Saturday, May 24, 2008

Syukuran Awal Film Laskar Pelangi

“Ini Tribute dari Seorang Fans”

Senin malam, 19 Mei 2008, Miles Production dan Mizan Sinema menyelenggarakan syukuran film Laskar Pelangi (LP). Sudah selesai produksi? Bukan. Ini selamatan awal rangkaian shooting yang akan dilakukan di Belitong, lokasi sesungguhnya, sesuai dengan latar tempat berlangsungnya kisah dalam novel Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata.

Dirayakan di MP Book Point, Miles Production (Mira Lesmana) tidak hanya menghadirkan Riri Riza sebagai sutradara dan sang penulis, Andrea Hirata. Tampak sejumlah pendukung  film, mulai dari Salman Aristo sebagai penulis skenario, Cut Mini sebagai Ibu Muslimah, Slamet Rahardjo, Mathias Muchus, Ikranagara, dan Alex Komang.

“Jika boleh jujur, skenario film ini lebih bagus dari novelnya,” puji Andrea Hirata. “Saya sudah tak sabar menunggu film ini. Mungkin saya akan pergi jauh ke Himalaya dan kembali lagi setelah film ini selesai.”

Bagi Salman Aristo, penulis skrip, yang telah melakukan revisi sampai 11 kali, menganggap karyanya kali ini merupakan tribute bagi novel itu. “Saya menyukai novel ini jauh sebelum direncanakan menjadi film. Saya sering berdiskusi dengan Riri Riza, bahwa cerita  Laskar Pelangi hebat. Ketika Mira Lesmana menawarkan kepada saya untuk menulis skenarionya, jawaban saya adalah: kapan? Skrip ini merupakan karya seorang fans.”

Masing-masing pemeran yang akan terlibat dalam proses pembuatan film LP memiliki kesan yang berbeda. Bagi Mathias Muchus, ia mengalami proses ketertarikan yang berjenjang. Mula-mula, di took buku, ia hanya ingin membaca komentar di belakangnya, lalu beranjak ke synopsis, membuka halaman pertama, ternyata perhatiannya tak bisa lepas lagi. Ini sebuah novel luar biasa yang ditulis oleh orang Indonesia.”

Ketika Ikranagara ditelepon oleh Riri Riza, awalnya mengira minta dihubungkan dengan putranya yang satu kelas dan satu angkatan dengan sutradara itu. Namun ternyata, ia ditawari main film. Baiklah, mari kita bicara.” Demikian jawaban Ikra dan ia membaca skenario yang kemudian disetujuinya.

“Inilah momentum kembalinya saya ke dunia film,” ujar Ikra. “Dalam cerita kali ini, peran saya akan berbeda dengan sebelumnya. Ceritanya bagus.” Bahkan Ikranagara menyebut-nyebut istilah unhistory, mengaitkan novel Andrea dengan filosofi dan nilai-nilai pendidikan.

Menanggapi keinginan Andrea pergi jauh selama menunggu film ini selesai, Slamet Rahardjo menghimbau sebaliknya. “Andrea jangan pergi jauh-jauh. Riri Riza sebagai sutradara akan membutuhkan teman diskusi dalam menggarap film ini. Seperti saya dengan Putu Wijaya, sampai berdebat keras untuk mencapai kualitas. Sayangnya saya terlalu menghargai persahabatan, sehingga saya lebih banyak mengikuti skrip Putu.”

Ketika tiba giliran Cut Mini Theo bicara, tak sanggup ditahannya air mata. Ia mengaku merinding ketika membayangkan akan menjadi seorang ibu guru di SD Muhammadiyah Belitong. Dengan suara terbata-bata oleh tangis haru, ia mengatakan: “Mungkin ada Bu Muslimah masuk ke dalam diri saya. Saya sangat berterima kasih telah menjadi bagian dalam film hebat ini. Kalau Andrea ingin pergi jauh, saya justru tak sabar ingin segera bertemu dengan anak-anak saya, murid-murid saya yang menungu di Belitong.”

Tepuk tangan untuk Cut Mini yang tak sanggup menutup rasa harunya. Memang benar, pemeran ke-10 anggota Laskar Pelangi adalah anak-anak asli Belitong. Malam itu, melalui contoh pengambilan gambar, diperkenalkan Laskar Pelangi murid Ibu Muslimah. Kita tunggu dalam beberapa bulan ke depan, film Laskar Pelangi akan menghiasi bioskop di seluruh tanah air.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

Thursday, May 22, 2008

Kebangkitan bagi Leo Kristi

Ternyata, 100 tahun Kebangkitan Nasional sudah beberapa tahun lalu terpikir oleh Leo Kristi. Penyanyi troubadour Indonesia yang bernama lengkap Leo Imam Soekarno, memang tak benar-benar surut hingga hari ini. Bahkan, berkat para penggemarnya yang aktif menggalang komunikasi melalui mailing list LeoKristi@yahoogroups.com, sosok dan nama Leo Kristi seperti bangkit kembali. Ia serupa magma, yang terus bergolak di perut gunung, terus berkarya  meskipun tak serta-merta dipublikasikan dalam album rekaman.

Apakah momentum seabad kebangkitan Indonesia ini menjadi titik balik kehadirannya di tengah-tengah penggemar musik balada? Ini sebuah pertanyaan yang juga bergelora dalam benak pencinta aliran musiknya yang khas. Mungkin kita ingat awal kemunculan ke tengah publik: melalui rekamanNyanyian Fajar” yang diperkenalkan secara luas oleh Remy Sylado saat memimpin majalah Aktuil di Bandung, 1976.

Memang sudah cukup lampau. Oleh karena itu, generasi muda sekarang sungguh sulit mengingat siapa Leo Kristi, kecuali jikameskipun langkaorang tuanya pernah menjadi penggemar Konser Rakyat yang dikibarkannya dari panggung ke panggung. Terutama setiap peringatan kemerdekaan RI, karena sebagian besar lagunya mengusung semangat dan tema nasionalisme. Barangkali, Leo Kristi adalah satu-satunya musisi Indonesia yang beberapa kali diundang menyanyi di istana Negara.

Ketika diajak ngobrol melalui telepon Jakarta-Surabaya, dengan gaya khas berpikir panjang setiap kali mau bicara, Leo Kristi menyampaikan bahwa pada seabad kebangkitan nasional ini, perlu ditandai dengan keseimbangan baru.

Sejumlah kalimatnya memang tidak langsung dapat dicerna. Seperti juga lirik lagunya yang multi tafsir, mendalam, dan memiliki “gelombang panjang” (meminjam istilahnya untuk mengatakan terus dikenang).

“Setelah lewat dua presiden,” demikian ungkapnya. “Keadaan negeri kita semakin parah. Seharusnya dengan datangnya gelombang globalisasi yang membuat perubahan begitu cepat, kita harus memperkuat tiang-tiang bangsa. Dasar yang paling besar kekuatannya adalah rakyat jelata. Lihatlah bagaimana para petani kita, nelayan kita, yang seolah sudah tidak kita pikirkan.”

Salah satu lagunya yang berjudul “Salam dari Desa” (album Nyanyian Tanah Merdeka, 1978), mengisyaratkan tentang itu. “Kita ini awalnya orang desa. Bercerminlah ke sana. Jika kita ingin bangkit kembali, tentu harus seimbang dan sehat antara jiwa dan raga. Kita kurang antisipasi, padahal perubahan itu sudah tampak sejak tahun 70-an.”

Mungkin memang sensitif pandangan seorang seniman. Mata batin dan pikirannya sanggup menerawang jauh ke depan. Leo Kristi, yang lahir 8 Agustus 1949,  tidak memikirkan dirinya sendiri. Ketika diingatkan untuk menyembuhkan kerinduan para penggemarnya dengan merilis album baru pada tahun kebangkitan ini, ia justru mengesampingkan “hal-hal kecil” itu.

Iku gak ono urasane karo kondisi bangsa iki,” ujarnya dengan bahasa Jawa Timuran yang kental. “Mari kiita berikan kontribusi pemikiran untuk kembali berpijak di bumi. Biru Emas Bintang Tani adalah kesungguhan kasih yang mungkin mengalir dari masa ke masa. Anggun biru emas bara unggun itu mencerminkan martabat. Sementara hitam belanga itu menunjukkan rakyat jelata. Sekarang sedang dicari kesungguhan cinta kepada rakyat. Tentu saja dengan keharmonisan dan keterpaduan. Itu yang disebut sebagai keseimbangan.”

Lalu, seperti ketika pentas di Wapres Bulungan dalam acaraNyanyikan Cinta di Bulan Cinta” (17 Februari 2008), Leo kembali menyampaikan bahwa sudah saatnya merah dan putih memiliki posisi yang seimbang. Bukan lagi mendahulukan merah. Barangkali maksudnya: putih menjadi jiwa bagi merah. Ah, kita tak tahu persis.

Tanggal 20 Mei 2008 nanti, Leo Kristi bersama penggemarnya yang menyebut diri sebagai LKers akan tampil membawakan 20 lagu di panggung Teater Kecil (Teater Studio) Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “Saya mau, pertunjukan ini gratis!”

Ini pasti berita gembira untuk saling melepas rasa kangen. Bagi kaum muda yang tak mengalami kejayaan Konser Rakyat Leo Kristi, kini saatnya menikmati seabad kebangkitan Indonesia bersama pelantun lagu-lagu bertema kepahlawanan dan semangat cinta kemanusiaan yang universal.

(Kurnia Effendi)

Thursday, May 15, 2008

Berbincang dengan Arya Gunawan

Paradoks Total Kebangkitan

Secara jujur, makna seabad kebangkitan nasional yang jatuh tahun ini tidak cukup menggembirakan bagi sejumlah besar kalangan. Seorang sahabat yang mencintai sastra dan film, dan terlibat dengan banyak kegiatan sosial budaya secara internasional, menjawab lugas setiap pertanyaan saya mengenai makna kebangkitan bagi bangsa ini. Tentu saja pendangannya merupakan pendapat pribadi, namun demikian itu merupakan proyeksi dari segala kejadian yang menjadi perhatiannya. Namanya Arya Gunawan, kini aktif menjadi pengamat media.

Ketika secara to the point saya tanyakan tanggapan dia terhadap nilai-nilai yang dapat dikaitkan dengan upaya memperingati seratus tahun kebangkitan nasional, jawabnya cukup telak.Kebangkitan untuk Indonesia sungguh merupakan paradoks total!”

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan paradoks? Bukan menyimpang atau berbeda dengan harapan, melainkan bertolak belakang.

”Coba bayangkan!” ujarnya berapi-api. ”Negara ini sudah sangat terpuruk. Baru saja saya membaca berita pagi ini, seorang tukang mi ayam beralih menjadi pemulung karena tak sanggup lagi mempertahankan usahanya. Ini dari sisi ekonomi. Masalah pendidikan juga kian parah. Ada murid yang meninggal pada hari terakhir UAS (Ujian Akhir Sekolah – Red), mungkin karena stress tinggi. Saya kira hal ini disadari oleh pemerintah, tapi tetap saja akan menaikkan harga BBM. Negara ini seperti tidak memiliki visi lagi.”

Momentum penting pada Mei 2008 ini seolah tak ada artinya karena tidak akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat luas, kecuali mungkin, berupa jargon-jargon belaka. Saya mengenal Arya Gunawan sebagai seorang yang emosional, dengan kata lain sangat sensitif dalam merespon kondisi masyarakat, sejak menjadi wartawan di Kompas berpuluh tahun lalu.

Penilaiannya terhadap kinerja pemerintah ini bukan berdasarkan sentimen pribadi tetapi karena kenyataan yang dilihatnya sehari-hari. Bagaimana peran DPR sebagai pihak yang mengontrol jalannya pemerintahan? Arya menganggap DPR sekarang sudah tak dapat diandalkan, justru masalah banyak timbul dari lembaga wakil rakyat akhir-akhir ini.

”Bagaimana dengan lembaga judikatif yang seharusnya menjadi penegak hukum?”

”Itu pun parah. Kasus Mahkamah Agung tentang biaya perkara yang tidak transparan, mencemarkan lembaga peradilan. Kasus penyimpangan fungsi hutan lindung, dan lain-lain. Rasanya banyak sekali problem di negara kita, tak kunjung selesai. Semua ini akhirnya tergantung dari kharisma pemimpin.”

”Maksudnya?”

”Terlepas dari sisi buruknya, di masa Soeharto tampaknya lebih tertib. Pemimpin sangat dihargai, kebijakannya dapat dirasakan sebagai kesejahteraan bagi orang banyak...”

”Apakah saat ini diperlukan tangan besi atau sistem demokrasi merupakan kesalahan?”

”Rasanya tak harus dengan tangan besi,” jawab Arya Gunawan. ”Kembali lagi pada kharisma seorang pemimpin...”

”Bagaimana mungkin kharisma dapat terbentuk, katakanlah pada 100 hari menjadi Presiden, sebagaimana yang sering dipakai sebagai ukuran oleh Amien Rais? Sementara kondisi bangsa yang diestafetkan sudah memburuk? Soeharto barangkali berbeda karena ia memanfaatkan sebuah momentum.”

”Menurut pendapat saya, Soeharto menjadi pemimpin karena ada faktor lucky. Saat itu tidak seorang pun, termasuk Abdul Harris Nasution yang berani mengambil risiko. Tentu saja kharisma itu dibentuk dengan cara menabung. SBY saya kira sudah punya modal cukup besar. Sekitar 60% rakyat memilihnya sebagai figur pemimpin yang diandalkan, track record-nya bagus, sejak awal bicaranya bisa dipercaya, parasnya menunjukkan kewibawaan, tapi kemudian... ya beginilah yang kita rasakan.”

”Jangan-jangan karena salah memilih wakil, sehingga yang muncul justru disharmony?” Saya mengejarnya.

”Sistem yang berbeda dengan pemilu masa lalu memang menyebabkan presiden tidak bebas memilih wakilnya. Saat itu mungkin ada juga perhitungan untuk memenangkan pemilu, seorang calon wakil dari partai terbesar akan mendongkrak suara. Tetapi yang perlu dijaga adalah ketegasan dan perhatian terhadap rakyat.”

”Jadi apa yang harus kita lakukan, terlepas dari momentum kebangkitan nasional?”

”Revolusi!” Arya Gunawan tertawa. ”Bukan, bukan itu. Saya pribadi sebagai seorang yang masih aktif menulis, ya terus ingin menyuarakan keprihatinan ini. Bagi aktivis yang bekerja di lapangan, lakukan terus gerakan untuk mengingatkan pemerintah. Dari berbagai sektor, sebaiknya jangan berhenti berjuang. Kontribusi berupa kritik dan solusi mudah-mudahan akan membuat pemerintah berpikir sebelum menjalankan kebijakan.”

”Bagaimana dengan bidang kebudayaan, apakah lebih baik?”

”Sebenarnya semua bidang mengalami hal yang sama. Tetapi setidaknya kesenian masih dapat kita harapkan. Sastra, film, dan musik, masih terus dikerjakan dan berkembang. Secara kuantitas terutama. Pada bidang film ada perkembangan produksi yang menggembirakan, tetapi sayangnya baik tema maupun genre tidak bergerak. Jadi antara jumlah dan mutu belum seimbang.”

”Apa pesan Anda untuk generasi muda sekarang?”

”Saya kebetulan sekarang mengajar mata kuliah jurnalistik di UI. Saya melihat semangat mahasiswa sekarang tidak seperti dulu. Mereka cenderung pragmatis, ingin serba instan, etos perjuangannya kurang. Saya selalu berpesan kepada mereka untuk belajar banyak hal dan melakukan eksplorasi intelektual. Sementara itulah yang bisa saya lakukan.”

Lalu saya merenung. Kharisma seorang pemimpin... bagaimana citra itu bisa kembali diraih, dan tentu saja upaya untuk membereskan moral anggota dewan dan penegak hukum harus didahulukan juga. Jadi, apakah kita belum pantas ”bangkit” kembali?

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

Tuesday, May 13, 2008

Momentum Seabad Kebangkitan Nasional

Seratus tahun Kebangkitan Nasional (1908-2008) seharusnya menjadi gerakan bagi semua elemen bangsa. Kadang-kadang, sebagai manusia Indonesia, perlu retorika pemicu untuk menyemangati diri sendiri agar lekas bangkit dari keterpurukan dalam banyak hal. Sudah terlampau berat beban yang menindih bangsa kita, dari sisi politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, bahkan mungkin kemerdekaan.

Tentu saja, tidak seluruh yang direncanakan menjadi kenyataan, atau sebaliknya, yang tidak kita rancang justru terjadi, seolah sebuah kebetulan atau hadiah (given) yang kemudian bergulung membentuk bola salju. Dalam salah satu perbincangan, ketika M. Fadjroel Rachman berseloroh terhadap Budiman Sudjatmiko mengenai kepindahannya dari Partai Rakyat Merdeka (PRD) ke tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI), ada pertanyaan menggelitik: “Mau apa masuk ke sebuah organisasi tempat para orang tua tidak melakukan regenerasi?” Tentu yang dimaksud, Megawati saja masih ingin menjadi presidan lagi, kapan giliran kaum muda memegang posisi pemimpin?

Budiman hanya tertawa dan mengatakan bahwa ketika gerakan Boedi Oetomo dimulai, saat itu justru tidak terpikir akan menjadi semacam trigger yang bermuara pada persiapan kemerdekaan. Namun demikian, pada akhirnya kita menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak dapat kita nilai dari niatnya. Seumpama gunung es, “niat” yang tak terlihat begitu besarnya terendam dalam lautan, tinggal sedikit ujungnya yang muncul di permukaan. Dalam salah satu pelatihan Rhenald Kazali, sekali waktu, unjuk kerja lebih penting ketimbang cita-cita besar yang hanya tersimpan dalam pikiran. Meskipun, kapal semegah Titanic di awal abad 20 tenggelam olehpandangan” yang keliru tentang gunung es.

Seberapa besar keinginan bangsa Indonesia untuk bebas dari belenggu penjajah, tentu terhimpun dari yang kecil dan sedikit. Tiga ratus lima puluh tahun dalam usia manusia dapat mencakup 3 sampai lima generasi. Pasti banyak di antara rakyat Indonesia yang lahir dan mati sebagai terjajah, namun kita tak dapat menganggapnya sebagai kemalangan. Barangkali lebih malang rakyat jelata kaum grassroot yang tak pernah mengenyam kebahagiaan justru selama Indonsesia merdeka.

Sepanjang pengalaman setiap pergerakan, di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan yang menjadi alas pijakannya. Kaum intelektuil semacam Mohamad Yamin dan Soekarno (di antara yang banyak) telah sanggup merumuskan strategi, prosedur administrasi kenegaraan, dan membakar semangat orang lain melalui bahasa retorika, untuk bersama-sama mencapai harapan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan Belanda sebagai penjajah, masih dapat dipetik manfaatnya ketika berdiri pada sisi keilmuan. Sekolah Teknik (yang menjadi cikal bakal Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung) tidak kecil peranannya dalam membentuk sosok dan pribadi anak bangsa berpendidikan.

Dua puluh tahunan sebelum kemerdekaan masih banyak hambatan pergerakan (walau sudah dirintis oleh Boedi Oetomo, disusul Muhammadiyah yang berakar pada agama) karena masing-masing wilayah di Nusantara (yang pernah dipersatukan Majapahit dan Sriwijaya), seolah memiliki kepentingan masing-masing untuk menjadi (suku) bangsa yang bebas. Kita tentu ingat dengan organisasi kedaerahan semacam Jong Java, Jong Sunda, Jong Ambon, dan seterusnya.

Politik devide et impera yang berhasil dari pihak penjajah (Belanda) terus meninggalkan jejak. Ironinya, siasat dan strategi yang dulu telah memecah-belah bangsa, kini sering digunakan oleh kaum politisi Indonesia. Wajar jika sebuah partai terbelah oleh perbedaan kecil yang terasa besar, kemudian beranak-pinak menjadi partai-partai turunannya. Semua ini sesungguhnya justru membingungkan rakyat yang hendak menitipkan aspirasi mereka.

Dari sisi budaya, Leon Agusta, seorang penyair senior yang tahun ini hendak merayakan ulang tahunnya ke-70, setuju dengan ungkapan Sutan Takdir Alisyahbana (STA). Ia merasa terlambat mengenal pujangga itu, di tahun 1963, padahal pemikiran STA sangat jernih memandang masa depan bangsa. Menurut STA, sastra adalah buah dari bahasa. Dengan demikian bahasa adalah sebuah pohon yang seharusnya tumbuh di tanah budaya.

Leon Agusta lebih lanjut mengatakan bahwa sudah saatnya semua yang merosot itu dikembalikan pada kebenaran. Sudah saatnya antropologi kebudayaan dipelajari lebih mendalam, terutama dalam institusi  resmi yang mengajari mahasiswa tahu persis setiap hal pada posisinya. Dikaitkan dengan seratus tahun kebangkitan nasional ini, menurut Leon Agusta: “Jika kita ingin berhasil menggapai masa depan, kita harus jujur di hadapan sejarah. Sebab jika kita masih berdusta, akan lahir banyak dusta berikutnya untuk menutupi dusta-dusta sebelumnya. Dan selamanya kita taka akan meraih kebenaran masa depan.”

Pada kesempatan lain, Garin Nugroho pernah menyampaikan bahwa untuk menjadi orang hebat dalam bidangnya, kuasailah kepandaian lokalitas. Artinya, seorang intelektuil Jawa setidaknya menguasai kebudayaan dan tradisi kejawaannya. Setelah itu, menurutnya, bikinlah jarak dengan cara memasuki pengetahuan global, misalnya belajar di luar negeri (dapat juga memetiknya dari pelbagai buku). Ketika dia kembali sebagai putra daerah, atau kembali sebagai manusia Indonesia, kemampuan untuk mengatasi masalah lebih terasah. Bahkan karya-karyanya akan mewujudkan nilai yang lebih universal meski berakar pada budaya ibunya.

Mari kita dengar pendapat kaum yang lebih muda. Ine Febriyanti, artis yang cukup cerdas, antara lain menjadi pemeran utama dalam film psikologis Beth dan Novel Tanpa Huruf R, merasa sedikit apatis menghadapi kebangkitan ”yang kedua” ini. ”Bangsa kita sudah sangat tipis rasa nasionalismenya. Pengaruh luar, terutama Barat, begitu besar merasuk ke setiap sendi kehidupan, sehingga kita lupa pada jati diri bangsa. Makanya saya salut dengan Deddy Mizwar, melalui karya filmnya masih berusaha mengingatkan kita pada identitas Indonesia.”

Ine Febrianti sebenarnya memiliki ibu blasteran, tetapi lantaran lama tinggal dan bersosialisasi dengan masyarakat Jawa (di Magelang), merasa dirinya berakar di sana. ”Dari hal-hal kecil, saya mengajari anak untuk mengenal bahasa Ibu, bahasa Jawa. Juga memberi tahu secara pelan-pelan tentang pahlawan, misalnya lewat gambar di mata uang kita. Waktu Pak Harto meninggal juga saya ceritakan tentang siapa dia.” Demikian upaya Ine, ibu dua anak yang sebentar lagi memiliki buah hati ketiga. Ia sangat setuju dengan anjuran Bung Karno agar kita terus menjaga jati diri bangsa, karena itu modal kita untuk berdiri di depan bangsa lain.

Bangkit kembali atau tidak, biarlah roda perjalanan bangsa tetap berputar. Setiap orang akan berbeda pendapat. Namun setiap orang juga wajib berbuat untuk kebaikan negaranya. (Kurnia Effendi)     

 

Monday, May 12, 2008

Harta Karun "Paus Sastra"

Sudah berpuluh kali (atau beratus kali? Ah tentu belum sampai hitungan itu) saya masuk ke Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya no. 73 Jakarta Pusat. Sejak kapan? Tak ingat persis. Tapi tentu sebelum terpencil seperti saat ini. Sebelum jalan masuk ke halaman gedungnya tinggal serupa setapak yang kadang-kadang membuat orang tersesat. Seorang wartawan, mengaku bingung dan sempat mencari-cari PDS HB Jassin ketika hendak menghadiri acara diskusi. “Dulu belum ada pagar seng yang memanjang di sisi jalan masuk,” katanya.

Wah, itu tentu sangat dulu. Pembangunan Teater Studio atau Teater Kecil yang megah sudah usai sekitar dua-tiga tahun yang lalu, sementara bangunan gedung lainnya terhenti. Sebelumnya masih ada serentang waktu, ketika pemandangan di depan ruang baca itu berupa empang besar dengan air kehijauan…

Mari kita tilik, siapa pendiri dan penghimpun buku-buku (sastra) di dalamnya? Maka tersebutlah nama Hans Bague Jassin. Sosok yang dijuluki Paus Sastra (pertama kali oleh Gajus Siagian) kini sudah tiada lagi. Lahir di Gorontalo  31 Juli 1917 dan wafat di Jakarta 11 Maret 2000 karea stroke yang panjang.

Pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” memang berlaku bagi Jassin. Ayahnya seorang kerani yang kutubuku. Anak kedua dari enam bersaudara itu gemar membaca sejak SD, karena gurunya pandai menggelorakan minat baca pada murid-muridnya. Semasa menempuh pendidikan HBS (setingkat SMP) di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, Jassin sudah mulai menulis kritik sastra, bahkan dimuat di beberapa majalah.

Semuda itu Jassin telah menjadi seorang cendekia. Bakatnya memukau Sutan Takdir Alisjahbana, sehingga ditawarkan kepadanya pekerjaan di penerbitan Belanda, tahun 1940. Salah seorang gurunya, Armijn Pane, telah membuatnya pintar dan benar dalam menulis resensi buku. Karier pun terbuka baginya. Pelbagai majalah sastra di zaman itu, mendapat sentuhan tangan dan pikirannya sebagai redaktur; antara lain Pandji Poestaka, Pantja Radja, Peodjangga Baroe, Indonesia Merdeka, Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra, Medan Ilmu Pengetahuan, sampai yang terakhir: Horison.

Jassin pernah memiliki posisi unik di Universitas Indonesia. Dalam satu hari yang sama, pada jam yang berbeda, ia bisa duduk sebagai mahasiswa (untuk mata kuliah Jawa Kuno) dan giliran berada di depan kelas sebagai dosen mata kuliah Sastra Modern. Demikianlah, ia memang seorang doktor sastra. Gelar honoris causa diterima 18 tahun setelah ia menjadi sarjana, dari Universitas Indonesia.

Ketekunannya membaca, meneliti, dan menulis kritik sastra, membuat pendapatnya ditunggu-tunggu banyak sastrawan di masa itu. Para penulis karya sastra terbagi menjadi “kalangan dalam” (bagi yang telah disebutnya sebagai  pujangga) dan “kalangan luar” (bagi pengarang yang masih belum dibicarakan olehnya). Penyair Chairil Anwar “dibaptis” oleh Jassin sebagai pelopor angkatan 45. Sementara Motinggo Boesje dan Marga T. yang sudah produktif menghasilkan novel harus bersabar sampai dibahas oleh pena bertuah H.B. Jassin.

Ketika saya (baru-baru ini) memberikan semacam kuliah umum tentang proses kreatif kepada 120 mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten di PDS HB Jassin, sempat saya dengar awal kisah pendirian pusat dokumentasi itu, dari Endo Senggono. Saat ini Endo adalah pejabat yang ditugasi untuk mengelola dan merawat PDS HB Jassin, bersama sejumlah orang termasuk Titis Basino.

Menurut tuan rumah, cikal-bakal perpustakaan itu dari koleksi pribadi Pak Jassin. Ketika ia menjadi kepala bidang perpustakaan pada Lembaga Bahasa (sampai kini masih berkantor di Jl. Daksinapati Rawamangun, dengan nama Pusat Bahasa), Jassin mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Jakarta untuk mendirikan pusat dokumentasi sastra. Tempat itu telah “menyelamatkan” koleksi besar buku-buku, kliping, karya, dan catatan pribadi milik Pak Jassin.

Dua peristiwa muram yang membuat HB Jassin tergelincir adalah: Pertama, ketika menandatangani Manifes Keboedajaan, sehingga dianggap anti-Soekarno, dan membuatnya lengser dari Lembaga Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sekaligus terlepas dari jabatan dosen di UI. Kedua, ketika “Langit Makin Mendung” karya Ki Pandji Kusmin yang dianggap menghina agama dimuat dalam majalah sastra Horison asuhannya (1971). Pengadilan meminta dia membuka jati diri pengarangnya namun ditolak, sehingga Jassin sempat singgah sebagai narapidana selama 1 tahun.

Sepanjang hidupnya, Jassin memiliki 3 istri. Bersama Tientje van Buren berakhir dengan perceraian, bersama Arsiti dianugerahi dua anak dan meninggal tahun 1962, bersama Yuliko Willem yang terpaut usia 26 tahun juga memberinya dua anak. Keempat anaknya itu: Hannibal, Matsinah, Yulius Firdaus, dan Helena Magdalena.

Ada sekitar 30 ribu buku yang masih tersimpan di PDS HB Jassin, berikut kliping yang dikumpulkan oleh “Wali Penjaga Sastra Indonesia” (sebutan yang diberikan A.A. Teeuw, ahli sastra). Pertanyaan di benak saya sama dengan yang terlontar dari mahasiswa Untirta  sore itu: “Bagaimana cara merawat dokumentasi itu? Dan apakah masih cukup representatif dikunjungi, sementara melalui website atau googling kita dapat mencari referensi sastra dengan lebih mudah dan cepat?”

Jawaban Endo Senggono sangat masuk akal. “Untuk karya sastra Indonesia modern memang mudah dicari melalui internet, tetapi karya-karya sezaman Balai Poestaka, di sinilah tempatnya. Kalau soal merawat memang menjadi problem kita bersama. Masih dengan cara tradisional, dengan semprotan anti hama dan kutu yang suka memakan kertas. Ruangannya harus dalam keadaan sejuk oleh AC.”

Barangkali, kehadiran Hans Bague Jassin menjadi berkah bagi para sastrawan generasi berikutnya. Ruang baca yang juga kerap menjadi arena diskusi dan peluncuran buku di lantai dua sanggup menampung sekitar 150 orang. Sudah sejak lama, dindingnya memasang sejumlah potret para sastrawan, mulai dari Chairil Anwar sampai dengan Arswendo Atmowiloto. Sekitar lima atau enam tahun silam, karya keramik Motinggo Boesje yang mengekalkan larik-larik puisi beserta foto penulisnya menjadi aksesoris koleksi PDS HB Jassin. Tertera puisi Jose Rizal Manua sampai dengan Medy Loekito.

Tampak tenang suasana di ruang baca itu karena pengunjung perpustakaan sastra umumnya orang-orang serius yang tidak menggunakan waktunya untuk bercanda. Koleksi PDS HB Jassin tidak boleh dibawa pulang oleh peminjamnya, hanya diperkenankan membaca di tempat atau membawa fotokopinya saja. Cara pengelompokan dokumen berdasarkan nama pengarang. Dalam map arsip pengarang, misalnya Sapardi Djoko Damono, akan terhimpun tulisannya, kritik tentangnya, juga resensi buku-bukunya. Menurut Endo, PDS HB Jassin tidak melakukan seleksi, melainkan semata mendokumentasi.

Saya merasatakjubketika menemukan fakta bahwa tulisan saya di masa lalu masih tersimpan dalam dokumen asli di majalah Anita Cemerlang. Itu tahun 70-an dan 80-an! Majalah itu sudah almarhumah, tetapi salah seorang penulis setianya, saya, masih diberi umur dan masih menulis di media cetak generasi berikutnya sampai kini. Jadi, bagaimanapun, saya terikat secara emosional dengan perpustakaan yang masih menyimpan harta karun Paus Sastra HB Jassin itu.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin

Harta KarunPaus Sasatra

Sudah berpuluh kali (atau beratus kali? Ah tentu belum sampai hitungan itu) saya masuk ke Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya no. 73 Jakarta Pusat. Sejak kapan? Tak ingat persis. Tapi tentu sebelum terpencil seperti saat ini. Sebelum jalan masuk ke halaman gedungnya tinggal serupa setapak yang kadang-kadang membuat orang tersesat. Seorang wartawan, mengaku bingung dan sempat mencari-cari PDS HB Jassin ketika hendak menghadiri acara diskusi. “Dulu belum ada pagar seng yang memanjang di sisi jalan masuk,” katanya.

Wah, itu tentu sangat dulu. Pembangunan Teater Studio atau Teater Kecil yang megah sudah usai sekitar dua-tiga tahun yang lalu, sementara bangunan gedung lainnya terhenti. Sebelumnya masih ada serentang waktu, ketika pemandangan di depan ruang baca itu berupa empang besar dengan air kehijauan…

Mari kita tilik, siapa pendiri dan penghimpun buku-buku (sastra) di dalamnya? Maka tersebutlah nama Hans Bague Jassin. Sosok yang dijuluki Paus Sastra (pertama kali oleh Gajus Siagian) kini sudah tiada lagi. Lahir di Gorontalo  31 Juli 1917 dan wafat di Jakarta 11 Maret 2000 karea stroke yang panjang.

Pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” memang berlaku bagi Jassin. Ayahnya seorang kerani yang kutubuku. Anak kedua dari enam bersaudara itu gemar membaca sejak SD, karena gurunya pandai menggelorakan minat baca pada murid-muridnya. Semasa menempuh pendidikan HBS (setingkat SMP) di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, Jassin sudah mulai menulis kritik sastra, bahkan dimuat di beberapa majalah.

Semuda itu Jassin telah menjadi seorang cendekia. Bakatnya memukau Sutan Takdir Alisjahbana, sehingga ditawarkan kepadanya pekerjaan di penerbitan Belanda, tahun 1940. Salah seorang gurunya, Armijn Pane, telah membuatnya pintar dan benar dalam menulis resensi buku. Karier pun terbuka baginya. Pelbagai majalah sastra di zaman itu, mendapat sentuhan tangan dan pikirannya sebagai redaktur; antara lain Pandji Poestaka, Pantja Radja, Peodjangga Baroe, Indonesia Merdeka, Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra, Medan Ilmu Pengetahuan, sampai yang terakhir: Horison.

Jassin pernah memiliki posisi unik di Universitas Indonesia. Dalam satu hari yang sama, pada jam yang berbeda, ia bisa duduk sebagai mahasiswa (untuk mata kuliah Jawa Kuno) dan giliran berada di depan kelas sebagai dosen mata kuliah Sastra Modern. Demikianlah, ia memang seorang doktor sastra. Gelar honoris causa diterima 18 tahun setelah ia menjadi sarjana, dari Universitas Indonesia.

Ketekunannya membaca, meneliti, dan menulis kritik sastra, membuat pendapatnya ditunggu-tunggu banyak sastrawan di masa itu. Para penulis karya sastra terbagi menjadi “kalangan dalam” (bagi yang telah disebutnya sebagai  pujangga) dan “kalangan luar” (bagi pengarang yang masih belum dibicarakan olehnya). Penyair Chairil Anwar “dibaptis” oleh Jassin sebagai pelopor angkatan 45. Sementara Motinggo Boesje dan Marga T. yang sudah produktif menghasilkan novel harus bersabar sampai dibahas oleh pena bertuah H.B. Jassin.

Ketika saya (baru-baru ini) memberikan semacam kuliah umum tentang proses kreatif kepada 120 mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten di PDS HB Jassin, sempat saya dengar awal kisah pendirian pusat dokumentasi itu, dari Endo Senggono. Saat ini Endo adalah pejabat yang ditugasi untuk mengelola dan merawat PDS HB Jassin, bersama sejumlah orang termasuk Titis Basino.

Menurut tuan rumah, cikal-bakal perpustakaan itu dari koleksi pribadi Pak Jassin. Ketika ia menjadi kepala bidang perpustakaan pada Lembaga Bahasa (sampai kini masih berkantor di Jl. Daksinapati Rawamangun, dengan nama Pusat Bahasa), Jassin mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Jakarta untuk mendirikan pusat dokumentasi sastra. Tempat itu telah “menyelamatkan” koleksi besar buku-buku, kliping, karya, dan catatan pribadi milik Pak Jassin.

Dua peristiwa muram yang membuat HB Jassin tergelincir adalah: Pertama, ketika menandatangani Manifes Keboedajaan, sehingga dianggap anti-Soekarno, dan membuatnya lengser dari Lembaga Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sekaligus terlepas dari jabatan dosen di UI. Kedua, ketika “Langit Makin Mendung” karya Ki Pandji Kusmin yang dianggap menghina agama dimuat dalam majalah sastra Horison asuhannya (1971). Pengadilan meminta dia membuka jati diri pengarangnya namun ditolak, sehingga Jassin sempat singgah sebagai narapidana selama 1 tahun.

Sepanjang hidupnya, Jassin memiliki 3 istri. Bersama Tientje van Buren berakhir dengan perceraian, bersama Arsiti dianugerahi dua anak dan meninggal tahun 1962, bersama Yuliko Willem yang terpaut usia 26 tahun juga memberinya dua anak. Keempat anaknya itu: Hannibal, Matsinah, Yulius Firdaus, dan Helena Magdalena.

Ada sekitar 30 ribu buku yang masih tersimpan di PDS HB Jassin, berikut kliping yang dikumpulkan oleh “Wali Penjaga Sastra Indonesia” (sebutan yang diberikan A.A. Teeuw, ahli sastra). Pertanyaan di benak saya sama dengan yang terlontar dari mahasiswa Untirta  sore itu: “Bagaimana cara merawat dokumentasi itu? Dan apakah masih cukup representatif dikunjungi, sementara melalui website atau googling kita dapat mencari referensi sastra dengan lebih mudah dan cepat?”

Jawaban Endo Senggono sangat masuk akal. “Untuk karya sastra Indonesia modern memang mudah dicari melalui internet, tetapi karya-karya sezaman Balai Poestaka, di sinilah tempatnya. Kalau soal merawat memang menjadi problem kita bersama. Masih dengan cara tradisional, dengan semprotan anti hama dan kutu yang suka memakan kertas. Ruangannya harus dalam keadaan sejuk oleh AC.”

Barangkali, kehadiran Hans Bague Jassin menjadi berkah bagi para sastrawan generasi berikutnya. Ruang baca yang juga kerap menjadi arena diskusi dan peluncuran buku di lantai dua sanggup menampung sekitar 150 orang. Sudah sejak lama, dindingnya memasang sejumlah potret para sastrawan, mulai dari Chairil Anwar sampai dengan Arswendo Atmowiloto. Sekitar lima atau enam tahun silam, karya keramik Motinggo Boesje yang mengekalkan larik-larik puisi beserta foto penulisnya menjadi aksesoris koleksi PDS HB Jassin. Tertera puisi Jose Rizal Manua sampai dengan Medy Loekito.

Tampak tenang suasana di ruang baca itu karena pengunjung perpustakaan sastra umumnya orang-orang serius yang tidak menggunakan waktunya untuk bercanda. Koleksi PDS HB Jassin tidak boleh dibawa pulang oleh peminjamnya, hanya diperkenankan membaca di tempat atau membawa fotokopinya saja. Cara pengelompokan dokumen berdasarkan nama pengarang. Dalam map arsip pengarang, misalnya Sapardi Djoko Damono, akan terhimpun tulisannya, kritik tentangnya, juga resensi buku-bukunya. Menurut Endo, PDS HB Jassin tidak melakukan seleksi, melainkan semata mendokumentasi.

Saya merasatakjubketika menemukan fakta bahwa tulisan saya di masa lalu masih tersimpan dalam dokumen asli di majalah Anita Cemerlang. Itu tahun 70-an dan 80-an! Majalah itu sudah almarhumah, tetapi salah seorang penulis setianya, saya, masih diberi umur dan masih menulis di media cetak generasi berikutnya sampai kini. Jadi, bagaimanapun, saya terikat secara emosional dengan perpustakaan yang masih menyimpan harta karun Paus Sastra HB Jassin itu.

(Kurnia Effendi)