebijakan), ditambah dengan permasalahan hukum yang tidak menegakkan keadilan. Dari sisi itu, Nova tergerak untuk turut ambil bagian sebagai wakil yang memperjuangkan kesehatan bangsa. Ia bahkan bercita-cita merancang undang-undang perlindungan terhadap penderita skizofrenia.

Bagaimana dengan Rieke Dyah Pitaloka di tubuh partai politik PDI Perjuangan? Dalam obrolan singkat, ia memang ingin memperbaiki nasib orang pinggiran mulai dengan hak pendidikan mereka. Ia mengawali gerakannya melalui yayasan yang dibentuk dengan membuat perpustakaan di wilayah pengungsian korban lumpur Lapindo tahun yang lalu. Ia menganggap visinya sama dengan PDIP sehingga ke dalam parpol itulah dia melebur.

Kelihatannya hanya segelintir selebriti yang memang berkonsentrasi penuh dengan visi politiknya ketika memasuki tubuh parpol. Banyak yang lebih memanfaatkan kesempatan, bagai gayung bersambut atas kebutuhan massa dan kemampuan menghimpun massa. Bagaimana nanti perjalanan partai politik itu ke depan dengan sejumlah artis menjadi calon wakil rakyat, sesungguhnya akan memberatkan tugas pemimpin partai. Ia terbantu secara pengumpulan massa, mungkin, namun membutuhkan pembelajaran yang ekstra keras terhadap para seniman untuk sadar politik.

Kini sederet nama artis dan idola publik telah menjadi calon legislator. Mulai dari Nurul Arifin (selama ini aktif dalam kegiatan penyuluhan aids), Tantowi Yahya, Mandra, Mat Solar, Marini Zumarnis, Puput Novel, Krisna Mukti, Adrian Maulana, Okky Asokawati, Akri Patrio, Ikang Fawzy, Derry Drajat, Wulan Guritno, Nicky Astria, Evi Tamala, Ratih Sanggarwati, Pangky Suwito, Clara Shinta, Henidar Amroe, Ita Mustafa, Mara Karma, Miing Bagito, sampai binaragawan Ade Rai.

Ketika melihat mereka bicara urusan bidang keartisan yang seharusnya sudah dikuasai, masih terdapat banyak kegagapan. Bagaimana mereka dapat secara diplomatis bicara di depan publik dengan muatan politik? Mereka tentu harus menjadi duta konstituennya dalam menjalankan rencana kerja dan cita-cita jangka panjang. Hal lain yang lebih penting: mereka sedang mewakili sejumlah masyarakat untuk memperjuangkan aspirasi.

Dari sisi kompetisi internal, friksi bisa saja terjadi. Tokoh politik yang membangun kariernya dari bawah mulai dengan pembenahan partai, bisa patah hati oleh datangnya anggota baru yang langsung menggeser posisi. Apabila nanti kegiatan keartisan akhirnya mendominasi waktu mereka, sehingga kewajiban sebagai wakil rakyat menjadi nomor dua, akan muncul persoalan baru. Itulah hal yang akan menjadi beban pemimpin partai. Langkahnya mengambil perolehan suara dengan jalan pintas ”melamar” orang-orang populer harus diimbangi dengan kompetensi yang dibutuhkan sebagai modal. Di sini, integritas dipertaruhkan.

Namun tak dapat dipungkiri bahwa sekarang ini zaman keemasan bagi kaum selebritas. Jangan sampai menjadi bumerang bagi parpol yang merekrutnya. Jangan pula menimbulkan kontraproduktif, sementara profesi artis membutuhkan waktu yang tak sedikir.

(Kurnia Effendi)

Tuesday, August 19, 2008

Planet Senen dalam Ingatan

”Ada keajaiban di Senen!” Itu kata Misbach Yusa Biran, salah seorang tokoh perfilman yang kariernya berangkat dari kawasan Planet Senen. Mengapa bernama Planet Senen, mungkin dapat dicari muasalnya dari buku karya Misbach tersebut. Soal keajaiban, sebagaimana ditulis oleh Zen Hae, adalah semacam daya tahan atau survivalisme para seniman di tahun 60-an di zaman susah.

Di masa itu, para seniman seperti Soekarno M. Noor, Wahyu Sihombing, Sukanto SA, Menzano, Syumandjaya, dan lain-lain merupakan makhluk pilihan yang tidak kenal kompromi terhadap apa pun demi kesenimanan mereka. Militansi mereka hanya ditemani oleh kopi, rokok, talas goreng, namun sanggup bicara berbusa-busa dari senja hingga subuh. Kebanyakan dari mereka yang mengaku seniman tulen justru biasanya tidak memiliki karya. Sedangkan nama-nama yang mekar harum hingga kini tentu kaum yang lolos dari seleksi alam.

”Dulu mungkin saya yang paling kaya,” kata Misbach Yusa Biran, suami aktris Nanny Wijaya. ”Karena baru saya sendiri yang punya sepeda.”

Kenangannya atas masa lalu yang pahit, justru mengundang tawa. Mereka bagai sedang reuni, bicara di tengah-tengah plaza Gelanggang Remaja Jakarta Pusat yang diapit Jalan Bungur dan stasiun kereta api Senen. Tempat yang sejak mula berkembang sebagai Pasar Senen, memang memiliki segala rupa kegiatan dagang dan seni.

Pada Senin malam, 28 Juli 2008 lalu, Dewan Kesenian Jakarta bekerjasama dengan Komunitas Planet Senen menggelar acara Lampion Sastra. Kesempatan di bawah udara cerah itu dimanfaatkan oleh para saksi dan generasi penerus yang masih giat berkarya. Dihadirkan sebagai tokoh yang dapat membagi pengalaman dan kesaksian, antara lain Gerson Poyk, Toga Tambunan, Deddy Mizwar, dan Harmoko (mantan Menteri Penerangan dan Ketua MPR/DPR RI di era Presiden Soeharto).

Sebelum sampai pada ujaran para tokoh dan pembacaan puisi penyair muda Planet Senen, ke hadapan publik ditayangkan sebuah film dokumenter berjudul ”Mesin Biografi”. Dalam film berdurasi sekitar 20 menit itu, masing-masing penyair mengutarakan sikap keseniannya, menyampaikan makna lingkungan yang melahirkan dan membesarkan mereka sebagai seniman. Kawasan Senen pernah menderita akibat Peristiwa Malari 1974. Perubahan dan perkembangan yang terjadi tidak terlampau signifikan dibanding ”anak-anak”nya seperti: Cempaka Mas, Mangga Dua, dan Tanah Abang yang selalu jatuh bangun itu.

Lima penyair yang mewakili generasi aktif dalam Komunitas Planet Senen itu adalah: Imam Maarif, Irman Syah, Giyanto Subagio, Widodo Arumdono, dan Akhmad Sekhu. Proses keberangkatan mereka sebagai seniman diuji oleh lingkungan yang keras. Mereka tak hanya bergaul dengan orang-orang necis yang mampir ke Senen sebagai penumpang kereta api atau belanja onderdil mobil, tetapi juga berteman dengan kalangan kelas sosial bawah seperti pelacur, gelandangan, dan para tukang parkir.

”Saya ingat ketika dulu masih muda dan sedang belajar menjadi wartawan,” ujar Harmoko malam itu. ”Saya bersama Wim Umboh, Soekarno M. Noor, Misbach Yusa Biran, dan beberapa teman lain berandai-andai akan menjadi apa kelak. Masing-masing mencetuskan cita-cita. Dan saya ingin menjadi wartawan yang hebat.”

”Intinya adalah kerakyatan!” Demikian tandas Harmoko. ”Karya-karya yang tercipta, baik lagu maupun drama, selalu berakar pada kerakyatan. Menzano pernah main drama, yang naskahnya ditulis di tempat ini, saat itu yang nonton hanya 10 orang, tapi tetap jalan. Bing Slamet menulis lagu di sini, bersentuhan dengan rakyat. Naga Bonar itu film mengenai kerakyatan. Itulah yang mengagumkan dari komunitas tahan banting ini. Maka mari saya mengajak Anda semua berdiri untuk bersama-sama mendoakan para seniman Senen yang telah mendahului kita, agar arwahnya diterima di sisi Tuhan.”

Pada gilirannya Deddy Mizwar mengaku bukan seniman Senen tetapi dekat dengan suasana itu karena tinggal di Kemayoran. Awalnya Deddy merasa nyaman bisa ikuit berkesenian lewat pementasan teater, pembacaan puisi, dan bermusik atau menari. Demikianlah, rasa nikmat berkesenian telah membawa kariernya sampai hari ini, menjadi seorang aktor dan sutradara besar.

Kekuatan itu rupanya yang membuat Toga Tambunan dan Gerson Poyk kagum. Para seniman Senen hidup tanpa modal, tanpa ekonomi yang memadai. Dalam sebuah seloroh, namun mungkin nyata, Deddy Mizwar mengatakan: ”Barangkali kalau Djamaludin Malik tidak singgah ke sini malam-malam, para seniman Senen yang biasa ngumpul diskusi di sini di zaman itu tidak makan malam.”

Dapat dibayangkan, seorang seniman merasa benar-benar ”menjadi dan terlibat” melalui malam-malam panjang yang gerah dan keras. Saat itu Taman Ismail Marzuki belum lahir. Tahun 1970-an. diprakarsai oleh Ali Sadikin, dibangunlah Taman Ismail Marzuki untuk menampung aspirasi seni masyarakat sekaligus mengembangkannya.

Bagi yang tidak familiar dengan tempat itu, kawasan Pasar Senen memang terkesan rawan. Aneka ragam kegiatan bisnis berlangsung di situ, mulai dari jualan kue subuh (sejak pukul 3 sampai pukul 6), arloji pun ada yang dijual kiloan. Spare part mobil dikenal paling lengkap dan murah. Pakaian bekas dijual berderet-deret. Mau cari mesin ketik bekas di sinilah tempatnya. Buku-buku pelajaran, filsafat, sastra, baik yang resmi maupun bajakan memenuhi kios-kios. Kedai nasi kapau menghiasi stasiun kereta api. Terasa unik dan aneh, barangkali Senen merupakan satu-satunya stasiun yang menggunakan gerbang penutup jalur rel. Jadi, setiap kali kereta api hendak masuk atau keluar dari stasiun, gerbang itu dibuka. Jika sedang ditutup, seolah stasiun itu tak dipergunakan lagi, apalagi ada barang dagangan yang digantung di pagar besi.

Romantisme itu terasa mengharukan. Deddy Mizwar berharap agar kesenian bisa tumbuh di mana pun berada. ”Ruang-ruang itulah yang menjadi tempat mengekspresikan diri. Barangkali, unjuk rasa pembakaran gedung-gedung dan tindakan anarkis terjadi karena anak-anak muda tidak mendapatkan tempat berekspresi secara sehat dan beradab.”

Malam itu selain mendengar kesaksian para tokoh, kelima penyair membacakan puisinya di atas panggung. Puisi-puisi yang mengandung ironi. Bagi seniman yang merantau dari Padang seperti Irman Syah, posisinya menjadi manusia persimpangan, menjadi si ”Malin Kundang” yang mulai mencintai Jakarta. Di antara acara yang terus berlangsung, di seberang patung Tekad Merdeka, digelar juga lelang lukisan karya Hidayat. Seniman lokal itu menggambar wajah-wajah tokoh seperti Wahyu Sihombing, Harmoko, Hamsad Rangkuti, Deddy Mizwar, dll.

Dalam geliat ekonomi sosial kota metropolitan yang gemuruh, ternyata kawasan Senen masih memiliki kisah perjuangan para seniman Indonesia yang patut dikenang dan dipertahankan. Mudah-mudahan ajakan Harmoko untuk menyusun buku tentang realitas Planet Senen dari tahun ke tahun akan jadi kenyataan.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Friday, August 15, 2008

Yang Muda Yang Bergairah

Ada masanya kaum muda ingin mengubah kondisi tanah airnya, ketika dirasa proses kepemimpinan mengalami kemandekan. Sebenarnya bukan berhenti, lebih tepat berputar-putar pada kondisi, wajah, dan kemampuan yang sama. Antara kandidat yang satu dengan yang lain saling tahu masing-masing konditenya. Pantas jika dalam rangka melakukan propaganda citra, ada kesan saling menjatuhkan. Paling terasa adalah ketika isu usia menjadi bagian “krusial” yang diperdebatkan. Setidaknya capres PDIP, Megawati Soekarnoputri, sempat tersengat dan menantang calon dari partai lain.

Menjelang Pemilu 2009, bursa calon presiden (capres) bertambah marak oleh kehadiran nama-nama baru dari jalur independen. Kesepakatan aturan main yang mempersilakan para capres indie ini mengikuti kompetisi pemilihan terus bergulir. Kenyataannya, gaya Barrack Obama ini sedang dicoba oleh generasi muda yang menginginkan adanya perubahan dalam wajah politik dan pemerintahan Indonesia.

Mereka adalah M. Fadjroel Rachman, Rizal Mallarangeng, dan Ratna Sarumpaet. Disusul dengan golongan muda dari jalur partai, seperti Sutrisno Bachir (PAN) dan Yusril Ihza Mahendra (PBB). Apa yang mereka janjikan bagi rakyat, memang belum terbukti, jadi masih ada dua kemungkinan: bisa dipercaya memberikan angin segar atau belum dipercaya dalam soal kematangan dan pengalaman.

Memang sedikit dilematis. Apabila kita mengharapkan seorang presiden yang memiliki pengalaman mengatur negara, tentu akhirnya akan dimenangkan oleh sejumlah nama mantan presiden yang saat ini sedang mengincar kembali posisi kursi tertinggi. Sebut saja Gus Dur, Megawati, Jusuf Kalla (saat ini menjadi wapres), dan Susilo Bambang Yudhoyono. Andaikata pengalaman itu dalam skala regional, maka akan muncul nama-nama Sutiyoso dan Sri Sultan Hamengkubuwono X (keduanya berpengalaman sebagai gubernur), atau Yusril Ihza Mahendra sebagai mantan menteri, dan Soetrisno Bachir sebagai Ketua Umum PAN.

Generasi baru sebagai harapan baru, merupakan tawaran Rizal Mallarangeng (43) untuk hari depan Indonesia. Pengalaman apa yang dikandungnya sebagai modal untuk maju ke ajang kompetisi capres? Demikian juga M. Fadjroel Rachman (44), yang berangkat dari seorang aktivis demonstran; ditambah Ratna Sarumpaet, pendiri Akar Indonesia dan Teater Satu Merah Panggung. Mereka bertiga berusaha keras untuk menggali pelbagai persoalan yang terjadi di negeri ini, menganalisis dengan cermat, lalu membawa wacana dan gagasan tentang konsep kenegaraan ke panggung politik.

Sah-sah saja, karena mereka warganegara Indonesia yang rindu terhadap kesejahteraan. Persoalannya, sejauh mana konsistensi mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat yang akhir-akhir ini mulai apatis dengan “ingkar janji politik”? Itu berulang kali terjadi dari siapapun pemimpin yang dinobatkan menjadi presiden.

Ratna merasa telah lebih sepuluh tahun aktif membantu rakyat dalam pelbagai kegiatan sosial. Ia telah melihat dari sangat dekat kondisi dan kebutuhan rakyat saat ini. Idenya antara lain menunda pembayaran utang luar negeri yang dipergunakan untuk hal-hal tidak penting. Sudah saatnya anggaran untuk memperbaiki generasi saat ini dan mendatang diperbesar, terutama dana pendidikan. “Hentikan perseteruan antara presiden dengan DPR yang kontraproduktif. Sudah saatnya kita membangun kesadaran nasional.” Melalui Akar Indonesia, Ratna membuat konsep Saham Harga Diri Bangsa, dengan harga tiap lembarnya antara Rp. 1000,- - Rp. 50.000,- dengan pembatasan pembelian 500.000 lembar untuk menghindari dominasi bagi pembangunan Indonesia. “Kita memerlukan revolusi budaya, mengubah paradigma, membuka dialog, karena selama ini pemerintah dengan rakyat selalu menggunakan one way traffic.”

Sejalan dengan pemikiran Ratna soal utang luar negeri, Fadjroel Rachman mengambil contoh Nigeria dan Pakistan yang dapat mengajukan penghapusan utang dalam banyak prosentase, karena kita sedang membutuhkan dana pendidikan (hanya 47 triliun) secara besar-besaran untuk mencerdaskan satu generasi. Dalam perjalanan keliling Kalimantan dan Sulawesi, banyak disaksikan kemiskinan yang menjalar di mana-mana, padahal Indonesia memiliki banyak sumber daya alam. “Menurut adik saya, yang tahu banyak tentang kondisi pertambangan, negara kita sedang menjual dirinya sendiri kepada pihak asing. Seandainya Natuna, Blok Cepu, Freeport, kita ambil alih, saya yakin rakyat kita sejahtera.”

Sesungguhnya, dalam dua pemilu sebelumnya, Partai Keadilan (Sejahtera) pernah menganalisis hasil laut yang mendominasi tanah air ini, sanggup untuk membebaskan biaya sekolah nasional sampai tingkat SMA. Namun sekali lagi, wacana serupa itu merupakan isu yang diangkat menjelang pemilu dan segera terlupakan tindaklanjutnya setelah berhasil meraih suara. Pada akhirnya mereka selalu terbentur masalah teknis, sumberdaya manusia, dan birokrasi. Sementara negara lain setiap hari (denganizinpara oknum) terus mengeruk isi lautan kita.

Ketika ditanyakan tentang dana kampanye untuk kampanye yang mahal, Rizal Mallarangeng (dari kubu The Freedom Isntitute) mengaku mendapatkan sumbangan dari banyak sahabat. Saya justru mendapat banyak titipan dari teman-teman. Mereka minta tolong agar saya dapat membawa Indonesia berubah menuju lebih baik. Soal dana, pada waktunya nanti akan saya sampaikan secara transparan kepada masyarakat. Kita telah jauh ketinggalan dari negara-negara Asean lainnya. Sebagai contoh, ketika kita membangun jalan tol Jagorawi,  China dan Filipina heran karena Indonesia yang miskin sanggup membuat jalan tol! Tetapi kini, Indonesia baru memiliki 600 km jalan tol, sedangkan Malaysia sudah mencapai 3000 km.”  Rizal memandang Indonesia saat ini sedang membutuhkan seorang pemimpin dengan leadership yang tinggi, untuk dapat bekerjasama dan melibatkan rakyat. 

Dari sisi pengalaman, Yusril merasa dirinya lebih siap menjadi presiden. Saya telah menjadi menteri untuk tiga presiden. Dua di antaranya sebagai Menteri Kehakiman. Selama itu saya telah terlibat dalam 400 RUU, melalui perdebatan dengan DPR dan lembaga terkait. Jika saya menjadi presiden, saya mudah memberi tahu para menteri bagaimana menangani persoalan dan membuat undang-undang.”

Seorang penyair yang giat mengamati persoalan sosial politik, Saut Situmorang, sempat mengkritisi Fadjroel Rachman.Ia gencar mempromosikan ide negara kesejahteraan (welfare state) ala Skandinavia dengan melupakan latar sejarah dan budaya lokal, bahwa Indonesia sebagai negeri pascakolonial (Dunia Ketiga), tak pernah menjadi sosial demokrat. Justru masih feodal, jumlah rakyatnya besar, tak homogen dan tingkat pendidikan rendah.” Ia menambahkan bahwa rakyat perlu belajar berpolitik klasik, yaitu memilih karena sadar dan yakin yang dipilihnya konsisten dengan suaranya. Cuma parpol yang bisa janjikan itu karena parpol tidak bisa hidup-mati tiap menjelang pemilu seperti calon independen.

Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina mengingatkan, bahwa untuk menjadi capres, para calon independen itu harus mampu meyakinkan parpol agar segera dipinang sebagai alternatif yang diandalkan. “Mereka harus bisa menerjemahkan gagasannya menjadi realita yang dipahami dan dipercaya oleh rakyat.”

Kaum muda yang bergairah ini sesungguhnya merupakan harapan baru. Kampanye dalam tataran gagasan, pemikiran idealis ini patut diuji konsistensinya, agar rakyat tak selalu menjadi batu pijakan untuk meraih tempat nyaman sebagai pemimpin yang kemudian lupa pada janji dan tanggungjawabnya.

(Kurnia Effendi)

 

 

Thursday, August 14, 2008

Ironisme Pendidikan Kita

Sepenting apakah pendidikan bagi kita? Seorang teman yang menawarkan asuransi pernah mengatakan: asuransi itu seperti pendidikan bagi anak sekolah dasar. Mengapa demikian? Anak-anak umumnya tidak tahu, kapan ia harus memasuki kelasnya yang pertama. Kesadaran itu milik orang tuanya. Apabila ada bocah yang merengek minta sekolah sesungguhnya yang menarik perhatiannya adalah sejumlah teman di sana, aneka permainan, dan mungkin suasana yang akan ditemui di luar rumahnya sehari-hari.

Saat itulahargo asuransidimulai. Orangtua akan menanam investasi semacam premi untuk buah hatinya. Sang anak belum paham manfaat pendidikan baginya, karena hasilnya akan dipetik pada beberapa tahun berikutnya. Jika menunggu anak paham tujuan sekolah, mungkin akan serba terlambat.

Itulah pendidikan formal. Sebuah institusi yang setiap tahun (akhir-akhir ini) selalu berubah aturan, berubah muatan, dan berubah harapan. Sesuai dengan inti dari makna sekolah, yakni belajar, maka baik pemerintah maupun para profesional pendidikanmasihterus belajar membuat kurikulum, menyusun silabus, mengatur kriterium, dan menentukan tarif bagi para muridnya.

Alasannya masuk akal. Di awal tahun 60-an, tak seorang pun murid memiliki arsip pelajaran yang diterimanya di kelas, karena menggunakan sabak alias batu tulis dengan pena berupa grip. Begitu usai pelajaran, nilainya direkam dalam catatan gurunya, dihapuslah seluruh materi hari itu. Mungkin ingatan generasi dulu justru lebih kuat lantaran tak mungkin melihat kembali catatan hari-hari sebelumnya.

Kini tak hanya tersimpan berupa tulisan dalam buku. Kini bahkan ada teknologi komputer yang mampu merekam, menyimpan, memindahkan, menggandakan, mengubah materi dengan mudah. Daya ingat boleh sedikit tumpul, karena waktu untuk menghapal ditukar dengan cara cepat mencari data. Googling akan menjawab sebagian besar rasa ingin tahu dan menolong sifat lupa kita.

Jumlah manusia bertambah, daya saing meningkat. Kualitas manusia terdidik mulai dikategorikan, distandarisasi, dengan parameter tertentu. Melalui spesialisasi yang lebih terinci. Dan orang pintar semakin banyak. Boleh jadi, kebutuhan itulah penyebab bertambah beratnya beban yang harus ditanggung oleh bocah usia belia. Coba bayangkan saja jika anak sekolah dasar sudah harus pulang lewat tengah hari karena ada tambahan pelajaran di luar yang resmi. Seminggu berjalan begitu padat dengan tambahan pelajaran komputer, musik, seni lukis, karya ilmiah, pendalaman materi untuk matematika, kursus metode kumon, les balet… Terkadang itu merupakan tuntutan ego sang orang tua.

Persaingan antarkandidat begitu ketat, sang anak dituntut memiliki rank tinggi untuk memasuki sekolah menengah yang baik (apalagi tingkat favorit atau unggulan). Kompensasi dari mutu adalah biaya tinggi. Akhirnya beban berat itu mendorong orang tua bekerja keras untuk memenuhi tuntutan keadaan dan situasi di lapangan. Masalahnya, acap kali anak-anak itu justru yang tak kuat melaksanakannya. Kecuali ia bersedia menjadi robot dan secara psikologis keliru sejak awal.

Paling bijaksana, berikan pilihan di luar pelajaran yang wajib diketahui (seperti analogi asuransi di atas) seiring usianya bertambah. Pilihan dengan mencoba (trial) terlebih dahulu akan menentukan rasa nikmat (enjoy) bagi sang anak. Dengan menjalankan segala sesuatu yang disukai, mengingat dunia anak-anak adalah dunia bermain, dampaknya akan lebih sehat. Anjuran untuk bersentuhan dengan seni memang dikaitkan pada harapan perilaku beradab.

Umumnya, anak-anak menyukai warna, maka dikenalkan dengan alat gambar untuk latihan keterampilan motorik sekaligus estetika. Setelah itu belajar huruf dan angka. Dengan menguasai huruf mulailah sang anak belajar memahami cerita bukan dari lisan. Kegemaran membaca akan lebih sehat ketimbang menonton televisi. Seperti yang dikhawatirkan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer, bahwa kehadiran televisi akan merusak budaya baca, memang ada benarnya. Dampak yang dihasilkan dari dua kegiatan itu (membaca dan menonton) akan jauh berbeda.

Iqra! Seruan itu yang disampaikan Jibril kepada Muhammad sebagai pembuka pintu ilmu di awal kenabiannya. Pesan yang diakui menjadi cikal-bakal pengetahuan seseorang. Budaya membaca perlu digiatkan sejak masa kanak-kanak. Kegemaran membaca membuat seseorang lebih cerdas, lebih luas wawasannya, dan lebih pintar menulis. Dengan membaca bahan bacaan yang benar, waktu luang anak-anak tidak akan digunakan untuk kegiatan yang mungkin berpengaruh buruk.

Yessy Gusman hanyalah salah seorang yang melihat sisi positif dari kegemaran membaca. Itu sebabnya, Desember 1999, ia menggagas sebuah taman bacaan anak di belakang rumahnya. Ia menghimpun  anak-anak dari sekitar kampung untuk membaca gratis di perpustakaan itu. Dalam waktu beberapa tahun, lebih dari 350 taman bacaan anak di Indonesia dijaring dan dibantu pengadaan buku-bukunya.

Di Banten ada Gola Gong dengan Pustaka Rumah Dunia, memberi kesempatan bagi anak-anak di desanya untuk aktif ke perpustakaan. Di Depok ada Rumah Cahaya yang dibangun oleh Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Di Padang ada Yusrizal KW, cerpenis yang sudah hampir sepuluh tahun melatih menulis dalam Sanggar Pelangi. Menulis merupakan kegiatan lanjutan setelah piawai membaca.

Kegiatan positif bagi anak yang akan dilakukan dengan enjoy cukup banyak. Musik termasuk yang bersifat universal. Dengan musik, jiwa seni dan kehalusan rasa anak-anak dapat dibina sejak dini. Anna Anggraeni, yang dikenal sejak dulu sebagai pembawa acara Cerdas Cermat Sekolah Dasar di TVRI Jawa Barat, mendirikan sanggar musik La Prima Doremi untuk anak-anak. Menurutnya, kecakapan hidup atau life skill memang perlu dikembangkan sejak usia dini.

Bila ditanya antara bakat dan minat, mungkin ada pemahaman yang perlu dicermati bersama oleh banyak orangtua yang umumnya hanya fokus ke pendidikan formal. Kekhawatiran akan terganggu waktunya bila  anak les ini-itu bisa dipahami. Namun melalui kursus musik, olah vokal, MC; diharapkan akan menjadi peluang, pelengkap, peningkatan tumbuhnya rasa percaya diri bagi si anak. Bahkan kelak dengan kecakapan hidup yang dimiliki melalui musik/vokal/MC, dapat mendukung kesuksesan sebuah karier.

Kemampuan berekspresi seorang anak tergantung dari cara pendidikannya. Pendidikan formal wajib hukumnya, kurikulum yang diterapkan harus memenuhi standar namun juga tidakmencelakakanpara muridnya. Beban yang terlalu berat justru sempat berujung dengan peristiwa anak-anak bunuh diri. Pendidikan yang bersifat rekreatif jadi terasa penting, sepanjang tidak dengan biaya tinggi. Kursus dan les barangkali untuk konsumsi keluarga menengah ke atas, sedangkan fasilitas sosial seperti taman bacaan yang dikembangkan oleh Yessy Gusman atau Gola Gong akan menjembatani kebutuhan masyarakat bawah.

Kini yang perlu diwaspadai adalah mafia pendidikan, yang mencari keuntungan di balik prasyarat kualitas murid dan pelajaran. Misalnya persekongkolan kepala sekolah dan para guru untuk membuat seluruh muridnya lulus dengan NEM memadai. Mereka membentuk tim untuk membuka soal-soal ujian sebelum waktunya guna memberikan bocoran jawaban. Atau bentuk mafia lain dengan kerjasama rahasia antara kepala sekolah dan penerbit buku materi ajar. Rekomendasi itu akan menguntungkan secara finansial bagi sekelompok oknum.

Inilah pilihan yang sulit antara harapan terhadap kualitas dengan kondisi realistis murid-muridnya. Sementara tuntutan persaingan begitu tajam, membuat mereka—kaum pendidik—menempuh segala cara. Ironis memang!

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

Wednesday, August 13, 2008

Menikmati Proyek Residensi "Landing Soon"

Penjelajahan kreativitas belum tentu menemukan sesuatu yang luar biasa dan menggegerkan dunia. Justru lebih sering membuat kita merenung karena yang muncul hal-hal sederhana tetapi unik untuk dinikmati. Bagi seorang seniman, yang memandang segala sesuatu, baik proses maupun hasil sebagai tak biasa, barang-barang yang telah dibuang karena sudah out of date, bisa menjadi tema. Itulah salah satu konsep yang ditampilkan oleh Angki Purbandono dalam”Landing Soon“ (#1 dan #2) di Erasmus Huis.

Angki tidak sendiri. Ia bersama dengan sejumlah seniman antara lain: Arya Pandjalu, Lieven Hendriks, dan Sara Nuytemans (Landing Soon #1). Dalam pameran bersama, mereka didampingi karya-karya Ingrid Mol, Quinten Smith, dan Handy Hermansyah (Landing Soon #2). Pameran ini merupakan kerjasama antara Indonesia dan Belanda, hanya menampilkan para pekerja seni dari kedua negara.

Dulu, sepanjang 350 tahun Indonesia dijajah Belanda, sepanjang itu pula akulturasi terjadi. Penjajahan memang mengandung penindasan. Feodalisme yang terekam dalam sejarah panjang hubungan antara kaum juragan dengan buruh, kaum ningrat dan jelata, atau para Belanda dan pribumi, masih mewarnai karya seni kita.

Namun tidak selamanya itu menjadi jejak yang dipertahankan. Banyak kaum muda yang kemudian memberontak dari kondisi itu. Modernisme yang masuk belakangan punya pengaruh cukup kuat pada perkembangan seni di Indonesia. Terutama karena akses karya lukis Eropa dalam aliran-aliran baru masuk begitu deras ke Asia. Bahkan Van Gogh, salah satu penganut ekspresionisme Belanda, karyanya pernah memberi warna pada perkembangan seni lukis modern Indonesia. Setidaknya Affandi mengambil nafas yang sama.

Aliran Romantisme juga pernah mendera di zaman Orde Baru, ketika para pelukis begitu asyik memindahkan wajah tokoh dalam karakter yang agung ke atas kanvas. Basuki Abdullah salah satu pembawa genre itu. Namun demikian gaya anak muda kini, sebagaimana yang terjadi pada tradisi musik, sudah mulai terpecah belah menjadi banyak aliran. Segala macam spirit diserap kemudian dituangkan kembali dengan kebebasan berkreasi, baik dari media maupun materi yang digunakannya. Mungkin dari ”perkawinan” antara seni lukis, patung, fotografi, dan teknik konstruksi, telah melahirkan seni instalasi (sebuah aliran yang datang seiring dengan puisi bebas dalam ranah sastra).

”Landing Soon”, tema yang digelar oleh Erasmus Huis mengusung sejumlah cara melukis. Sekali lagi, bukan sebuah revolusi bentuk dan teknik, tetapi hanya keragaman yang memperkaya khazanah seni rupa. Ingrid Mol menggunakan langgam komik, dengan gaya mirip Tintin (Herge) yang diberi warna datar (flat), polos, dan masif. Teknik pewarnaan seperti ini bisda dilakukan dengan komputer atau percetakan, mudah diubah sesuai selera. Tidak terlihat dimensi, karena tidak menggunakan nuansa untuk menghidangkan kedalaman. Gaya seperti ini sebetulnya merupakan kekayaan spiritual Timur (seperti yang berkembang di Bali).

Dalam esai pendeknya, Farah Wardani, menggarisbawahi karya Ingrid Mol dengan 4 aspek: narasi, gambar, objek, setting (latar). Jelas sudah, bahwa kita sedang memasuki dunia storyboard, karena sejatinya Ingrid memang senang bercerita dalam bentuk gambar.

Lieven Hendriks mengambil stilasi dari hasil penglihatannya. Ia cenderung menyederhanakan bentuk. Mengambil nafasnya saja untuk dipajang sebagai sebuah inti persoalan. Menurut Frank Koolen, ”Mata ini seakan-akan melihat sesuatu yang baru, tapi sebenarnya sesuatu yang sudah tua setua penglihatan itu sendiri. Tangan kiri mampu menulis lebih bagus daripada tangan kanan yang tua dan bagus. Telinga mampu mendengarkan suara-suara yang berbeda, namun kurang jelas apakah yang terdengar bukan hanya sekadar gema. Ya, ini adalah hari yang aneh. Aroma kopi terasa sangat buruk namun rasanya sangat luar biasa nikmat. Dan ketika ia meliongok keluar jendela, awan tampak terbalik...”

Absurditas? Mungkin, tetapi bukan berarti absolut absurd. Ia merekam gema, ia mencuri ruhnya saja. Sekelompok perupa dari Bali dan Yogya yang pernah berpameran bersama dalam tajuk ”Menanam Padi di Langit” juga sesungguhnya melakukan dekonstruksi bentuk, bahkan peristiwa.

Handy Hermansyah bermain-main dengan buah. Eksperimantasi seperti ini juga bukan hal baru, mengingat dunia advertising telah melakukannya dengan lebih kaya. Bermain, mungkin tersenyum sendiri, membayangkan hal-hal yang tak senonoh, menjadi bagian dari proses kreatif yang bukan sekadar berhenti diruang bermainatau khayalnya saja. Ia asyik di dapur atau di kebun sayur. Cukup kepadanya diberikan terong, sawi, pisang, melon, kacang panjang, timun, rambutan, kentang, salak, semangka, papaya, ikan mujairjadilah ia kanak-kanak abadi yang tekun. Di balik bingkai, setelah simbol-simbol itu dibuat dari sebuah perikehidupan, kita memandangnya dengan tertawa. Ia mengabadikan dengan semangat bermain. Warna-warna itu tampil natural, bahkan cemerlang, dalam foto yang tajam.

“Handy menggali konsep artistik yang secara spesifik berhubungan dengan lokasibarusebagai tempat ia tinggal dan bekerja: Yogyakarta,” kata Agung Hujatnikajennong, seorang perupa generasi muda, yang mengetahui Handy sebelumnya bermukin di hawa sejuk Bandung. Sudah sejak awal Handy berencana menggunakan fotografi sebagai medium untuk proyek residensi ini.”

Jadi, proyek residensi “Landing Soon” ini telah dua kali diselenggarakan dengan dua tim seniman terpilih. Sebagai proyek tentu saja tidak melulu hasil akhir yang diperbincangkan, melainkan sejak berupa konsep. Proses pun menjadi luar biasa penting, lantaran di sanalah perbenturan pemikiran pro dan kontra baik dalam dirinya sendiri maupun dengan pihak-pihak luar terjadi. Sering kali, gagasan awal yang telah bermukim lama di rongga kepala akan serta-merta berubah, mengalami revolusi, dan menunjukkan hasil yang berbeda. Oleh karena itu friksi yang tajam justru diperlukan untuk mendapatkan letupan-letupan baru.

Dalam proyek ini Sara Nuytemans menggarap banyak peristiwa ekstrem. Misalnya ia menemukan sebuah toko yang nyaris roboh hanya disangga dengan beberapa batang bambu. Tampak di situ ada keajaiban yang hendak diperlihatkan dari sebuah kesederhanaan pola pikir masyarakat yang tidak merujuk pada perasaan cemas. Sara juga mencampuradukkan antara produk industri dengan hasil kerja tradisi. Ia mencoba menangkap ekspresi manusia dari yang mengusik pikirannya.

Bagaimanapun, eksplorasi semacam itu mengasyikkan.

(Kurnia Effendi)