Friday, September 28, 2007

Obituari Yatim Kelana

Berduka cita secara mendalam atas meninggalnya teman sejawat, senior, dan sahabat: Yatim Kelana. Beliau saya kenal ketika dan selama bersama-sama menjadi redaksi di tabloid mingguan Parle. Tak banyak yang kami bicarakan saat berjumpa kecuali bertukar sapa sekitar hal yang sederhana dan acap saling menanyakan dua sahabat generasi beliau yang juga menjadi senior saya dalam dunia kesusastraan: Adri Darmaji Woko dan Dharmadi. Keduanya merupakan penyair yang hingga kini masih aktif menulis puisi (Dharmadi) dan menjadi jurnalis di majalah Kartika (Adri).

Berita tentang meninggalnya Pak Yatim Kelana saya dengar melalui telepon dari  Syafruddin Azhar dari kantor Parle pada hari Kamis 27 September 2007. Awalnya dengan kabar yang masih simpang-siur mengenai penyebabnya, namun dipastikan Pak Yatim meninggal di luar rumah. Baru agak jelas ketika saya tanyakan ulang pada malam harinya, menjelang Syafruddin Azhar bersama rombongan redaksi Parle berangkat melayat ke tempat persemayaman, di rumahnya, di Depok. Saya titip salam untuk keluarganya, tak turut serta ke Depok, karena sedang terserang flu.

Hari ini, Jumat 28 September 2007, setelah salat Jumat, jenazah Pak Yatim dimakamkan. Mas Dharmadi memberitahu melalui SMS, dan saya kirimkan Alfatihah untuk perjalanan almarhum pulang ke rumah abadi. Semoga diterima Allah SWT seluruh amal ibadahnya selama hidup di dunia, dan diampuni semua dosa-dosanya. Semoga keluarga yang ditinggalkan tetap tabah.

Yatim Kelana adalah nama pena dari Indro Sudaryo, kalau tidak salah. Menjadi pengarang cerpen yang karyanya di masa lalu banyak dimuat media massa, juga dibukukan. Karier yang ditempuhnya hingga pensiun adalah wartawan harian Berita Yudha. Setelah itu sempat membantu media internal di BKKBN pada periode Pak Hayono Suyono. Darah jurnalis tak berhenti sampai kini, sampai napas terakhirnya, dengan tetap aktif menulis berita dan analisa untuk tabloid Parle.

Saya masih ingat wajahnya yang bahagia ketika bertemu dengan dua sahabatnya, Adri Darmaji Woko dan Dharmadi, di tengah hall Teater Kecil, saat Malam Festival Seni HUT kedua tabloid Parle, Minggu malam 2 September 2007 yang lalu. Serasa baru kemarin. Kini sudah berpisah. Alangkah lekas ”waktu” meretas kebersamaan kita.

Akhir kata: selamat jalan untuk Pak Yatim Kelana dan tidak perlu melaporkan setiap kejadian yang ditemui dalam silaturahmi sakralnya ini. Tugas kewartawanan telah selesai. Dan biarkan pengalaman di sana menjadi misteri bagi kami semua yang, cepat atau lambat, akan menjalaninya juga. Terima kasih untuk kenangan pertemanan kita. Maafkan apabila ada yang tak berkenan sepanjang kita sama-sama bekerja dan berkarya.

(Kurnia Effendi)

 

Wednesday, September 26, 2007

Obituari

Napasmu Panjang Sekali Patah di Langit

-nota belasungkawa untuk almarhum Sigit Haryoto

 

inilah yang kukenang darimu, sahabat

tentang napas, perjalanan, perjuangan, dan

penciptaan yang tak kunjung urung

darimu aku tahu perihal ruang:

proscenium yang melahirkan adegan

darimu aku tahu tentang cahaya:

pembeda peristiwa dan hiasan lelakon

 

hanya sedikit yang kucatat

dari sudut tamansari itu, saat senja gugur

dalam menu yang sama di mangkuk yang berbeda

aku seketika tahu: siasat seleramu

 

ketika kucatat dengan pena kaligrafi

tumpah-ruah hasratmu untuk berkisah

makin kupahami merah darahmu

pada panggung yang seluas ufuk

 

tak ada lagi yang sanggup bertahan, sahabat

pada tangkai letih usia

dalam sergapan angin yang mengintai

sejak maut itu malih rupa

mungkin darimu akan kukenal arti pulang

meski terasa tergesa

seperti lintas cahaya

 

Jakarta, 26 September 2007

Kurnia Effendi

 

 

 

 

 

Tuesday, September 25, 2007

Dari Balik Hujan

SEBENARNYA Raisa ragu untuk meneruskan niatnya. Dari jendela kelas ia melihat langit tidak secerah tadi pagi. Tetapi ia tak punya waktu luang lagi. Akhir pekan ini ia harus ikut rombongan keluarga ke Banten. Padahal semingu lagi masuk bulan Ramadan! Hanya dalam beberapa hari inilah Raisa memiliki kesempatan menjenguk Tino.

            “Seharusnya dari kemarin-kemarin,” keluhnya sambil masih menatap langit yang mengusung mendung.

            “Apa yang seharusnya dari kemarin?” tegur Cuaca, cewek keturunan Cina, teman sebangku Raisa.

            “Oh,” Raisa menggeleng sambil menatap temannya. Dipamerkannya senyum. “Ini pasti gara-gara kamu. Atau mestinya kamu punya cara untuk mengusir mendung itu.”

            “Hei, apa salahku? Apa yang salah dengan mendung itu?” Kening Cuaca mengernyit.

            Namamu Cuaca. Kamu pasti mampu mengatur cuaca hari ini…” canda Raisa terhenti oleh cubitan Cuaca.

            “Siapkan kertasmu! Bu Irma sudah melirik ke arah kita.” Cuaca mengingatkan.

            “Ulangan?” Raisa terbelalak.

            “Itulah! Kupikir kamu sedang menyesali lantaran nggak belajar.”

            “O-o, itu juga, sih.”

            Empat puluh lima menit kemudian, akhirnya selesai sudah kegiatan belajar hari itu. Pukul dua kurang seperempat, seluruh isi kelas menghambur keluar. Yang diperhatikan pertama kali oleh Raisa setiba di halaman sekolah adalah langit.

            “Eh, kamu serius soal mendung itu ya?” seru Cuaca.

            “Aku nggak mau kehujanan di jalan.”

            “Kujamin nggak akan hujan sampai kamu tiba di rumah.” Cuaca tersenyum. Sepasang mata sipitnya memejam dan menengadahkan kedua tangan seperti berdoa.

            “Aku percaya!” Raisa tertawa. Tapi, sebenarnya Raisa tak hendak langsung ke rumah. Ia akan menjenguk Tino. Cuaca tak perlu tahu rencana pribadinya itu.

            Mereka berpisah di gerbang sekolah. Seperti biasa, Raisa memanggil Bang Arpan, tukang ojek langganannya. Tapi kali ini arah yang hendak ditempuhnya berbeda.

            “Kita ke Rawamangun, Bang!” katanya sambil membonceng.

            “Rawamangun? Ke tempat siapa?”

            “Tino. Sudahlah, jalan dulu aja! Keburu hujan nih!”

            Bang Arpan, si abang ojek yang juga tetangga Raisa itu mengikuti perintah. Ia meluncurkan motornya ke Jalan Pemuda, menyibak-nyibak lalu lintas yang padat. Pada perempatan kedua belok ke kiri, masuk ke Jalan Sunan Giri sesuai isyarat Raisa.

            Ketika motornya tiba di depan kompleks kuburan Rawamangun, tangan Raisa menepuk bahu Arpan. “Stop, Bang!”

            “Di mana rumah Tino?”

            Raisa yang sudah turun segera meletakkan jari telunjuknya di bibir. Pesan Raisa: “Jangan ditinggal, ya. Tunggu saja di sini. Eh, tapi kalau ada penumpang jarak dekat boleh aja Abang ambil, asal tak lebih satu jam harus balik ke sini.”

            Bang Arpan mengangguk dengan seringai ramahnya. Ia menganggap Raisa seperti keponakan sendiri. Andaikata kelak Raisa kaya raya, ingin benar ia jadi sopirnya. Majikan seperti dia pasti asyik, batinnya.

            Tetapi ia tambah heran sewaktu Raisa benar-benar masuk ke dalam kompleks permakaman. Apakah Tino tinggal di belakang kuburan itu? Atau Tino sudah meninggal? Diam-diam Arpan bergidik, lalu menggeser sepeda motornya ke sekitar penjual bunga.

            Ia memperhatikan Raisa yang berjalan menunduk memasuki pintu permakaman. Masih dengan seragam sekolahnya, membaur dengan para peziarah yang lain. Menjelang Ramadan, hampir setiap komplek permakaman ramai dikunjungi orang.

            “Aku datang, Tino. Maafkan jika baru hari ini aku mengunjungimu.” Berulang kali Raisa menggumam. Ia berjingkat di antara deretan makam. Sampai akhirnya tiba di depan sebuah nisan yang mulai rimbun oleh rumput.

            Andantino. Nama itu tertulis di batu nisan persis di hadapannya. Meninggal dua bulan yang lalu dalam peristiwa yang tak mungkin terlupakan oleh Raisa. Perlahan-lahan gadis itu berjongkok di depan makam Tino. Tanpa disadari air matanya mengalir ke pipi.

            “Tino, sampai hari ini aku menyesali kejadian itu,” bisik Raisa. Seolah Tino benar-benar di hadapannya dan ingin percakapan mereka tak terdengar orang lain. “Aku percaya kamu sahabatku yang terbaik. Tetapi bukan dengan cara itu harus kamu buktikan. Tidak perlu dengan cara yang membuatmu seperti ini. Tak ada seorang pun yang menganggapmu pahlawan, kecuali aku. Karena itulah aku menyesal. Sayangnya, tak mungkin aku minta kamu kembali lagi. Ini sudah keputusan Tuhan.”

           Raisa terisak, dadanya terasa sesak. Bahunya terguncang. Tergambar kembali di mata Raisa peristiwa dua bulan lalu. Raisa dan teman-teman karibnya diganggu oleh cowok-cowok SMA lain saat usai pertandingan basket. Awalnya sepele, namun berkembang menjadi cukup serius. Tentu saja Raisa menjadi ketakutan. Saat itulah Tino dan kelompoknya melihat insiden mereka.

            Di senja itu hampir saja terjadi perkelahian. Untung banyak siswa SMA lain yang juga menonton pertandingan dan bersama-sama pulang. Mereka melerai. Tampaknya usai sudah persoalan. Namun empat hari berikutnya, kelompok SMA yang merasa tersinggung oleh Tino menunggu sekolah Raisa bubaran. Begitu muncul Tino dan teman-temanya keluar halaman, terdengar teriakan menantang dari kelompok pendatang itu.

            Terjadilah tawuran kecil di halaman luar sekolah. Tampaknya, dari sekian banyak teman Raisa, Tino yang paling terbakar amarah. Raisa mencoba menahan Tino yang hendak mengejar penyerang itu dengan sepeda motornya.

            “Tino, sabarlah,” Raisa memegang bahu cowok itu erat-erat. “Nggak perlu dilanjutkan. Aku nggak mau ada korban.”

            “Nggak bisa begitu, Ra! Ini bukan hanya menyinggung harga diriku, tapi juga sekolah kita. Kamu mungkin bisa terima, tapi aku nggak!”

            Raisa merasa sangat bersalah ketika akhirnya melepaskan Tino. Karena petang itu menjadi pertemuan terakhir dengan Tino. Hampir tengah malam ia mendengar berita duka, bahwa Tino dilarikan ke rumah sakit karena menjadi korban keroyokan. Luka parah akibat beberapa tusukan di tubuhnya membuatnya tak sanggup bertahan.

”Aku salut dengan rasa setia kawanmu, Tino. Kamu tak hanya membelaku, tetapi membela teman-teman lain dan sekolah kita. Kamu memang sedikit pemberang, tapi aku tak pernah melupakan kebaikanmu kepadaku dalam banyak hal. Kukira bukan hanya kepadaku kamu suka menolong, banyak teman-temanmu mengakui hal yang sama. Tapi, kematianmu itu gara-gara aku....” Air mata berderai-derai melintasi pipi ranum Raisa.

Untunglah terik matahari terhalang mendung yang menghampar. Langit Jakarta pukul tiga begitu teduh. Keringat menitik oleh pengap udara yang tak lagi bebas menguap karena awan tebal menyelimuti kota. Gelap dan sedikit membuat cemas Raisa.

”Maafkan aku, Tino. Aku berdoa, meminta kepada Tuhan, agar kamu ditempatkan di sisi-Nya. Sebentar lagi Ramadan. Jadi kita harus saling memaafkan. Agar puasaku dimulai dengan jiwa yang bersih. Aku selalu berharap malaikat menurunkan rahmat Tuhan kepadamu.”

Angin mulai bertiup kencang, mengisyaratkan akan datangnya hujan. Di pengujung pandangan, Raisa melihat serpih awan hitam itu meluruh ke Bumi. Tak lama lagi hujan akan sampai di sini.

Raisa tak sempat membeli bunga di pintu permakaman. Tangannya mencabut rumput-rumput yang tumbuh liar di sekitar makam Tino. Sampai teringat sesuatu dan ia pun membuka tas sekolahnya. Ditemukannya kertas warna marun yang pernah menjadi bungkus kado ulang tahun dari Tino. Ia sendiri heran, kenapa terus menyimpannya di saku tas sekolah sejak tiga bulan yang lalu? Ah, ia ingat kini, kertas itu telah dipotongnya sebesar kartu pos, pada bagian putih di baliknya ia menyalin puisi-puisi yang ia sukai. Puisi-puisi yang sedianya akan diberikan kepada Tino. Namun ajal merengggut cowok itu sebelum tiba hari ulang tahunnya.

Raisa berdiri, membaca puisi yang ditulisnya, masih dengan mata basah. Hampir saja kertas-kertas marun itu disobek kecil-kecil untuk dijadikan bunga tabur, ketika terdengar suara di belakangnya.

”Raisa, kamu membutuhkan mawar-mawar ini?”

Raisa terkejut dan menoleh serentak dengan gemetar. Seketika ia menemukan seorang cowok yang masih mengenakan seragam SMA, berdiri menatapnya. Dalam jarak dua meter, Raisa tak menyadari kedatangannya. Sudah lamakah berdiri di sana?

”Kamu...?” Bibir Raisa ternganga.

”Kamu lupa namaku? Dion. Aku teman dan tetangga Tino.” Cowok itu menjelaskan. Sementara Raisa menyusuri gelombang ingatan, lalu membaca nama SMA yang tertera pada badge.

”Tidak mungkin!” Raisa menggeleng. ”Dari mana kamu tahu namaku?”

”Tino banyak cerita tentang kamu, bahkan aku sudah mengenalmu meskipun tak pernah bertemu berdua seperti ini.”

Dalam serpih ingatan, Raisa mendapatkan beberapa kejadian. Ada bazaar dan Pentas Seni yang pernah mempertemukan mereka. Tetapi, pertemuan di rumah sakit itu....

”Kamu yang membunuh Tino, bukan?” Mendadak wajah Raisa mengeras. Geram.

”Kamu salah, Raisa.” Cowok itu buru-buru mengembangkan tangannya, menolak tuduhan Raisa. ”Aku justru yang membawa Tino ke rumah sakit. Aku memang satu sekolah dengan pengeroyok Tino. Itulah yang kusesali, aku terlambat datang ke tempat kejadian....”

”Apa pun yang kamu bilang, aku tak percaya.” Raisa menatap tajam. ”Aku memang melihatmu sibuk mengurus Tino. Itu tentu tanggung jawabmu sebagai penyebab kematian Tino.”

Gerimis mulai menitik di sana-sini. Angin bertiup semakin dingin. Raisa tak ingin berlama-lama di tempat yang akan membuatnya bayah kuyup. Apalagi berhadapan dengan orang yang seharusnya dihukum.

”Ini mungkin bukan tempat yang tepat, tapi aku perlu menjelaskan padamu.” Dion memohon. Tetapi Raisa memalingkan muka.

”Kupikir tak ada waktu. Dan tak akan ada gunanya,” ujar Raisa.

”Oke. Aku tak bisa memaksamu. Walaupun sebenarnya aku menunggu saat-saat seperti ini. Sedikit saja kuberi tahu padamu. Aku sahabat Tino sejak sekelas di SMP. Sayang kami berpisah SMA, tapi bukan berarti putus hubungan. Kamu bisa melihat atau menyimpan beberapa benda kesayangan Tino yang ada di rumahku. Itu saja, Raisa.” Dion mencari-cari mata Raisa. ”Sebentar lagi hujan, silakan kalau mau pulang. Aku akan berdoa buat Tino.”

Tanpa menunggu jawaban Raisa, Dion menabur kelopak-kelopak mawar dan melati dari plastik yang dibawanya di atas makam Tino. Lalu ia bersimpuh di depan nisan. Gerimis makin rinai. Menciptakan butir embun di rambut mereka.

Raisa berbalik dan melangkah cepat meninggalkan Dion. Tidak menoleh lagi. Lebih karena hujan yang tak lagi bisa menahan diri. Sementara Dion tetap khusyuk menunduk di depan makam sahabatnya. Raisa berlari menuju halte yang mulai sesak oleh orang. Matanya mencari-cari Bang Arpan. Tetes-tetes hujan membentuk tirai tanrasparan.

Dari balik hujan Raisa melihat Dion berlari-lari mencari pohon tempat berteduh. Ingin ia percaya penjelasan Dion, ingin sekali. Selama ini ia merasa berduka sendirian, tak seorang pun mengingat Tino lagi. Rupanya hanya Dion, teman sekelas Tino waktu SMP, yang masih menyayangi Dion sebagai sahabat. Hanya Dion yang tampaknya masih menyimpan rasa kehilangan. Seperti yang dirasakan Raisa. Dan Dion, agaknya tahu banyak tentang Raisa dari Tino. Kenyataan itu sedikit mengejutkan Raisa, sebenarnya.

”Mereka tentu benar-benar bersahabat,” simpul Raisa dalam hati. ”Seharusnya aku juga menjadi sahabat Dion, bila ingin Tino bahagia. Setidaknya....setidaknya aku mendapat teman pengganti.”

Tiba-tiba dua bunyi SMS masuk berturut-turut ke handphone Raisa.

”Kamu tidak kehujanan, kan? Aku sudah menahannya hingga kamu tiba di rumah,” begitu yang ditulis Cuaca. Raisa tersenyum.

Dan sebuah nomor yang tak dikenal menulis pesan: ”Raisa, izinkan aku menjadi sahabatmu. Tentu setelah kamu percaya penjelasanku. Bukankah kita sama-sama kehilangan Tino? Sori, nomormu kutahu dari Tino (Dion).”

Dari balik hujan, Raisa ingin membalas SMS: ”Aku belum bisa jawab sekarang, Dion. Tapi, maafkan aku lahir dan batin. Aku ingin Ramadanku bersih dari noda.”

***

(Kurnia Effendi untuk Gadis 26)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Monday, September 24, 2007

Segelas Air

Selalu saja, di ujung pengajian lepas ashar, Fulan merenung-renung sendiri. Hamparan karpet dengan rajutan warna khas Mesir ditatapnya berlama-lama. Ia bersila dengan paras penuh himpunan pertanyaan, sementara para penderas Quran yang lain telah meninggalkan balairung. Angin mengalir perlahan dari tiap kisi-kisi jendela. Banyak hal yang merubung benaknya dan tak terusir oleh embusan bayu sore hari.

Kali ini, saudagar yang sekaligus menjadi guru ruhaninya itu menghampiri. Ia duduk bersila dan saling bersihadap. ”Apa lagi yang mengusik perasaanmu, Fulan?”

Tampak wajah Fulan dililit bimbang. Sejumlah rasa ingin tahu berenang dalam matanya. Mungkinkah guru yang dihormatinya itu akan tersinggung bila diajukan pertanyaan menyangkut kekayaannya? Debar jantungnya mengganggu gerakan bibirnya. Namun tak hendak ia menunda lagi.

”Maafkan sebelumnya saya yang dhaif ini. Rasanya tak pantas bila saya bertanya tentang sesuatu yang sangat pribadi.” Akhirnya Fulan menyampaikan juga perasaannya.

            Senyum gurunya sedikit menenangkan jiwanya. Diam-diam sang guru terkesan oleh murid yang satu ini, yang selalu ingin membongkar misteri ilmu, muasal yang gelap, dan persoalan yang masih tersembunyi.

            ”Bukankah saya selalu mempersilakan siapapun bertanya tentang apapun? Saya akan berusaha menjawab yang saya tahu. Jikalau saya tak mampu menjelaskan, saya berjanji akan mencarinya sampai ketemu.”

            Rona lega mewarnai muka Fulan, membuatnya bertambah bersih. Aura bening menyeputar di wajah yang senantiasa dijaga air wudlu itu. Perilaku yang membuat sang guru kian sayang kepadanya.  

            ”Sekali lagi maafkan saya yang lancang. Saya tak benar-benar tahu berapa luas sawah yang Kyai miliki, berapa ekor kuda yang Kyai pelihara, dan berapa orang pembatik yang bekerja pada Kyai, berapa pula toko kelontong yang Kyai punyai. Sungguh saya tidak tahu persis, tetapi yang saya tahu jumlahnya banyak.”

            ”Itu benar, Fulan. Apakah perlu kamu ketahui jumlahnya yang tepat?”

            ”Maaf Kyai, tentu saja tidak. Itu bukan hak saya.” Fulan segera membungkukkan badan. Sorot matahari sore membentuk bilah-bilah cahaya di atas permadani dan memotong punggung Fulan yang merunduk takzim.

            ”Jadi, apa yang mengganggu perasaanmu?”

            ”Sebenarnya saya bingung,bagaimana Kyai mengelola semua itu dalam kesibukan sehari-hari. Ilmu saya memang belum sampai. Kekayaan itu juga tidak pernah ada dalam bayangan saya. Padahal Allah sangat rinci menghitung semua milik manusia dan yang menjadi hak orang lain di dalamnya. Apakah selama ini Kyai selalu menunaikan kewajiban atas harta itu?” Fulan mendengar suaranya sendiri yang gemetar, pertanda rasa takut menyelimuti hatinya.

            Gurunya tampak mengangguk-angguk. Dielusnya janggut yang sebagian telah memutih dengan jemarinya yang mulai berhias keriput.

            ”Lantas apa yang kamu ketahui selama ini?” tanya sang guru.

            Fulan mengangkat wajahnya, memandang mata jernih di depannya. Lalu ia perlahan menggeleng. ”Saya tidak tahu semuanya. Hanya sedikit yang saya tahu. Misalnya setelah panen padi, ada sejumlah karung padi yang diangkut dari rumah penggilingan tidak menuju kemari. Entah ke mana delman itu bertolak.”

            ”Baiklah,” sang guru melihat jam lonceng yang tegak di sudut ruangan. ”Kita punya waktu untuk melihat-lihat suasana kota sebelum beduk maghrib. Tidak punya janji dengan orang lain, kan?”

            ”Oh ya, mari Kyai. Insya Allah saya tidak sedang punya janji dengan siapa pun.”

            Keduanya beranjak meninggalkan aula. Fulan mengikuti gurunya yang melangkah ke dapur. Diambilnya segelas air bening nyaris penuh, sebelum menuju halaman samping, tempat sebuah delman bertengger. Seekor kuda gagah menanti perintah. Gurunya naik lebih dulu. ”Biarlah saya yang menjadi kusirnya,”

            Fulan heran melihat dua hal yang tak biasa: membawa segelas air dan berperan menjadi sais. Tapi, bukankah ia sedang berguru? Jadi ditunggunya pelajaran berikutnya.

            ”Nah, sekarang kamu pegang gelas ini. Saya minta jagalah jangan sampai airnya tumpah sampai kita kembali ke rumah,” ujar sang guru. Fulan menurut titah itu.

Udara Pekalongan menjelang lingsir senja, bersih dari gumpalan awan. Hari itu,  mengakhiri pekan kedua Ramadan, cukup cerah untuk keliling kota. Sungguhpun sebelumnya tak terniatkan bagi dua hamba Allah itu, dua orang laki-laki yang mendadak bermaksud menguji sebuah soal. Langit biru lembayung lepas ashar berhias pohon-pohon randu. Kelopak kapuk yang meretas di akhir musim panas, terbang melayang-layang.

            ”Kita hendak jalan ke mana, Kyai?” tanya Fulan begitu tali kekang kuda disentak. Roda kayu delman bergerak berputar.

            ”Seperti kata saya tadi, melihat-lihat keadaan kota Pekalongan,” jawab Kyai dengan tenang.

            Sebagian jalan masih berdebu, sebagian lain telah melepaskan butiran kerikil dari ikatan aspal. Lubang-lubang jalan yang dilewati membuat Fulan semakin berhati-hati dengan gelas air di tangannya. Ia harus taat dengan permintaan gurunya, menjaga agar air tak tumpah setetes pun.

            ”Boleh saya sambil bercerita?” tanya Kyai menoleh ke arah Fulan. Ketika muridnya mengangguk, ia melanjutkan. ”Dulu seluruh wilayah ini adalah ladang tebu, tapi kini telah banyak rumah berdiri karena warga kampung ini lekas beranak-pinak...”

            Mula-mula Fulan mendengar dengan saksama. Namun setiap kali delman bergoyang, dia harus sigap mempertahankan ketenangan air dalam gelas. Kaki-kaki kuda itu berlari kecil dengan bunyi ritmis. Gelombang ayunan sepanjang perjalanan membuat Fulan tak lagi menyimak cerita sang guru. Ia begitu sibuk menjaga air dalam gelas itu.

            Akhirnya, sampailah mereka kembali ke halaman rumah besar tempat mereka berangkat tadi. Kyai tersenyum melihat butiran peluh membasahi dahi dan punggung baju muridnya yang wajahnya tampak tegang.

            ”Apa yang telah kamu lihat sepanjang perjalanan tadi?” tanyanya.

            ”Maaf, Kyai. Saya tidak sempat melihat apa pun. Saya juga tidak mendengar cerita apa pun. Saya begitu takut air dalam gelas ini tumpah,” sahut Fulan gemetar.

            Kyai itu terdiam beberapa saat, membiarkan angin semilir menyapu dengan aroma kembang kenanga yang tumbuh di pengujung halaman.

            ”Fulan, begitulah seharusnya saya menjaga seluruh harta terhadap hak-hak orang lain. Sesungguhnya saya hampir tak nyenyak tidur, cemas seandainya zakat belum saya tunaikan. Saya tak ingin menemukan tetangga yang kelaparan atau pegawai saya terlambat menerima upah. Oleh kesibukan itu, saya nyaris tidak sempat melihat keindahan kota Pekalongan.”

            Fulan mencoba menafsir ucapan gurunya, bermalam-malam kemudian. ***

(Kurnia Effendi, untuk Parle)

Friday, September 21, 2007

Lonceng Angin

: notasi ulang tahun untuk Abing Patrick

 

Tentu aku tak tahu berapa umurku

Kecuali keloneng lonceng yang mendekatkan jarak dua bukit

Aku dan kau, aku dan kau

 

Ada beribu detik yang lepas dari masa alpa:

          Saat cinta meringkas waktu menjadi balon berwarna

          Saat menunggumu hingga berlumut dan tersedu

Sejak itu aku selalu salah hitung: berapa jumlah huruf dalam namamu?

 

Di tepi sepi, aku hanya memanggilmu

dengan bisik sayang

Suara setipis selendang

yang luput dari nyaring genta

Melayang-layang

Meniru tarian kapas

Berakhir di altar hening

 

Tentu aku tak ingat lagi berapa umurku

Cinta sejati selalu menghapus angka tahun

Dari batang sejarah yang memanjang dan ngungun

Cinta sejati selalu mencuri angka tahun

Dari balik catatan pertemuan yang rimbun

 

Pertanda itu, meski perlahan, sangat kutahu

Adalah langkahmu yang senantiasa mendekat

Dalam bayang-bayang lekat

Namun tak juga sampai pada pelukan

 

Biarlah angin mempermainkan lonceng

Semeriah tawa masa mudamu

Karena hanya itu yang kuingat

Ketika cinta meringkas waktu, dan

aku tetap menunggumu

 

Kef, 21 Sept 2007

 

 

Interlude-Jeda On Air

Tak hanya meluncur ke tengah publik bersamaan dengan HUT tabloid Parle, buku Interlude-Jeda juga mengudara melalui Pro 2 FM. Dalam acara Pro Resensi, Minggu 9 September 2007, senja hari pukul 16:00, Syafruddin Azhar dan Kurnia Effendi, menjawab pertanyaan seputar buku itu. Mereka berdua, sebagai redaktur tabloid Parle telah bersama-sama menghimpun tulisan kolomnya (“Interlude” dan “Jeda”) dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Buku setebal 330 halaman itu berisi sekitar 80 esai pendek, masing-masing kolumnis memilih 40 judul (dari sekitar satu setengah tahun rentang penerbitan mingguan Parle). “Penerbitan buku ini merupakan penghargaan manajemen tabloid Parle bagi redakturnya yang produktif,” ujar kedua penulis saat Lia Ahmadi, pemandu acara Pro Resensi menanyakan ihwal peluncurannya.

Apa sebenarnya isi rubrik Interlude dan Jeda? ”Dari makna kata, antara interlude dan jeda nyaris tak ada beda. Sebuah selingan di antara berita-berita yang lain. Hanya ada perbedaan cara menulisnya,” demikian penjelasan Syafruddin. ”Saya biasanya banyak menggunakan literatur sesuai dengan topik yang sedang saya bahas. Kadang-kadang memang terjadi kesamaan gagasan ketika ada isu yang sedang hangat pada pekan itu. Misalnya ketika terjadi banjir besar di Jakarta, saya dan Mas Kurnia menulis hal yang sama meskipun sudut pandangnya berbeda. Akhirnya kami harus membedakan judul. Karena Mas Kurnia telah mengambil judul ”Air”, saya memilih ”Bah”.

Sejumlah pendengar melontarkan pertanyaan seputar teknik penulisan, antara kolom dengan fiksi. Ada juga yang ingin tahu, bagaimana jika penulisnya sedang mengalami masalah keluarga dan cara membagi waktu, mengingat mingguan selalu memiliki deadline yang ketat. Pada dasarnya, cara menulis sudah menjadi bagian yang harus disiasati. Kurnia misalnya, mengaku mampu menulis dalam suasana ramai, sementara Syafruddin lebih memilih tempat yang tenang.

”Sebagai tabloid, apa sasaran dan misi Parle? Berapa tirasnya?” tanya Lia mewakili pendengar. Awalnya, Parle memang tabloid yang lebih menitikberatkan pada berita sosial-politik. Namun sejak Kurnia Effendi dan Endah Sulwesi (redaktur yang lain) bergabung, membawa aroma seni budaya khususnya sastra. Jadi, kalau pada setengah tahun pertama selalu memberikan suplemen RUU, kini mulai berhias halaman seni budaya. Mengenai tiras, belum mencapai jumlah lima ribu eksemplar. Namun demikian peredaran Parle sudah sampai ke Aceh dan Manado.

Bagaimana cara mendapatkan buku Interlude-Jeda, ini barangkali penting bagi para pembaca. Karena tidak melalui distributor, mungkin tidak semua toko buku akan memajangnya. Bagi yang beminat dapat langsung menghubungi redaksi tabloid Parle melalui telepon 021-4222244 atau e-mail parle_tabloid05@yahoo.com. Acara on air yang hanya satu jam memang tidak dapat menjawab semua pertanyaan pendengar. Cara terbaik untuk mengetahui lebih jauh kolom khas Parle itu, tentu saja dengan memiliki buku itu dan membacanya.  ***

 

The Wahid Institute

Tiga Tahun Memperjuangkan Pluralisme

Tepat tanggal 8 September 2007, The Wahid Institute berusia 3 tahun. Apa saja yang telah dilakukan sebagai kiprah? Mungkin perlu kita ketahui visi dan misinya sebagai institusi yang bergerak dalam pluralisme Islam.

The Wahid Institute (TWI) didirikan antara lain oleh Gus Dur, Wimar Witoelar, Ahmad Suaedy, dan Yenny Zannuba Wahid yang kini menjadi Direktur eksekutifnya. Terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran Gus Dur, terutama yang terkait dengan pluralisme, demokrasi, dan HAM. Visi kebangsaan Gus Dur yang kokoh dan jernih mendorong lembaga ini meneruskan dalam bentuk kerja sosial. The Wahid Institute mengemban komitmen menyebarkan gagasan muslim progresif yang mengedepankan toleransi dan saling pengertian dalam masyarakat antara dunia Islam dan Barat. The Wahid Isntitute juga membangun dialog di antara pemimpin agama-agama dan tokoh politik dunia Islam dan Barat.

Kegiatan yang bersifat kampanye pemikiran Islam progresif dan plural, ditunjukkan melalui website, sisipan majalah dan surat kabar, buletin dan dialog televisi atau talkshow radio. Bahkan TWI, sejak 2005 telah melakukan program legislation and pluralism watch yang memantau isu-isu pluralisme di berbagai daerah, melihat praktik legislasi yang cenderung diskriminatif. Oleh sebab itu muncul dalam catatan TWI, indeks pelanggaran pluralisme di Indonesia.

Sebagai lembaga yang bergerak dalam khazanah intelektual, tak pernah absen menerbitkan buku setiap tahunnya. Dalam ulang tahunnya yang ketiga, TWI telah menyelenggarakan agenda terobosan dengan lomba menulis cerita pendek dan esai untuk kalangan pesantren. Disebut terobosan, karena para santri pondok-pondok tradisional masih dilarang nonton televisi dan membaca majalah atau buku yang beredar bebas. Dapat dibayangkan, tema “Berbeda itu Asyik” yang disodorkan dalam lomba cerpen tersebut menjadi beban berat bagi pesertanya.

Sebagai dewan juri, Farick Ziat, Kurnia Effendi, dan Nova Riyanti Yusuf, pada akhirnya merasa surprised, ketika dalam keterbatasan, para santri itu tetap bersemangat menulis, bahkan banyak di antara mereka menggunakan tulisan tangan. Tentu karena sarana komputer masih menjadi barang langka di beberapa pondok pesantren, yang merasa khawatir terhadap pengaruh internet.

Lima buku yang diluncurkan malam itu, sebelum orasi budaya Gus Dur, Dua Wajah Islam (Stephen Sulaiman Schwartz), Islam Kosmopolitan (Gus Dur), Politisasi Agama dan Konflik Komunal (Ahmad Suaedy), dan Gus Dur Asyik Gitu Loh (Maia Rosyida). Diterima antaran lain oleh Julius Pour dari Kompas, Jenderal Wiranto, dan Mahfud MD.

  

 

Festival Budaya Betawi 2007

Wulan Guritno sebagai Nyai Dasima

Sejak tanggal 7 sampai dengan 9 September, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta menyelenggarakan Festival Budaya Betawi. Seluruh acara berlangsung di Desa Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Tempat itu begitu sejuk, masuk ke perkampungan, dan panggung pertunjukan dibangun di sisi Danau (Setu) Babakan.

Pelbagai kegiatan ditampilkan dengan jadwal yang terbagi dalam tiga hari. Festival ini diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT Republik Indonesia yang ke-62. Sekaligus untuk memelihara agar kebudayaan Betawi tetap dimiliki oleh masyarakatnya. Di tengah gempuran budaya Barat yang masuk melalui banyak cara, terutama televisi yang nyaris tanpa kontrol baik dari pemerintah maupun lembaga yang berkepentingan terhadap program siaran, festival tersebut bak pejuang yang mencoba tegak berdiri dengan senjata yang dimiliki.

Segala yang bercorak Betawi dipertunjukkan. Antara lain Parade 62 Roti Buaya. Angka 62 tentu mengacu pada usia kemerdekaan Indonesia, sedangkan roti buaya khas milik Betawi yang acap muncul pada perhelatan pernikahan. Ada kiga Parade Delman Hias, semacam karnaval yang meriah. Tradisi Buka Palang Pintu dan atraksi tarian Betawi yang dibawakan oleh 100 orang. Sebagai tampilan yang bercerita, digelar Lenong Bocah dan drama berjudul Nyai Dasima.

Diperankan oleh Wulan Guritno, Nyai Dasima dalam pertunjukan ini kurang menunjukkan wajah pribumi. Tetapi terlepas dari kesan itu, naskah skenario karya SM Ardan ini patut disambut dengan baik. Dengan durasi sekitar satu setengah jam, sandiwara bergaya lenong Betawi ini menggarap panggung secara maksimal. Seluruh pemain duduk di belakang proscenium, tampil ke panggung sesuai babak yang menjadi bagiannya.

Yamin Azhari, sang sutradara, mengaku mempersiapkan pertunjukan ini selama dua bulan. Ia memimpin Teater Bangkeng yang didirikan dua tahun silam dengan anggota tetap sebanyak 15 orang. Mereka bermarkas dan berlatih di Gelanggang Remaja Jakarta Timur, Jalan Otista 123. Nyai Dasima merupakan produksi kedua Teater Bangkeng. Wulan Guritno dibesut sebagai bintang tamu sekaligus aktris utama. Dengan busana kebaya khas Betawi, dialog yang lebih banyak murung, menunjukkan posisi Nyai Dasima yang bimbang dan cemas antara ingin lepas dari kungkungan suaminya dan penerimaan keluarga.

Cerita yang dilengkapi dengan adegan laga ini cukup menarik. Sayangnya musik sebagai ilustrasi dibuat dalam bentuk rekaman, bukan life show. Jumlah penonton juga kurang maksimal, mungkin lantaran tempatnya cukup sulit dijangkau dari kawasan Jakarta yang lain. Selain acara-acara di atas, akan digelar juga atraksi Wayang Betawi.

(Kurnia Effendi)

 

Monday, September 17, 2007

IKHLAS

SEORANG santri pernah bercerita tentang gurunya: ustadz yang kaya raya. Ia memiliki kebun kelapa yang luas. Suatu hari santri itu diajak berkeliling kebun sesudah salat asar. Seperti biasa, seraya mengayun langkah, ada saja pelajaran yang diterima santri itu melalui perbincangan.

            Di tengah perjalanan, mendadak mereka melihat sesuatu yang mencurigakan jauh di depan sana. Sesuatu yang bergerak-gerak, berupa bayangan-bayangan, tertangkap pula suara samar percakapan para lelaki. Ustadz memberi isyarat kepada santrinya agar berhenti melangkah. Mereka berdua menyimak sayup suara itu dan menyimpulkan bahwa ada sejumlah lelaki yang sedang mengunduh kelapa. Seingat ustadz, tak ada perintah darinya kepada siapa pun hari itu untuk memetik kelapa. Kemungkinan besar para lelaki itu orang-orang tak dikenal yang masuk ke dalam kebunnya tanpa diundang.

            “Mereka mencuri kelapa,” ujar santrinya terkejut.

            Ustadz segera memberi isyarat dengan telunjuk di depan bibirnya yang terkatup. Santri itu diam dan menunggu. Ia siap saja jika diperintah oleh gurunya untuk memperingatkan mereka dan mengusirnya. Bahkan andaikata harus berkelahi demi membela kebun kelapa milik gurunya. Namun tangannya justru ditarik agar sembunyi di balik pohon.

            Santri itu patuh meskipun belum mengerti maksud gurunya. Dari balik gerumbul pepohonan mereka menyaksikan para lelaki yang tangkas memanjat pohon kelapa. Sebagian menunggu di bawah dengan gerobaknya. Entah berapa puluh butir kelapa telah berpindah ke dalam dua gerobak hingga penuh. Setengah jam ustadz dan santri itu sembunyi tanpa mengeluarkan suara.

            “Kenapa kita tidak menangkap mereka?” tanya santri berbisik.

            “Biar saja. Kalau mereka tahu keberadaan kita, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Mungkin mereka lari meninggalkan gerobaknya. Mungkin mereka melakukan kekerasan pada kita. Sementara kita tidak tahu tujuan mereka mencuri kelapa. Mungkin lebih berguna jika kita diam saja di sini sampai mereka pergi.”

            Santrinya mengangguk meskipun tidak paham dengan jalan pikiran gurunya. Setelah para lelaki itu pergi dengan barang curiannya, ustadz kembali mengajak santrinya berjalan. Seperti tak pernah terjadi apa pun. Mereka memutari kebun dan berjalan kembali ke pondok. Pikiran santri itu masih diliputi keheranan, tapi tak berani bertanya lebih lanjut.

            Sesampai di rumah yang letaknya di belakang pondok pesantren, ustadz segera menemui istrinya. Santri itu sempat mendengar percakapan mereka dari pintu penghubung antara rumah ustadz dan bangunan pesantren.

            “Bu, aku mau cerita kejadian yang kulihat di kebun. Tapi sebelumnya aku mohon ibu ikhlas. Ada beberapa orang mengambil kelapa kita tanpa izin.”

            “Astaghfirullahalazhim!” istrinya terperanjat, tapi ia menuruti kehendak suaminya untuk merelakannya.

            “Kalau kita tidak ikhlas, kelapa yang mereka ambil menjadi barang curian dan hukumnya haram. Kalau barang haram itu dijual atau dimakan oleh anak-istri mereka, pasti akan mendatangkan keburukan. Tetapi kalau kita ikhlaskan, kelapa itu menjadi pemberian. Menjadi sedekah kita. Sudah pasti akan menyelamatkan mereka dan keluarganya. Insya Allah menjadi pahala buat kita.”

            Santri itu akhirnya mendengar suara istri gurunya. “Ya sudah kita ikhlaskan saja.”

            Lantas terdengar langkah ustadz menghilang ke ruang dalam. Tinggal santri itu termenung di tengah lorong. Ia  merasa sedang menerima pelajaran paling berharga dalam hidupnya. Sebuah keteladanan yang sangat sulit ditiru.

            Itu hanya satu contoh dari amal kebajikan gurunya yang membuat santri itu semakin kagum. Satu demi satu ilmu yang turun melalui praktik lebih melekat dalam pikiran, ketimbang segala teori yang ditulis di halaman buku. Kesabaran dan keikhlasan baginya merupakan pelajaran tersulit yang tak kunjung selesai dideras dalam sekolah kehidupan. Kerajinannya melakukan salat, jika tidak disertai keikhlasan, barangkali hanya akan menggugurkan kewajiban dari waktu ke waktu.

            Santri itu kini sudah menjadi seorang mubaligh. Pada halaman masjid, ketika menjadi khatib shalat Idul Fitri, ia menyampaikan kenangan indah itu. Termasuk bagaimana cara ajal menjemput gurunya.

            “Tidak melalui kesulitan apa pun. Tidak dengan sakit berkepanjangan. Tidak dengan penderitaan yang berlarut-larut.  Justru dengan kemudahan yang tidak seorang pun menduga. Beliau meninggal pada sujud terakhir salat Jumat, saat beliau menjadi imam,” kisahnya di atas mimbar dengan gemetar. “Para jamaah yang menjadi makmum saat itu, sujud tak kunjung rampung. Melafalkan doa paling makbul bagi perjalanan ruh imam ke hadirat Allah Swt.”

            Santri yang telah menjadi ustadz dan bicara di atas mimbar itu mengingatkan kita tentang hubungan timbal-balik yang sangat sederhana dan dijamin kebenarannya. Bagi orang-orang yang selalu memudahkan urusan orang lain bakal dimudahkan urusannya oleh Tuhan.

            Di Jakarta, peluang untuk memudahkan urusan orang lain terbuka lebar. Ketika semua jasa diukur dengan materi, keikhlasan menjadi kesempatan langka. Bagaimana kalau kita mulai dari yang termudah? Misalnya saat ada mobil merebut jalur kendaraan kita, tak perlu marah, mari kita ikhlaskan saja. Misalnya saat memberikan ongkos parkir dinilai terlalu mahal, ikhlaskan saja agar uangnya berguna bagi keluarga tukang parkir itu. Mulai sekarang jangan terlalu ngotot menawar di pasar tradisional, toh kita patuh saja terhadap harga pas di supermarket. Jika ada seorang teman yang meminjam buku dan tak kunjung mengembalikan, anggap saja kita sedang menyumbang ilmu dengan cara lain. Apabila ada nasabah asuransi tertimpa musibah dan hendak mengajukan klaim jaminan sesuai yang dijanjikan, segera direspon dan bahkan dipermudah urusannya. Bagaimana kalau gagasan dan hasil karya kita di kantor diakui sebagai kinerja orang lain?

(Kurnia Effendi untuk Rehat di Media Asuransi)