Thursday, January 29, 2009

Ibu-Ibu Gedongan Membahas Buku

Setelah lama berada di luar negeri, ikut suami atau karier pribadi, mereka kembali ke Tanah Air dengan semacam kegagapan dalam arti sesungguhnya. Mereka lebih lancar berbicara menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Tetapi upayanya untuk mencintai Indonesia patut dipuji.

Mereka adalah kaum ibu dengan usia di atas 40-an yang tergabung dalam komunitasMembahas Buku”. Ketika marak di kalangan anak muda penggemar sastra yang membentuk komunitas membaca, kehadiran mereka tentu patut mendapat sambutan. Di Indonesia telah ada komunitas Forum Indonesia Membaca (FIM) yang bergerak dari perpustakaan. Ketua FIM, Dessy Sekar Astina, kini berkantor di Museum Bank Mandiri di Kota, Jakarta Pusat. Gerakan FIM ini membangkitkan kegemaran membaca di kalangan anak-anak dan kaum muda di berbagai tempat. Usahanya dimulai dengan membangun perpustakaan kecil di sejumlah kota dan kelompok pembacanya. Bekerjasama dengan jaringan yang sudah ada, seperti mislanya Sanggar Baca Pelangi di Magelang. Satu dan lainnya dihubungkan dengan komunikasi aktif, berbagi kegiatan diskusi secara berkala sebagai program.

Kita juga telah mengenal “Kubugil” (Kutu Buku Gila) yang beranggotakan para pencinta buku dengan semangat membaca sangat tinggi. Rata-rata mereka membaca 5-10 buku dalam sebulan, walaupun ada di antara mereka yang gemar membeli buku namun membacanya nanti dulu. Kubugil ini pernah mendapat kesempatan bicara dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan di Jakarta dan Surabaya. Umumnya berangkai dengan kegiatan pameran dan bursa buku. Satu dan lain anggota juga bersahabat secara sosial, walaupun anggota tersebar di seluruh Indonesia.

Ada pula Goodreads Indonesia (GRI) yang awalnya didirikan oleh Femmy Syahrani, seorang penerjemah lepas yang tinggal di Bandung. Goodreads, sebagai cabang dari organisasi pembaca buku dunia, bergiat dalam media maya.. Keberadaan mereka memang tidak serta merta memengaruhi penjualan buku di Indonesia, karena justru pada umumnya mereka mendapatkan buku secara cuma-cuma dari penerbit. Mereka yang tergabung dalam GRI, beberapa di antaranya aktif menulis. Pengalaman pembacaan itu tidak semata untuk dimiliki sendiri melainkan disampaikan dalam bentuk review atau resensi di blog-blog pribadi. Dalam situs GRI, kita dapat melihat koleksi buku di perpustakaan pribadi mereka. Mengagumkan, karena pada dasarnya mereka pecinta buku.

Ketiga kelompok atau komunitas di atas sekadar contoh, bahwa di Indonesia terdapat para pecinta buku baik mereka sebagai konsumen/pembaca ataupun sekaligus sebagai pengarang. Munculnya ibu-ibu sebagai kelompok kecil (saat ini baru berdelapan orang) itu  memberika  angin segar, Sebuah majalah, Eve, mencoba memfasiltasi dengan menawarkan judul buku untuk pembacaan bersama.

Pada giliran yang pertama, dipilih buku Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari. Selasa, 20 Januari yang lalu, majalah Eve mengundang pengarang RDP ke Jakarta. Di Café Magenta, Pacific Place, Jakarta, acara itu berlangsung dengan santai dan akrab. Miss G sebagai pemandu acara mengatakan, bahwa kegiatan diskusi buku antara “Membahas Buku” dan pengarang Indonesia akan berlangsung secara berkala. Acara diskusi apresiasi di Magenta, merupakan dialog aktif yang lebih banyak mempertanyakan “Apakah benar di Indonesia ada dukuh seperti yang digambarkan oleh Ahmad Tohari dalam novelnya itu?”

Nova Riyanti Yusuf menjadi moderator. Sepanjang diskusi berlangsung, menurut sumber Parle, Endah Sulwesi, suasana begitu menyenangkan. Antusiasme ibu-ibu yang bukan dari kalangan penggemar sastra, melainkan orang-orang mapan dengan dandanan elegan itu, menarik untuk ‘ditantang’ lebih lanjut. Mereka sangat awam dan keheranan ketika menemukan fakta-fakta unik menyangkut masyarakat miskin yang digambarkan dalam novel. Tentu saja mereka jauh dari persentuhan sosial ke dusun-dusun terpencil. Selain mereka mapan secara ekonomi, tinggal pun lebih lama di luar negeri.

Mereka sebelumnya tidak mengenal para pengarang Indonesia. Justru awal kegiatan itu dimulai dengan pertanyaan: “Kenapa buku-buku sastra Indonesia tidak dikenal di luar negeri?” Ada dua jawaban: (1) Mereka memang tidak mencari dengan teliti, karena sesungguhnya ada beberapa novel yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, termasuk The Dancer (Rongggeng Dukuh Paruk) karya Ahmad Tohari. (2) Masih terlampau sedikit dibanding karya terjemahan asing yang masuk ke Indonesia.

Selanjutnya, untuk diskusi/pembahasan berikutnya, dicalonkan buku Janda dari Jirah, novel karya Cok Sawitri yang sangat puitis dan mengangkat kisah legenda Calonarang. Pada kesempatan itu Endah mempromosikan keberadaan Goodreads, untuk suatu kali di pertemukan dengan komunitas “Membahas Buku” itu. Disampaikan pula, bahwa di Indonesia ada “dewa-dewa sastra” selain Ahmad Tohari; antara lain Pramoedya Ananta Toer, Budi Darma, NH Dini, dan lain-lain. Untuk kalangan pengarang muda, ada di antaranya Seno Gumira Ajidarma atau Ayu Utami.

Ternyata masih ada sekelompok ibu-ibu yang menyisihkan waktu luang dari kegiatan bisnis atau pergaulan kelas atas mereka untuk membaca buku. Kenyataan ini sangat menyenangkan dari sisi budaya dan sosial. Bahkan pilihannya adalah buku sastra karena menganggap tak ada yang menonjol dari pengamatan mereka ketika di luar negeri. Majalah Eve menjanjikan akan mengundang kembali wakil Kubugil, dalam hal ini Endah untuk mendampingi diskusi mereka dengan pengarangnya.

Disayangkan, buku-buku untuk komunitas itu masih dimintakan kepada penerbit. Padahal semestinya, untuk kalangan selevel mereka, harga buku tentu sudah bukan masalah. Sangat terjangkau dan bahkan akan sanggup memborong bila perlu. Kesadaran akan pentingnya buku (fiksi maupun nonfiksi) bagi kelengkapan intelektual mereka, perlu ditingkatkan.

(Kurnia Effendi)

 

Tuesday, January 27, 2009

Parti Islam di Simpang Jalan

Sudah tentu, partai Islam bukanlah sebuah kelompok formal yang akan menjalankan syariat Islam dalam praktik kegiatannya sehari-hari. Apalagi jika itu adalah sebuah partai politik berbasis Islam. Kata politik di dalamnya membuat semua prosedur, aturan main, AD/ART akan difungsikan sebagai alat politik. Kata politik yang dekat dengan policy atau kebijakan dapat berarti penyimpangan yang dimaklumi.

Ketika ada sebuah aturan/regulasi baku mendadak mendapatkan jalan buntu dalam salah satu kasus yang tak terpikir sebelumnya, lahirlah kebijakan (policy) untuk mengatasinya. Kebijakan muncul sebagai anomali, kekecualian, pembedaan, dst. Dengan kata lain, kebijakan merupakan penyimpangan. Semakin banyak kebijakan semakin banyak pula penyimpangan, dan akhirnya tidak jelas lagi mana yang lurus mana yang melenceng. Sementara kesetiaan terhadap konstituen bagi anggota partai menjadi semacam kewajiban yang ‘mutlak’. Akibatnya, perbedaan ideologi antaranggota keluarga dalam satu rumah bisa berakibat fatal.

Lunturnya visi dan misi pada sebagaian partai yang berbasis agama Islam melunturkan pula rasa cinta pendukungnya. Perubahan yang sering mengagetkan (dalam bahasa politik disebutmanuver’, dipinjam dari istilah gerakan jungkir balik pada pesawat tempur) tanpa sempat disosialisasikan kepada para pendukung, umumnya karena harus berlomba dengan momentum. Untuk kegiatan politik, dalam hitungan jam, dapat mengubah dari simpati menjadi antipati. Propaganda untuk menarik simpati dari satu pihak justru sering menghasilkan antipati dari pihak yang lain.

Seharusnya partai politik dapat belajar dari pengalaman sebelumnya, misalnya rekrutmen para artis untuk jadi calon legislator. Sedikit-banyak mengakibatkan friksi terhadap calon lain yang tersisih padahal kariernya bergerak dari bawah dengan kesetiaan. Mengenai partai-partai Islam, tentu yang dipersoalkan adalah kepermisifan regulasi.

Kini, kampanye sudah mengalami perkembangan baru lagi. Bukan atas nama partai yang diusung, melainkan mempertaruhkan nama diri dengan nomor urut sebagai caleg dalam partai tertentu. Dari sisi perubahan itu, terasa ada pemindahan tanggung jawab biaya kampanye dari pundak partai ke pundak personal caleg. Kepopuleran seseorang, ketokohan anggota masyarakat, unjuk kerja seorang profesional sangat dipertaruhkan. Apakah nilai-nilai Islam juga akan menjadi modal dasar bagi seorang caleg dari partai berbasis agama Islam? Masyarakat akan mengapresiasi melalui kegiatannya sehari-hari. Acap kali, kesalehan sosial akan lebih mengemuka ketimbang khusyuknya seseorang dalam menjalankan syariat Islam.

Ketika PAN (Partai Amanat Nasional) berdiri, sejak awal mengumumkan bahwa partai itu tidak identik dengan Muhammadiyah. Baju Islamnya dilepaskan, meskipun ketua umumnya, Amin Rais, merupakan Ketua Umum Muhammadiyah. Berbeda dengan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), begitu lekatnya partai itu dengan Nahdlatul Ulama. Meski demikian, kedua partai itu dalam praktiknya tetap moderat, terbuka, dan inklusif. Terlebih ketokohan Gus Dur, tidak hanya menjadi idola kaum muslimin tradisional, namun banyak sahabatnya dari lintas agama. Masyarakat Tionghoa berpihak padanya.

Belum lama ini, Din Syamsudin cenderung memilih membubarkan partai Islam. Pendapatnya itu pasti bukan sebuah ungkapan spontan tanpa dasar. Sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, wawasannya telah bertemu pelbagai disiplin ilmu dan mengalami perbenturan politik internal maupun eksternal. Sosoknya yang mulai dilirik oleh calon RI-I untuk jadi RI-II, telah pula mengalami tarik-menarik kepentingan. Separuh untuk politik yang siap mengakomodasi kepentingan orang banyak, separuh lagi untuk mempertahankan lembaga agama yang dikemas secara modern namun tetap strik pada tujuan organisasi. Tentu, di tengah pro-kontra usulannya itu, ada kompromi yang sedang diperjuangkan untuk mendamaikan pelbagai kepentingan.

Itulah sebabnya, politik bisa memiliki seribu wajah. Tergantung sebagai siapa kita memandangnya. Padahal, dalam tarikh masa silam, Rasulullah menempatkan masjid sebagai pusat segala kegiatan. Di dalamnya dapat berkembang urusan ibadah, sosial, kebudayaan, keamanan, dan politik pemerintahan. Masjid bukan semata tempat sujud, namun juga menjadi wahana untuk mempertimbangkan keselamatan umat, serta menjadi tempat briefing mengenai strategi pertahanan dari serangan musuh negara.

Ketika dalam masyarakat sekuler agama hendak dipisahkan dari kegiatan kenegaraan, di satu sisi benar bagi Indonesia yang memiliki penduduk dengan lima agama. Syariat Islam yang pernah tercantum dalam Piagam Jakarta dilepaskan dari pembukaan UUD untuk kepentingan lintas agama. Ketika NKRI terancam, diprediksi akan ada dua provinsi yang dapat memisahkan diri dengan prinsip yang sangat bertolak belakang. Hanya dengan satu kasus, mengenai Undang-Undang anti Pornografi dan Pornoaksi, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Provinsi Bali bersiap-siap mandiri dengan dua alasan berbeda.

Islam dengan fanatisme tersendiri masih terus diperjuangkan oleh masyarakat Aceh. Dengan hukum-hukum Islam, yang dipercaya turun bersamaan dengan wahyu melalui Nabi Muhammad, seluruh perikehidupan akan terpelihara dengan baik. Tak mungkin ada pejabat berani korupsi jika hukuman untuk seorang pencuri adalah dipotong tangannya. Apakah setiap kasus pencurian mendapatkan vonis yang sama? Tidak juga, karena selalu ada proses yang meneliti sebab terjadinya pencurian. Seseorang yang terpaksa mencuri untuk bertahan hidup dari kelaparan, misalnya, mungkin justru melahirkan kritik baru terhadap lingkungan sekitar yang membiarkan orang lain tak tersantuni.

Melihat konflik abadi yang berlangsung di Bumi Palestina, isu agama menjadi santer sebagai propaganda yang disimpangkan. Sentimen keagamaan dipicu untuk membangkitkan kemarahan Islam di seluruh dunia, dan melahirkan tuduhan baru sebagai teroris. Pecinta kemanusiaan dari Hebron Journal, Arthur Gish, menjadi saksi begitu kejamnya Israel terhadap orang-orang Palestina. Namun satu hal yang menjadi penyebab, perebutan tanah air, yang dipercaya menjadi hak Israel sejak nabi Musa.

Kenyataan lain yang disaksikan oleh Luthfi Assyaukani (dari Paramadina Mulia Jakarta) ketika sempat ziarah ke Kota Tua Tel Aviv, mendapati orang-orang Israel adalah kaum yang ramah, gigih, dan mampu membangun lembah itu menjadi hunian yang subur. Mengapa bangsa Arab lain ’diam saja’ terhadap musibah yang menimpa warga Palestina? Orang-orang Palestina, konon menurut Gish, adalah orang-orang cerdas yang akan melibas tanah Arab jika suatu saat memperoleh kemerdekaannya. Jadi, apa yang terjadi sesungguhnya?

Kembali pada masalah partai Islam, tampaknya akan terus memicu sentimen agama untuk kepentingan politik yang berjalan tidak sehat. Sementara masyarakat terus-menerus kecewa terhadap hukum di Indonesia karena keadilan tak kunjung tegak walaupun banyak partai Islam menduduki kursi parlemen. (Kurnia Effendi)

 

Friday, January 23, 2009

Ratih Sanggarwati, Duta Perkassa dan Caleg

Beberapa kali, Parle bertemu Ratih Sang (nama populer dari Hajah Ratih Sanggarwati, SE). Saat menjadi pemandu acara peluncuran majalah kesehatan jiwa Ataraxis di Le Meridien, saat menjadi pemandu acara ulang tahun ke-25 penerbit Mizan Group, saat bertamu di rumah sastrawan Ahmad Tohari di Banyumas, atau saat bersama-sama nonton premiere film Laskar Pelangi di FX-Senayan.

Sosoknya tak asing lagi di mata masyarakat Indonesia, meskipun tak tampil di catwalk dalam peragaan busana. Justru kegiatan lain sesudah profesi peragawati ditanggalkan, membuat waktunya digunakan untuk keperluan banyak orang. Setelah memutuskan berjilbab, Ratih Sang lebih aktif dalam berbagai kegiatan. Di antaranya adalah menjadi duta PERKASSA, dan kini sedang mempersiapkan diri sebagai caleg DPR-RI.

Kegiatan syiar Islam yang aktif dijalaninya antara lain memberikan ceramah agama, menjadi instruktur materi tentang pengembangan pribadi dan keluarga muslimah, mengajarkan kiat serta trik dalam hal berkerudung dan berbusana muslimah yang gaya, anggun, dan tetap syar’i.

Lahir di Ngawi 8 Desember 1962, sosok model senior yang satu ini tidak pernah surut dari pemberitaan. Wajahnya sering tampil menghiasi layar berbagai stasiun televisi di tanah air. Selain diundang sebagai bintang tamu atau menjadi tuan rumah acara keagamaan, banyak produk – mulai dari perbankan, kosmetika, sampai busana yang berbasis Islam di tanah air – menggunakan perannya sebagai ikon dari produk tersebut.

Tak luput, dalam kunjungannya ke beberapa daerah di pelosok tanah air, Ratih Sang acap didaulat sebagai pembicara maupun moderator kajian seputar Islam dan masalah keluarga. Tentu, karena ia juga mendirikan dan menjabat sebagai Presiden Direktur Lembaga Pendidikan Ratih Sang (LPRS). Dengan senang hati, ia  berbagi pengalaman hidup dan spirit islaminya melalui kaset, VCD, puisi, hingga buku-buku yang ditulisnya, yang telah menginsprasi perempuan di Indonesia, khususnya muslimah. Itulah bentuk kepeduliannya sebagai muslimah terhadap keberadaan muslimah lainnya.

Pada akhir Desember 2006, Ratih Sang dilantik oleh Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Bapak Suryadharma Ali sebagai duta PERKASSA (PERempuan KeluargA Sehat SejahterA). Banyak program dijalankan, antara lain memotivasi kaum perempuan dalam menumbuhkan rasa percaya diri, memberdayakan mereka dengan membantu membentuk koperasi perempuan di Indonesia termasuk training-nya, mengenalkan program-program koperasi kepada komunitas perempuan. Kiprahnya itu bertujuan agar kaum perempuan mempunyai pemahaman dan dapat mengimplementasi koperasi dengan baik.

”Apa harapan Mbak dengan menjadi anggota parlemen?”

”Dalam benak saya, masih tersimpan banyak gagasan dan harapan untuk mendorong tumbuhnya wanita mandiri di Indonesia. Dan untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu jalannya adalah menerima pinangan dari DPP PPP. Kebetulan saya dipercaya menjadi caleg DPR RI No.1 dapil I Jatim, untuk wilayah Surabaya dan Sidoarjo. Itulah partai yang memiliki motto atau semboyan sesuai dengan cita-cita saya. Yakni Membangun keluarga untuk membangun bangsa.”

            Parle setuju jika Ratih Sang termasuk wanita yang ikhlas dan tawaduk. Berjuang dengan ketulusan dan memandang jauh ke depan. Semoga usahanya tak akan sia-sia untuk manfaat banyak orang.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

Thursday, January 22, 2009

Republik Petruk, Parodi Otokritik

Ini produksi Teater Koma yang ke-116. Angka itu menunjukkan panjangnya usia. Jika setiap tahun menghasilkan 2 sampai 3 pementasan (rata-rata berlangsung dua minggu) menunjukkan bilangan umur lebih dari tiga puluh tahun. Sebagai sebuah kelompok seni pertunjukan, Teater Koma menjadi fenomena popularitas tersendiri. Naskah asli maupun terjemahan yang dipentaskan, hampir selalu mengundang penonton yang berlimpah. Tampaknya, N. Riantiarno tahu persis keinginan penonton. Ia menyajikan pertunjukan yang, selain mengandung humor yang mudah diterima, selalu mencoba kontekstual dengan kondisi zamannya.

“Republik Petruk”, merupakan bagian terakhir dari trilogi. Sebelumnya pernah dipentaskan “Republik Bagong” (2001) dan “Republik Togog” (2004). Dengan mengangkat kisah yang sangat populer di kalangan penggemar wayang, “Petruk Jadi Ratu”, riwayat tercurinya jimat Kalimasada dari keluarga Pandawa menjadi sempalan yang sangat menarik. Dalam cerita itu, salah satu punakawan di negeri Amarta sempat menikmati kejayaan melalui jimat itu. Siapa yang menjadi sumber dari peristiwa chaos, tak lain adalah Batara Guru dan Batara Narada.

Pementasan kali ini, sebagian besar pemain mengenakan kostum bergaya Manga (komik Jepang). Dengan rambut jabrik warna-warni, para satria Pandawa dan Dewi Mustakaweni, berubah menjadi tontonan pop yang segar. Bahkan banyak ucapan menggunakan bahasa anak muda sekarang, seperti: ‘secara’, ‘capek deh’, ‘akyu’, dll. Mungkin gaya seperti itu, dengan humor di sana-sini, telah membuat pertunjukan Teater Koma kena di hati para penonton. Bahkan, untuk cerita seberat “Kenapa Leonardo?” karya Evald Filsar, September 2008, dihiasi humor-humor yang memancing tawa. Penonton rela bertahan dalam pertunjukan yang rata-rata berdurasi 4 jam.

Sebenarnya, humor itu bukan mengusung gagasan banyolan, tetapi lebih berupa satir. Tawa pahit, menertawakan diri sendiri, parodi yang bersifat otokritik. Di masa lalu, kritik tajam yang menjadi bahan pementasan, pernah mengundang interogasi pemerintah. Di era demokrasi seperti sekarang ini, Teater Koma lebih beruntung, karena lontaran kritiknya tidak serta-merta membentur dinding kekuasaan.

Naskah yang ditulis oleh Riantiarno sendiri ini memang bukan cerita asing. Raja Petruk Belgeduwelbeh Tongtongsot sudah kerap menjadi pilihan dalang wayang kulit maupun wayang orang dengan judul “Petruk Dadi Ratu”, itu seperti ‘kere munggah bale’ alias si jelata yang naik tahta. Secara ‘mental dan genetika’, seorang rakyat biasa yang memimpin negara dan menjadi penghuni istana, selalu digambarkan kurang siap. Jalan hidupnya menjadi semacam utopia, angan-angan kelewat batas, dengan kemampuan yang tak memadai.

Budi Ros, berperan ganda, sebagai Petruk sang tokoh utama, sekaligus menjadi dalang dari cerita keseluruhan. Aktingnya yang kuat, terutama ketika memerankan sebagai pasien rumah rehabilitasi jiwa dalam lakon “Kenapa Leonardo?”, menahan durasi empat jam tetap dalam pertunjukan yang menarik. Kehadiran tokoh Limbuk dan Cangik sebagai batur yang tak pernah uzur dalam kaputren Amarta, sangat menghibur. Tingkahnya yang teatrikal berhasil membuat pertunjukan itu hidup.

Ini kisah tentang Mustakaweni yang berhasil mencuri Jimat Kalimasada. Makna Kalimasada sebenarnya dekat dengan “kalimat syahadat” yang dileburkan ke dalam dunia wayang di masa Wali Sanga, sebagai pegangan hidup orang muslim. Jimat Kalimasada merupakan pusaka Pandawa yang disimpan oleh Wara Drupadi, istri dari Prabu Yudistira, si sulung keluarga Pandawa. Dengan menyamar sebagai Gatutkaca, mengaku diutus oleh Kresna, jimat itu berpindah tangan. Srikandi yang berusaha merebut kembali pusaka itu justru dilumpuhkan oleh Mustakaweni.

Awal dari perbuatan Mustakaweni adalah dendam atas kematian ayahnya oleh Arjuna. Cita-citanya membunuh Arjuna akan berhasil hanya dengan satu cara, yakni menggunakan pusaka itu. Namun ia terpedaya oleh asmara terhadap Bambang Priambada, anak Arjuna dari Dewi Supraba yang hendak mencari ayahnya. Jimat Kalimasada direbut dengan mudah, karena Mustakaweni yang terlanjur gandrung sengaja menyerahkannya. Namun ia terus pura-pura melawan Priambada yang terpaksa menitipkan pusaka itu kepada Petruk.

Di pihak keluarga punakawan, Petruk dianggap minggat tak pulang-pulang. Semar, Gareng, dan Bagong bersedih mencarinya. Mereka tidak menyadari bahwa Petruk telah menyalahgunakan amanat. Ia memerangi dan menaklukkan Kerajaan Lojitengara dengan bekal Jimat Kalimasada, sampai ia diangkat menjadi raja. Kehidupannya sebagai sang raja itulah, ia menganut sistemSerba Boleh Ye…” Di dalam pemerintahan yang serba boleh itu pejabat takut korupsi karena akan dihukum mati, polisi bekerja secara dedikatif. Sementara KKN atas nama demokrasi berjalan marak namun terkendali. Sang Petruk gemar menyanyi dan menari.

Otokritik yang disampaikan, memang masuk ke dalam konteks kondisi saat ini. Seolah tidak ada yang sempurna dalam penyelenggaraan pemerintah, sementara ‘bahaya’ global tetap menyerbu. Ini semacam peringatan bagi kita semua untuk tetap waspada dan perhatian utama harus kepada kepentingan rakyat banyak, bukan demi politik itu sendiri.

Secara keseluruhan, pementasan itu cukup segar. Terutama warna-warni kostum dan dekorasi yang memesona. Setiap perubahan adegan, pergantian latar berlangsung seperti menjadi bagian pertunjukan itu. Musik live yang digelar di depan panggung menyemarakkan sepanjang pertunjukan. Mustakaweni yang diperankan oleh Cornelia Agatha tampil sebagai rocker dengan gaya funky. Nyanyi dan tari memang hampir tak pernah lepas dari pementasan Teater Koma.

Tahun 2009 adalah tahun ke-32 Teater Koma, tulis Ratna Riantiarno dalam buku programa. Pergelaran sandiwara “Republik Petruk” merupakan awal rangkaian kegiatan menyambut usia kelompok teater yang telah melewati angka usia 30. Pilihan terhadap lakon itu, dimaksudkan untuk menatap cermin buram negeri kita.

Teater Koma yang didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977, telah menjadi sejarah pementasan tersendiri di Indonesia. Dalam kariernya, Teater Koma pernah meraih rekor MURI, melalui lakon “Sampek Engtay” yang menjadi sandiwara terlama dipentaskan, yakni selama 16 tahun (1988-2004) dengan pergelaran sebanyak 80 kali. Diawali dengan “Rumah Kertas”, karya Riantiarno memang banyak dimainkan, sampai dengan “Republik Petruk” ini. Namun selain skenario asli, Teater Koma juga kerap menggarap karya-karya adaptasi dari dramawan kelas dunia, seperti Bertolt Brecht dan William Shakespeare.

Kesenian memang berfungsi sebagai penghibur, namun juga menjadi alat kritik yang bekerja sangat halus dan multitafsir. 

(Kurnia Effendi)

 

Wednesday, January 21, 2009

Musikalisasi Puisi Membangun Komunitas

Setelah perjuangan yang cukup panjang, sejak 2003, akhirnya terbentuklah Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi) pada 9 Januari yang lalu. Upaya gigih tak kenal surut dari Haji Fredi Arsi, ayah 6 bersaudara yang tergabung dalam Deavis Sanggar Matahari, membuahkan hasil yang indah. Keberadaan komunitas ini terkait erat dengan Pusat Bahasa, yang turut merintis dari waktu ke waktu, bahkan melalui festival.

Di antara cabang seni yang lain, mungkin musikalisasi puisi termasuk paling akhir membangun komunitas. Para sastrawan, dramawan, sosiawan, bahkan pecinta alam dan kelompok studi tertentu, sudah lebih dulu membentuk komunitas. Kebutuhan untuk saling mengasah wawasan, meningkatkan frekuensi diskusi, menggali potensi, dan tentu saja berkarya, diwadahi oleh sebuah komunitas. Walaupun dengan kualitas yang mungkin tidak sama, umumnya suatu komunitas akan lebih moderat dan lentur untuk masuk ke wilayah-wilayah yang semula sulit ditembus oleh formalitas. Bahkan beberapa komunitas kemudian mendirikan yayasan untuk kiprah sosial dan aktualisasi diri mereka di tengah masyarakat.

Posisi yang unik, antara grup musik dengan penyair atau pembacaan puisi, selama ini tidak terperhatikan. Lagu, jika bukan instrumentalia tentu akan berisi lirik. Syair atau lirik itu bisa ditulis oleh anggota band, penggubah lagunya sendiri, atau seorang penyair. Sebagi contoh, laguDunia Ini Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan oleh Duo Kribo (Ahmad Albar dan Ucok Harahap), liriknya ditulis oleh Taufiq Ismail, seorang penyair tersohor. Sedangkan Ebiet G. Ade menulis puisi lebih dulu, baru kemudian digubah menjadi nyanyian. Leo Kristi secara bersama-sama menggubah lagu dan menulis puisi liriknya.

Musikalisasi puisi sebetulnya tumbuh subur di awal tahun 80-an. Saat itu, salah satunya Ags. Arya Dipayana, menggubah puisi-puisi Sapardi Djoko Damono menjadi lagu. Tembang sederhana yang diiringi dengan petikan gitar itu memperluas keanggunan sang puisi. Umumnya, nyanyian berirama folk atau country itu sangat cocok dibawakan untuk pertemuan-pertemuan informal para mahasiswa, misalnya di gunung atau pantai. Itulah yang terjadi di kalangan mahasiswa sastra dan antropologi UI. Selanjutnya tak hanya satu dua puisi atau segelintir penyair, melainkan banyak sajak yang tergubah menjadi gita, oleh Umar Muslim, Ari Malibu, dan para kelompok musikalisasi puisi yang menjamur.

Banyak peristiwa sastra yang tak meriah jika tidak dihiasi dengan musikalisasi puisi. Setidaknya, selain Sapardi, puisi Toto Sudarto Bahtiar, Subagyo Sastrowardoyo, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain mulai menjadi lagu yang asyik. Sebagian besar memang melankolis. Dan sampai kini, puisi terbanyak yang menjadi lagu adalah karya Sapardi, yang umumnya berbicara tentang alam dan cinta. Melankolia.

Dari sejumlah kelompok musikalisasi puisi, Sanggar Matahari menjadi semacam ikon, karena konsisten mengamalkan cabang seni itu. Koleksi lagu yang tercipta dari puisi sangat banyak, sehingga setiap tampil menawarkan lagu yang berbeda. Enam bersaudara itu gigih melatih kelompok-kelompok dari berbagai provinsi dalam format workshop. Dalam dua tahun terakhir, dengan semangat luar biasa, akhirnya mereka sanggup menghimpun grup musikalisasi puisi dari 22 provinsi dan 14 kabupaten/kota.

Kebetulan, pada 22 provinsi itu, terdapat Balai Bahasa yang turut membina pertumbuhan kelompok-kelompok itu. Mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tanggara, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua. Selain itu masih ada kota-kota dan kabupaten yang menjadi pusat keterwakilan. Seperti misalnya Binjai, Bukittinggi, Pagar Alam, Lampung Tengah, Bogor, Ambon, dll. 

Sang penggagas, Sanggar Matahari, sebenarnya sudah mulai mengisi acara berkala di TVRI sejak tahun 1990. Pada tahun 2003, mereka memprakarsai penyelenggaraan festival musikalisasi puisi dan diskusi. Dari perbincangan dan pemikiran yang terus bergulir, akhirnya pada 24 Desember 2006, komunitas itu ditegakkan. Para pendirinya adalah H. Fredi Arsi, Fikar W. Eda, Maman S. Mahayana, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rachman, dan dua pemusik Dedi dan Andi.

Pada Jumat malam 9 Januari 2009, Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi) dideklarasikan. Sekjen Kompi, Fikar W. Eda membacakan riwayat singkat pembentukan Kompi yang ditentukan eksistensinya di Diparda Tugu, Puncak. Kemudian H. Fredi Arsi membacakan Deklarasi Kompi. Peresmian dilakukan oleh Dendy Sugono, Ketua Pusat Bahasa yang dalam pidatonya menyebutkan bahwa musikalisasi puisi akan dikembangkan sebagai genre dan musik Indonesia.

Acara yang didukung oleh Kader Muda Demokrat dari Partai Demokrat, Pusat Bahasa Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Koran Tempo, dan tentu Pusat Kesenian Jakarta itu, tak hanya menyampaikan deklarasi. Dalam kesempatan itu, ditampilkan beberapa kelompok musikalisasi puisi, antara lain dari Jambi, Jawa Barat, Yogyakarta, Gorontalo, dan lain-lain. Pada akhir acara, Sanggar Matahari didaulat untuk menampilkan gubahan lagunya.

“Malam ini, sesungguhnya bukan buat penampilan kami,” kata Irma, si bungsu dari enam bersaudara. “Kami tidak mengenakan kostum panggung.”

Acara yang dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya itu berjalan khidmat pada awalnya. Seusai deklarasi, panggung menjadi lebih cair untuk pertunjukan kelompok musikalisasi dari beberapa daerah. Dipandu oleh Deavi (dari Sanggar Matahari) dan Irmansyah (penyair) yang kocak, suasana gedung Teater Studio Taman Ismail Marzuki terasa hangat.

Dendy Sugono berharap, dengan musikalisasi puisi, kreativitas kaum muda tersalurkan. Nilai positifnya, dengan sibuk berkreasi, kita akan terhindar dari narkoba dan tawuran antarpelajar. Bahasa seni, terutama musik, bersifat universal. Seni musik dapat menggalang persahabatan. Dengan genre baru ini, budaya Indonesia tetap terjaga, karena masing-masing kelompok akan mengangkat tradisi musik dan lagu daerahnya masing-masing.

Rasanya setiap oang menyukai nyanyian, dengan seleranya masing-masing, tentu. Lagu dan puisi yang dikawinkan secara estetis akan membangun jiwa yang damai.

(Kurnia Effendi)