Sunday, April 30, 2006

Obituari: Pramoedya Ananta Toer

“Selamat Jalan, Bung Pram!”

PRAMOEDYA Ananta Toer, pengarang besar Indonesia yang berkelas dunia, tutup usia hari ini tanggal 30 April 2006, pagi sekitar pukul 9 di rumah Utan Kayu, setelah sempat masuk ICU rumah sakit Saint Carolus Salemba, Jakarta. Usia terakhir beliau adalah 81 tahun 2 bulan lebih 24 hari, karena lahir tanggal 6 Februari tahun 1925. Penyakit yang dideritanya adalah komplikasi antara diabetes dan jantung.

Saya tidak mengenal secara pribadi pengarang kelahiran Blora ini. Hubungan saya dengannya hanya melalui sejumlah karyanya yang juga belum seluruhnya saya baca. Sejarah hidupnya yang melewati masa suram karena selalu berbeda pendapat dengan kebijakan pemerintah, dan pernah menjadi tokoh dalam Lekra, sering membuat perasaan saya gamang: apakah saya harus mencintai atau menjauhi? Tapi semenjak ‘runtuh’nya rezim Soeharto, dan Habibi membuka kebebasan demokrasi, segala sesuatu menjadi lebih terlihat terang, dan ternyata manusia (baik tokoh politik maupun pekerja seni budaya) tidak selalu putih atau hitam. Mereka sering mengenakan
‘baju’ abu-abu, dan memang melalui waktu yang bergulir, yang semula berhadapan sebagai seteru boleh jadi berubah sebagai sahabat atau kawan baru. Meskipun ada yang tetap tegar dengan pendirian, memelihara luka sebagai bekal sikap konsisten. Sehingga muncul semacam perbedaan antara Goenawan Mohamad dan Mochtar Loebis, sebagai sesama tokoh Manikebu, misalnya.

Di satu sisi, Mochtar Loebis tetap berdiri di pihak yang berseberangan, bahkan ditunjukkan dengan cara mengembalikan penghargaan Ramon Magsaysay yang diterimanya dari Filipina, ketika pada kesempatan berikutnya Pramoedya juga menerimanya. Sementara Goenawan Mohamad menyikapi secara lebih netral, bahkan kemudian menulis panjang tentang Pram pada sebuah selingan di majalah Tempo yang diasuhnya, sebagai apresiasi atau penghormatan secara profesional (jurnalis dan sastrawan). Demikian kata Lembaga Magsaysay mengenai Pramoedya Ananta Toer: “Pram menerangi dengan kisah-kisah cemerlangnya kebangkitan kesadaran dan pengalaman modern rakyat Indonesia.”

Pramoedya Ananta Toer merupakan aset bangsa Indonesia yang dikenal luas di mancanegara. Meninggal hari ini dengan berpuluh-puluh buku yang beredar (bebas sejak sekitar sepuluh tahun terakhir) dengan setidaknya dalam 40 bahasa selain bahasa Indonesia. Telah berulang kali masuk dalam nominasi calon penerima hadiah Nobel Sastra, namun selalu luput. Saya memang bukan, hahaha, termasuk yang diminta pertimbangannya untuk itu, namun jika boleh berpendapat, rasanya cukup
pantas Pram menerima hadiah tersebut. Baik dari kualitas karya, keberakarannya terhadap sejarah di tanah air (bahkan penjelajahan kreatifnya sampai ke zaman Singosari), keterlibatannya secara fisik dan batin terhadap gejolak sosial politik Indonesia, kesaksian yang cukup tajam dan detil, serta jumlah (kuantitas) karya yang sulit ditandingi oleh pengarang lain di Indonesia; Pram tidak perlu diragukan lagi
posisinya di antara pengarang dunia. Bahkan kadang-kadang sering saya membandingkan dengan yang telah menerimanya lebih dulu. Misalnya dengan Toni Morrison, atau… ah, sudahlah! Anggap saja belum beruntung.

Sekali lagi saya katakan, saya tidak mengenal Pramoedya secara pribadi, misalnya seperti Eka Budianta atau Taufik Rahzen. Ketika saya mulai punya jejaring untuk dapat dengan mudah mendekati Pram, beliau sudah mulai kurang pendengaran dan kesehatan fisiknya berangsur surut. Saya bertemu terakhir kali pada saat beliau berulang-tahun ke-80, pada tanggal 6 Februari 2005, yang dirayakan secara agak besar di The Pakubuwono Residence, bersamaan dengan meluncurnya buku (yang memperingati peristiwa itu): “Mendengar Pramoedya” karya Eka Budianta. Saya mencantumkan ucapan selamat ulang tahun pada harian Jakarta Post, yang dikoleksi oleh Richard Oh dan Chisato. Pada hari bersejarah itu, saya sempat berfoto dengan Pramoedya yang didampingi oleh Titik Puspa.

Karya-karya Pram memang menakjubkan. Membuat kami yang muda ini hanya sanggup iri dan sulit untuk dapat melampaui, padahal banyak waktu hidup Pram yang dihabiskan secara sedih dan menderita di Pulau Buru. Kita yang seumur hidup merasa merdeka dengan begitu banyak fasilitas justru hanya melenggang dihempas waktu tanpa ‘meninggalkan’ jejak yang ‘monumental’. Tetralogi “Bumi Manusia” adalah yang paling terkemuka dari ratusan buku Pram. Sedangkan karya terakhir yang diterbitkannya adalah “Jalan Pos – Daendels”, Oktober 2005. Menurut salah seorang anaknya, Yudhistira, ada satu buku yang tak sempat dirampungkan, “Ensiklopedia Kawasan Nusantara”, terburu tuhan memanggilnya. Dan pada sebuah omong-omong santai di toko buku MP Point Book malam Sabtu kemarin, tercetus ucapan: “Kapan difilmkan?” Lantas seorang kawan dari Bentang Pustaka menyatakan secara yakin bahwa Garin Nugroho sedang merencanakan itu.

Dulu sekali, di Bandung, tepatnya ketika berjalan di sepanjang Braga, bersama Tia Lesmana, saya masuk ke dalam sebuah toko buku dan menemukan “Rumah Kaca” karya Pram. Saya membeli dengan harga sepuluh ribu rupiah beserta gelimang rasa takut. Waktu itu masih beredar larangan membeli (dan membaca) buku karya-karya Pram, namun penerbit Hasta Mitra tetap melakukan distribusinya secara diam-diam. Barangkali dengan ‘jasa’nya itu, Hasta Mitra perlu pula memperoleh penghargaan. Karena kini, hampir semua penerbit ingin menerbitkan buah karya Pram. Banyak penghargaan yang telah diterima Pram, terutama dari luar negeri. Untuk menyebut beberapa di antaranya: Wertheim Award dari Belanda (1995); Ramon Magsaysay dari Filipina (1995); Madanjeet Singh Prize dari UNESCO Prancis (1996); Freedom to Write Award dari PEN Amerika Serikat (1998); Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan, Amerika Serikat (1999); Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters dari Prancis (1999); dan Fukuoka Cultural Grand Prize dari Jepang (2000). Apakah setelah jasadnya tak hadir di bumi, barulah panitia Nobel memutuskan untuk menganugerahi hadiah? Seperti halnya piala Citra untuk almarhumah Tuti Indra Malaon melalui film “Ibunda”, dan untuk yang kesekian kalinya penghargaan Kompas untuk cerpen terbaik almarhum Kuntowijoyo melalui “Jl Asmaradana” tahun 2005? Wallahu'alam.


Untuk kesekian kalinya saya sampaikan, bahwa saya tak mengenal Pramoedya secara pribadi. Saya mengenalnya melalui pembicaraan, pemberitaan, dan karya-karyanya yang meluas. Saya pernah bertemu dengan istrinya, Maimunah, pada perhelatan ulang tahun Eka Budianta ke-50 di Galeri Cemara sekitar dua bulan lalu. Dan terakhir kali saya saksikan sosok Pram, hanya melalui sebuah film dokumenter berjudul “Menyemai Terang dalam Kelam” bersamaan dengan peluncuran buku “Bukan Kematian” karya Putu Oka Sukanta, tanggal 20 April 2006, di Goethe Institute Jakarta. Kini, hari ini, tanggal 30 April 2006, janazahnya disemayamkan di rumah duka Utan Kayu.

Sebelum saya tutup obituary ini, seorang penyair muda dari Yogya, Joko Pinurbo mengirimkan ungkapan belasungkawanya melalui puisi, yang saya cantumkan disini:

Selamat Jalan, Pram

Selamat jalan, buku
Selamat sampai di ibukata, ibunya rindu
Selamat terbang mengarungi ziarah waktu

Maafkan kami yang belum usai membacamu

JP, 30/4/2006

Baiklah, saya pun ingin menutup dengan kalimat sederhana namun mengandung beban berat ini: “Selamat jalan, Bung Pram! Semoga jejakmu tetap membekas
sebagai monumen karya sastra Indonesia kelas dunia yang tak terlupakan. Kami yang muda ini wajib menjadi generasi pengganti yang mewarisi kualitas karya-karyamu untuk mencipta lebih baik dan lebih mencerahkan.”

(Kurnia Effendi, 30 April 2006)

Monday, April 24, 2006

Selamat Ulang Tahun, Mbak Ratna

Percakapan Ringkas dengan Mbak Ratna Indraswari Ibrahim

Hari ini, 24 April 2006, Ratna Indraswari Ibrahim, cerpenis senior Malang, berulang tahun. Saya mendapat info ini dari Mbak Dyah, programmer News FM Malang, ketika menyampaikan bahwa tanggal 25 April saya hendak bertugas ke Malang. Wah, telat sehari, saya pikir. Tapi tak apalah, akan saya sempatkan untuk singgah di rumah inspiratif Mbak Ratna, besok.

Tadi pagi, khawatir terlupa, saya kirim sms kepadanya: "Selamat ulang tahun, Mbak Ratna. Semoga Allah senantiasa melimpahkan nikmat sehat dan inspirasi tiada henti, seraya menghikmati kericik air depan beranda." Tak berapa lama ia membalas: "Terima kasih."

Menjelang pukul 11, saya mencoba meneleponnya, yang disambut dengan keramahan. Tentu, karena hatinya juga sedang bungah oleh hari bahagia ini. Saya bilang ingin ngobrol jika tidak sedang sibuk. Harapan saya terkabul. Mengapa dia tak sibuk? Karena komputernya rusak sejak satu bulan yang lalu. Tentu saja tak ada kegiatan menulis sepanjang itu. Bukankah 'senjata' penulis adalah mesin ketik atau komputer?

"Jadi cerpen Dina Diam Saja di Kompas tempo hari itu..."
"Ya, itu cerpen yang terakhir. Sekarang belum nulis lagi. Mas Kurnia sibuk apa?"
"Saya sedang suka membaca, kemudian menulis resensinya."
"Oh ya sama, sekarang saya sedang membaca dua buku. Pertama Sang Alkemis, Paulo Coelho. Dan satu lagi..."

Nah yang ini, saya tidak begitu jelas mendengarnya. Tertangkap sebagai "Satan Smile" atau apalah, karya pengarang Perancis, tetapi yang sedang dibaca edisi bahasa Inggris. Buku itu, menurutnya, memiliki riwayat yang membuat Mbak Ratna sangat bahagia.

Syahdan, begini ceritanya. Bahwa pada masa lalu, ketika Ratna Indraswari Ibrahim masih remaja, usia 15 tahun, ia pernah ingin membaca buku itu. Tetapi, tentu di masa 'kini' sudah tak terlacak lagi di mana mesti membeli. Keinginan itu pernah diobrolkan dengan sahabatnya, Herman namanya (tentu bukan dalam cerpen Dewi Lestari yang berjudul: "Mencari Herman" dalam "Filosofi Kopi"). Rupanya - inilah arti seorang sahabat - Herman menyampaikan kepada kakak Mbak Ratna yang bernama Farida Ibrahim (juga seorang pengarang, lho!). Mbak Farida minta tolong pada sahabatnya, Ken Zuraida (isteri Mas Willy Surendra) yang sedang berada di Jerman. Maka diperoleh buku itu di sana. Ketika Mbak Farida memberikannya kepada Mbak Ratna, itu adalah hadiah yang luar biasa baginya.

Sedikit tentang Farida Ibrahim: beliau telah meninggal dunia 7 tahun silam. Sebagai pengarang, Farida Ibrahim seangkatan dengan Mottinggo Boesye, Trisno Juwono, Sunarjono Basuki (yang sampai kini masih menyimpan puisi-puisi almarhumah tapi tak boleh diminta oleh Ratna, adiknya). Di jaman mereka, rata-rata masih gandrung kepada Elvis Presley.

"Nah, apa harapan Mbak Ratna pada ulang tahun sekarang ini?"
"Aku ingin hidup sehat. Dan bisa menulis lebih baik untuk semua orang."
Wah, cita-cita mulia yang terdengar sederhana.
"Karena sehat itu mahal," tambahnya. "Dengan sehat, berarti saya sugih tanpo bondo."
"Benar, Mbak. Saya setuju. Dan Insya Allah besok saya mampir ke rumah," kata saya.
"Jam berapa?"
Lalu saya ceritakan sedikit jadwal saya. Kurang lebih jam 4 sore mungkin, setelah seluruh urusan pekerjaan rampung.
"Kalau nanti malam bisa datang, bisa makan nasi kuning," Mbak Ratna tertawa. "Nah, ini ada kiriman kue tart."
"Mbak, saya minta disisihkan sepotong kue tart ya," Itu permintaan saya. Mudah-mudahan dikabulkan.
Tampaknya memang ini hari bahagia Mbak Ratna. Sepanjang pembicaraan banyak tertawa.. Ia ceritakan akan menggunakan ruang tengah rumahnya untuk acara tumpengan nanti malam, dengan lesehan. Dan memperkirakan yang akan hadir antara 30 - 50 orang.
"Teman-teman saya banyak, dan rata-rata anak muda."
"Dengan demikian," kata saya. "Mbak Ratna akan tetap awet muda."
Kemudian percakapan kami usaikan, dengan harapan besok sore bisa bertemu dalam suasana yang lebih menyenangkan.

"Selamat ulang tahun, Mbak. Kami yang muda-muda ini akan senantiasa belajar banyak dari Mbak Ratna."

Kurnia Effendi
Jakarta, 24 April 2006, 12.04

Simfoni Feby

Keindahan Simfoni yang Menyayat Bulan

Judul Buku : Simfoni Bulan
Nama Pengarang : Feby Indirani
Jenis Karangan : Novel
Penerbit : Media Kita, Jakarta
Cetakan Pertama : Januari 2006
Tebal Buku : 200 halaman + viii

Siapa yang berani mengatakan menjadi pelacur itu mudah? Kemarilah. Aku ingin meludahinya. Sekarang. Saat ini juga.
(Feby Indirani, Simfoni Bulan)

KEKERASKEPALAAN Feby Indirani untuk menangkis pendapat ibunya, bahwa ia dianggap tak cocok menulis fiksi, justru melahirkan sebuah karya yang elok: novel Simfoni Bulan. Sebagai novel pertama, setelah pada tahun 2005 naskah dramanya sempat menjadi nominator kompetisi Perempuan Penulis Drama yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Simfoni Bulan cukup menjanjikan sebagai awal karir Feby dalam khazanah sastra.

Berkisah tentang seorang mantan wartawan yang ingin menulis novel dengan cara mengalami, Bulan Rahmatulayla bertekad menjadi pelacur. Dengan mengalami, atau terlibat dalam kehidupan nyata yang hendak ditulisnya, Bulan berharap novelnya tidak hadir sebagai omong-kosong belaka. Keyakinan itu muncul atas pengaruh Visya Yudhistira, novelis muda yang dikaguminya, karena selalu menuliskan pengalamannya. Rasa sakit yang dimaksud dalam setiap novel Visya adalah luka yang secara fisik maupun psikis telah dialami oleh pengarangnya. Visya selalu memandang sinis pada kehidupan, sementara dia sendiri menjalani hidup secara unik. Perkenalannya dengan Visya, telah membuat Bulan senantiasa terbayang-bayang akan wajah dan harum cendana yang mengambang dari tubuh lelaki itu.

Berhasilkah Bulan dengan obsesinya itu? Agaknya ada serangkaian kegagalan yang sejak awal telah membayangi hidup Bulan. Boleh jadi dia lahir dari keluarga yang berantakan. Berbekal hubungan buruk dengan ibunya, ia pun membenci kata 'pulang'. Ketika bekerja pada sebuah tabloid berita, dan dipercaya sebagai asisten pemegang rubrik, ia dianggap tidak mampu menulis. Sifat keras kepala sang pengarang agaknya menurun kepada tokoh novelnya, ditandai dengan pengambilan keputusan untuk keluar dari pekerjaannya hanya lantaran perbedaan pendapat dengan atasannya. Pengalamannya meliput daerah prostitusi di Kramat Tunggak, membuatnya ingin mengangkat tokoh pelacur turun-temurun dalam sebuah novel. Namun ternyata tak semudah yang diharapkan, karena selama ini dia biasa menulis berdasarkan fakta dan data. Bekal imajinasinya tak sanggup menjangkau atmosfir yang hendak dituangkan. Sementara itu, warisan yang diperoleh dari pergaulannya dengan para penghuni lokalisasi sebetulnya tak sekadar gagasan fiksi, namun juga anak seorang pelacur yang diasuh setelah ibunya tewas terbunuh. Artinya, ada kebutuhan lain yang bersifat finansial untuk dapat bertahan hidup, yang tak bisa bergantung semata dari hasil honor cerita pendeknya selama ini.

Menjadi pelacur adalah keputusan besar berikutnya, yang sempat mengagetkan Steve, sahabatnya yang kemudian menjadi manajernya. Ternyata menjalani kehidupan pelacur secara profesional tak hanya sulit saat awalnya, bahkan beberapa pengalaman menerima tamu berikutnya menunjukkan, betapa tak berharganya seorang pelacur di mata laki-laki. Ia harus mengorbankan harga diri, sekaligus menyaksikan berlangsungnya kemunafikan kaum lelaki yang kadang-kadang menjadi idola di tengah masyarakat. Namun dari dunia mesum yang ditelusurinya itu ia mendapatkan seorang 'ahli anak' yang sanggup mencairkan hati Bayu, anak asuhnya. Demikianlah, dari satu kejadian ke peristiwa berikutnya saling bertaut dengan sebab dan akibat yang saling mendukung satu sama lain, sekaligus mengandung suspense yang membuat kisah Bulan ini mengalir berliku hingga ke... Sungai Gangga di negeri India.

Proses 'kelahiran' kembali seorang Bulan, sebagai spirit reinkarnasi, memang hendak diawali dengan sesuatu yang baru dan berbeda sebagai titik balik. Tetapi masa lalunya yang kelam tak benar-benar lenyap terkubur. Ada jejak tersisa sebagai bagian dari eksistensi yang pernah diperjuangkan dengan mempertaruhkan harga diri. Justru tercium kembali aromanya, melalui peristiwa book-signing yang tak termaafkan baginya. Selanjutnya, kita sebagai pembacalah yang bertugas membayangkan akhir cerita.

Banyak hal menarik dari novel Simfoni Bulan. Pertama, Feby tidak bercerita secara linier. Ia meletakkan beberapa kilas balik yang berfungsi untuk saling menjelaskan. Kedua, tidak menciptakan tokoh hitam dan putih, melainkan abu-abu. Manusiawi dan realistis: bahkan tokoh Bulan yang selayaknya kita bela karena serangkaian beban penderitaannya itu pun bukan orang suci di mata Tuhan. Ketiga, sebagaimana definisi sebuah novel (seraya mengingat kembali pelajaran sastra di bangku sekolah menengah), tokohnya mengalami perubahan hidup yang luar biasa. Syarat ini pun dipenuhi oleh sang pengarang. Keempat, ada banyak kejutan yang tak terasa sengaja diletakkan, namun menunjukkan bahwa setiap kejadian di belakang memiliki musabab. Misalnya saja ketika manuskrip novelnya tertinggal di kamar Gangga, atau dompetnya tertinggal di bangku bis saat ia terburu turun oleh kabar kritis yang disampaikan tantenya melalui telepon. Dan novel ini, dengan kekayaan peristiwa yang menyebabkan setiap karakter tokoh berfungsi efektif, terasa filmis dan memiliki potensi sebagai cerita visual.

Seperti umumnya novel yang ditulis oleh jurnalis atau seseorang yang bergelut dalam dunia riset untuk media massa, cerita terasa cerdas dan memiliki logika fiksi yang baik. Karakter tokoh cukup kuat, terutama tercermin pada sikap Bulan terhadap ibunya meskipun telah dibayar dengan rasa kehilangan. Artinya, ada kemungkinan melodramatis yang justru tidak dipilih oleh Feby, yang sekaligus telah menyelamatkan novel ini dari sikap ambigu. Ketidaksepakatan saya, mungkin terdapat pada pertanyaan Bulan di awal profesinya sebagai pelacur: "Kalau aku dipromosikan sebagai pelacur yang mantan wartawan, akan menambah nilai jualku nggak?" Jawaban Steve boleh jadi benar, tetapi secara umum, wartawan - meskipun mantan - tidak sekadar 'ditakuti' karena akan lebih pintar ngomong; jauh lebih mencemaskan apabila perilaku para pemakai jasa seks kelas tinggi, yang acap menjadi public-figure, akan bocor ke tengah masyarakat. Hal yang lain adalah 'sebuah kebetulan' yang nyaris mengganggu, saat Visya menyelamatkan Bulan pada sebuah rumah sakit. Boleh jadi benar, 'rumah' kedua bagi Visya yang kerap melukai diri sendiri adalah rumah sakit, tetapi terlalu banyak rumah sakit di Jakarta untuk sebuah keberuntungan. Sementara itu, di halaman 72, Feby seperti membuat laporan dengan memindahkan data observasi yang diperoleh dari hasil statistika.

Meskipun novel karya Feby Indirani ini hampir merupakan kisah yang mencurahkan nasib sedih berturut-turut kepada tokoh utamanya, sang pengarang tidak memberi judul Elegi Bulan, melainkan Simfoni Bulan. Bagi tokoh yang selalu gagal... (Aku mungkin cuma orang gagal. Wartawan gagal. Pengarang gagal. Pun sekarang jadi pelacur gagal.), metafor 'simfoni' terasa lebih mencerminkan keindahan dan mengandung optimisme ketimbang 'elegi'. Secara pribadi, saya pun lebih suka dengan judul Simfoni Bulan: hidup yang dramatik dengan melewati segala kepedihan itu terdengar serupa lagu merdu, sebagai pemberian Tuhan, meskipun merajang perih. Sesuai dengan namanya tentu, Bulan Rahmatulayla, bulan sebagai anugerah malam, keindahan di tengah kelam...

***

(kef)

Filosofi Kopimu, Dee


Filosofi dalam Secangkir Kopi

Judul Buku : FILOSOFI KOPI
Pengarang : Dee (Dewi Lestari)
Kata Pengantar : Goenawan Mohamad
Penerbit : Gagas Media
Cetakan Pertama : Februari 2006
Tebal Buku : 134 halaman dan X

FILOSOFI kopi? Perlukah memahami filsafat saat kita minum kopi? Atau adakah semacam konsep hubungan transendental antara seorang peminum kopi dengan zat yang diminumnya? Atau setiap jenis minuman memang memiliki filosofi? Andai benar terjadi, pertanyaan ini bisa sangat memanjang dan kita siap-siap mengerutkan kening atau sengaja menyisihkan waktu untuk memaknai sesuatu yang kita minum, dan dalam 'kasus' ini adalah kopi...

Akan tetapi, sebenarnya kita tidak akan minum kopi. "Filosofi Kopi" adalah judul buku buah karya Dewi (Dee) Lestari, sebuah kumpulan cerita dan prosa yang diterbitkan oleh Gagas Media bulan Februari 2006. Agaknya, selain menghasilkan novel trilogi Supernova (Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh; Akar; Petir), Dee juga menulis cerita pendek dan sejenisnya, yang berlangsung sepanjang satu dekade (sepuluh tahun, dari 1995 sampai dengan 2005). Sejumlah tulisannya itu (dalam buku Filosofi Kopi terhimpun 18 karya) mendapat komentar positif dari Goenawan Mohammad, yang petikan pengantarnya dicabtumkan dalam sampul buku: "Tidak ruwet, bahkan terang benderang; tak berarti tanpa isi yang menjentik kita untuk berpikir. Ada sebuah kata bahasa Inggris, wit, yang mungkin bisa diterjemahkan dengan ungkapan 'cerkas'. Kumpulan prosa ini menghidupkan yang cerkas dalam sastra Indonesia."

Pada sebuah perbincangan diskusi yang lebih menitikberatkan pada pembahasan sisi spiritual dalam karya-karya Dee, sang pengarang pernah menyampaikan tentang dirinya, yang dihubungkan dengan dua penulis (oleh karena sering dipersatukan dalam forum diskusi di beberapa tempat) yang dikaguminya, yakni Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Dee menggunakan perumpamaan kopi! Menurutnya, karya-karya Djenar adalah ibarat secangkir kopi tubruk, yang memberikan sensasi bagi peminumnya (pembacanya) dan meninggalkan kesan yang luar biasa sesudahnya. Sedangkan karya Ayu Utami merupakan kopi yang diracik akurat sehingga takarannya begitu pas, dan menimbulkan rasa nikmat yang tak dapat dibantah. Sementara untuk diri sendiri, Dee menganggapnya sebagai kopi yang setelah diminum, peminumnya akan mencari minuman lain. Ah, apa maksudnya? "Janganlah berhenti pada karya saya. Karena banyak karya lain yang menunggu giliran untuk dibaca," begitu kira-kira harapan Dee.

Dari kedelapan-belas tulisan Dee dalam buku Filosofi Kopi (diambil dari judul cerita pembuka), yang memiliki kaidah umum sebagai cerita (atau cerpen) ada 8, sepuluh yang lain merupakan prosa yang kepuisi-puisian, atau semacam catatan ungkapan hati atas sesuatu yang bersifat lebih filsafati. Misalnya tentang pertumbuhan sebuah pohon sejak masih mungil (melihat semut sebagai serdadu dan embun seolah bola kristal dari surga) hingga menjulang tinggi (bahkan burung-burung bisa bersarang di ketiaknya) mendekati langit menjauhi tanah. Itu tercantum dalam "Jembatan Zaman". Sejumlah cerita dengan minimum kata yang lain adalah: Salju Gurun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Diam , Cuaca, Lilin Merah, Cetak Biru...dll. Pada judul-judul itu terasa sejak awal sebagai himpunan makna hidup yang telah dan sedang dialami oleh sang pengarang. Pengalaman yang dicerap itu menumbuhkan suatu pemahaman, pembelajaran, dan bahkan mungkin kesimpulan, yang membuatnya akan lebih arif dalam menghadapinya. Yang paling sederhana, misalnya: "Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang jika ada ruang?" (Spasi). Atau: "Otot mereka kokoh akibat kecintaan mereka pada berlari, bukan mengantar seseorang ke sana-kemari. Kandang mereka adalah alam, bukan papan yang dipasangkan..." (Kuda Liar).

Cerpen Filosofi Kopi (ditulis tahun 1996), merupakan cerita yang deskriptif, tentang dua lelaki yang bersahabat dan sepakat membangun kedai kopi yang tidak biasa. Kedai Koffie Ben & Jody, itulah nama kafé yang menggunakan nama panggilan pemiliknya. Ben, sebagai ahli minuman kopi, sebelumnya telah melanglang ke seluruh penjuru dunia hanya untuk mempelajari ramuan kopi ternikmat dari kafe-kafe kelas dunia. Kemampuannya memahami setiap rasa kopi yang memiliki efek sensasi sesuai harapan peminumnya, membuat kedainya ramai dikunjuingi pelanggan, dan nama kedainya berganti menjadi Filosofi Kopi, Temukan Diri Anda di Sini. Tapi dalam setiap perjalanan sukses, selalu ada aral sebagai batu ujian. Suatu hari, seorang enterpreuner yang tidak menemukan tegukan kopi sebagai Wujud Kesempurnaan Hidup, telah membuat Ben menutup warungnya demi mencari ramuan itu. Perjuangan ini dilukiskan dengan bagus oleh Dee. Ia mencoba menguras emosi dua sahabat dalam pelbagai peristiwa, yang meskipun berbeda haluan pemikiran, tetap dapat bersatu visi untuk melakukan bisnis bersama. Dan apa yang terjadi ketika seorang lelaki dari desa yang sangat 'culun' untuk sebuah suasana kafe memasuki kedai Ben dan Jody untuk mencicipi ramuan Ben's Perfecto? Jawaban lelaki Jawa yang 'ndeso' itu membuat Ben frustrasi. Seolah-olah, seluruh perjalanan panjangnya untuk mendapatkan rasa kopi terbaik di seluruh permukaan bumi jadi sia-sia, dinafikan oleh sepotong lidah laki-laki yang mungkin seumur hidupnya hanya merasakan 'kopi tiwus'. Ah, apa hebatnya 'kopi tiwus'? Lebih baik anda membaca sendiri!

Karya-karya Dee kadang-kadang juga mengandung paradoks (seperti pada Salju Gurun) yang tidak lepas dari keinginan untuk memahami, bahwa sesuatu yang bertolak-belakang itu juga bisa harmonis. Bahkan mungkin sebuah cara untuk tampak menonjol (terkemuka) sebagai eksistensi. Dengan membaca seluruh isi buku, kita seperti membedah cara berpikir Dee, juga caranya menerima nikmat kehidupan. Ternyata sebuah tulisan tidak semata-mata suguhan yang bertujuan menghibur pembaca atau menerbitkan sensasi fisik; justru Dee menempuh jalan yang lebih berakar pada, ah, lagi-lagi bersifat filosofis! Tampak sebagai buah hasil perenungan (yang tidak dengan sengaja berkontemplatif di suatu tempat) dari kehidupan yang dijalani sehari-hari. Hubungan antar-manusia, kasih sayang, pengamatan terhadap benda-benda yang berfungsi di sekelilingnya. Dan dalam satu ungkapannya di Lilin Merah, menunjukkan bahwa kebahagiaan tak harus tampil dengan suasana eforia: Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik.

Pada pengakuannya, karier Dee sebagai penulis sesungguhnya berjalan paralel dengan kariernya sebagai penyanyi. Hanya saja, yang sampai kepada publik terlebih dahulu adalah bakatnya sebagai penyanyi (melalui kelompok vokal Ridha Sita Dewi). Bersamaan dengan lahirnya kumpulan cerita Filosofi Kopi, Dee juga mengedarkan rekaman nyanyi tunggalnya bertajuk "Out of Shell" dalam bentuk Compact Disk. Tema yang paling favorit baginya untuk berkarya adalah cinta. Dan itu dibuktikan pada setiap karyanya baik novel maupun kompilasi prosa di buku Filososfi Kopi. Bahkan cerita Rico de Coro yang pemeran utamanya seekor kecoak, masih juga berbicara tentang cinta antara binatang menjijikkan itu dengan seorang manusia (gadis cantik dan manja) dari sudut pandang keluarga coro. Tentu ini sebuah cinta platonis. Dalam kisah itu, muncul pengorbanan atas nama cinta, yang mungkin lebih tulus ketimbang cinta seorang manusia laki-laki.

Tak berlebihan 'pujian' Goenawan Mohamad terhadap Dee, karena selain menyampaikan cerita dengan jernih dan cerdas, pengarang yang telah menikah dengan penyanyi Marcel dan berputra Keenan ini begitu taat terhadap kaidah bahasa. Terbukti dia perduli dengan gramatikal, tidak sekadar pandai mengutarakan buah pikiran namun juga cara menuliskannya. Kepekaan seperti ini menjadi penting, manakala para sastrawan atau orang yang sejak awal berkecimpung di dunia tulis-menulis justru abai terhadap piranti komunikasinya sendiri.

Sampul bukunya sesungguhnya menarik, menyesuaikan judulnya: mengambil gagasan kemasan biji kopi dengan label yang biasanya dibuat menggunakan kertas sampul coklat dan tera merk yang dihasilkan oleh teknis sablon atau cetak sederhana. Namun jika sang pengatur buku di toko buku tidak teliti, karya sastra ini dapat diletakkan salah, misalnya di sekitar buku tentang cara menanam tembakau, minyak perawan kelapa, atau budidaya belut. Atau malah digabung dengan buku-buku filsafat yang lain?

Nah, apakah Dewi (Dee) Lestari, seperti harapannya, adalah ibarat secangkir kopi yang setelah kita teguk lantas kita tinggalkan untuk beralih mencari minuman (bacaan) lain? Mari kita buktikan. ***

Jeda 24 April 2006


Mencecap Rasa Pagi

Selamat pagi. Selamat membuka hari.

Apa rasa pagi menurut 'lidah' anda hari ini? Adakah berbeda satu dengan yang lain? Barangkali jawabannya adalah: sudah pasti!. Sebuah pagi yang sama, terhampar di hadapan kita, tetapi terasa tak serupa dicecap oleh masing-masing perasaan kita.

Saya menandai pagi dengan aroma kopi. Ah, jadi teringat "Filosofi Kopi" Dewi Dee Lestari. Untuk minum kopi dengan harapan hari ini segalanya akan berjalan sempurna, ternyata 'perlu' melewati pengalaman filsafati. Sementara seorang sahabat, Irwan Kelana, menikmati pagi melalui suara tangis bayi. Sesudah serangkaian rakaat tahajud, di pengujung awal hari, ia mengirim berita bahagia: telah lahir anak kelima, Muhammad Ridho Ilahi. Di saat yang sama, seseorang tidak menemukan pagi karena lolos dari jendela rumah sakit, kecuali tercium sayup harum kimia, yang berulang kali memasuki tubuhnya.

Ketika pagi dicecap dengan riang oleh anak-anak sekolah, belum tentu sebenderang itu hati para orang tuanya. Berpuluh mata pada sebuah pagi yang berparas cerah, justru menyaksikan sisa tragedi, ketika dua kereta api berebut arah lari. Peristiwa duka yang lain, melalui koran pagi, menemukan berita tertembaknya seorang anggota TNI di tepi negeri ini....

Masih ingatkah kita pada sebuah Jumat pagi, saat langit subuh baru saja gemetar melepas para jamaah pergi, beredar majalah Playboy? Apa rasa yang tercecap dari dua aroma yang seolah bersumber dari dua kutub berseberangan ini? Boleh jadi, dengan kejujuran hati, sebagai manusia yang senantiasa berubah nyali, ada yang lucu terjadi. Ketika berada di masjid, seluruh kalbunya tafakur dalam sunyi sujud. Begitu tiba di meja kerja kantornya, mendapatkan kemasan mewah sebuah majalah berwarna merah, terlonjak gairah untuk segera mengintip isinya. Ah, yang terjadi di ujung fajar, adalah semangat untuk menjadi bagian dari kekasih para nabi. Tak sampai tiga jam kemudian, matahari baru beranjak ke sepenggalah, telah lahir semangat untuk meninjau bagian tubuh paling pribadi dari Andhara Early. Namun kemudian terhela nafas kecewa... karena tak menemukan yang paling didamba.

Jadi, wajar jika disebutkan bahwa setan sanggup memasuki aliran darah kita. Tetapi kita harus sangat percaya bahwa Tuhan (yang menciptakan setan) berada dekat dengan urat nadi kita. Seperti halnya makna qolbu, adalah sesuatu yang berubah-ubah, tak tetap, dan oleh karena itu: pada sebuah pagi yang sama dan berjalan linier, kita mampu mencecap rasa yang berbeda.

Mungkin perlu dipelajari dan diteliti, jangan-jangan segala keputusan hati juga tergantung pada sesuatu yang dirasakan di pagi hari. Tentu akan jauh berbeda pada seseorang yang menghadapi pagi dengan tubuh sempoyongan berbekal seperempat kesadaran dibandingkan seseorang yang senyumnya merekah oleh celoteh putera-puterinya di meja sarapan. Yang satu baru saja mengalami petualangan tak tentu arah dan mencoba mengais sisa-sisa harapan yang mungkin segera direbut orang; sementara yang lain tengah menjalin cita-cita panjang melalui percakapan saling mengisi...

Selamat pagi. Selamat membuka hari.

Lihatlah, sebuah kota besar sedang melemparkan selimut ke sebuah sudut. Lalu tersingkaplah tubuh telanjangnya yang sebentar lagi dikerumuni kendaraan dan setiap urat jalan raya menjadi tempat merayap. Pagi seperti itu, yang sudah biasa bagi Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, adalah rasa yang dicecap dengan lidah mati-rasa. Dengan bekal depresi, mampukah kita bekerja dengan hati nurani? Itulah pertanyaan yang harus disiasati, agar tidak terjebak seperti kebanyakan sinetron yang membanjir di televisi. Mungkin kita mulai rindu pada rasa pagi di sejuk gunung, atau rasa pagi di tepi pesisir sunyi. Menikmati waktu yang bergerak lambat dan ruang membuat kita memiliki kesempatan berpikir jernih. Tapi, saya teringat nasihat mertua ketika hendak memasuki kehidupan Jakarta: "Jika sanggup memenangkan semua godaan dan mengatasi semua tantangan, pahalamu lebih besar."

Lewat rasa kopi krim tanpa gula di lidah, saya mencoba memasuki kenikmatan pagi. Lalu selintas merenung dan menemukan sedikit hiburan. Pagi adalah cara terindah untuk mengakhiri malam. Karena seharusnya ada surya yang membuat warna gelap terusir pergi bahkan dari relung-relung hati kita yang pernah kelam. Pagi adalah waktu bagi para mambang menepi, menjauhi perigi, untuk diganti dengan langkah petani..

Ah, jadi teringat nyanyian Leo Kristi entah berapa dekade yang lalu:

Lihat gadis di sawah
Merah kuning jingga kebayanya
Dengan ani-ani di tangannya
Fajar di hatinya

Bangun ayo bangun!
Berjalan tegakkan kepalamu
Nyanyikan di timur matahari
Fajar di hatimu

Itu nyanyian fajar yang barangkali tinggal sebagai utopia. Sebelum kita kehilangan segala-galanya, mungkin perlu sesering mungkin menjenguk isi hati. Masihkah ada hatinurani yang bersedia diajak berbincang pada: sebelum, sepanjang, atau sesudah pagi?

(Kurnia Effendi)

Friday, April 21, 2006

Selamat Ulang Tahun Milis bungamatahari

selamat ulang tahun
BUNGA MATAHARI

"Halo, Cantik! Siapa namamu?"
"Gratiagusti Chananya Rompas. Panggil saja: Anya."
"Ah, nama yang tak kalah cantik. Boleh aku duduk di sekitarmu?"
"Kok di sekitarku? Maksudmu aku lebih dari satu? Bergerumbul? Rimbun?"
"Eh, maaf, bukan itu maksudku. Mungkin karena aku merasa teduh berada di dekatmu."
"Masuk saja deh, jangan duduk di pagar."
"Oh, terima kasih. Tapi, ini kebun siapa?"
"Kebunku. Kebun kami, maksudku."
"Kebun kami? Milik keluargamu?"
"Boleh dikatakan begitu."
"Mengapa tidak pasti?"
"Mereka, yang turut memiliki kebun ini, teman-temanku. Tapi kami seperti keluarga."
"O,"
"Mau minum apa?"
"Minum? Jangan bercanda. Aku tak melihat ada dapur di sini. Atau lemari es."
"Tinggal sebut saja kok,"
"Aku semakin tidak mengerti. Atau...mungkin kamu akan memanggil seseorang?"
"Untuk apa? Tanpa dipanggil mereka selalu ada. Tapi bukan berarti berlama-lama."
"Tapi aku tidak melihat teman-temanmu itu."
"Ya sudahlah. Jadi, mau minum apa"
"Ehm, apa ya? Di sini ada kopi atau semacamnya?"
"Kubilang tinggal sebut saja."
"Baiklah. Cappuccino dengan serbuk kayu manis."
"Cocok sekali dengan cuaca hari yang sejuk ini."
"O, tentu! Aku dikenal pintar memilih minuman."
"Pantas."
"Mengapa kamu tetap di sini?"
"Lho, ini kebunku. Aku mau tetap di sini atau pergi, terserah aku, bukan?"
"Benar. Tapi setidaknya kamu melakukan usaha menyiapkan minum pesananku."
"Kamu sudah katakan apa yang kamu mau..."
"Ya, tapi mana?"
"Ambillah meja untuk meletakkannya."
"Dari mana aku ambil benda itu?"
"Tinggal menyebut saja, apa susahnya?"
"Oke. Aku memerlukan meja bundar dari kayu, tampaknya romantis."
"Lagi-lagi kamu memilih barang yang tepat."
"Ingat, sudah dua pesananku, Anya."
"Apakah ada lagi yang kamu inginkan?"
"Astaga, aku bukan orang yang serakah."
"Wah, giliran ditawari sebebas yang kamu mau, malah membatasi diri."
"Dari tadi kamu selalu bercanda. Lama-lama aku bisa geram."
"Geram apa gemas?"
"Anya, kamu menggodaku ya?"
"Apa salahnya? Bahkan sebelum aku berniat menggodamu, kamu sudah tergoda bukan?"
"Apa buktinya?"
"Kamu sengaja berhenti di depan kebunku, lalu menyapaku dengan genit."
"Jangan membuatku tersipu."
"Kamu ternyata laki-laki pemalu..."
"Tolong, segera siapkan permintaanku."
"Bukankah kamu sudah katakan? Apakah cukup hanya itu?"
"Benar! Ternyata aku jadi gemas."
"Nah, apa kataku? Ayo, sebelum teman-temanku datang dan mengambil ini-itu."
"Baik. Aku mau ada piano dengan seorang pemain yang pintar."
"Ada lagi?"
"Sepotong brownies, eh sorry, aku tidak suka penganan legit."
"Boleh diralat kok."
"Kastengels saja. Tapi juga mangga yang dikupas. Salad dengan banyak mayonnaise."
"Sudah?"
"Sudah."
"Oke. Kamu tidak berminat untuk menatanya dengan baik?"
"Maksudmu?"
"Apakah semua pesananmu itu akan tumpang tindih begitu saja?"
"Anya, boleh aku menjerit sekuatnya di sini?"
"Kenapa tidak? Di kebun ini boleh melakukan apa saja sepanjang pantas."
"Anyaaaaaaaaaaa!!!!!!!!"
"Rupanya kamu serius ingin menjerit, ya?"
"Apakah kamu terganggu?"
"Tidak juga. Mungkin malah kamu yang terganggu. Lihat, semua jadi berantakan."
"Apanya?"
"Hot cappuccino, serbuk kayu manis, piano, pianis, salad, mayonnaise, kastengels..."
"Lalu?"
"Mangga. Meja kayu bundar. Dan kamu akhiri dengan jeritan."
"Siapa yang perduli?"
"Terserah sih. Cuma nanti kamu kecewa jika pilihan teman-temanku lebih baik."
"Toh tidak ada wujudnya. Seperti aku tidak melihat wujud pohonan di sini."
"Tapi kamu bisa menyebutnya. Mengatakannya sekehendakmu."
"Jadi, Anya, sebenarnya ini kebun apa?"
"Kebun kata-kata!"
"Ah, bilang dong dari tadi."
"Maaf jika sempat membuatmu geram."
"Geram apa gemas?"
"Hihi, tak ada bedanya kok. Pilih saja sendiri."
"Kamu bilang teman-temanmu akan datang, mana mereka?"
"Kedatangan mereka tak harus tampak. Pokoknya ini kebun kita bersama."
"Lalu siapa yang merawatnya?"
"Siapa lagi kalau bukan para pemiliknya? Sebagaimana mereka bebas memetik."
"Apa yang kalian petik?"
"Kata-kata. Bukankah kamu juga telah memetiknya?"
"Iya deh. Tapi, kenapa hari ini seperti terasa istimewa? Seolah akan ada pesta."
"Akhirnya kamu tahu. Hari ini memang istimewa, karena kami berulang tahun."
"Ulang tahun keberapa?"
"Aku atau kebun ini?"
"Terserah yang mana deh!"
"Gemas ya? Sekarang genap enam tahun."
"Kebun ini telah berusia enam tahun? Mestinya sudah tak lucu lagi."
"Setuju. Tapi mulai tampak cantik."
"Hehe, menurut pemiliknya, bukan?"
"Ya, tentu. Tapi yang penting kan tidak kemayu."
"Kalau tahu kalian ulang tahun, aku datang dengan sebuah kado."
"Itu tak sulit. Tinggal kamu sebutkan."
"Nah, mulai lagi!"
"Aku serius, bung! Kamu bisa bikin kado secepat yang kamu inginkan."
"Maksudmu tinggal petik kata-kata dari kebun ini lalu merangkainya?"
"Akhirnya kamu pintar juga."
"Dasar! Oke, tapi aku ingin tahu sesuatu."
"Apa?"
"Apakah kebun kata-kata kalian ini punya nama?"
"Tentu. Namanya Bunga Matahari."
"Wow! Warnanya kuning, lambang semangat yang menyala-nyala."
"Tapi juga cantik, kan?"
"Terserah katamulah. Aku mau tanya satu lagi."
"Apa?"
"Anya, dapatkah kamu sebutkan 6 kata yang mencerminkan perasaanmu terhadap Bunga Matahari yang berusia 6 tahun?"
"Enam kata ya? Angan, cinta, gairah, peluh, sangtuari, bianglala."

***

Wednesday, April 19, 2006

Selasa Bersama Ang Tek Khun


Selasa bersama Ang Tek Khun

Tidak sedang meniru "Selasa bersama Morie" (wah, nulisnya barangkali juga keliru), tetapi sahabat lama ini tiba-tiba hadir pada Selasa 18 April 2006 dalam bentuk karya: tiga buah buku! Itu saya ketahui setelah membuka bungkusnya, yang telah terletak di meja kerja, mungkin sebelum jam istirahat.

Kebetulan, setelah tugas dari luar, tiba di kantor persis suara adzan berkumandang dari masjid sebelah. Alangkah nikmatnya jika memasuki ruang kerja setelah curhat kepada Sang Pemberi Hidup. Maka saya segera meninggalkan ruang parkir, dan bergegas ambil air wudlu untuk mengejar sholat berjamaah. Karena dari masjid mau ke gedung kantor melewati food court, saya pikir akan lebih nyaman makan siang dulu. Itulah yang saya lakukan dengan memesan sate ayam beserta lontong. Setelah itu, seharusnya bereslah urusan jeda istirahat, karena jam 13.00 akan meeting dengan James Gwee. Namun begitu bangkit dari kursi, ada seorang relasi yang sedang mengedarkan matanya mencari tempat kosong, lalu tak sengaja bersirobok dengan saya. Terjadilah dialog sesaat, dan akhirnya saya menemani mereka (berdua) ke Flora Café di gedung sebelah kantor. Karena saya sudah makan, saya hanya memesan hot cappuccino agar tidak nganggur sepanjang ngobrol. Mereka berdua akan menyusul rekan saya yang sudah berangkat ke Cirebon, untuk site-meeting pembangunan showroom mobil baru.

Baiklah, paragraf di atas hanya pengantar. Karena yang hendak saya ceritakan adalah 'pertemuan' saya dengan buku-buku kiriman Ang Tek Khun. Saya buka dengan tergesa karena penasaran. Setelah terkuak, ahai, betapa cantik-cantiknya ketiga buku yang berformat midi (agak mini, maksudnya) itu. Yang pertama antologi puisi tunggal berjudul "Sayap-sayap Cinta", dua yang lain untaian kata-kata indah dengan tema: Cinta dan Sahabat. Saya harus bersabar untuk memasuki halaman-halaman full colour itu, karena James Gwee sudah hadir di ruang tamu.

Rupanya setelah meeting dengan James Gwee, masih ada satu group discussion lagi yang akan bicara tentang Swift, bersama beberapa sales coordinator. Jadi tertunda lagi untuk meraba isi buku Ang Tek Khun. Maka sebelum tuntas menikmati, ada baiknya berkomunikasi, untuk melunaskan kangen setelah lama tidak saling bertegur-sapa.

Ang Tek Khun (ATK) adalah kawan semasa (lagi-lagi harus mengenang:) kejayaan Anita Cemerlang. Ia tinggal di Surabaya, dan sejak awal sudah sangat terpikat dengan puisi. Tentu sejumlah puisinya menjadi hiasan majalah remaja di awal tahun 80-an. Setelah Anita Cemerlang ditangani oleh generasi ketiga, setelah Adek Alwi dan Cahya Sadar, dia menghilang dari percaturan sastra remaja. Tahu-tahu, saya dengar dari Lan Fang, ATK pindah ke Yogya dan berbisnis di sana.

Sewaktu saya berkumpul dengan teman-teman penulis di café Suzuki Surabaya, tentu tidak ketemu dia. Jadi sesudah itu saya menghubunginya dari Jakarta. Pada pembicaraan saat itu, dia ingin menangani launching buku saya jika diselenggarakan di Yogya. Saya sedikit berjanji agar cita-cita itu tercapai. Setidaknya, dalam lemari arsip kepala saya, ada 'tempat' bergerombol lagi selain biasanya dengan Raudal Tanjung Banua dan Satmoko Budi Santoso.

Nah, jadi Selasa kemarin saya langsung mengomentari tiga buah bukunya yang sangat cocok untuk kado bagi seorang kekasih (atau selingkuhan). ATK terbahak di seberang sana, dan menjelaskan bahwa buku-buku itu diciptakan untuk memenuhi permintaan pasar. Wah! Benar, dia sudah berenang di dunia bisnis. Sebagai seorang pengarang, dengan kepekaan terhadap kebutuhan pasar (pembaca / pembeli), merupakan kombinasi yang cocok untuk masa sekarang. Lepas dari idealisme berkarya, janganlah kemudian seorang sastrawan harus berkelindan dengan lorong masa suram. Dimulai dari cara berkarya yang harus menunggu ilham (sementara Ilham ikut transmigrasi dan tak pernah kembali), kemudian menerbitkan buku yang kurang sesuai dengan keinginan publik, bagaimana royalti akan mengalir seperti sungai menghilir?. Jadi, harus ada kepintaran memadukan karya berkualitas dengan segmentasi yang tepat. Waduh, ini mestinya minta James Gwee bicara dalam seminar dengan tema: "Marketing Sastra".

Lalu ATK menanyakan, apakah saya sudah membaca emailnya. Tentu. Justru saya butuh penjelasan, apa yang dimaksud dengan Flash Fiction. Rupanya Gramedia Pustaka Utama sedang mengadakan lomba FF dengan hadiah buku-buku. Selanjutnya kami semakin larut dalam komunikasi yang ujung-ujungnya mengajukan sebuah tantangan. (Ah, jadi teringat tantangan Ryana Mustamin 10 tahun yang lalu).

Ketika saya sampaikan bahwa saya telah memiliki blogger, ATK justru mengatakan bahwa dia telah menerbitkan dua blogger dalam bentuk buku. (Agaknya itu yang pernah diperbincangkan Endah Perca beberapa hari lalu). Satu di antaranya milik Dewi yang sesungguhnya disiapkan untuk kado ulang tahun sang penulisnya. Aduh, romantisnya lelaki bernama Ang Tek Khun ini. Mudah-mudahan saya dan dia cocok bergaul lebih lanjut, sama-sama menyukai keromantisan, hahaha.

Mari kita intip satu persatu buku Khun:
The Touch of Friends, sampul bergambar lima tangkai bunga matahari dalam keranjang rotan, di sisi secangkir susu, dengan teks: Seikat ekspresi inspiratif untuk menyapa hati orang-orang terkasih
Terdiri dari 48 halaman berwarna, berisi ungkapan manis tentang peran dan perasaan sahabat yang diletakkan di antara ilustrasi foto dengan komposisi yang indah. Saya kutif salah satu ungkapan di dalamnya:
Sahabat adalah seseorang yang meneleponmu dari benua lain untuk menanyakan kabarmu karena di tengah malam buta itu ia tiba-tiba memikirkanmu...
(jika yang ditelepon merasa terganggu? Hahaha, pakai ungkapan yang lain):
Sahabat adalah seseorang yang selalu menyirami hatimu dengan air sejuk pegunungan melalui senyum lembut yang tak hilang meski ia berada dalam badai...

The Touch of Love, sampul bergambar dua keping hati yang terbuat kain berwarna pink dan peach, dengan teks: Seikat ungkapan inspiratif untuk menghangatkan hati orang-orang terkasih.
Dengan tebal dan format yang sama (10,5 x 14,5 cm), full colour, buku ini menyediakan berpuluh ungkapan cinta sepasang manusia yang berkasih mesra. Saya kutip satu ungkapan:
Cinta seorang kawan berkata, "Jika kamu membutuhkan sesuatu, aku siap untukmu." Cinta sejati berkata, "Kamu tak akan pernah membutuhkan apa pun lagi karena aku selalu ada untukmu."

The Wings of Love. Buku ini selain berbeda format juga lebih tebal, dengan 50 puisi karya Ang Tek Khun yang bicara sekitar cinta dn kekuatan kasih sayang.

Begitulah ketiga buku itu benar-benar cocok untuk kado ulang tahun atau pernikahan seorang sahabat. (bukan sahabat yang telah membuatmu patah hati karena merebut pacarmu untuk dinikahi, uhuk!)

Akhirnya saya berjanji, untuk kembali ngobrol hari Kamis. Mudah-mudahan bakal lebih seru, karena masing-masing menugasi diri sendiri dengan bahan obrolan...

Salam,
Kef

Tuesday, April 18, 2006

Kepada Para Tamu

Kepada Para Tamu

Kepada para sahabat yang telah berkunjung ke halaman rumah blogge saya, terima kasih saya sampaikan. Mohon maaf belum dapat saya balas, tegur sapa anda semua, karena (uhuk!) dari kantor saya tidak dapat melihat blogger saya sendiri (ini kebijakan departemen IT kami, yang tidak perlu dibahas di sini). Sementara saya termasuk orang yang lebih lama berada di kantor ketimbang di rumah pada hari kerja. Tiba di kantor pukul setengah delapan bahkan kadang lebih awal dari itu, dan pulang setelah lepas senja atau lebih dari itu.

Pokoknya saya gembira dan selalu berharap anda tak bosan-bosannya singgah. Karena kehadiran anda itu akan membuat saya terpacu untuk terus menambah isinya. Jadi saya juga berusaha terus membuka beranda selebar-lebarnya bagi siapa saja.

Melalui kesempatan ini saya ucapkan terima kasih kepada: Endah Perca Sulwesi, Tarlen Tobucil, Hernadi Tanzil, Citarayani, Hasan, Dewi , Anwar Rizal, Dinay, Yoyok, dan mungkin ada yang belum saya sebut namanya.

Baiklah, di bawah ini, saya cantumkan dua buah puisi (Rubaiyyat Duka Nias dan Arus Cinta Cisadane) yang dimuat pada tabloid PARLE yang beredar Senin, 17 April kemarin. Tentu tidak semua sempat membaca, kecuali yang kebetulan membeli tabloidnya.

Rubaiyyat Duka Nias

Lompati susunan batu itu sebelum terkubur batu
Sejauh ini tak ada tanda, kecuali duka yang datang lebih dulu

Belum sempat kering airmata yang lalu
Guncangan dasar bumi telah menerbitkan raksasa lindu

Gugurkan seluruh tempat berteduh
Tak ada waktu untuk mengaduh

Perasan daun nilam bertukar tangis sedu-sedan
Di sudut tanpa atap, kami menanti bantuan yang beringsut perlahan

Azab apakah ini? Azab siapakah ini?
Mengapa pemilik tubuh tak pernah mengerti pertanda ini?

Lompati waktu agar terlupa semerbak perkabungan
Menggali reruntuhan untuk melahirkan kembali perkampungan

Jakarta, 2005

Arus Cinta Cisadane

Adalah rembulan berkeramas hujan. Ia curahkan leleh emas
di atas Cisadane. Serupa lampu yang berenang dari hulu ke batang kuala
Tak lelah ikan bercumbu, di antara jarum air menembusi punggung sungai
Mungkin awan lupa sembunyikan mata bulan, yang memandang penuh cinta
kepada sepasang tawanan yang pulang kemalaman
"Aku harus menyeberang, melawan arus yang membentang," ujar sang pelarian.
"Bayiku menunggu dalam demam. Sementara kutanam benih dendam."

Subuh tertunda oleh kabut yang bersusun-susun. Muadzin di sudut surau
merasa matanya rabun. Ia terlambat membangunkan jemaah dari lelap mimpi ngungun
"Hujan semalam melindungi langkah maling dari penglihatan siskamling,"
Sang imam tertunduk: ragu pada petunjuk. Dua batang kelapa rebah
menjadi jembatan. Sepasang pencuri selamat dari kejaran

Pagi pecah oleh tangis bocah. Arus sungai seperti kekal membuncah
Matahari sumringah menatap pohon dan rumah, perahu dan sampah,
sayur-mayur tumpah-ruah
Sejumlah pertengkaran tak selesai, namun hidup menuntut damai
Sungai melukis sejarah dengan kuas kemarau dan warna musim hujan
Dusun dibangun dari keringat orang lurus dan para penjahat.
Cisadane mengaliri abad demi abad dengan cinta yang
tak setiap sukma sanggup membalasnya

Adalah senja yang berlindung pada sutra lembayung. Agar cahaya terakhir
tak sentuh kulit perawan di tepi bengawan. Sisa air mandi
menetes menjadi jejak cinta yang dikuntit setiap perjaka menjelang petang
Mereka beranak-pinak, lahir dan mangkat, bersetubuh dan selibat,
berdoa dan khianat, tak lepas dari aroma sungai
"Apakah penarik riba yang loba itu telah menjadi rangkaya?"
tanya seorang teraniaya.

Gemuruh pabrik menjadi cerita, buruh memekik berbuah canda.
Sepasang di antara mereka, berjanji jumpa di tepi kali.
Hendak menyerahkan buah dada, sebagai upeti
Hikayat pun mengalir seperti arus mendesir: Cisadane pernah
membasuh tubuh centeng, juga memandikan jenazah penunggu benteng.
Cisadane membesarkan bulir-bulir padi, namun sekali waktu
kerontang seperti wadi.

Bercermin kemilau air sungai: wajah lazuardi Tangerang.
Pesawat terbang seperti belalang terperangkap cuaca.
Cetak biru pencakar langit di benak kaum arsitek, memesan
tempat di tepi Cisadane.
"Selamat datang keluarga urban, tinggallah di sini sampai merata uban."
Air ketuban rasa kelapa puan. Tak tercatat jumlah liter air yang terminum,
amis sungai telah membentuk sumsum.

Adalah sungai yang rindu menggenangi kota, setelah sewindu
tak diajak bicara
"Kemari, Nak. Kenalkan ini arus cinta, yang telah membuat kita
melepaskan kasta. Kenalkan ini arus cinta, yang mengubah duka menjadi bahagia."
Di seribu pematang bercecabang, masih tertera jalan pulang
Di atas gelombang Cisadane, masih tersimpan pundi harapan

Jakarta, 2005

MENGAPA SAYA MENULIS NOVEL SELEMBUT LUMUT GUNUNG


MENGAPA SAYA MENULIS NOVEL
SELEMBUT LUMUT GUNUNG?

Para sahabat,
Menyambut apresiasi Endah Sulwesi di Perca Blogdrive mengenai novel remaja saya "Selembut Lumut Gunung", perlu kiranya saya menyampaikan juga sebuah paparan pendek tentang latar belakang novel itu.

Serangkai tulisan itu memang saya ungkapkan ketika novel tersebut re-launching di Cafe Enoki, bulan Maret lalu. Kawan-kawan milis yang sempaty hadir adalah: Ita Siregar, Noviana, Feby Indirani, Rita Achdris (yang kesemuanya beruntung mendapatkan doorprize), dan seorang sahabat: Iksaka Banu.

***

MENULIS bagi saya adalah kebutuhan batin. Dengan demikian, seandainya saya terlempar ke sebuah pulau terpencil yang tidak memiliki persediaan alat tulis, saya akan menulis di hamparan pasir pantainya. Meskipun aksara itu senantiasa kembali terhapus oleh lidah ombak. Dengan kata lain, menulis bagi saya tidak tergantung pada perangkatnya.

Oleh karena menulis merupakan kebutuhan batin, artinya ia menjadi cara untuk menyeimbangkan diri. Entah apa istilahnya, saya merasa 'tersiksa' jika tidak menulis. Setelah sehari-hari digempur pekerjaan, penat dengan urusan yang lebih erat pada teknik dan birokrasi prosedur manajemen, saya harus mendapat keseimbangan melalui sastra. Menulis adalah terapi otomatis untuk menyembuhkan kepenatan itu.
Dari dunia tulis-menulis (sastra) ini saya mendapatkan banyak manfaat, bahkan terasa luar biasa. Selain kepuasan batin, saya juga memiliki banyak teman di seluruh nusantara. Mereka membaca cerpen saya, sebaliknya saya menghargai apresiasi mereka. Dengan demikian, telah terjadi semacam ikatan batin, hubungan yang bermakna saling membutuhkan atau saling melengkapi. Jadi, mengapa saya menulis novel ini? Pertama: karena saya benar-benar ingin menulis, agar ikatan batin terhadap pembaca tetap terjalin.
Akhir-akhir ini, banyak pengarang usia muda yang menulis novel dengan tema-tema remaja untuk bacaan teman-teman sebaya. Tentu persoalan yang diangkat adalah kehidupan para remaja, kehidupan mereka sendiri yang begitu kaya akan warna. Jika di masa lalu pengarang adalah seseorang yang seolah 'sembunyi' di puncak menara gading, kini seorang pengarang boleh jadi adalah sahabat kita sendiri. Bisa teman sebangku, tetangga, atau seseorang yang ditemui dengan mudah di mal dan kafe. Menjamurnya penerbit telah memudahkan mereka, para pengarang belia, lahir dengan karya-karya dalam bentuk buku.
Minat baca yang tinggi seiring dengan minat berkarya yang juga tinggi, saling melengkapi dalam kebutuhan di antara para remaja itu. Tetapi, karena seleksi yang longgar, tidak semua bacaan itu sehat, dalam arti: cukup baik bagi pembacanya. Kadang-kadang kita menemukan bacaan remaja yang justru 'berbahaya'. Secara umum, novel-novel itu menceritakan tokoh-tokoh dengan gaya hidup konsumtif dan borjuis. Memang tidak sepenuhnya salah, tetapi mungkin menimbulkan kesan yang keliru terutama bagi pembaca dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Terasa bagi mereka sebagai impian yang jauh dari jangkauan.
Melihat kondisi ini, penerbit dan pengelola majalah Cinta tergugah untuk memenuhi kebutuhan bacaan sehat itu. Rencana menerbitkan novel remaja yang baik itu saya sambut gembira. Rupanya, bahkan, keempat novel yang terbit bersama itu mendapatkan label "Parental Approved". Itu menunjukkan tim redaksi pada penerbitan ini serius dengan niatnya itu, yakni memberikan bacaan sehat bagi para remaja.
Jadi, mengapa saya menulis novel ini? Kedua: karena saya ingin dapat menyumbangkan hasil karya yang mengandung nilai-nilai positif. Meskipun ini bukan yang terbaik, tetapi mudah-mudahan memberikan pencerahan.
Ketiga: tidak lain ingin memberi tahu kepada para remaja masa kini, bahwa di masa lalu ada juga trend novel atau cerpen remaja (yang sekarang disebut sebagai teenlit) dengan gaya yang berbeda.
Nah, selamat membaca buku "Selembut Lumut Gunung".

***

Saturday, April 15, 2006

BINCANG PAGI DENGAN "PARLE"

Salam Sastra, Salam Sepanjang Braga.

Sebelum tiba pada cerita perbincangan dengan PARLE, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Adhika Dirgantara. Anak muda yang grapyak dan penuh perhatian ini telah memprovokasi saya untuk membuat blogger. Maka, adrakadabra: kini telah terhampar halaman tak tepermanai untuk menumpahkan seluruh isi hati dan pikiran Kurnia Effendi.

Terima kasih juga kepada Endah Sulwesi, yang telah memberi nomor hp Dhika, yang sekalipun beberapa kali bersua dalam diskusi sastra dan melalui milis Klub Sastra Bentang, saya tak punya catatan data ponselnya. Saya harus menyambut usul positif Dhika melalui email, bahwa kesaksian saya terhadap peristiwa sastra yang saya hadiri itu ditulis dalam blogger.

Nah, itulah dia. Mari kita mulai:



Sabtu pagi yang cerah, 15 april 2006 saya meluncur ke Cempaka Putih. Ada seorang sahabat yang kupanggil Mas Tony, anggota milis LeoKristi, yang beberapa hari sebelumnya mengundang saya untuk ngobrol di kantornya. Hari Sabtu tentu tak mirip dengan jam kantor, jadi saya hadir ke rumah-kantor itu dengan busana santai saja.

Di ruang tamu yang lengang saya menunggunya turun dari kamar di lantai dua. Ini adalah hari pertama saya bertemu dengannya, meskipun telah bercakap-cakap panjang sebelumnya melalui telepon. Begitulah, saya mendapati sosok lelaki yang matang (oleh pengalaman dan asam-garam kehidupan jurnalistik), yang menyambut saya dengan senyum lebar.

Dia dua tahun lebih muda dari saya, namun bertemu dengannya, seolah saya lebih culun. Tapi tak apalah, saya kadung ingin menggali ilmu dan wawasannya. Syukur-syukur ada chemistry yang terpadu, sehingga persahabatan yang terjalin tak hanya terbatas pada teknis dan permukaan, namun lebih kepada keinginan saling mengisi hati nurani.

Rupanya, Mas Tony (biarlah saya memanggilnya seperti itu), bermaksud pamer tabloid yang dipimpinnya: PARLE. Juga, tentu saja, ingin memberi saya nomor bukti atas pemuatan 2 puisi saya di Parle terbaru, halaman 18. Ah, senangnya. Walaupun saya sudah menulis sejak 28 tahun yang lalu, selalu ada kebahagiaan setiap mendapatkan puisi, prosa, esai, atau apapun yang saya tulis dalam sebuah halaman media massa.

Ingin tahu puisi apa yang tercantum di sana?
"Arus Cinta Cisadane" dan "Rubaiyyat Duka Nias". Untuk puisi kedua, versi panjangnya pernah saya bacakan (atas permintaan Akmal Nasery Basral) di Selasar Omah, saat acara peluncuran buku puisi Lintang Sugianto yang bertajuk "Kusampaikan" pada tanggal 28 Maret 2006. Pada tanggal yang sama, di Nias, sejak lepas Isya hingga tengah malam diselenggarakan upacara peringatan satu tahun Gempa Nias yang dahsyat, menyusul bencana tsunami 3 bulan sebelumnya.

PARLE terbaru akan beredar Senin, 17 April 2006. Mudah-mudahan gampang dicari di seantero Jakarta (dan tentu Bogor, Tangerang, Surabaya, Cirebon, dan Denpasar).

Omong-omong dengan tokoh low profile yang bernama lengkap R. Widjojo Hartono (bagi para wartawan, tentu nama ini tak asing) yang pernah menjadi pejabat di Jawa Pos, ini sangat menenangkan. Sikapnya yang terbuka, ekstrovert, tentu atas pengaruh pencerahan dari Ustadz Yusuf Mansur (Wisata Hati). Insya Allah, suatu hari saya juga akan mencari waktu agar dapat dipertemukan dalam suasana yang lebih santai dengan Ustadz Jalan Sedekah ini. tak hanya mendengarkan ceramahnya di masjid kantor, misalnya.

Untuk Mas Tony, tentu saya bingkiskan buku (seperti juga kepada Adhika Dirgantara, pada sebuah sore di Arion Plaza). Sekilas dia membaca langsung memberikan komentar yang membuat saya tersipu luar-dalam. Wah, bahasanya bagus, katanya. Dan selalu saya sampaikan, bahwa sebagai penulis saya hanya memiliki alat bahasa untuk dapat 'menyihir' para pembaca. Tentu dalam kalimat yang berbeda dan berpanjang-panjang saya sampaikan argumentasi saya itu.

Ketika Mas Tony menganggap saya telah memetik banyak materi dari hasil royalti buku, dengan sedikit murung (namun tetap optimis) saya katakan bahwa itu tidak benar. Karena di Indonesia, masalah royalti hasil tulisan belum menjadi impian yang patut diandalkan. Hanya satu-dua pengarang yang berhasil karena pas antara yang ditulis dengan harapan atau selera pembaca. Teenlit saat ini mungkin berhasil, tapi ternyata juga tidak untuk semua judul atau semua penulis. Ya... jadi menulis, kembali lagi seperti konsep semula: sebagai hobi, penyeimbang batin, dan sebuah jembatan untuk bertemu dengan para sahabat melalui jalur seni dan intelektual. Semoga semua yang saya tulis akan mencerahkan pembaca, sehingga saya memperoleh kepuasan dua kali.

Sekitar 2,5 jam kami berbincang, dengan suguhan kopi yang sedap, akhirnya saya pamit dengan segengam harapan. Saya memang harus pamit karena berikutnya akan bertemu dengan M. Iksaka Banu untuk bicara hal yang lebih mendebarkan: novel Raden Saleh.

Salam,
Kurnia Effendi

Friday, April 14, 2006

Hello world!

Para sahabat di seluruh dunia, akhirnya saya tinggal landas dari rumah pribadi menuju rumah dunia. Setidaknya tambah satu penghuni ruang maya untuk turut serta meramaikan pembicaraan -- terutama sastra -- dengan anda semua.