Monday, March 31, 2008

Pesta Keboen

Toegoe moeda kami poenja, kota lama poen ada

Simpanglima hiroek-pikoeknja, tjandi lama kerlip lampoenja

Toean Meneer doeloe doedoek di sini. Santap dan minoem setiap hari

Pesta tjanda gembira di hati. Indahnja keboen memberi arti

Kini Toean Njonja poen datang bersama. Kami sediakan jang Toean Njonja soeka

Poetra-poetri toeroetlah serta. Lintjah gembira di taman boenga

Kitjaoe boeroeng riangnja hari. Gemertjik air sedjoekkan hati

Djikalaoe koerang bolehlah lagi

Mana soedi soepaja diboengkoeskan. Kardoes dan plastik soedah disediakan

Oleh-oleh tjotjok diberikan oentoek sanak sodara. Djangan sampai diloepakan

Djaoeh di mata dekat di hati. Kami selaloe ada di sini

Djikalaoe Toean Njonja rindoekan lagi.

Kami boekakan pintoe Toean Njonja poenja hati

Puisi di atas dapat ditemukan dalam buku menu di rumah makan Pesta Keboen, Jalan Veteran 29, Semarang. Buku itu dibuat dengan art-carton licin berkilau, memuat foto berwarna sajian setiap menu yang diandalkan, diselang-seling dengan foto sudut-sudut ikon kota Semarang di masa lalu. Bahkan ada sekelumit kisah Raden Saleh dalam setengah halaman dengan foto sepianya.

Mari kita tengok cerita pelukis legendaris Nusantara itu. Raden Saleh diceritakan lahir di Terboyo tahun 1811. Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen. Disebut sekilas gaya lukisannya dan keterpengaruhannya dari pelukis lain. Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada zamannya, Van der Capellen, yang memberi kesempatan dia belajar di Belanda.

Sekitar empat atau lima tahun yang lalu, pertama kali saya mengunjungi Pesta Keboen, buku menunya lebih tebal karena setiap makanan diriwayatkan asal-usulnya. Saya mencoba menanyakan harganya, siapa tahu buku menu itu dijual. Disponsori oleh perusahaan rokok Indonesia terkemuka, konon harga cetak buku itu 300.000 rupiah per buah. Sebenarnya saya mau ngotot beli untuk koleksi, namun tidak diizinkan, mungkin mengira saya akan menirunya.

Sebenarnya, apakah yang diandalkan oleh sebuah restoran atau café untuk pelanggannya? Pertama, tentu saja kelezatan masakannya, lebih-lebih jika itu merupakan resep khas yang tak tersajikan di restoran lain. Kedua, untuk menambah impresi dan nafsu makan bagi para tamu, diciptakan suasana yang unik. Ketiga, mungkin dari sisi pelayanannya: ramah, cepat, akurat. Urutan kedua dan ketiga boleh saja ditukar tergantung mana yang hendak ditonjolkan. Nah, Pesta Keboen, menganut gaya retro, interiornya mengandung benda-benda masa lalu.

Bagaimana dengan makanan yang disajikan? Cukup bervariasi, mulai dari menu Eropa (steik dan salad) sampai dengan menu tradisional yang dikutip dari pelbagai ranah Jawa. Ada tahu telur kopyok, gudeg, dan makanan Semarangan. Yang menarik, begitu kita duduk, pramusaji segera meletakkan jamu beras kencur dalam gelas-gelas kecil.

Ruangan dalam restoran Pesta Keboen tidak banyak berubah dari asalnya: rumah yang bertahan dengan sentuhan langgam art deco. Rumah itu memiliki ruang tamu yang digunakan untuk meletakkan meja kasir dan selingkar meja makan dengan 4 kursi besar-besar. Sebuah radio kuno ditempatkan di sudut (mudah-mudahan masih berfungsi, meskipun untuk menyalakannya membutuhkan beberapa menit memanaskan tabung-tabung di dalamnya).

Masuk ke dalam ada ruangan yang menampung beberapa set meja dan kursi makan untuk masing-masing berempat. Di ruang utama terdapat dua atau tiga baris meja panjang, cocok untuk keluarga besar. Di sekeliling dinding diletakkan sejumlah lemari hias dengan kaca yang memperlihatkan isi dalamnya: guci-guci mungil keramik atau benda-benda hias yang terbuat dari kuningan dan tembaga. Lampu yang tergantung merupakan paduan logam dan porselin. Di kanan dan kiri ruang utama terdapat koridor yang juga dipergunakan sebagai ruang makan. 

Di belakang ada sebuah beranda yang langsung berhubungan dengan kebun terbuka. Mungkin tempat itu yang menginspirasi nama Pesta Keboen. Angin mengalir bebas. Suara kericik air menemani sepanjang waktu makan, menjadi bagian tak terpisahkan dari obrolan. Bidang dinding yang menghadap ke belakang, pada kedua pilar, diletakkan tabung pemadam kebakaran dan jam bundar zaman Belanda. Ditemukan juga telepon kuno yang sudah tak berfungsi lagi.

Setiap kali makan di Pesta Keboen, yang terakhir pada tanggal 26 Maret lalu, saya selalu menyediakan waktu untuk berjalan keliling ruangan. Memotret dan mencatat sesuatu yang menarik. Memang cocok puisi pembuka pada buku menu. Tuan dan Nyonya tak hanya mau makan, tetapi sekaligus menikmati suasananya.

Beberapa dokumentasi kota lama Semarang dicantumkan dalam buku menu itu. Antara lain Grejo Blenduk, sebuah gereja tertua di Jawa Tengah yang dibangun oleh komunitas nasrani Belanda tahun 1753. Kubahnya terbuat dari tembaga. Daerah itu, dulu dikenal sebagai The Little Netherlands, kampung Eropa atau Outstadt/Euroeschebuurt. Kini jalan-jalan di kawasan gereja itu dilapis dengan konblok yang tertata rapi.

Nama Semarang bermula dari Asem Arang, karena banyak jalan yang ditumbuhi pohon asam berjarak renggang antara satu dengan lainnya. Ki Ageng Pandan Arang, diangkat sebagai bupati  pertama Semarang tahun 1398 Saka atau 1476 Masehi. Anaknya, bergelar Pandan Arang II, diangkat oleh Kerjaan Demak menjadi Adipati Semarang pada tanggal 2 Mei 1547.

Zaman dulu, wilayah glamour di Semarang berada di Jalan Pemuda yang awalnya bernama Bodjongsche weg. Disebut-sebut sebagai Champ Elysee-nya Jawa. Di situ ada Hotel du Pavilion, gedung Gris (sempat menjadi bioskop di tahun 70-an). Di pengujung jalan bertemu dengan lima percabangan jalan. Di salah satu sudutnya ada rumah Resident Nicholaas Hartingh. Kantor Maskapai Kereta Api Hindia Belanda, yang dulu disebut Nederlansche Handels Maastschappij, kini dikenal dengan Gedung Lawang Sewu yang nyaris terlantar. Dalam buku menu itu, saya juga menemukan foto Jembatan mBerok (Societeit Brug); di Kebondalem ada rumah Majoor Tjina Be Biaoew. Gedung Gulo, dulunya rumah Majoor Tjina Tan Tjong Hoay.

Itulah yang saya lakukan saat menunggu datangnya pesanan: menikmati ruang demi ruang, lembar demi lembar petikan sejarah dalam buku menu. Akhirnya makan siang yang dipesan tiba. Saya sengaja memilih masakan Jawa Timuran, berteman es kemuning. Siapa mau mencoba? Datanglah malam hari. Suasananya akan lebih gayeng karena ada musik hidup yang mengiringi kita mengudap sajian. Seperti di rumah sendiri saja 

(Kurnia Effendi)

 

Friday, March 28, 2008

Catatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Bertahan, Mengendalikan, Meraih Target

 

Lama saya berpikir, mungkin bertahun-tahun, perihal anjuran Nabi Muhammad SAW untuk mengajari anak-anak lelaki kita: memanah, berenang, dan naik kuda. Kira-kira, apa tujuannya? Di masa itu, mungkin, perang antar-suku kerap berlangsung. Di masa itu, zaman jahiliyah, nabi diturunkan untuk menerangi kegelapan. Kegelapan boleh mewakili kebodohan (gelap dari ilmu), kejahatan (gelap dari rasa aman), animisme (gelap dari iman). Jadi, kemungkinan besar ketiga jenis olah raga itu dianjurkan untuk membekali seorang lelaki dengan kemampuan membela diri dan menyerang musuh.

Dengan kemahiran menunggang kuda dan memiliki kemampuan memanah, seorang lelaki dapat diandalkan menjadi anggota pasukan perang. Dengan keahlian berenang, seseorang akan berhasil menyelamatkan diri bila menjumpai sungai, selat, danau atau laut. Semuanya memang serba-fisikal. Padahal, jika membaca kisah perjuangan Rasulullah, bukan hanya menggunakan tenaga dan gerakan tubuh untuk menaklukkan “musuh”, melainkan juga dengan daya pikir dan kesabaran. Kesantunan perilaku dan cara bertutur, kesetiaan terhadap idealisme, pembelaan terhadap yang terpuruk, menjadi bagian terbesar nilai-nilai pergerakan Muhammad dan para sahabat. Saat itu tujuan utama yang disasar adalah perbaikan akhlak, sebagai dasar untuk meletakkan ajaran berikutnya.

Kini, di masa perayaan industri dan teknologi informasi, apakah pelajaran berenang, menunggang kuda, dan memanah semata sebagai olah raga? Ketika persaingan dagang begitu keras dan tajam; ketika tarip telepon selular diadu secara tak masuk akal; ketika Indonesia yang dulu dikenal sebagai negara agraris justru kedodoran dalam soal pangan; apa yang masih relevan dari berenang, naik kuda, dan memanah?

Sekitar beberapa tahun yang lalu saya mencoba mencocok-cocokkan saja, antara ketiga jenis olah raga itu dengan metode yang seharusnya dijalankan oleh pelaku bisnis. Barangkali, ini hanya pemikiran subyektif saja, anjuran Rasulullah itu merupakan simbolik atau metafora. Secara fisik bila benar-benar dijalankan, akan membuat badan kita bugar dan perkasa. Secara strategi mungkin akan banyak manfaat dapat dipetik.

Mari berandai-andai. Berenang, apabila terpaksa dilakukan karena perahu yang kita tumpangi terbalik, merupakan bentuk usaha keras untuk bertahan. Survive! Siapa pun Anda yang berkecimpung dalam bisnis, bertahan hidup dalam persaingan merupakan kewajiban. Menang dan kalah soal nanti, itu hasil akhir yang belum bisa dipastikan bahkan oleh pakar sekalipun. Kecenderungan ekonomi sekarang sulit diramal, langkah yang diambil kadang-kadang bersifat gambling. Ketika sebuah perusahaan otomotif merasa yakin telah meningkat indeks kepuasan pelanggannya, ternyata menurut survei JD Power justru merk lain meningkat lebih baik. Begitu kompetitifnya persaingan pelayanan antar-merk, minimal dengan bertahan, perusahaan akan tetap berada pada posisi yang masih diperhitungkan.

Lalu apa yang cocok dengan berkuda? Selain merupakan jenis olah raga, berkuda awalnya untuk menempuh jarak dari satu tempat ke tempat lain. Sebelum ditemukan roda dalam sejarah peradaban manusia, perjalanan dilakukan oleh langkah kaki, termasuk kaki kuda. Sebelum ditemukan kereta api dan mobil, kendaraan paling cepat dan kuat adalah kuda. Itu sebabnya “tenaga kuda” menjadi satuan untuk ukuran kekuatan daya hela kendaraan. Jadi, apa hubungannya terhadap kegiatan ekonomi dan perdagangan dewasa ini? Saya kira akan cocok dengan kecepatan dan percepatan (akselerasi).

Untuk memperoleh jumlah pelanggan sebanyak-banyaknya ada dua cara: mencari yang baru dan merebut milik produsen lain. Untuk mendapatkan perhatian lebih awal dari para pemilik modal dan investor, seorang usahawan selekasnya menawarkan dan mempresentasikan proposal strateginya. Untuk meraih peluang apa pun, seseorang harus bekerja cepat, lebih cepat dari yang lain. Dengan naik kuda, tentu bertujuan agar lebih cepat dari naik keledai atau berlari dengan kaki sendiri. Dan lebih dari itu, kuda perlu dikendalikan, terlebih jika yang ditunggangi belum jinak. Dalam ilmu manajemen, “mengendalikan” adalah bagian terpenting untuk dapat mengoperasikan organisasi dengan baik. Saat menemukan kemiripan antara kinerja manajemen dan naik kuda, saya merasa takjub dengan anjuran Nabi. Mantap sekali.

Hal ketiga adalah memanah. Kita akan membayangkan seseorang menarik tali busur selebar-lebarnya hingga gendewa melengkung. Bagi yang tidak kidal, pangkal anak panah akan dipegang jemari tangan kanan, diletakkan pada rentangan tali tegang membentuk segitiga. Lantas apa yang dilakukan oleh seorang pemanah? Matanya, dengan salah satu terpicing untuk menghindari dua bayangan, memandang tajam ke arah sasaran. Setelah bidikannya diyakini cukup fokus, ia akan melepaskan anak panah yang segera melesat bagai kilat. Ujungnya yang runcing diharapkan menghunjam pada obyek sasarannya.

Ketika hasilnya tepat sesuai harapan atau malah meleset, penyebabnya tak hanya tunggal. Barangkali bidikannya kurang akurat. Barangkali ada angin yang menghambat laju anak panah itu. Mungkin perhatian sang pemanah terganggu. Atau, boleh jadi tenaganya tak cukup kuat untuk meluncurkan anak panah itu. Dan ada sekian alasan lagi sebagai muasal kegagalannya mencapai sasaran.

Sasaran anak panah dalam olah raga adalah sebuah bidang dengan gambar lingkaran yang disebut target. Pemburu yang sedang berada di tengah hutan, sasaran anak panahnya bisa berupa seekor kijang, burung, babi hutan, atau bahkan macan. Sasaran di tempat bebas tidak berhenti di tempat, melainkan bergerak atau berlari dan berlindung. Apa pun jenis sasarannya, seorang pemanah akan lebih dulu membidik targetnya. Nah, akhirnya saya menyimpulkan bahwa perlambang memanah sangat sesuai dengan target pencapaian.

Marketer atau tenaga penjual (baik produk maupun jasa) yang tidak memiliki target untuk disasar, tak mungkin menuai hasil. Wiraniaga yang mengabaikan jumlah target penjualannya dalam satu bulan, mana bisa mengukur kemampuan sebenarnya? Target dalam kegiatan perdagangan bermacam bentuknya, mulai dari segmentasi sampai dengan perbandingan antara kebutuhan dan persediaan. Target-target itulah yang harus dianalisis dan digarap dengan penuh perhatian. Seorang pemanah yang berhasil, umumnya mampu menangkis godaan yang bakal merusak konsentrasinya. Demikian juga seorang enterpreuneur, jika perhatiannya menyebar ke mana-mana akan sulit mendapatkan satu sasaran tepat dalam waktu singkat.

Setelah menemukan hubungan antara berenang dan bertahan, berkuda dan mengendalikan, serta memanah dengan upaya meraih target; saya merasa semakin bodoh. Setidaknya menyadari bahwa Rasulullah di zaman kegelapan itu jauh lebih pintar dan jauh lebih awal menyusun konsep yang bagus untuk diterapkan dalam kegiatan apapun.

(Kurnia Effendi, karyawan Suzuki Mobil, penulis cerpen, dan peneliti LPKP)

 

Monday, March 24, 2008

The Nightingale

Sitok Srengenge Tampil Sebagai Pendongeng

Setelah tampil di beberapa kota di Belanda, Sitok Srengenge keliling di kota-kota besar Pulau Jawa. Apa gerangan yang dipertunjukkan? Ia menjadipendongengdengan iringan musik para musisi “mini orkestraBelanda di bawah pimpinan Raymond Vievermanns.

Pementasan unik ini memadukan antara seorang narator dengan sejumlah musisi (terompet, flute, biola, rebab, dan perkusi) yang dipandu seorang dirijen. Jadi, pembaca narasi pun harus tunduk dengan instruksi dirijen, seperti halnya peniup terompet dan penggesek biola.

Pertunjukan yang diberi judul “The Nightingale, Chamber Music Festival” ini berlangsung sekitar dua jam dibagi dalam dua sesi dengan istirahat selama 20 menit. Masing-masing kota yang dikunjungi oleh rombongan pemain musik dan narator itu hanya mendapat jatah satu malam. Untuk Jakarta, beroleh kesempatan Rabu malam, 12 Maret yang lalu, di ruang teater Erasmus Huis, Kuningan.

Sebelum masuk pada pementasan, pemandu acara membuka dan mempersilakan Otto Sidharta memberikan sambutan dilanjutkan dengan Direktur Program Erasmus Huis. Proyek ini sebenarnya sudah digagas oleh Otto setahun yang lalu, namun baru teralisasi tahun ini. Seluruh permainan musik tanpa menggunakan mikrofon, betul-betul akustik, sehingga penonton dilarangmengganggudengan suara dan cahaya kamera. Bahkan, seperti pengakuan Sitok Srengenge dalam obrolan sebelum naik panggung, vokalnya akan menjadi bagian dari musik, berselang-seling, diiringi, atau sama-sama berkumandang.

Sesi pertama, orkestra memainkan komposisi karya komponis Slamet Abdul Sjukur berjudulKutang”. Sebuah repertoar musik minimalis yang unik, penuh ekspresi tak terduga dan merupakan eksplorasi kemampuan alat musik untuk menyampaikan bunyi-bunyi yang ganjil. Mereka bermain, termasuk perkusi, ketat setia pada partitur. Di pengujung lagu, tepuk tanggan menggema dan sang komponis berkenan berdiri di depan penonton. Slamet Abdul Sjukur, maestro musik Indonesia untuk karya-karya adiluhung.

Acara disambung dengan tampilnya Sitok Srengenge, membacakanPetualangan-Petualangan Ajaib Baron von Munchhausen”. Sitok dalam hal ini menjadi setara dengan para pemain musik, “partituruntuknya tercantum dalam naskah yang dibacakan. Kisah yang disampaikan sangat menarik. Hieronymus Karl Friedrich Freiherr Von Maunchhausen mungkin seorang pembual, tetapi hiperbolistik dari pengalamannya sungguh memancing tawa. Meskipun antilogika, dapat diterima sebagai dongeng yang menghibur. Kita, para penonton seperti berjumpa dengan pemabuk yang begitu lancar menjalin cerita petualangan luar biasa yang berlatar waktu tahun 1760.

Coba bayangkan perjalanan Baron sampai pada sebuah pulau ketika badai sedang berlangsung. Setiap pohon di pulau itu tercerabut oleh angin puting beliung, berputar-putar di angkasa, namun mereka jatuh kembali di lubang akar semula setelah badai reda. Hanya satu pohon buah simalakama yang kehilangan arah, karena ada sepasang suami istri yang berada pada cecabangnya dan asyik memetik buahnya sepanjang badai.

Cerita lainnya lebih seru lagi. Beberapa kali, setiap Sitok mengekspresikan suara hewan atau bunyi sesuatu yang jatuh, musik berperan mewakilinya. Kadang-kadang, ketika kisah mencapai klimaks, antara suara mulut dan iringan musik berlomba mengisi pendengaran kita, menciptakan tekstur bunyi yang riuh.

“Sebenarnya, pendengar akan merasa terganggu kenyamanannya jika semata ingin menyimak isi dongeng, karena cerita jadi seperti terpenggal-penggal,” ungkap Sitok. “Untuk itulah skrip dibuat sederhana dan sangat komunikatif. Kita tidak akan kehilangan gairah humor yang dikandungnya. Bahkan, untuk cerita berjudul “Bulbul”, banyak makna sindiran yang tersirat dan sangat cocok untuk situasi budaya tiap negeri saat ini.”

Demikianlah, setelah jeda untuk minum dan merokok di luar ruangan, sesi kedua mengetengahkan latar kisah di negeri China, dengan tokoh burung Bulbul yang menarik banyak perhatian penduduk negeri termasuk Sang Raja. Pertunjukan dibuka dengan “appetizer” dari Slamet Gundono, seorang dalang “mbeling” yang tubuhnya berukuran extra large. Ia memetik okulele sambil menembang. Di saat  Sitok kembali membacakan dongeng, Slamet Gundono memainkan wayang di balik layar sesuai dengan lantunan kisah.

Petualangan Ajaib Baron van Munchhausen diangkat dari paduan musik karya Roderik de Man dan naskah Godfried Bomans. The Nightingale (diterjemahkan menjadi Si Bulbul) karya Hans Christian Andersen dengan dramatisasi teks oleh Slamet Gundono, mendapat sentuhan musik ciptaan Theo Loevendie. Karya-karya itu diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Jaap Erkelen, diselaraskan oleh Eko Endarmoko dan Sitok Srengenge.

Pementasan yang sangat apresiatif itu, selanjutnya dipergelarkan di Bandung (CCF),  Surakarta (Taman Budaya), Yogyakarta (LIP),  dan Surabaya (TBJ), sepanjang Maret 2008. Ruud van Esten bertindak sebagai konduktor musik yang dimainkan oleh tujuh orang dengan apik.

(Kurnia Effendi)

 

 

  

 

 

 

Kafe (untuk kopi) Eva

Sesuatumungkin nama atau tempat—yang terdengar cukup populer biasanya memancing keinginan kita untuk mengunjunginya. Dari sekadar ingin tahu, mencari kesan serupa dengan pengalaman orang lain, sampai kemudian benar-benar menikmati serta merindukannya untuk mengulangi. Dalam lintasan perjalanan darat dari Semarang ke Yogya atau sebaliknya, jika melewati Secang dan Ambarawa, kita akan menemukan tempat rehat yang nyaman. Sebuah kafe bernama Eva.

Tunggu dulu! Saya sudah mendengar nama Eva sejak merantau ke Semarang, untuk menempuh pendidikan di STM Pembangunan. Tetapi bukan nama Kafe Eva, melainkan Kopi Eva. Keinginan untuk mampir di masa itu tak kunjung jadi kenyataan. Mungkin karena dulu saya seorang anak sekolahan yang mengandalkan kiriman wesel dari orangtua untuk hidup sebulan dengan berbagai pengeluaran, sehinggangiraske sebuah restoran di luar kota menjadi sebuah kemewahan.

Percaya atau tidak, setelah berulang kali hanya sempat melewati dalam perjalanan dari Semarang ke Yogya, akhirnya sekitar tahun 2005 saya bisa singgah. Berpuluh tahun sudah keinginan itu melulu terpendam. Berkat tugas kantor, saya mendapat kesempatan baik ketika melakukan perjalanan dari Magelang ke Semarang. Saya sengaja minta berhenti untuk istirahat di Kopi Eva. Di papan nama sudah tertulis Eva Coffee House.

Begitu duduk di bangku-bangku panjang bermeja rendah (sebagian bertahan dengan model seperti itu, separuh ruangan lainnya menggunakan kursi-kursi dan meja makan), disajikan tahu kukus yang dikudap berteman petis. Uap panas meruap dari tahu yang terendam air di piring.

Kesempatan yang pertama itu benar-benar hanya rehat, makan malam, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Semarang agar tak sampai larut. Kesempatan berikutnya terjadi awal tahun 2008. Kala itu saya sedang melakukan perjalanan “sastra”. Rangkaian tugas kantor berakhir di Yogyakarta. Lalu dari kota gudeg itu, saya bersama dengan Gangsar Sukrisno (dari Penerbit Bentang Pustaka) dan Dessy Sekar Astina (dari Forum Indonesia Membaca) membelah tubuh pulau Jawa menuju Kudus.

Lepas senja, ketika langit mulai gelap, kami tiba di Eva Coffee House. Saat itulah saya bukan sekadar mampir makan. Selain menikmati nasi rawon, sop buntut goreng, dan nasi langgi (masing-masing pesan menu berbeda agar dapat saling mencicipi), saya mengajak berbincang pemiliknya.

Pemiliknya, Michael Tjiptomartojo, lahir 2 September 1922. Setahun lebih muda dibanding mendiang Pak Harto, namun masih tampak bugar. Kopi Eva dirintis mulai tahun 1958. Pak Tjipto menanam sendiri pohon kopinya di area perkebunan pribadi yang luasanya 3 hektar. Hasil perkebunannya juga diolah sendiri, dijual dalam bentuk kopi bubuk dan minuman di Eva Coffee House. Kebun kopinya membentang di tepi jalan lintasan Bedono Ambarawa, sehingga kafe yang dibangun di tikungan itu cukup strategis.

Sang owner, Pak Tjipto, ternyata bukan orang biasa. Beliau bersama Radius Prawiro, adalah anggota Tentara Laskar Mataram atau Tentara Rakyat Mataram (TRM). Tugas Negara yang telah mereka lakukan cukup panjang berderet dan ditandai dengan sejumlah lencana sebagai bintang jasa. Mari kita daftar beberapa penghargaan itu, di antaranya: Bintang Gerilya, Pergerakan Kemerdekaan RI (pertama dan kedua), Penumpasan Muso, Penumpasan APRA, Penumpasan RMS Ambon, Penumpasan DI/TII Kahar Muzakar, Penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, Penumpasan DII/TII Amin Fatah Jateng, Penumpasan PRRI/Permesta, dan seterusnya. Setidaknya, beliau telah mendapat lebih dari 40 penghargaan termasuk untuk Kopi Eva.

Berbekal ijazah sekolah ekonomi pendidikan Belanda, Pak Tjipto menjalankan roda bisnisnya, yang telah membuahkan produksi rata-rata 1 kuintal kopi/bulan untuk dijual di Eva Coffee House. Restorannya yang luas dan menu makanannya yang lezat, telah mendapatkan pula sertifikat dari Departemen Pariwisata Semarang, Jateng.

Pertanyaan saya waktu itu, mengapa diberi nama Eva? Sebab setelah ditelusuri melalui nama anak-anak Pak Tjipto yang berjumlah 10, tak seorang pun bernama Eva. Bahkan termasuk istrinya yang masih mendampingi beliau sehari-hari di Eva Coffee House.

“Eva itu lambang perempuan. Diambil dari nama ibu umat manusia, Eva atau Siti Hawa.” Demikian penjelasan Pak Tjipto. Kedua anaknya yang aktif menjalankan usaha niaga kafe itu, Kanis (nomor 2) dan Endang Palupi (nomor 3), membenarkan.

Saat ini Eva Coffee House mempekerjakan sekitar 20 orang pegawai. Mereka rata-rata tinggal di mess yang dibangun di sekitar kebun kopi. Meskipun Pak Tjipto dan keluarga penganut agama Katholik, beberapa pegawainya justru alumni yang berasal dari pesantren di sekitar Ambarawa.

Menu yang pernah saya coba adalah sop buntut goreng dan rawon. Keduanya lezat. Namun ternyata masakan andalannya adalah gudeg manggar, yang telah dinobatkan sebagai “mak nyus” oleh Bondan Winarno. Kami sempat mencicipi sepiring kecil contoh gudeg manggar. Hm…memang betul-betul lezat! Berbeda dengan gudeng nangka muda.

Sebagai tempat istirahat, Eva Coffee House memang menyenangkan. Selain luas untuk menampung sekitar seratus tamu menyantap makanan, Eva Coffee House menyediakan juga oleh-oleh berupa kopi bubuk dan aneka souvenir untuk buah tangan. Ada “iklan” dari mulut ke mulut untuk keunggulan kopi produksinya itu. Apabila anda meminum seduhan kopi Eva dan membiarkan endapannya tersisa, penuhilah kembali dengan air panas sampai kembali penuh, citarasa yang dihasilkan sama dengan tegukan pertama. Hebat bukan?

            Awalnya, kebun Pak Tjipto hanya ditanami kopi jenis Robusta, namun kini sudah ada kopi jenis Arabika. Sejak ditanam hingga umur 4 tahun, pohon kopi belum menghasilkan buah yang bernas. Perjalanan panjang itu memerlukan perawatan dan siraman air yang cukup. Umumnya kopi ditanam di kawasan pegunungan yang sejuk. Masa panen yang pertama dan tahun-tahun berikutnya biasanya berlangsung antara bulan Juli sampai dengan September.

            Michael Tjiptomartojo sampai saat masih aktif  membawahi 3 yayasan, yakni: Pendidikan, Veteran, dan Pepabri. Beliau mengaku masih rutin melaksanakan upacara peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November dan malam Proklamasi bersama para veteran yang masih ada. Secara fisik, Tentara Laskar Mataram memiliki peran besar dalam Palagan Ambarawa dan Clash Belanda II. Mereka pernah melangsungkan reuni akbar dan musayawarah besar dengan menerbitkan buku: Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Putung yang disusun oleh J. Roestam Afandi, pada tahun 1992.

            Bila malam tiba, dari jendela Eva Coffee House dan kantor penampungan biji kopi yang menghadap ke lembah, kita dapat memandang pesta lampu serupa kerlip bintang kota Ambarawa. Sejenak kita seperti saudagar kopi yang sedang menikmati hamparan kekayaan…

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Wednesday, March 19, 2008

Anugerah Sastra Pena Kencana

Sebuah Penghargaan Alternatif bagi Sastrawan.

Selalu saja, jika ada gagasan baru tentang penghargaan bagi sastrawan, terdapat pro-kontra dan gunjingan Dapat kita rasakan pada Anugerah Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) tahunan yang telah berjalan sampai tujuh periode. Metode penjurian dianggap kurang valid dan aneh, karena satu sama lain juri tidak saling kenal. Di satu sisi, pihak lembaga tidak ingin terdapat saling pengaruh antarjuri, sementara sebagian besar pengamat menganggap sidang akhir dewan juri penting untuk mengukuhkan penilaian. Toh agenda KLA tetap melenggang tanpa perubahan dan bagi para sastrawan (penyair maupun prosais) menjadi event yang ditunggu-tunggu, bahkan dengan cara menjadwalkan penerbitan bukunya.

Kali ini, Nugroho Suksmanto menggagas cara baru menilai karya sastra untuk memperoleh penghargaan senilai Rp. 50 juta untuk satu penyair dan satu cerpenis dalam periode 1 tahun berkarya. Ia bersama Slamet Widodo, sekaligus menjadi penyandang dana. Lembaga pemberi hadiah yang bernaung di bawah payung PT. Kharisma Pena Kencana ini juga memberikan hadiah bagi para pembaca pemlih karya yang beruntung dengan niai total R. 50 juta. Pembicaraan mengenai agenda besar ini berawal sekitar dua tahun yang lalu. Sejak mula sudah menggandeng penerbit Gramedia Pustaka Utama untuk menerbitkan karya-karya terpilih (cerpen dan puisi) agar dapat dinilai oleh pembaca (pembeli buku).

Di balik kerja keras dalam membidani kelahiran lembaga Pena Kencana, terlibat para pengarang, di antaranya: Eka Kurniawan sebagai Komisaris, Triyanto Triwikromo sebagai Direktur Program, dan Ratih Kumala sebagai Direktur II yang langsung terjun ke dalam operasionalnya. Untuk kiprahnya yang perama, lembaga ini kemudian menunjuk dewan juri yang akan memilih sejumlah besar karya untuk menjadi 20 cerpen pilihan dan 100 puisi pilihan. Mereka adalah Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Prof. Dr. Budi Darma, Prof. Dr. Apsanti Djokosujatno, Ahmad Tohari, Sitok Srengenge, Joko Pinurbo, dan Jamal D. Rahman. Mereka akan menilai puisi dan cerpen yang dimuat oleh suratkabar Indonesia (telah ditentukan 12 media koran yang terbit di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) dalam satu tahun.

Peluncuran dua buah buku (100 Puisi Terbaik Indonesia 2008 dan 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2008) sekaligus Anugerah Pena Kencana perdana, diselenggarakan di toko buku Gramedia Matraman, 5 Maret 2008 lalu. Nugroho Suksmanto menyampaikan pentingnya penghargaan bagi para sastrawan Indonesia yang kelak dikembangkan menjadi franchais untuk menggandeng negara-negara tetangga dengan royalti negara peserta sebagai pundi-pundi hadiah. Triyanto Triwikromo mengatakan, Anugerah Pena Kencana ini bermaksud melengkapi hadiah-hadiah yang sudah ada di Indonesia. Seorang pengarang umumnya menerima award ketika karyanya telah menjadi buku, oleh karena itu Pena Kencana mengakomodasi karya para pengarang sejak dimuat dalam surat kabar.

Sistem pemilihan yang melibatkan pembaca dengan cara mengirimkan sms (pesan pendek) memang mengadopsi gaya Indonesia Idol atau Akademi Fantasi Indosiar (AFI), tetapi inilah salah satu alternatif untuk melibatkan pembaca secara aktif. Tentu saja, ”tiket” untuk mengirim sms adalah dengan cara membeli bukunya. Diharapkan sosialisasi semacam ini membuat posisi sastrawan juga cukup karib d tengah-tengah masyarakatnya.

Usai seremoni sederhana peluncuran kedua buku, Rieke Dyah Pitaloka membacakan satu puisi dan satu cerpen. Setelah itu digelar talkshow yang menghadirkan pembicara Sapardi Djoko Damono dan Jamal D. Rahman (keduanya sebagai juri penilai karya cerpen dan puisi), Radhar Panca Dahana, dengan moderator M. Fadjroel Rachman. Dalam sesi ini, moderator meminta ”pertanggungjawaban” dewan juri atas karya terpilih. Sapardi mengungkapkan, bahwa menilai ratusan karya (52 cerpen dalam setahun dikalikan 12 media, ditambah rata-rata 5 puisi kali 52 minggu kali 12 koran) tentu melelahkan. Tetapi yang menarik, menurut Sapardi, selanjutnya akan ada semacam kompetisi koran-koran untuk memublikasikan cerpen dan puisi yang berkualitas agar dapat terpilih dalam ajang penghargaan ini.

Jamal D. Rahman menganggap keterbatasan koran belum tentu menjadi hambatan, malah mungkin merupakan tantangan yang harus diterobos oleh para penulis kreatif. Dari seluruh yang dibacanya, Jamal belum menemukan karya yang memproyeksikan visi Indonesia masa depan. Kebanyakan masih mengangkat realitas kekinian yang dihadapi oleh para pengarang sehari-hari, baik dalam setting lokal maupun mancanegara.

Giliran Radhar, karena dia bukan juri sekaligus tidak ada karyanya dalam kedua buku itu, dapat memberi komentar secara bebas beban. Menurutnya, anugerah Pena Kencana adalah tindakan para pengarang pemberani untuk melawan ”kepengecutan”. Kapan lagi kalau gagasan ini tidak dimulai sejak sekarang oleh para pengarang yang menganggap penting sebuah apresiasi terhadap karya. Ia menilai, ke-20 cerpen lebih menarik karena mengandung keberagaman, baik tema maupun gaya. Sementara pada puisi tak ada kebaruan, hampir semua senada, bahkan dapat dianggap itu sebagai hasil karya ”anak-cucu” Sapardi Djoko Damono dengan aliran lirisisme.

Waktu yang terbatas, membuat sesi tanya jawab diberikan hanya kepada 3 orang. K. Usman mempermasalahkan judul ”terbaik” yang seharusnya ”terpilih” mengingat awalan ”ter” bermakna ”paling”, sehingga hanya berlaku bagi 1 karya. Sementara Binhad Nurrohmat mengkritik karya-karya puisi yang tampaknya ”berjalan di tempat” dengan istilah de-intelektualisme.

Perhelatan yang sederhana itu menjadi semacam arena silaturahmi bagi para pengarang. Suguhan makanan khas daerah Solo seperti ”nasi kucing”, nasi liwet, dan  soto kuali, serta wedang ronde, membuat suasana karib dan membumi.

Parle mengucapkan selamat kepada pengarang yang karyanya terpilih dalam kedua bukut tersebut, kepada lembaga Pena Kencana atas kontribusinya melengkapi versi pemilihan karya sastra terbaik, juga kepada Gramedia Pustaka Utama yang tak henti-henti mewadahi aspirasi penggiat sastra Indonesia dengan pelbagai aktivitas.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

Eksistensi Ruang atas Subyek

Empat perupa berpameran bersama di Galeri Lontar, Jalan Utan Kayu, Jakarta. Mereka adalah Redy Rahadian, alumni Institut Saint Joseph Belgia; Andy Dewantoro alumni FSRD ITB; Awan Parulian Simatupang, alumni FSR-IKJ, dan Okky Arfie Hutabarat, alumni FSR-IKJ. Berlangsung sejak 27 Februari sampai dengan 29 Maret 2008, dengan mengusung tema “Ruang dan Subyek”.

Tidak terlampau unik, namun karya-karya mereka cukup menyenangkan untuk dipandang. Lukisan (dwimatra) karya Andy Dewantoro bercorak arsitektural. Gubahan gedung untuk menunjukkan ruang dengan sosok manusia yang mewakili dirinya sebagai subyek, muncul dalal dua karya. Di tentang pandangan, menguasai ruang, diletakkan lukisan anak tangga yang “mengecoh” mata kita, seolah di ujung ruang benar-benar ada jalan naik ke lantai atas, dengan warna dominan abu-abu yang menyaru nuansa tembok.

Coretan gambar Okky yang menempatkan titik hilang lebih dari satu, mendekonstruksi makna ruang ke dalam ego pribadi. Dirinya yang subyek itu melebur dalam konsep ruang yang lebih luas dari sekadar panjang dan lebar. Bahkan ia melukiskan tempat paling menyenangkan dalam citraan tumpang-tindih.

Patung tembaga Redy Rahadian menunjukkan subyek yang meringkuk dalam eksistensi ruang. Sementara Awan Parulian beberapa kali membuat piuh sosok manusia dalam lingkungannya. Sangat menarik ketika dia membuat bangunan rumah yang membelok dalam distorsi. Pada karyanya yang lain, subyek kehilangan jati diri: berupa lubang dalam lembaran logam. Seperti “bekas” subyek yang sudah boleh diabaikan, dari sisi ukuran maupun keberadaan dalam dimensi. Lubang keratan itu andai diterapkan pada konsep dwimatra akan menjadi diapositif.

Asikin Hasan, sebagai kurator pameran menganggap cara Awan menyampaikan bentuk trimatra dengan cara dwimatra tidak lazim dilakukan oleh para pematung. Namun dalam karya kontemporer, seni telah menempati posisi yang multi tafsir dan trendy. Kreativitas perlu diuji dengan usia perjalan seni itu sendiri. Hal-hal yang adiluhung untuk sementara “dikalahkan” oleh cita rasa kekinian.

Daya pikir! Akhirnya seorang penikmat karya seni rupa harus saling melengkapi penafsiran antara yang mencipta dan yang membaca penciptaan itu. Benang merah pada keempat perupa itu itu ditarik melalui unsur subyek dengan ruang yang mengatasinya. Keempat perupa itu masing-masing sudah memiliki pengalaman memamerkan karyanya, setidaknya cukup punya rasa percaya diri dalam menapaki karakter yang dipilihnya dalam berkarya.

Pergulatan antara ide dan teknik berada pada sebuah keasyikan. Ini penting bagi para perupa yang hendak mencapai posisi jati diri, dengan mengabaikan sementara unsur komersialisasi yang umumnya ditempuh dengan mengakomodasi selera banyak orang.

(Kurnia Effendi)