Thursday, June 21, 2007

Alexandra Dewi, Pengarang Nonfiksi untuk Kaum Metropop-Metroseksual

Buku pertamanya, I Beg Your Prada, terbit September 2006, hanya dalam satu bulan cetak ulang. Baru-baru ini, di Buzz Café Pondok Indah, ia meluncurkan bukunya yang kedua: Queen of Heart. Keduanya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Siapakah dia?

Alexandra Dewi, demikian nama pena yang digunakannya. Ia sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan yang berhubungan dengan kepenulisan, namun justru piawai merangkai kata dengan komunikatif. Bahasanya renyah mengalir, mudah dipahami, dan sarat dengan tip-tip yang sungguh bermanfat bagi perempuan lajang.

Saya ingin pembaca langsung menangkap maksud saya. Terutama agar mudah bagi para ibu yang ingin menyampaikannya kepada anak-anak remajanya,” harap Dewi mengenai buku-bukunya.

Sahabatnya, Joekimchan, menyebutnya sebagai perempuan modern yang berpikir jadul (zaman dulu). Mengapa demikian? Bayangkan, di masa kini, ketika pergaulan kaum muda sangat permisif, Dewi justru menjadi cemas dan ingin memberi bekal bagi para perempuan metropolitan dengan sentuhan etika ketimuran.

Saya kan juga punya anak,” ujar Dewi yang sehari-hari bekerja sebagai managing director di Sun Hope Indonesia dan memiliki dua anak. Si sulung berusia tujuh tahun. Jika kelak mereka tak mendengar nasihat saya, minimal dapat membaca buku ibunya.”

Apa rencana berikutnya? Saya ingin menulis buku tentang suka-duka pernikahan. Pernikahan itu bukan dunia fantasi, itu yang harus disadari.” Wah, jadi tak sabar menunggunya.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

Pelukis dan Cerpenis dalam Satu Wadah

Dari Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas:

PAMERAN ilustrasi cerpen-cerpen Kompas sepanjang tahun 2006 kini dipamerkan kembali di Bentara Budaya. Dibuka Selasa malam, 12 Juni, akan berakhir tanggal 20 Juni. Pameran ini menjadi semacam tradisi tahunan sejak 2003. Dalam pengantar pameran tahun ini, Bre Redana selaku Kepala Desk Non Berita harian Kompas, mengatakan bahwa gagasan memamerkan ilustrasi cerpen Kompas dimulai sejak pekerjaan ilustrasi ditawarkan kepada perupa di luar Kompas.

Pada tahun 2002, keinginan untuk mengajak para perupa di luar Kompas dilontarkan, pertanyaan tak hanya muncul dari pihak luar, namun juga dari kalangan dalam. Keraguan itu cukup masuk akal, mengingat koran yang bersifat industrial, rutin dan tepat waktu, jauh berbeda dengan kebiasaan seniman (perupa) yang umumnya tergantung pada mood. Siapa yanga bakal dirugikan nanti? Tapi, kembali menurut Bre, jika langkah tak diayunkan, gagasan tak akan bergerak menjadi kenyataan. Kini, setelah berlangsung selama lima tahun, muncul dua pendapat. Pertama berkomentar bahwa mutu karya merosot karena (mungkin) perupa dari luar sulit dikontrol. Sementara pendapat lain mengemukakan bahwa beberapa karya yang menonjol justru lahir dari tangan perupa yang belum terkenal.

Masukan itu tentu akan bermanfaat bagi pengelola halaman budaya Kompas. Disadari, terdokumentasinya karya-karya para perupa Indonesia itu “menciptakan“ galeri (meskipun seluruh karya tetap milik pelukisnya) tersendiri. Selain itu, dari sudut pandang pengamat, tentu ini menjadi bentuk kolaborasi yang positif antara redaktur, cerpenis, dan pelukis. Mereka, antara cerpen dan lukisan memperoleh kesempatan tampil bersama.

Melihat pameran ilustrasi cerpen Kompas, memang sedikit di luar dugaan. Ternyata sejumlah karya di antara 50 yang terpampang, dibuat dalam format lukisan besar. Bahkan satu di antaranya merupakan karya instalasi (3 dimensi). Perupa yang mendapat kesempatan lebih dari sekali dalam setahun adalah Polenk Rediasa (3) dan Danarto (2). Khusus Danarto, ia memang selalu menggunakan ilustrasi sendiri untuk karya cerpennya.

Para perupa langganan yang juga terkenal, antara lain Wiediantoro, Arahmaiani, Tisna Sanjaya, Ipong Purnamasidi, Diyanto, Irawan Karseno, AS Kurnia, Isa Perkasa, Yuswantoro Adi, dan Marintan Sirait, diundang kembali untuk mengisi ilustrasi cerpen Kompas 2006. Memang ada karya yang sungguh serius di samping terdapat beberapa yang (barangkali karena dikejar deadline) dibuat “cepat“, mengandalkan jam terbang dan keterampilan teknis. Polenk Rediasa, Ivan Hariyanto, Haris Purnomo, AS Kurnia, Wiediantoro, Sari Asih, dan Joni Ramlan, adalah beberapa yang menampilkan karya dengan baik dan terasa sungguh-sungguh. Sementara Marintan, Irawan Karseno, dan Tisna selalu tampak ekspresif.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Monday, June 18, 2007

Pesan

SEORANG sahabat yang cantik, psikolog, dinamis, ramah, dan baik hati, bernama Liza Marielly, berbagi kisah persis lima menit setelah saya duduk di depan komputer menjelang jam kerja pagi. Cerita tentang pesan seorang anak perempuan kepada ayahnya. Liza mengirim cerita itu melalui surat elektronik, tidak dengan gemuruh suara, tidak dengan runcing pedang. Namun sewaktu membacanya, saya seperti mendengar suara gemuruh dalam dada, seperti ada sebilah pedang runcing di depan mata.

Karena saya punya anak perempuan, saya menyimak seksama kisah yang mungkin hanya sebuah rekaan atau petikan kejadian nyata. Karena saya ayah sepasang remaja, perlu belajar dari kisah ini. Menurut pemilik cerita, fragmen ini terjadi di suatu pagi yang cerah. Namun seolah ada kilat yang menyambar tiba-tiba, begitu sang ayah mendapati sepucuk amplop di atas tempat tidur rapi putrinya. Kosong tak ada sesiapa, kecuali sebuah kesan tentang kamar yang telah ditinggalkan penghuninya. Pada amplop tertulis: “Untuk Ayah“. Dengan bertanya-tanya, dibukanya surat itu.

            Ayah   tercinta,

Aku menulis surat ini dengan perasaan sedih dan sangat menyesal. Saat ayah membaca surat ini, aku telah pergi meninggalkan rumah. Aku pergi bersama kekasihku, seorang cowok yang baik. Jika suatu saat bertemu dia, ayah juga pasti akan setuju meski dengan sejumlah tatto dan piercing yang melekat di tubuhnya, juga dengan motor butut serta rambut gondrongnya. Dia sudah cukup dewasa meskipun belum begitu tua (aku pikir zaman sekarang, 42 tahun tidaklah terlalu tua).

            Dia sangat baik terhadapku. Apalagi dia ayah dari anak dalam kandunganku saat ini. Dia memintaku untuk membiarkan anak ini lahir dan kami akan membesarkannya bersamaKami akan tinggal berpindah-pindah. Dia punya jaringan perdagangan extacy yang sangat luas, dia  juga telah meyakinkanku bahwa marijuana itu tidak begitu burukKami akan tinggal bersama sampai maut memisahkan kami. Para ahli pengobatan pasti akan menemukan obat untuk AIDS jadi dia bisa segera sembuh. Aku tahu dia juga punya cewek lain tapi aku percaya dia akan setia padaku dengan cara yang berbeda.

            Ayah, jangan khawatirkan keadaanku. Aku sudah 15 tahun sekarang, aku bisa menjaga diriku. Salam sayang untuk kalian semua. Oh iya, berikan bonekaku untuk adik, dia sangat menginginkannya.

Masih dengan perasaan terguncang dan tangan gemetaran, sang ayah membaca lembar kedua surat dari putri tercintanya itu....

            PS: Ayah, tidak ada satu pun dari yang aku tulis di atas itu benar. Aku hanya ingin menunjukkan, bahwa  ada ribuan hal yang lebih mengerikan daripada nilai raporku yg buruk. Kalau Ayah sudah menandatangani raporku di atas meja, panggil aku ya...

            Aku tidak ke mana-mana. Saat ini aku ada di rumah tetangga sebelah.

Sesudah membaca kisah di atas, seketika saya merasa lega. Akan tetapi, percayalah, seorang ayah yang paling cuek pun akan sempat merasa shock saat membaca halaman pertama surat itu. Dunia mendadak gelap oleh paduan antara rasa marah, menyesal, ingin menyalahkan orang lain atau diri sendiri. Jika selama ini sang ayah dikenal santun dan agamis, barangkali kesabaran dan kesalihannya terguncang.

Anak merupakan amanat, titipan Tuhan. Begitu besar beban orang tua di balik kebahagiaan mempunyai keturunan yang akan meneruskan cecabang generasi. Bersyukur apabila arus yang terbawa turun-temurun senantiasa membawa nama baik, martabat, harga diri, citra positif, dan kenangan yang menyenangkan. Andaikata sebaliknya yang terjadi, aib itu menyertai perjalanan hidup. Seharusnya kita berpaling pada diri sendiri: apa yang telah kita perbuat sehingga “air cucuran atap jatuh ke pelimbahanatauBuah jatuh tak jauh dari pohonnya”?

Saya jadi teringat pada Carla van Raay, penulis memoar berjudul God’s Callgirl. Ia menuliskan pengalaman hidupnya secara blak-blakan. Ia menyebut dirinya Sang Pelacur Tuhan ketika berpraktik sebagai pekerja seks komersial melalui pembenaran khayalannya tentang para biarawati yang bersetubuh dengan para pria untuk sebuah meditasi kepada Tuhan. Ia menjadi sang ahli sekaligus penyayang. Iklannya terpampang pada halaman surat kabar Sabtu, menarik minat banyak lelaki dari pelbagai profesi untuk merasakan pijatan jemarinya. Saya bukan hendak bercerita tentang teknik-teknik pelayanannya, melainkan ada keyakinan pada Carla perihal keburukan jalan hidupnya yang ditengarai sejak awal. Nenek dan ibunya hamil sebelum menikah! Pertanda yang seolah terbukti pada dirinya: melalui pelecehan seksual oleh ayah yang dihormatinya.

Kembali kepada kisah awal, hubungan khusus memang sering terjadi antara ayah dengan anak perempuan. Sebagaimana ibu dengan anak lelakinya, ada hubungan yang lazim untuk saling mengagumi atau menyayangi. Seorang ayah yang pemberang, mungkin berusaha perfeksionis, cukup menggentarkan anak-anaknya. Matanya tak hendak melihat sedikit cela, sehingga nilai buruk dalam rapor akan sanggup mengobarkan seluruh amarahnya. Dunia serasa hendak runtuh bila mengetahui anaknya begitu bodoh, seolah tak ada masa depan lagi bagi seorang pecundang.

Melalui fragmen yang menyentuh, kiriman Liza, saya kian menyadari bahwa selalu ada yang patut disyukuri pada musibah yang menimpa kita. Sering dicontohkan mengenai seorang yang merasa beruntunghanyatak punya sepatu, sementara ada orang lain yang tak punya kaki. Anak gadis kita yang terpaksa tidak naik kelas tentu jauh lebih baik dibanding jika ia dibawa pergi seorang preman yang selain buronan juga pengidap AIDS.

Memandang segala sesuatu dari sudut positif dengan perasaan jernih mungkin lebih menenteramkan, ketimbang terburu nafsu dan menentukan sikap secara terburu-buru. Saya masih belajar, masih terus belajar menuju kematangan itu.

***

(Kurnia Effendi, untuk Parle)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, June 12, 2007

Jurnal Kalam Setelah 13 Tahun

Mungkin inilah jalan yang tepat bagi Kalam, jurnal kebudayaan yang diterbitkan olehkeluargamajalah Tempo untuk menuju era media maya. Boleh jadi terlambat, tapi itu pasti karena banyaknya pertimbangan sebelum memutuskan. Di belakang Kalam, selain Goenawan Mohamad yang menjadi pencetus gagasan, Nirwan Dewanto dan S. Prinka (almarhum) sebagai bagian dari pendiri, adalah orang-orang yang memiliki komitmen tinggi terhadap seni budaya.

Menandai situs www.jurnalkalam.org diluncurkan, Kalam menyelenggarakan pameran bertajuk Rupa Kalam di Galeri Lontar, di kompleks Komunitas Utan Kayu. Mulai 29 Mei sampai dengan 8 Juni nanti, seluruh wajah Kalam beserta sepilihan gambar ilustrasi dalam jurnal dipamerkan. Pameran ini mengisyaratkan begitu dekatnya antara teks dengan rupa (lukisan, grafis, patung,  instalasi) dalam setiap penerbitan Kalam. Menurut Asikin Hasan sebagai kurator, kata dan rupa berdiri setara di Jurnal Kalam.

Melihat perjalanan panjang jurnal yang berisi telaah serius perihal sastra dan budaya itu, kita tahu ada harta karun pemikiran yang terdokumentasi dengan baik di sana. Memang ironis, menyadari bahwa untuk memperoleh naskah bermutu sangat sulit, namun ketika dipublikasikan tak banyak orang menggandrungi. Jadi siapa yang salah?

Pengakuan Hasif Amini, Ketua Redaksi, tantangan datang sejak awal penerbitan Kalam. Namun pekerjaan itu tetap dilakukan demi idealisme yang tak gampang untuk berjalan mulus. Munculnya nama-nama yang sama dalam beberapa kali penerbitan disebabkan sulitnya menemukan standar yang memadai dari naskah yang masuk. Ironi lain datang dari lapangan: sejumlah peminat kesulitan mencari Kalam di toko buku, namun sejumlah besar edisi terkirim kembali ke gudang sebagai retur.

Lewat jalur maya, Kalam siap memuat esai, cerita pendek, petikan novel, puisi, dan karya grafis sepanjang tahun, demikian janji Hasif. Yang penting, Kalam kini dapat dibaca dari segala penjuru dunia. Selamat saling berselancar dalam pertukaran ide dan pemikiran segar!

 

(Kurnia Effendi)  

 

 

Monday, June 11, 2007

Pengakuan Kontroversial Sang Pelacur Tuhan

            Tidak seorang pun di dunia ini ingin memiliki jalan hidup yang buruk. Termasuk Carla van Raay. Namun ketikatakdirmenggariskan demikian bagi perempuan itu, seolah tak tersedia pilihan lain kecuali menjalani dengan pelbagai pertanyaan yang dibangun dari trauma masa kecilnya. Ada sejumlahkesalahandari awal yang dipercaya membuat hidupnya penuh kepedihan.

Nenek Carla melakukan hubungan seks pranikah dan melahirkan ibu Carla. Peristiwa ledakan petir yang membuat neneknya buta dianggap sebagai bentuk hukuman Tuhan. Di kemudian hari, Carla pun tahu bahwa ibunya hamil sebelum menikah dengan ayahnya. Dari sanalah Carla melihat tanda-tanda kegelapan yang bermuasal dari urusan dosa seksual.

God’s Callgirl. Dari judulnya saja, buku itu sudah mengundang kontroversi. Demikianlah Carla van Raay, yang telah menuliskan kisah hidupnya secara jujur dan blak-blakan. Buku itu menjadi best seller di Australia melalui penerbit Harper Collins dan kini diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Hikmah. Berbeda dengan memoar lain, ada aroma sastra yang membuat buku ini nikmat dibaca.

            Carla van Raay lahir tahun 1938 di kota kecil Tilburg, Belanda. Di masa itu perang sedang berkecamuk.  Tapi bukan kondisi itu yang membuat gadis kecil
Carla
merasa sangat menderita dan ketakutan. Ia mengalami pelecehan seksual dari orang yang dihormati dan dipujanya, ayahnya sendiri, pada usia 3 tahun! Rahasia itu disimpannya hingga masuk SD. Ingatan buruk itu digambarkan begitu jelas, bagaimana pada malam hari sang ayah mendatangi tempat tidurnya dan memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya setelah menciumi seluruh wajahnya penuh nafsu. Kejadian traumatik itu berulang terus-menerus, memengaruhi kehidupannya hingga dewasa. Baginya, sang ayah seperti tokoh dengan pribadi ganda seperti Dr. Jekyll dan Mr Hyde. Ia bisa begitu baik, penolong, dan menunjukkan perilaku heroik, namun di sisi lain, saat hasrat seksual tak dapat dipenuhi oleh istrinya, jadi sangat menakutkan.

Pada tahun 1950, keluarganya pindah ke Australia. Selepas SMA, usia 18 tahun, Carla memutuskan menjadi biarawati. Tiga belas tahun hidup sebagaipelayan Tuhanternyata tidak membuat pikirannya terang-benderang. Ia hanya menemukan konsep dosa yang serba menakutkan dari para pastor dan seniornya. Seks dan agama, tampaknya memang dua kutub yang berseberangan namun salingmenggodasatu sama lain. Selalu ada pengkhianatan di antara keduanya. Carla sama sekali tidak melihat kejujuran mengenai seks dalam kehidupan biarawati, karena doktrin mengenai dosa justru acap digunakan untuk intimidasi. Akhirnya Carla melanggar sumpah dan memutuskan keluar dari lingkungan gereja.

            Selepas dari biara, Carla menjalani hidup normal dengan menikah dan mempunyai anak, akan tetapi itu pun tak bertahan lama. Ada ketidakpuasan, terutama terkait dengan dorongan seksualnya, membuat ia memilih bercerai dan akhirnya… memasuki kehidupan yang sangat bertolak belakang secara moral: menjadi pekerja seks komersial. Pilihannya itu juga demi membiayai kehidupan bersama anak perempuannya.

Carla menyebut dirinya menjadi pelacur Tuhan, setelah ia bekerja sendiri, bebas dari germo. Terinspirasi dari lukisan pada vas Cina yang menggambarkan persetubuhan antara biarawati yang berpakaian lengkap dengan laki-laki pelbagai profesi, termasuk pelajar lajang. Benaknya segera merangkai cerita berupa pembenaran untuk perilakunya sebagai pelacur. Para biarawati itu membutuhkan para pria dan menggunakan seks sebagai meditasi kepada Tuhan. Biarawati (mungkinkah dalam agama Buddha di Cina?) dan lelaki yang membutuhkan chi wanita, berbagi emosi yang tepat dalam  membangkitkan energi fisik dan spiritual.  Sejak itu Carla membayangkan dirinya sebagai pelayan hasrat murni pelanggannya untuk menawarkan energi feminin yang akan menyeimbangkan hidup mereka. Para pelanggan akan merasa damai, terberkati dan suci, karena Pelacur Tuhan telah memberikan yang terbaik bagi mereka. Bahkan ia memasang iklan pada suratkabar Sabtu dengan kalimat: ahli sekaligus penyayang.

Apakah berarti jalan yang ditempuh Carla direstui Tuhan? Bagaimanapun, pada periode menjadi pelacur independen, dia mendapatkan banyak pengalaman seksual dengan pelbagai tipe laki-laki, termasuk yang membuatnya berubah pikiran. Semula ia beranggapan sanggup memberikan solusi bagi setiap pria yang memiliki problem rumah tangga. Ternyata tidak. Ada seorang pria, setelah mengalami orgasme yang hebat, justru gemetar dan menyembunyikan tangisnya yang menyayat hati. Peristiwa itu seperti pemantik yang memicu kesadaran baru bagi Carla. Apa yang para pria cari sesungguhnya tak pernah diperoleh dari pelayanannya.    

            Kontroversi yang ada dalam buku God’s Callgirl adalah kejujuran dan keluguan Carla dalam menyingkap seluruh rahasia yang, boleh jadi, dapat menyinggung  pihak keluarga maupun gereja. Oleh karena itu, saran Romo Haryatmoko, dalam membaca buku ini sebaiknya tidak melakukan judgement terlalu dini. Nikmati saja dulu hingga akhir lalu petiklah pelajaran yang positif. Sebagaimana pada umumnya memoar, jalan hidup memang serba tak terduga. Untuk menemukan jati-diri kadang-kadang perlu menempuh liku-liku sejarah yang tak hendak diulanginya.

            Ditulis beberapa tahun yang lalu, buku ini cukup detail menggambarkan perjalanan hidup Carla van Raay, termasuk perasaan-perasaannya yang unik terhadap ayah (pada masa remaja) dan dengan sejumlah lelaki pelanggannya (di masa menjadi pelacur). Dalam menulis memoar ini, terutama pengalaman masa kecilnya yang luar biasa, Carla tentu tidak lagi mengambil sudut pandang sebagai anak-anak. Pelbagai pikiran dewasa masuk untuk memperkuat memori, tentang sikapnya terhadap situasi perang, anggota keluarga, dan kehidupan gereja. Meskipun demikian, ia tetap mengistilahkanbenda yang bau dan mengeluarkan cairan ke mulutkuuntuk peristiwa pelecehan yang diterimanya semasa prasekolah.

             Anda dapat melihat kecantikan Carla van Raay melalui beberapa foto dalam buku itu. Foto-foto itu menandai momen-momen penting hidupnya. Bagi laki-laki, tak perlu tergoda, karena kini ia sudah 69 tahun, hidup lurus dan memiliki cucu.

(Kurnia Effendi, pecinta buku)

 

 

Tubuh

TUBUH yang terbujur kaku, perlahan membusuk, dikerumuni lalat, adalah tubuh yang ditinggalkan jiwa. Tubuh yang dingin, pucat, dan kehilangan cahaya, adalah tubuh yang berpisah dengan nyawa. Kematiannya mungkin ditangisi, barangkali dirayakan, atau bahkan tak seorang pun mengetahui. Tubuh, saat itu, menjadi lebih rendah nilainya ketimbang benda mati lainnya, semisal guci keramik, cincin berlian, atau sebuah Jaguar. Tubuh yang sudah kehilangan ruh, secantik apa pun asalnya, setampan apa pun mulanya, tak seorang pun hendak memeluknya dengan gairah yang sama ketika masih bernapas dan sanggup tersenyum.

Tubuh yang tergolek tanpa detak jantung di tempat wajar maupun tak lazim, adalah tubuh yang ruhnya telah lolos. Pemandangan itu menunjukkan betapa pentingnya sang athma yang menghuni tubuh sejak diembuskan pertama kali dalam kandungan berusia empat bulan atau jauh sebelum itu. Di sana takdir dituliskan. Di sana janji sang insan dicatat untuk dipertanyakan kembali suatu waktu di pengujung usianya. Namun alam fana selalu memesona manusia sehingga banyak yang lupa terhadap ikrarnya. Kita, yang mungkin juga alpa, akan dikagetkan peristiwa akhir itu: sebuah ending yang tak terduga, namun tak mungkin mengulang semua putaran masa lampau untuk mengubah skenario.   

Romantisme kematian barangkali hanya terasa bagi yang ditinggalkan, bagi yang hidup dan meneruskan perjalanannya. Bekas manusia yang telah menjadi jasad, tidak mungkin lagi tinggal bersama-sama yang hidup. Tubuh itu dikubur, dikremasi, dilarung, atau dibalut balsam agar awet, dan dilepaskan dari kewajiban duniawi. Kehadirannya dalam mimpi, ilusi, atau bayang-bayang yang lain, semata karena pernah menjadi kenangan dalam pikiran kita, menjadi remah terserak di alam bawah sadar kita. Keping-keping peristiwa semasa hidup mengumpulkan dirinya dan sesekali tampil utuh untuk diingat lalu diceritakan. Bagi tubuh yang pernah banyak berjasa dan bermanfaat bagi orang lain, tentu muncul dengan aroma menyenangkan. Tapi, boleh jadi, tubuh molek yang pernah memuaskan mata dan tubuh lawan jenisnya secara amoral, hadir pula dengan aroma menyenangkan, namun berbeda. Bagi saya, ada sisi menakutkan untuk mencoba mengenangnya, karena mengandung dosa.

Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, semestinya memang demikian. Namun yang terjadi pada abad ini, begitu banyak jiwa yang tak sehat dalam tubuh yang tampak sehat. Stres akibat tekanan pekerjaan, beban pikiran yang tak kunjung reda, tuntutan finansial dari pelbagai pihak; tidak diterima dengan sikap yang sama. Bagi jiwa yang rentan oleh trauma dan pengalaman buruk masa lalu, lebih mudah goyah diombang-ambing pemicu yang sepele. Tanpa kita sadari, dalam tubuh yang kelihatan sehat ada benih sakit jiwa sedang menunggu waktu untuk tumbuh. Bencana yang datang silih-berganti menambah rasa takut, ketidakpastian masa depan, dan keterpurukan ekonomi. Bagi yang memiliki ketahanan jiwa rendah, tubuhnya tak sanggup lagi melindungi mental yang runtuh.

Barangkali keprihatinan terhadap penyakit jiwa yang tak tampak dalam sekali pandang, membuat Nova Riyanti Yusuf berniat memperjuangkan hak perlindungan (dan perawatan) bagi penderitanya. Erosi mental dari hari ke hari, terutama di tengah situasi hedonisme yang menuntut setiap orang mengukur segala tindakan dengan materi, menerabas ambang batas kekuatan hati seseorang. Akibat kondisi yang semakin memburuk itu, tubuh mulai diperintah oleh jiwa yang tak sehat. Tubuh seolah-olah membutuhkan penawar, padahal jiwanya yang sesungguhnya perlu pengobatan atau terapi. Orang sibuk mengonsumsi pelbagai bentuk penenang ke dalam tubuh karena itu jalan yang tampak paling masuk akal. Tubuh sekaligus menjadi keranjang sampah, sementara “infus” yang benar-benar dibutuhkan tidak datang dalam bentuk tablet atau cairan, melainkan katarsis dari hati ke hati.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap rapuhnya jiwa dan rapuhnya tubuh? Dengan senang hati saya menjawab: masing-masing pemilik jiwa dan tubuh. Namun demikian, penyebab dari kesakitan tubuh dan jiwa lebih banyak dari faktor eksternal. Perbedaan respons dan penerimaan setiap orang itulah yang mengembangkan sejumlah akibat menjadi berbeda satu sama lain. Kenyataan ini membuktikan bahwa tubuh manusia beserta isinya akan sangat berlainan dengan tubuh dan “pikiran“ robot.

SUATU siang saya mengunjungi sebuah pameran dengan tema Simply Bodies di Merchantile Athletic Club, anjungan atap World Trade Centre, di lantai 18. Sejumlah lukisan dalam pelbagai ukuran terpampang pada dinding-dinding balairung gymnasium. Sejumlah patung berukuran kecil tersebar di atas credenza lobi gimnasium. Tempat itu merupakan ruang fasilitas rehat bagi para peserta olah raga yang telah menjadi anggota. Di sana ada semacam foyer yang leluasa, kamar-kamar rapat, ruang makan, dan sebuah tempat minum yang memiliki kaca lebar untuk memandang kota Jakarta dilengkapi bar berlatar rak minuman yang sebagian besar beralkohol.

Di arena lain tentu tersedia aneka peralatan olah raga. Kataolah raga” memang erat kaitannya dengan tubuh. Dalam ruang gimnastik, kebugaran tubuh sengaja dipelihara. Tubuh yang menjadi tempat jiwa dirawat demi kesehatan keduanya: jasmani dan rohani, fisik dan psikis. Mungkin karena itulah, pameran bertema “kesederhanaan tubuh” atau “tubuh yang sederhana” ini digelar di tempat itu. Saling menandai antara lokasi dan objek.

Gestur tubuh utuh dengan aneka posisi digambarkan dalam keadaan telanjang. Rasanya ada maksud tertentu, misalnya bahwa ketelanjangan adalah kejujuran. Sebab dalam setiap gambar sama sekali tidak memberikan kesan sensual, jauh pula dari pertemuan dua jenis kelamin. Warna dan cara menggores yang lebih diutamakan, sehingga semburan citra yang lahir lebih sebagai ekspresi jiwa.

Mereka melukis tubuh namun menggambarkan situasi jiwa. Mereka tidak melakukan “mutilasi“ seperti halnya dalam aliran dadaisme, meskipun mendekati abstrak, simbol dari pengucapan perasaan. Bisa jadi, di atas kanvas, tubuh tidak lagi penting. Seperti sastra yang kerap mengedepankan kelincahan kegiatan pikiran ketimbang gerakan fisik, lukisan tubuh dalam Simply Bodies menunjukkan tanda-tanda itu.

            Tubuh yang mati dalam dua dimensi (lukisan) dan tiga dimensi (patung) itu menjadi “hidup“ dalam pikiran kita. Sebelum dijadikan model lukisan dan patung yang mati, dihidupkan kembali melalui pikiran orang yang memandangnya, sayangilah tubuh kita dengan cara menyayangi jiwa kita.

***

(Kurnia Effendi)

 

 

Friday, June 08, 2007

Seteru

SAYA sedang membayangkan, apakah di surga masih ada perseteruan? Mestinya tidak ada lagi selain kedamaian dan segala kenikmatan yang dijanjikan bagi orang-orang salih. Lantas apa yang akan menjadi dinamika kehidupan di nirwana? Bayangkan jika setiap keinginan akan terpenuhi dalam sekejap, hilang sudah nilai-nilai perjuangan. Ah, bukankah perjuangannya sudah dilakukan sepanjang manusia hidup di dunia? Mungkin benar dan mungkin juga keliru. Ada yang tak terjangkau oleh pikiran saya, tentu saja, mengenai surga.

Andai seluruh sifat buruk manusia di Bumi dihapuskan, sudah pasti akan berbeda sudut pandang yang berlaku. Tidak ada iri, dengki, hasut, mau menang sendiri, korup, membuka aib orang lain, dan seterusnya. Setiap penghuni surga akan selalu berpikir positif, welas asih kepada sesama, menghormati hak orang lain, tidak perlu merampok karena semua yang dikehendaki tersedia, bahkan berlimpah-ruah. Kira-kira kegiatan apa yang akan menyibukkan manusia di surga? Barangkali waktu yang berlangsung juga tidak lagi dengan ukuran jam atau siang dan malam. Matahari dan rembulan hanya milik manusia selama di alam dunia. Hampir-hampir tak ada pekerjaan, rasanya. Bisa bercinta terus-menerus dengan para bidadari (bagi kaum lelaki), dan dengan para bidadara (bagi kaum perempuan, adakah itu?). Tetapi karena sifat pembosan manusia juga barangkali sudah dilenyapkan, tak ada rasa jenuh dengan hari-hari yang tidak memerlukan penderitaan dan konflik.

Oleh karena itu, boleh jadi, kita sekarang harus menggunakan semua sifat yang ditempelkan kepada manusia mumpung masih di dunia. Dengan alasan sayang kepada keluarga dan ingin memenuhi setiap keinginan anak-isteri, mari kita raup uang sebanyak-banyaknya, tak peduli itu milik siapa. Dengan alasan ingin menjadi pemimpin yang baik bagi sejumlah orang (yang disebut rakyat atau penduduk), mari kita janjikan keindahan dan kemudahan dalam segala hal, agar kita dipilih sebagai wakil rakyat atau presiden. Dengan alasan ingin membangun sebuah kota berfasilitas mewah bagi penghuni yang berani membayar mahal, mari kita bakar rumah-rumah liar yang tumbuh di sembarang tempat. Dengan alasan ingin memberi kepedulian biologis pada kaum wanita yang jumlahnya lebih banyak ketimbang laki-laki, mari kita kaum pria membagi kehangatan kepada banyak perempuan secara sembunyi atau terang-terangan. Dengan alasan ingin menunjukkan kejujuran, mari kita bongkar rahasia orang lain yang selama ini tersembunyi sebagai aib. Dan banyak lagi kita bisa membuat daftar.

Setiap alasan ternyata mengandung motif. Setiap motif merujuk pada hasrat diri untuk menguasai. Kekuasaan yang didasari keserakahan, bukan sebagai amanat, akan menunjukkan rasa ingin menang sendiri. Ego tumbuh melebihi takaran yang seharusnya, sehingga mengganggu hak dan kemerdekaan orang lain. Ujung-ujungnya menghalalkan segala cara. Jika setiap pribadi manusia membawa elemen buruk itu, tak pelak akan melahirkan permusuhan satu sama lain. Seseorang yang eksistensi dan harga dirinya terganggu, sudah pasti mempertahankan diri dan melawan. Seteru antara satu dengan yang lain, dengan atau tanpa sopan-santun, secara gerilya maupun blak-blakan, tak dapat dihindari. Dari situasi seperti itu, mungkin saja banyak pelanduk yang hanya menjadi korban seteru dua gajah, namun bukan tidak mungkin tersembunyi kaum oportunis yang menunggu kesempatan mengambil keuntungan.

Hal-hal di atas terjadi dalam kancah politik di setiap negara dan pemerintahan. Apa boleh buat, di Indonesia tak luput dari hiruk-pikuk semacam itu. Di negeri yang nyaris separuh penduduknya tergolong rendah pendidikan, miskin, dan pengangguran, akan semakin mudah diombang-ambing oleh suhu politik. Perseteruan kaum elit politik tidak mudah mereka serap dengan intelektual yang terbatas sehingga pro dan kontra hanya berdasarkan pada pengaruh-pengaruh kekuatan ekonomi sesaat. Rakyat yang lapar mudah terhibur dengan janji jangka pendek, siap menjadi pendukung tanpa peduli siapa sebenarnya yang didukung: srigala berbulu domba atau atau penari topeng yang selalu menyembunyikan wajahnya.

Dinamika politik yang senantiasa menyemburkan adrenalin ke seluruh tubuh, membuat media massa bergairah. Warung kopi, seperti yang terjadi di Medan atau Aceh, akan selalu hangat oleh pembicaraan mengenai situasi pemerintahan. Seorang pemimpin negara yang sedang disentil harga dirinya oleh sang oposan pasti akan sibuk dengan sejumlah argumentasi pertahanan diri. Tinggal rakyat di wilayah bencana, kembali menjadi sang pelanduk nelangsa, akan tersisih dari prioritas perhatian. Bagi mereka yang sedih dan terpuruk namun tak kuasa melakukan apa-apa kecuali pasrah, barangkali lebih baik membayangkan tanah surga. Di sana kelak tidak ada lagi seteru, karena seluruh sifat buruk manusia dicabut, tinggal tabiat baik dan kemudahan dalam setiap hal.

Persoalannya adalah, apakah surga dapat diraih melalui perseteruan? Sedangkan selemah-lemah iman adalah melawan kezaliman dalam hati. Untuk sampai pada perjuangan mencari kebenaran diperlukan fisik dan mental yang kuat, juga niat yang bersih dari pamrih. Tentu saja tak perlu tergoda dengan pujian yang akan menjatuhkan diri pada sifat ria dan punahlah pahala yang semula dibangun melalui keikhlasan.

Saya kira, istilah “percaturan” politik sangat pas untuk setiap permainan di tingkat pejabat partai dan petinggi negara. Tak ada lagi tokoh protagonis dan antagonis dalam fragmen politik, saban hari terjadi perubahan demi kepentingan. Kadang-kadang bermain sebagai si putih kadangkala sebagai si hitam. Tetapi, sesungguhnya ada yang selalu siap menjadi pemeran abu-abu, meskipun dalam permainan catur hanya tersedia dua warna. Yang satu menjadi seteru yang lain. Yang abu-abu biasanya hendak mengail di air keruh.

(Kurnia Effendi, untuk PARLE)