Thursday, December 27, 2007

Menara Waktu

Kayu Tanam terletak di Sumatera Barat. Bulan November 1997 saya berada di sana, sebuah tempat sejuk yang inspiratif. Ada sebuah sekolah seni di kota yang tak jauh dari Padang itu, selama sepekan menjadi tempat perhelatan sastra Nusantara. Saya berada di sana sebagai penulis, yang berangkat bersama rombongan Komunitas Sastra Indonesia dari Jakarta.

Perjalanan naik bis dari Taman Ismail Marzuki pukul 11 hari Kamis tiba di Kayu Tanam menjelang Ashar hari Jumat. Kami sempat beberapa kali istirahat, yang terakhir di sebuah masjid untuk salat Jumat. Pengalaman menyusuri jalan panjang di tepi Danau Singkarak dan Maninjau ingin saya ulang lagi.

Di restoran Angin Berhembus, yang kaki-kaki bangunannya sebagian terendam ke pantai danau, kami singgah untuk makan. Dalam obrolan sempat saya ketahui bahwa Danau Singkarak dan Danau Maninjau mirip bejana berhubungan. Konon jika ada orang yang tenggelam di Dnau Singkarak kemungkinan jenazahnya ditemukan di Danau Maninjau. Tetapi kami ke Padang bukan hendak membahas tentang kematian. Rasa masakan balado yang membekas di lidah lebih sedap untuk dibicarakan.

Pertemuan sastrawan se-Nusantara itu memang menghadirkan tak hanya pekerja sastra Indonesia. Di sana berkumpul tokoh-tokoh pembicara dari Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia. Saya ingat, dari Indonesia ada Budi Darma sebagai pembicara untuk novel. Sutardji Calzoum Bachri bicara tentang pantun. Sapardi Djoko Damono membahas puisi. Selain mereka ada juga Taufiq Ismail, Danarto, Slamet Sukirnanto, Hamsad Rangkuti. Rendra membaca puisi dalam pertunjukan yang berlangsung malam hari, di antara penampilan teater dari kelompok-kelompok setempat.

Saya ingat, dari tempat indah dan inspiratif itu lahir cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” yang cukup “heboh” ketika dimuat Kompas. Saya sendiri menghasilkan beberapa puisi yang juga dimuat Kompas, antara lain: “Rambutmu, Herlina” dan “Kepada Annegret Nitzling”. Kedua puisi itu lahir sembari bercakap-cakap di warung tenda bersama Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, Saut Situmorang, dan Medy Loekito.

Waktu itu saya berharap akan ada perkampungan seniman lagi yang tak hanya seminggu. Saya mendapatkan banyak kesan selama empat hari di Padang. Misalnya, sembari ngobrol dengan Gus tf, sosok dan wajah saya dilukis oleh Ipe Ma’aruf yang tangannya terlampau fasih menggaris outline manusia. Pada hari berikutnya saya jalan-jalan bersama Isbedy Stiawan ke rumah Yusrizal Kawe, menengok sanggarnya.

Tempat yang membuat saya keranjingan untuk difoto adalah Bukittinggi, tepatnya di sekitar Jam Gadang. Disebut gadang karena besar. Jam penanda waktu itu terletak di puncak menara yang atapnya berbentuk tanduk kerbau sebagai ciri khas bangunan tradisional Minang.

Apa yang aneh dengan Jam Gadang, ya? Oh, itu dia! Angka 4 Rumawi yang seharusnya ditulis seperti ini: IV, di lingkaran jam itu ditulis demikian: IIII. Tinggi menara itu 26 meter dengan denah dasar 13 x 4 meter. Hasil rancangan arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh itu dibangun pada tahun 1926. Uniknya, peletakan batu pertamanya dilakukan oleh bocah umur 6 tahun, putra pertama Rook Maker. Jam dengan diameter hampir satu meter itu merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota). Semula menara yang pembangunannya berbiaya 3000 Gulden itu berpuncak bulat dengan patung seekor ayam jantan nangkring di atasnya. Barangkali untuk menggambarkan simbol fajar dengan kokok ayam jago. Namun saat kemerdekaan diproklamasikan, atap itu diubah dengan langgam Minangkabau.

 Jam Gadang terletak di tengah taman, menjadi landmark kota Bukittinggi, dekat dengan Pasar Atas. Nama itu mengisyaratkan adanya Pasar Bawah. Tentu saja. Penghubung kedua pasar itu adalah tangga beton yang jumlahnya banyak, saya lupa berapa undakan, tapi pernah menghitung dan bahkan menulisnya dalam sebuah puisi.

Tak jauh dari taman itu ada sebuah kampus bernama Universitas Bung Hatta dengan patung wajah beliah terpajang di dekat pintu masuk. Di sisi lain Jam Gadang ada Hotel Novotel dengan nuansa biru, sampai interior kamarnya. Di grand ball room hotel itulah seminar sastra dilaksanakan. Salah satu pembicaranya saat itu adalah Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Separuh waktu saya gunakan untuk menghadiri seminar, bahkan sempat diwawancara jarak jauh oleh Arya Gunawan yang saat itu bekerja untuk BBC di London. Separuh sisa waktu, saya gunakan untuk nyelonong keluar dan jalan-jalan ke sekitar Jam Gadang bersama Sutan Iwan Sukri Munaf dan Viddy AD. 

Kami saling berfoto, lalu menyusuri pertokoan, mencari souvenir. Banyak penjual kerudung dan busana islami di kedai-kedai yang berderet. Banyak pula delman di sekitar itu sebagai transportasi jarak dekat. Beberapa bangunan Belanda di belakang Pasar Bawah digunakan untuk gudang-gudang. Karena hawanya sejuk, mentari yang bersinar cerah tak sampai membuat keringat membanjir, hanya titik-titik mirip embun di dahi dan kedua tangan.

Memang tidak sebesar Big Ben di London, tetapi memandang Jam Gadang di tengah taman itu seperti sedang menyaksikan menara waktu yang menjadi panutan para pejalan kaki yang alpa membawa arloji. Ia menjadi penunjuk waktu bagi kaum muslimin yang hendak menunaikan salat, atau bagi para pedagang kelontong yang hendak memperkirakan waktu istirahat bagi pegawainya.

Saya terkesan dengan warna-warni yang rancak di deretan kios, juga hiasan yang menandai rumah-rumah keluarga Minang. Jinga, hijau muda, biru langit, kuning terang, ungu dan nila, bertebaran dalam bentuk kerudung dan kebaya panjang. Merjan bersepuh emas, pelapis bakiak yang gemerlap, dan aksesoris, menarik minat para pengunjung kota untuk mendekat dan memilihnya sebagai oleh-oleh.

Dari ketinggian, di puncak tangga Pasar Atas, saya melihat seorang nenek sedang mendaki anak tangga perlahan-lahan. Apakah napasnya memburu? Apakah kedua kakinya akan loyo? Mungkin saya yang cemas berlebihan, karena ia pasti hampir tiap hari melewati jalan ini.

Ketika senja tiba, kami semua harus kembali ke Kayu Tanam. Kami tinggalkan menara waktu yang tetap tegak dalam latar langit lembayung. Kami beranjak dari tempat inspiratif ke tempat inspiratif yang lain.

Sepuluh tahun yang lalu, Pak Ali Akbar Navis, penulis cerpen sohor ”Robohnya Surau Kami”, masih afiat. Kami masih dapat berbincang dalam diskusi, juga dalam silaturahmi karya pada hari berikutnya. Saya juga ingat, ketika sarapan pagi dalam hujan, seorang mahasiswi sastra Universitas Andalas bernama Ummil Khalis bertanya: ”Bagaimana cara menulis puisi yang baik?” Rasanya ia harus menjadi orang Jakarta dan berkunjung ke Sumatera Barat yang elok.... tentu tak perlu bertanya lagi. ***

(Kurnia Effendi, untuk PARLe)

 



 

 

 

Wednesday, December 26, 2007

Escaeva Meluncurkan Turquoise

Escaeva adalah sebuah penerbit yang relatif baru. Namun lebih dari itu, di dalamnya terhimpun anggota milis EscaevaBookClub yang aktif dan selalu penuh semangat. Apa lagi yang mereka perbincangkan selain mengenai buku, kegemaran membaca, dan pengalaman menulis. Escaeva sendiri, sebagai penerbit yang rajin menjaring bibit-bibit baru dengan bakat mengarang yang cemerlang, telah beberapa kali mengadakan pelbagai kompetisi penulisan.

Salah satu lomba telah digulirkan dan “terjerat” karya-karya cerpen terbaik dari angkatan muda pengarang Indonesia. M. Badri dan Titon Rahmawan adalah dua orang yang sangat berbakat dan kerap memenangkan lomba. Mereka berdua juga pernah menjadi pemenang lomba cerpen yang diselenggarakan oleh Tabloid Parle dalam rangka ulang tahun yang kedua, September lalu.

Pada tanggal 15 Desember 2007, Penerbit Escaeva meluncurkan buku karya perdana Titon Rahmawan. Bertempat di Flo Lounge, Belagio, Grand Kuningan, novel Turquoise karya Titon Rahmawan dan kumpulan cerpen Tembang Bukit Kapur tak hanya diperkenalkan kepada pembaca, namun sekaligus didiskusikan. Seru? Tentu! Karena Escaeva mengundang semua anggota milis EscaevaBookClub dan Bukukita.com, sebagai ajang ”kopi darat” setelah biasanya hanya berkomunikasi secara maya di jalur internet. Total anggota mereka sebenarnya 15.000 orang, namun tak seluruhnya tinggal di Jakarta.

Acara dipandu oleh Mega Bunga, sedangkan moderator diskusi dipercayakan kepada Didik Wijaya. Acara tersebut menarik bagi peserta yang datang karena dimanfaatkan untuk membongkar proses kreatif dua pengarang yang menjadi primadona petang itu: Titon Rahmawan dan M. Badri.

Menurut cerita Indarwati Harsono, anggota milis dan pecinta sastra: ”Tujuan gathering itu tidak hanya untuk mengakrabkan sesama pecinta buku, namun juga memberikan berbagai informasi tentang dunia penulisan. Dalam acara itu ada talkshow interaktif dengan Titon Rahmawan dan M Badri. Mereka pemenang utama Ajang Kreasi Kumpulan Cerpen yang diselenggarakan penerbit Escaeva.”

Didik Wijaya, selaku Managing Editor penerbit Escaeva, memang bermaksud memanjakan anggota milis. Dengan sharing bersama penulis, diharapkan anggota dapat mengerti dan memahami bagaimana sebuah naskah diproses menjadi buku. Siapa tahu ada yang terinspirasi untuk menjadi pengarang juga.

M. Badri mengemukakan bahwa ide pembuatan cerpen ”Tembang Bukit Kapur” diawali dari perjalanannya ke Yogyakarta, tepatnya ke daerah tandus Gunung Kidul. ”Gagasan cerita bisa muncul dari mana saja,” ujar Badri. ”Tidak hanya dari perjalanan.”  

Berbeda dengan Titon Rahmawan, ia mengatakan bahwa Turquoise bermula dari imajinasinya yang liar. Latar tempat kisah Turquoise berada di kota antah berantah bernama Makarresh, yang ternyata hasil risetnya pada kota di Maroko. ”Tetapi, seliar apa pun imajinasi harus memiliki pijakan realita,” kata Titon. Lalu ia mengaku: ”Turquoise sebenarnya novel ketujuh yang saya tulis, namun baru novel ketujuh inilah yang berhasil saya terbitkan.”

Buku kumpulan cerpen Tembang Bukit Kapur berisi cerpen para pemenang lomba. Naskah yang masuk waktu itu ada 119 cerpen untuk melewati tahap penjurian. Beberapa nama yang berhasil menjadi pemenang antara lain: M. Badri (Pemenang Pertama, dengan cerpen ”Tembang Bukit Kapur”), Setiyo Bardono (Pemenang Kedua), Rama Safra’i Rachmat (Pemenang Ketiga), disusul Indarpati, Nursalam AR, dan Bunga. Di antara mereka juga aktif sebagai anggota milis Apresiasi-Sastra (Apsas).

(Kurnia Effendi/dari berbagai sumber)

 

 

 

 

Friday, December 21, 2007

NASIHAT

Sepenting apa nasihat bagi saya, dapat dilihat dari pandangan-pandangan yang tidak terletak pada sudut egosentris. Ketika saya ingin otoriter dan merasa seluruh keputusan yang saya terbitkan adalah absolut, berbekal ilmu dan pengalaman selama ini, boleh jadi menghasilkan sebuah ketegasan yang dapat diterima. Salah atau benar adalah urusan belakang, karena pada dasarnya kesalahan itu manusiawi. Ditilik dari sejarahnya yang paling awal, bukankah manusia berada di Bumi karena sebuah kesalahan?

Persoalannya, adakah manajemen pemerintahan yang absolut dan tidak demokratis sanggup bertahan lama? Adakah sebuah kepemimpinan usaha bersama yang abai terhadap pendapat orang lain mampu tegak bertahun-tahun? Mungkin perlu kita ingat kembali sebuah peribahasa bahwa di atas langit masih ada langit. Dengan pemahaman bahwa tiada seorang pun memiliki kecerdasan dan penguasaan atas segala hal, tentu akan menghemat kerugian dari kehancuran yang mungkin tak termaafkan.

Itu sebabnya, jika harus mengambil contoh legenda atau dongeng, Baginda Raja Harun Al-Rasyid memiliki tokoh komikal bernama Abunawas yang cerdik dan jenaka untuk memberikan pertimbangan dalam memutuskan sesuatu perihal negara dan rakyat. Itu sebabnya keluarga Pandawa dibayang-bayangi oleh Punakawan yang tak lain merupakan penjelmaan dewa untuk menghibur dan memberi arah perjalanan hidup mereka. Oleh contoh-contoh yang tak ternafikan itu, barangkali, seorang presiden di Indonesia, dari periode ke periode selalu memberikan tempat bagi jabatan penasihat. Istilah Dewan Pertimbangan Agung merupakan “pakaian” yang terhormat bagi pemberi nasihat.

Belum lama, saya membaca sebuah wawancara di majalah wanita, ada seorang direktris yang kariernya tidak lepas dari nasihat “ajaib” sang suami. Atau sebaliknya, banyak pejabat tinggi yang secara tidak langsung gerak-lajunya “dikendalikan” oleh nasihat istrinya. Tentu saja nasihat yang benar, bukan yang diam-diam menjerumuskan.

Nasihat memang sangat luas makna dan operasionalnya. Di masa kerajaan berabad-abad silam, posisi penasihat biasa diletakkan pada pundak seorang yang “weruh sakdurunge winarah”, tahu sebelum kejadian. Saya tidak tahu persis, apakah Ki Ageng Joyoboyo dan Ki Ronggowarsito berperan sebagai penasihat raja. Namun serat yang pernah dituliskan seolah menjadi ramalan yang terbukti satu persatu melalui kejadian.

Seorang anak tentu memerlukan nasihat dari orangtuanya. Pengalaman orang tua yang sudah lebih dulu melihat dan merasakan kehidupan akan sangat berharga sebagai bekal anak-anaknya yang mulai melangkah dalam kancah kehidupan. Tujuannya tentu agar tidak terulang kesalahan masa lalu, agar tak perlu terperosok untuk kedua kali. Syarat apa yang harus dimiliki oleh orang tua supaya nasihatnya dapat diterima dan dituruti? Sederhana sekali. Mereka harus melakukan hal-hal yang dianjurkannya. Bahkan, dengan keteladanan, nasihat itu tak perlu diucapkan. Contoh perilaku, cara berpikir, tindakan saat menghadapi masalah, adalah nasihat yang tinggal ditonton oleh anak-anaknya. Lantas bagaimana jika ada sejumlah orang tua yang terjelungup dalam, katakanlah kasus narkoba, akan menjadi “penasihat” bagi putra-putrinya?

Di era Orde Baru pernah semarak kata “mohon petunjuk” dari para direktorat jenderal kepada menteri, atau dari menteri (ah, kita tahu siapa yang paling sering mengucapkannya dulu) kepada Pak Presiden. Petunjuk yang diharapkan tiada lain adalah nasihat. Nasihat yang mungkin di balik forum terbuka pernah dibicarakan lebih dulu, sehingga ketika berada di muka umum tampak pikiran brilian sang pemimpin melalui nasihat atau petunjuk yang dilisankan. Bagaimanapun itu cara menjunjung tinggi kehormatan orang yang kita pilih sebagai pemimpin. Walaupun di zaman berabad lampau, keluarga darah biru sering meminta petunjuk justru pada emban dan abdi dalemnya, secara informal, saat melulur tubuh langsat sang bendara.

Kini, ketika sebuah kota tumbuh dengan budaya yang meninggalkan keseimbangan alam, muncul banyak akibat negatif. Penduduk kota rela untuk kehilangan hak memiliki kesehatan lahir batin demi kecintaannya terhadap materi. Tekanan kebutuhan ekonomi, friksi antarteman sejawat di kantor dalam mengejar ambisi jabatan, tuntutan penguasaan teknologi dan piranti modern agar tak ketinggalan zaman, kesigapan mengikuti perubahan mode dari hari ke hari, bombardir berita kriminal dan gosip selebriti yang menggoda rasa ingin tahu terhadap privasi orang lain, kemacetan lalu lintas yang menjadi beban lahir dan batin karena selalu kehilangan waktu untuk hal ang sia-sia, dan seterusnya; telah berhasil membuat jiwa kita “terganggu”. Stress, cemas, paranoid, takut, disorientasi, dan seterusnya; menjadi penyakit yang paling banyak singgah pada masyarakat kota.

Apa yang mereka butuhkan untuk sekadar menyeimbangkan diri? Penasihat! Dalam hal ini, penasihat itu bisa seorang psikolog, psikiater, rohaniwan, dokter, guru bimbingan dan penyuluhan, petugas customer satisfaction, konsultan ini-itu… Atau bisa juga seorang teman yang kita yakini dapat memberikan rasa sejuk ketika kita adukan persoalan. Tetapi kalau persoalan yang mengganggu adalah perkara rumah tangga, sebagai seorang perempuan sebaiknya tidak curhat (mencurahkan isi hati) kepada teman laki-laki. Entah kenapa, kejadian berikutnya bukan jadi lebih baik tetapi justru semakin runyam dan berbahaya, haha…

Begitu pentingnya seorang penasihat, sampai-sampai setiap organisasi dan susunan panitia selalu menyediakan ruang jabatan bagi orang yang bertugas memberi petunjuk dan arahan. Agar nasihat tidak terasa menggurui atau datang dari arah yang selalu memusat, dibuat dalam bentuk yang lebih egaliter. Misalnya dengan cara diskusi atau brainstorming. Proses tukar pikiran akan menghaluskan kesan memberi nasihat karena sesungguhnya yang terjadi adalah “saling menasihati”. Demokrasi, sebuah kata lain, yang memungkinkan diterimanya pendapat seseorang dalam sebuah forum. Pendapat yang disarankan adalah nasihat yang mengejawantah.

Sepenting apa nasihat bagi saya, tergantung dari rasa ikhlas saya membuka hati selebar-lebarnya untuk mengakui kelebihan orang lain. Dulu mungkin, ketika SD, merasa paling pintar di kelas. Kini, sesungguhnya, saya telah banyak kehilangan waktu untuk mengetahui dan mengalami semua hal yang terjadi di dunia. Dan memang tidak perlu melakukan semua hal. Jadi, jika saya bingung menentukan langkah atau keputusan yang harus saya ambil, saya akan minta nasihat. Barangkali itu terdengar cukup bijak.

(Kurnia Effendi untuk Rehat)

 

 

 

Wednesday, December 19, 2007

Rahasia Kebun Kata

Memang sudah lama Komunitas BungaMatahari (BuMa) tidak mengadakan pertemuan bulanan yang bertajuk “Kebun Kata”. Dalam acara itu, anggota BuMa dan teman-temannya, berkumpul untuk bertukar informasi, saling membincang karya (umumnya puisi). Bergiliran mereka membacakan puisi di panggung—sebuah sudut atau arena yang dibebaskan dari kursi dengan seperangkat mikrofon. Pendengar boleh memberikan kritik, pujian, dan tentu saja tepuk tangan. Ada sebagian yang menggunakan alat tetabuhan semacam gendang, triangle, atau gitar untuk mengiringi pembacaan puisi.

Mungkin karena dalam beberapa bulan terakhir masing-masing anggota BuMa disibukkan oleh pekerjaan (ada yang mendapat tugas keluar kota dalam acara televisi, ada yang sibuk dengan proyek sesuai bidang akademisnya, ada pula yang mendapat kehormatan sebagai panitia kegiatan sastra nasional) ditambah Ramadan dan liburan Lebaran, absenlah Kebun Kata dari agenda bulanan. Kerinduan pun muncul di antara mereka, sehingga muncul gagasan untuk kembali bertemu dan saling ungkap karya.

“Acaranya tanggal 2 Desember jam 3 sore di Café Au Lait Cikini,” demikian sms yang mampir ke telepon genggam sesama anggota BuMa dan teman yang diharapkan hadir. “Temanya rahasia…”

Kenapa rahasia? Masih rahasia, maksudnya? Ternyata bukan itu yang dimaksud. Menurut Uga dan Acha, penggagas tema acara pertemuan bulan Desember ini: “Kata ‘rahasia’ di sini muncul karena kami sudah lama tidak bertemu. Tiba-tiba kita adakan tanpa rencana matang, jadi seperti secara rahasia. Tentu masing-masing memiliki informasi dan pengalaman selama berpisah. Silakan ‘rahasia’ itu diungkap kepada teman-teman. Mungkin melalui cerita atau karya puisi barunya.”

Ide sederhana yang mengundang rasa penasaran, agaknya. Dan kenyataannya, cukup segar bila dianggap sebagai pertemuan yang ditunggu-tunggu. Boleh jadi mereka jarang bertemu secara fisik, meskipun tetap berkomunikasi melalui telepon. Di antara mereka masih terjalin keakraban. Di café yang terbagi menjadi tiga kelompok ruang, acara tanpa run down ketat itu berjalan santai.

Terlambat sudah biasa, sehingga Acha pun bertindak sebagai pengganti pemandu acara sekaligus pembaca puisi. Senja itu yang tampil membacakan puisi: Olivia Sinaga, Ulil, Waranay, Arry Amilin, Tera, dan Nirasha. Harlan Boer (salah satu manajemen Efek Rumah Kaca) menyanyikan beberapa lagu dari puisi. Sementara Anya Rompas, sebagai founder BuMa tampaknya membiarkan teman-temannya bebas berekspresi. Panggung boleh menjadi milik siapa saja.

Sebenarnya, jika dikemas sedikit serius, acara KebunKata cukup potensial untuk menjaring kaum awam agar mencintai puisi. Setidaknya anggota BuMa tidak meletakkan puisi sebagai genre sastra yang berat dan memberatkan. Puisi adalah sebuah medium untuk mengutarakan perasaan berdasarkan pengalaman pribadi. Kualitas tidak lagi menjadi sisi utama yang dipertimbangkan, melainkan lebih merujuk pada keindahan (estetika) dan penyampaian (komunikatif). Alat musik diperguanakan sebagai aksesoris yang mengantarkan kata-kata jadi lebih melodius.

Kelihatan main-main, namun sesungguhnya kaum muda gaul yang selalu memilih café sebagai tempat berekspresi itu, masing-masing sedang menyiapkan dan sebagian sudah menerbitkan karyanya dalam bentuk buku. Artinya, di balik hobi yang kelihatannya hanya sebagai pengisi waktu luang, ada yang berusaha menorehkan jejak dalam sejarah pribadinya. Ayo maju terus! (Kurnia Effendi)

 

Tuesday, December 18, 2007

Serambi Madinah

Mengapa ada yang menyebut Banten sebagai serambi Madinah? Mungkin julukan yang berlebihan, karena Demak, Kudus, Cirebon (untuk menyebut beberapa nama), adalah kota-kota yang menjadi tempat persinggahan para wali. Tetapi mungkin sebutan itu sesuai jika dipandang dari kegiatan masyarakatnya yang berorientasi pada kehidupan pesantren. Seperti kota Jombang, Banten memiliki banyak sekali pondok pesantren.

Banten telah menjadi provinsi (terpisah dengan Jawa Barat sejak 2-3 tahun yang lalu) dengan ibukota Serang. Provinsi yang mengandalkan kekuatan industri (mulai dari Cilegon sampai Tangerang) memang tidak serta-merta tumbuh dengan lesat. Wilayah Serpong dan Karawaci berangkat sebagai kawasan modern karena sejak awal direncanakan menjadi kota satelit yang tak hendak bergantung kepada Jakarta. Beruntung Banten memiliki tempat itu, karena distrik-distrik yang lain masih kuat dengan aroma kampung dan nilai-nilai tradisional. Kelebihannya, corak kehidupan pesantren dan kekuatan mistik tidak serentak hilang, justru terpelihara dengan baik.

Bicara tentang kesenian tradisional, debus misalnya, tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat agamis Banten. Sebagaimana wilayah-wilayah lain yang kuat dengan unsur Islam selalu ada sisi magis yang menjadi pembuktian adanya kekuatan tak tampak dari yang kita percayai. Hal-hal gaib, bersifat transendental, dan berfungsi sebagai kharisma bagi orang-orang yang disegani, sangat menonjol di Banten. Istilah ”pendekar” terdengar lumrah di kalangan orang Banten. Dulu, orang-orang Banten cukup “ditakuti” jika dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang tak kasat mata.

“Tapi debus tak bisa main di Cirebon,” ujar seorang teman karib asal Cirebon.

“Apa pasal?” tanya saya.

“Kualat nanti, di sini kan rumah bapaknya...”

Ini pembicaraan bercanda, tentu. Atau boleh dipercaya?

Sunan Gunung Jati, salah satu wali sanga, adalah ayahanda Sultan Maulana Hasanuddin, yang mendirikan Masjid Agung Banten. Itu berlangsung sekitar tahun 1560-1570, atau empat abad yang lalu. Sultan Maulana Hasanuddin ini kemudian dikenal dengan nama Sultan Banten.

Masjid itu kini masih berdiri kokoh dan terawat, menjadi ikon kota Banten lama, dan menjadi alamat ziarah bagi orang-orang yang datang dari jauh. Di sisi utara masjid tertanam jasad keluarga Sultan Banten. Makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin terletak di serambi kanan. Untuk kaum aulia itulah mereka datang dan memanjatkan doa. Terutama menjelang Ramadan dan seusai Lebaran.

Masjid itu memiliki tangga dengan relung yang menyerupai goa, pengaruh desain dari seorang arsitek Mongolia bernama Cek Ban Cut. Menara masjid yang bersegi-segi mirip pagoda dengan ketinggian sekitar 30 meter dan bergaris tengah 10 meter itu dulu sempat berfungsi sebagai “mercu suar” untuk mengawasi pantai. Menara yang menjadi tempat berkumandangnya azan itu dibangun tahun 1620, di masa kekuasaan Sultan Haji, atas dasar rancangan arsitek Belanda bernama Hendrik Lucazoon Cardeel. Arsitek yang condong ke Kesultanan Banten itu, mengkhianati bangsanya yang menjajah, dianugerahi gelar Pangeran Wiraguna.

Ada bangunan di sisi selatan masjid yang disebut Tiyamah. Bangunan dengan bentuk segi empat bertingkat itu juga dirancang oleh Cardeel. Dulunya digunakan sebagai tempat musyawarah para alim ulama mengenai peran agama dalam politik dan kebudayaan atau sebaliknya, politik yang berdasarkan Islam. Secara menyeluruh, arsitektur Masjid Agung Banten memadukan langgam Belanda dan Tionghoa.

Saya kebetulan menjadi menantu dari keluarga pewaris pesantren Kyai Haji Soleh Ma’mun di Lontar, Serang. Tidak sebulan sekali berkunjung ke sana, tetapi tentu lebih sering ketimbang ke Slawi, tempat kelahiran saya. Dari jarak saja sudah berbeda empat kali lipat, ditambah jalan tol Jakarta-Anyer yang meringkas waktu untuk menempuhnya. Meskipun demikian, tidak selalu singgah ke masjid Banten. Kesempatan untuk salat di sana hanya beberapa kali dan selalu bertepatan dengan orang ramai. Atau, barangkali setiap hari memang ramai dikunjungi orang.

Jika benar, tak lama lagi masjid Banten akan menjadi pilihan kaum muslimin untuk melaksanakan salat Idul Adha. Ya. Sebentar lagi tiba hari raya kurban, hari raya Nabi Ibrahim, hari raya yang sesungguhnya: ketika gema takbir dikumandangkan selama tiga hari, menandai hari tasyrik, waktu usai puncak ibadah haji di tanah haram Makkah. Kurban yang bermakna mendekatkan diri kepada Allah dengan mempersembahkan sebagian milik kita kepada kaum dhuafa, bermula dari sejarah dramatik perintah Pemberi Hidup kepada seorang ayah untuk menyembelih anaknya. Menyembelih! Bukan sekadar membunuh, melainkan menghapus kehidupan dengan segala serabut akar cinta hubungan darah, dengan cara yang mengerikan: di depan mata telanjang.

Siapa yang tak akan tercengang dan berpikir bahwa itu sebuah permintaan yang musykil? Lantas apa arti menunggu berpuluh-puluh tahun untuk memperoleh buah hati di tengah kegersangan perkawinan dan gurun mahaluas? Apa sebenarnya yang dikehendaki Tuhan jika pemberian itu hanya serupa permainan? Memang pada akhirnya kita harus menyadari dan memahami (lalu mengikhlaskan) bahwa segala milik kita di dunia adalah pinjaman. Cinta yang telanjur melampaui prosentase maksimal kepada “barang” pinjaman itu apa boleh buat harus ditanggalkan untuk cinta yang lebih besar dan hakiki kepada Sang Pemberi Pinjaman.

Tak akan jauh mendalam saya bercerita tentang hal-hal yang tidak saya kuasai, tentu. Apalagi untuk mewakili perasaan Ibrahim saat itu, saat sebelum tubuh anak lelakinya diganti seekor gibas yang sehat dan menyerah. Ismail, “kurban” yang hendak dikembalikan kepada Allah adalah persembahan sehat yang menyerah. Pasrah dan ikhlas, melebihi perasaan sang ayah.

Oleh karena itu, sewajarnya kaum muslimin berperasaan ikhlas dan pasrah saat berkurban pada 10 Dzulhijah tahun Hijriyah. Bukan hanya itu: kita dianjurkan untuk gembira dan besar hati. Karena hari itu merupakan hari kemenangan bagi yang mabrur, kemenangan bagi yang mampu menyembelih hewan kurban.

Kebetulan, hari raya Haji tahun ini jatuh pada hari Kamis. Bagi pegawai yang setiap Sabtu libur, seperti mendapat sekeping surga untuk melibas hari Jumat yang terapit. Ditambah Minggu, jadilah long-long week end. Saya belum tahu, apakah akan melaksanakan salat Idul Adha di Jakarta atau Banten. Jika keluarga istri memiliki gagasan berlibur ke Serang, mungkin menjadi kesempatan istimewa untuk kembali mengunjungi Masjid Agung Banten. Mengunjungi Serambi Madinah. Menziarahi keluarga Sultan Banten, keturunan wali sanga yang agung. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilhamd…

(Kurnia Effendi untuk Parle)

 

Peluncuran dan Diskusi "Sukma Silam"

Seorang pegawai negeri Departemen Keuangan meluncurkan buku antologi puisi. Heran? Kenyataannya demikian. Walaupun sehari-hari bergaul dengan pekerjaan yang bersifat “finansial”, toh benak dan perasaannya tak bisa dipisahkan dengan “badai kata-kata”, istilah yang digunakan sang penyair dalam menyebut inspirasi.

Bernama Budhi Setyawan, lelaki yang telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak itu, adalah penyair yang telah menerbitkan tiga buah buku antologi puisi. Ia lahir di Purworejo Jawa Tengah pada tahun 1969.

Sukma Silam adalah bukunya yang ketiga setelah dua buku sebelumnya di tahun 2006, yakni Kepak Sayap Jiwa dan Penyadaran. Buku Sukma Silam diluncurkan di  Pusat Dokumentasi HB Jassin pada Sabtu, 1 Desember 2007 jam 14:00 oleh Komunitas Meja Budaya. Kelompok diskusi yang dimotori oleh Martin Aleida dan Syahnagra itu yang secara rutin (dua pekan sekali setiap Jumat sore) menggelar acara pembahasan buku sastra dan cabang seni budaya lainnya. Berisi 90 puisi, Budhi Setyawan menggarap tema cinta, kemanusiaan, dan spiritual.

Pembicara yang dipilih dalam diskusi setelah launching adalah Medy Loekito (penyair dan mantan Presiden Yayasan Multimedia Sastra yang dikenal dengan cyber-sastra) dan Enggo Senggono (pengelola PDS HB Jassin), dengan moderator Yonathan S. Rahardjo dan pemandu acara Alin SP. Dalam makalah Medy, diungkapkan bahwa Budhi Setyawan memiliki daya imajinasi yang tinggi, berhasil menyiasati segala keterbenturan idiom klise melalui metafora dan personifikasi yang cukup segar.

Selain diskusi, tampil membaca puisi antara lain Dharmadi (penyair angkatan 70-an), Pudwianto Arisanto, dan Endang Supriyadi (keduanya penyair anggota KSI). Meskipun acara dikemas sederhana, cukup banyak yang hadir. Berbagai komunitas sastra seperti Apresiasi Sastra (Apsas), Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas BungaMatahari (BuMa), memenuhi ruangan berkapasitas 100 orang. Oleh karena itu pantaslah jika pada sesi tanya jawab terbangun suasana yang cukup hangat.

Kendati sudah menjadi isu basi, namun antara ungkapan yang vulgar dan yang simbolik dalam karya puisi masih diperdebatkan. Siapa lagi jika bukan Binhad Nurrohmat yang mencuatkan dan segera mendapat perlawanan dari banyak penggiat sastra. Di pengujung diskusi, Yonathan S. Rahardjo sebagai moderator tak hanya menyimpulkan hasil pembahasan, namun juga memberikan pernyataan tentang “kebenaran”. Menurutnya ada dua kebenaran dalam dunia ini. Pertama adalah kebenaran sehari-hari yang merujuk pada kenyataan yang terlihat. Kedua adalah kebenaran menurut manfaat yang terkait pada dampak selanjutnya.

Budhi Setyawan menyerahkan buku barunya kepada beberapa pihak, antara lain perpustakaan, komunitas sastra, dan medi massa. Usai acara masih ada perbincangan yang memanjang, sebagaimana yang kerap dilakukan oleh tokoh-tokoh sastra. Pembicaraan informal, di luar forum, selalu lebih panas dan melahirkan gagasan ‘patriotik’. Dalam hal ini adalah rencana untuk mendiskusikan perihal sikap kita dalam menghadapi cara-cara Malaysia mengakui sejumlah karya seni Indonesia sebagai milik mereka. Tunggu saja undangan dari Kelompok Diskusi Meja Budaya untuk agenda tersebut.

(Kurnia Effendi)

 

 

Monday, December 17, 2007

Obyek Yang Menggenang dan Berubah Warna

Keduanya, Ito Joyoatmojo dan Yani M. Sastranegara, menyajikan objek yang karib dengan air. Karena itu pula, pameran lukisan dan instalasi mereka berdua di O House Gallery diberi judul “Liquid”. Berlangsung sejak 3 Desember dan akan berakhir 6 Januari mendatang, pameran ini pantas dikunjungi tak hanya sekali.

Kurator Jim Supangkat kembali mengantarkan perupa yang berpameran di galeri milik Selamat & Bonny, sebagai karya kontemporer. Kali ini “memperkenalkan” cara melukis Ito yang unik dilihat dari sisi teknik yang ditempuhnya. Sejumlah lukisannya mengambil obyek pastoral, unsur alam dari sisi yang paling detail. Ada dua jenis obyek, pertama adalah flora (rumput, ilalang, tanaman rambat) dan kedua, air (sungai dan kolam ikan).

Ito justru tidak menggambar rumput dari jarak yang menawarkan panorama, atau sebuah tubuh sungai yang utuh dengan suasana di sekitarnya. Pilihannya sangat menarik karena ia melukis tanpa sentral daya pikat sebagai pusat komposisi (dalam tema tetumbuhan). Lukisannya tampil datar serupa wallpaper, dari jauh bahkan terlihat sebagai hasil printing tekstil. Setelah mata kita mendekat, barulah menyadari ada sapuan kuas yang sabar, tekun, cermat, dan menunjukkan sebuah proses yang prosedural. Tanpa bertanya kepada pelukisnya, kita akan tersesat pada dugaan bahwa ia menggambar dengan semangat pelukis Bali yang biasa menggarap rinci untuk lukisan alamnya.

Menurut pengakuannya, ia bekerja bukan sebagai pelukis yang menjerat inspirasi dalam pikiran kemudian mengekspresikannya berupa goresan dan warna. Dalam proses kreatifnya ini, ia justru “mengambil alih” cara kerja perajin atau tukang. Mari kita kita ketahui urutan ia bekerja. Mula-mula direkam obyek yang menarik hatinya dengan kamera digital. Hasilnya diproyeksikan dengan ukuran yang dikehendaki ke atas kanvas lalu diurai warna dengan sistem separasi. Gambar yang ditembakkan itulah yang kemudian dilukis.

Pertama, Ito menggambar dengan cat akrilik warna hitam encer, dengan sapuan kuas tipis. Selanjutnya ia akan menumpangi lukisan dasarnya itu dengan warna biru (cyan), merah (magenta), dan terakhir kuning. Ia benar-benar melakukan kronologi yang umumnya dilakukan oleh mesin cetak dengan sistem pemisahan warna.

Ketika ditanya soal durasi melukisnya, ia mengaku menggarap satu lukisan sepanjang rata-rata dua minggu. Dan tidak secara paralel, karena ia selalu menyelesaikan satu per satu, kecuali saat menggurat kontur hitam sebagai babak pertama memindahkan foto dari media LCD. Apa tujuan dari melukis yang relatif baru digiatkan kembali setelah lama istirahat? “Bagi saya, melukis sebagai bentuk klangenan. Saya rindu ingin melukis, lalu mencoba teknik seperti ini. Tentu dibutuhkan kesabaran. Tetapi, ya, memang saya bukan sedang mengejar target tertentu.”

Mengenai tema air yang diangkatnya, ia bercerita perihal obyeknya. “Sungai Limmat di Swiss, tempat saya bermukim belasan tahun, itu unik. Di sana matahari berada di salah satu sisi Bumi dan putarannya memengaruhi warna air sungai itu. Saat pagi hari, wajah sungai itu kehijauan. Ketika menjelang siang, airnya berubah biru, sedangkan senja membuat permukaan sungai terlihat coklat lembayung.” Nah, warna-warna air itulah yang dilukis oleh Ito melalui satu bingkai foto.

Benar yang dilukis adalah benda atau obyek realis, namun hasilnya tampak abstrak, meskipun pendekatan yang diambilnya adalah memindahkan kenyataan. Gelombang dan riak air, kemilau warna-warna akibat sinar matahari, dan tekstur atas perubahan tak terduga dari sifat air yang bergerak, membuat lukisan itu seolah abstrak. Pada kolam yang dihuni oleh ikan-ikan pun, Ito melukiskannya secara natural dan hasilnya adalah gerakan ikan yang memangkas arus air dan warna yang terburai karenanya.

Pelukis yang lahir 1958 dan tumbuh di Jakarta itu bekerja di bidang advertising di Swiss sejak tahun 1987. Pamerannya yang pertama berlangsung tahun 1978. Melihat kilasan sejarah melukisnya, ia sempat berganti-ganti gaya. Para senior yang pernah membimbingnya antara lain pelukis Kusnadi, Danarto, dan Nashar.

Dalam galeri yang sama, Yani M. Sastranegara memamerkan tiga karya instalasi yang semuanya terletak di luar ruangan. Ketiganya menyampaikan judul “Endless”, tiada akhir, sebagai serial yang berusaha mengungkapkan perlambang keabadian dari sudut pandang yang berbeda. Tujuh tabung keramik yang dipecahkan pada bagian atasnya lalu direkat kembali dengan menyisakan celah-celah, ditanam di atas kolam. Apakah Yani bermaksud mengatakan bahwa untuk mencapai kesempurnaan kita harus berjuang habis-habisan bahkan melalui remuk-redam sekalipun. Instalasi yang lain, “Endless 1”, yang pernah dipamerkan tahun 2002, adalah serpihan berwarna perak masing-masing setengah genggam, berjumlah ratusan tergantung dalam irama jarak dengan tanah. Dan yang sungguh menarik adalah sajian berupa batu apung buatan yang berserak di atas kolam biru. Batu-batu besar dan kecil yang tak dapat dibedakan dengan batu asli, mengambang dalam komposisi yang (mungkin berubah oleh hembusan angin atau gelombang air, namun) terasa menghadirkan suasana hening. Dalam gumpalan bintang yang tak sampai menyentuh Bumi itu, ada warta tentang jarak yang tak kunjung sampai. Sedangkan pada susunan batu apung seperti ingin menunjukkan betapa ada sifat yang melawan kodrat: benda padat yang masih sanggup disunggi oleh tenangnya air.

Yani lulusan LPKJ Jurusan Seni Patung tahun 1981. Ia berasal dari Banten namun menghabiskan masa kecilnya di Sumatera Utara. Sejak 1982 kerap mengikuti pameran karya patung bersama di Jakarta dan kota-kota lain. Atas dorongan Jim Supangkat, ia mulai menggarap dan memamerkan karya instalasinya tahun 2002, yang mempersoalkan pertumbuhan.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Wednesday, December 12, 2007

Pasar Terapung

Seusai makan malam, sembari menikmati sebatang rokok sosialis (maksud saya, merokok hanya untuk menyemarakkan pergaulan), di sebuah rumah makan yang mewah, obrolan mengarah pada pasar terapung di atas Sungai Barito. Ketika itu (pertengahan tahun 2004) saya sedang bertugas ke Banjarmasin, kesempatan yang kedua. Saya masih punya waktu 2 hari lagi, dan terpikir sesuatu.

”Saya mau ke sana, bagaimana caranya?”

Dua teman makan malam itu berebut memberi tahu. Tapi syarat pertama ternyata: ”Bisa bangun jam 4 pagi?”

Syarat yang tidak terlalu berat bagi saya. Walaupun saya begadang hingga lewat tengah malam, toh wajib bangun pagi untuk salat subuh. Jadi, dengan antusias, saya sanggupi modal pertama itu.

”Besok jam 4 saya jemput ke hotel, ya. Pasar itu akan selesai sekitar pukul 6, jadi harus melihat saat sedang ramai-ramainya.”

Sepakat! Dengan demikian, malam itu tidak berlanjut ke diskotek, karena tuan rumah yang hendak mengantar saya ke pasar terapung tentu harus bangun lebih pagi. Sangat menguntungkan karena saya tidak gemar diskotik dan kebetulan saya membawa novel untuk dibaca di hotel.

Ternyata jam 4 belum waktu subuh, jadi keberangkatan pun digeser sampai setengah lima. Mungkin lantaran jalanan becek sehabis hujan di kampung sepanjang sungai itu gelap atau telah lama mereka tidak ke tempat itu, kami kesulitan mencari gang untuk masuk ke ”dermaga”. Namun akhirnya ketemu juga. Gairah untuk segera terlibat dengan kesibukan pasar itu tak mengabaikan ”tradisi” mengambil gambar dengan kamera foto. Jeprat-jepret narsis, haha, seperti biasa.

Teman saya, Johansyah, segera menawar sebuah perahu untuk perjalanan kami. Desir angin dini hari yang membawa khas aroma sungai menyentuh relung hidung. Perahu perlahan menuju ke tengah arus sungai yang lebar itu. Tepian di seberang tampak jauh dan masih dalam rundungan gelap. Namun ada deru mesin yang berisik di atas sungai.

”Itu kapal tanker, pengangkut minyak,” kata Johansyah. Saya melihat samar-samar seonggok besi cokelat yang tampaknya menyeramkan, bergerak acuh tak acuh membelah gelombang sungai serupa monster.

Mesin perahu dinyalakan dan berayun-ayun lajulah kami berempat (dengan si tukang perahu) menuju tengah sungai. Tujuan kami hanya satu, Pasar Terapung. Kami meluncur tak sendirian, karena ada perahu-perahu pedagang yang bergerak ke arah yang sama. Di tubuh perahu mereka tentu saja teronggok macam-macam barang dagangan, ada yang spesifik, namun ada pula yang rupa-rupa.

Sambil menempuh perjalanan menuju pusat keramaian, Johansyah sempat merapat ke arah perahu yang menjual hasil sungai. Ternyata mereka baru saja meraup udang-udang segar. Johansyah memilih yang besar-besar, ditimbang, lalu di bayar. Kami melaju lagi.

Sebuah perahu yang berisi onggokan buah rambutan kami hampiri. Transaksi kembali terjadi, lalu beberapa gerumbul rambutan manis itu berpindah ke perahu kami. Pagi-pagi buta makan rambutan? Mudah-mudahan tidak bermasalah dengan perut kami yang masih kosong karena hotel pun belum menyiapkan sarapan sepagi itu. Sementara saya lupa minta diantar breakfast ala Amerika, roti atau apel yang mudah dibekal.

”Kita akan sarapan soto Banjar, di depan sana.” Johansyah menghibur.

”Berarti kita akan menepi dulu?”

”Kenapa harus menepi? Kita makan di restoran terapung juga.”

Ahai! Bagi orang Banjar atau pelanggan Pasar Terapung tentu sudah biasa. Bagi saya ini pengalaman baru. Demikianlah, kami akhirnya masuk ke tengah keramaian. Berderet jukung (istilah Banjar untuk menyebut perahu) dengan para pedagang ibu-ibu setengah baya, berkebaya dan rambutnya ditutup selendang, sibuk berjual-beli. Mereka menjual sayur-mayur, segala jenis ikan, buah-buahan, hasil bumi lain, serta barang kelontong kebutuhan rumah tangga. Jukung saling bersentuhan, berdesakan, sungguh merupakan suasana yang khas. Bagi pembeli yang jaraknya jauh, berantara dengan jukung-jukung lain, pedagang menggunakan galah untuk mengangsurkan barangnya.

Berbeda dengan pasar daratan, pasar terapung tidak memiliki organisasi. Pemerintah Daerah juga tidak menetapkan peraturan resmi terkait pajak, karena dianggap belum memberikan pendapatan yang baik dan tetap. Apalagi, salah satu yang unik, masih bertahan di antara mereka yang melakukan perdagangan secara barter atau dalam bahasa Banjar dinamakan bapanduk.

Terlalu jauh bila membandingkan obyek wisata Pasar Terapung di Sungai Barito dengan Venesia di Timur Dunia, meskipun keduanya memiliki potensi wisata sungai. Sungai di Banjarmasin masih tampak keruh dan tepiannya kotor oleh sampah. Di sepanjang pinggir sungai banyak ditemui rumah-rumah terapung yang disebut rumah lanting, yang berayun-ayun dimainkan gelombang.

Menurut informasi, daerah Kuin merupakan pusat permukiman waterfront village, berderet di sisi sungai dianggap memiliki daya tarik bagi wisatawan, baik alam maupun budaya. Kehidupan masyarakatnya memang erat dengan kehidupan sungai, seperti pasar terapung dan perkampungan tepian sungai dengan gaya arsitektur tradisionalnya. Hilir mudiknya aneka perahu tradisional bermuatan barang dagangan menjadi atraksi menarik bagi wisatawan.

Di kawasan Kuin sebenarnya kita dapat mengunjungi Masjid Sultan Suriansyah dan Komplek Makam Sultan Suriansyah, juga pulau Kembang, pulau Kaget, dan pulau Bakut. Di sana terdapat kerajinan ukiran untuk ornamen rumah Banjar. Tapi saya cukup menikmati kesibukan pasar yang perlahan menjadi sepi, satu per satu undur diri, ketika matahari mulai naik.

Perahu kami menuju ke ”restoran” yang ternyata juga sebuah perahu dengan jangkar terkait ke dasar sungai. Ketika jarak mulai dekat, seutas tambang dilempar oleh pemilik perahu kami yang kemudian diikat dengan tiang perahu makan itu. Ada semacam tenda yang menutupi tempat makan, seperti warteg, dengan meja kayu memanjang di separuh tepi perahu. Pelanggan bisa makan dan minum di perahu restoran itu.

Saya pesan soto banjar. Bersantap kami dengan nikmat. Belum tandas sepiring, mulai banyak tingkah. Saya ingin difoto saat makan di resto terapung itu, lalu pindah ke perahu kami dan difoto lagi. Mumpung langit mulai terang disepuh surya pagi. Dan sekali waktu, Johansyah yang makan dan memotret dari atas atap tak dapat mengendalikan piring yang ditaruh di permukaan seng. Saat ombak sungai terdorong oleh kapal pembawa ubi dan kelapa yang lewat, perahu pun oleng. Meluincurlah piring dengan separuh ketupat berkuah itu masuk ke kapal restoran, terjun ke lantai kayu.

Tertawalah kami. Lalu Johansyah pesan sepiring lagi. Kegembiraan itu seperti awet terbawa hingga kembali ke hotel. Bahkan saat saya akan terbang pulang ke Jakarta esok harinya, masih ada sisa kenangan Pasar Terapung itu: ternyata Johansyah sengaja membeli udang-udang segar itu untuk oleh-oleh saya. Sudah dikupas dan tersimpan dalam termos es. ”Janganlah lupa dengan Pasar Terapung!”

Tentu tidak. Tentu tidak. ***  

(kurnia effendi untuk parle)