Tuesday, July 29, 2008

sosok

Yessy Gusman dan Taman Bacaan

Bagi generasi 70-an, tentu akan ingat dengan terang benderang siapa Yessy Gusman. Benar, dia pasangan harmonis Rano Karno dalam banyak film remaja di masa itu. Film “legendaris” Yessy Gusman yang suksesnya diulang oleh Ada Apa dengan Cinta di tahun 2005, antara lain: Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati. Keduanya diangkat dari novel remaja karya Eddy D. Iskandar.

Masihkah Yessy Gusman eksis hari ini? Ditemui dalam acara pembukaan Jakarta Book Fair 2008 akhir Juni lalu, ia masih jelita. Wajahnya tetap segar dan ramah, kini dengan kerudung menutupi rambutnya. Yessy hadir di situ karena undangan khusus untuk menerima penghargaan sebagai pendiri Taman Bacaan dari IKAPI DKI yang disaksikan oleh Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta. Ternyata, sejak Desember 1999, ibu berprofesi pendidik itu telah mendirikan Taman Bacaan Anak dan Sanggar Kreativitas Anak di bawah naungan Yayasan Bunda Yessy. Setahun sebelumnya ia mendirikan dan menjadi Direktur PT Purnama Bara Global sampai sekarang. Dalam kiprahnya itu, lembaganya bekerjasama dengan sekitar 350 mitra taman bacaan di seluruh Indonesia.

Untuk Jakarta, ada berapa taman bacaan yang berafiliasi dengan Bunda Yessy? “Ada 100 taman bacaan. Kami menyumbang dan menfasilitasi buku-bukunya.” Demikian ujarnya. Kegiatannya ini memang dekat dengan hobi yang rutin dilakukan: membaca, menulis, melukis, dan melakukan perjalanan.

Yasmine Yuliantina Yessy Gusman, demikian nama lengkapnya, lahir di Jakarta 21 Juli 2008. Kariernya sebagai aktris dimulai tahun 1974. Film Romy & Yuli adalah debutnya yang perdana, sebagai pemeran masa kecil Yuli (Widyawati). Disusul dengan Gita Cinta, Puspa Indah, Buah Terlarang, Neraca Kasih, Tali Merah Perkawinan. Sekali Yessy dibesut dalam film garapan sutradara Teguh Karya, Usia 18, menjadi nominasi Aktris Terbaik Festival Film Indonesia 1981.

Dari hobinya, di tahun 2004, Yessy berhasil menulis sebuah buku berjudul Menyemai Kasih, Suatu Perjalanan yang diterbitkan oleh penerbit Baraka (Mizan Group). Tahun sebelumnya, 3 Mei 2003, Penerbit Mizan sudah lebih dulu memberikan penghargaan atas kepeduliannya untuk mendukung penyediaan sarana Taman Bacaan bagi masyarakat.

Awalnya saya membangun satu taman bacaan dengan mengontrak rumah di belakang tempat tinggal saya, di Warung Jati Kalibata.” Ia bercerita sejarah persentuhannya dengan kepedulain masyarakat.

Sejumlah prestasi yang terkait dengan buku dan pengembangan minat baca diperoleh Yessy dalam beberapa kesempatan. Misalnya 16 Desember 2003, Mendiknas A. Malik Fajar memberikan penghargaan. Pada 28 Oktober 2005 dalam rangka Hari Sumpah Pemuda, diterimanya Anugerah Kemepudaan dari Menpora H. Adhyaksa Dault, SH, MSI. Yessy dipilih sebagai tokoh yang mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan waktunya dalam mengembangkan minat baca generasi muda. Dalam peringatan seperempat abad Perpustakaan Nasional Indonesia, 20 Desember 2005, Yessy menerima penghargaan Nugrah Jasadarma Pustakaloka.

“Terus terang, saya senang melakukan kegiatan ini.” Yessy mengaku. Semua itu memang tampak lahir dari hati. Kecintaannya itu seiring dengan kegiatan formal yang dilakukannya, antara lain sebagai dosen Performance of Dramatic Literature di London School Jakarta. Ia juga menjadi sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non-Formal. Dari jasa pekerjaannya ini, ia mendapat penghargaan dalam meningkatkan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Non Formal.

Boleh tahu di mana alamat sanggar dan kantor Mbak Yessy. “Oh, tentu. Kantor saya di Jl. KH Wahid Hasyim 27 Jakarta Pusat. Kalau mau ke Sanggar Kreativitas Anak, silakan ke Jl. Duren Tiga Raya No. 2 Pancoran Jakarta Selatan.”

Tampak dia begitu welcome.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Monday, July 28, 2008

Meneropong Konflik "Kekal" Tanah Perjanjian.

Timur Tengah merupakan tanah yang kaya dengan minyak. Negeri Abunawas, tempat kisah seribu satu malam berasal, wilayah yang pernah memiliki mitos tentang karpet terbang, menjadi incaran negara-negara Barat. Bahkan sang ”polisi dunia”, Amerika Serikat, tak lepas dari pamrih minyak setiap kali campur tangan dalam konflik negara-negara Arab.

Contoh yang paling dahsyat barangkali Perang Teluk, 1991. Perang yang berakhir dengan drama antiklimaks kematian Saddam Hussein, Presiden Irak yang dihukum gantung. Sosok gagah berani yang sanggup menantang 35 negara lantaran dipicu akuisisinya terhadap Kuwait. Persoalan apa lagi selain genangan minyak Bumi yang menjadi penggerak ekonomi dunia? Namun, nama Saddam Hussein (seperti juga Reza Pahlevi) banyak menitis kepada bayi-bayi lelaki yang lahir awal tahun 90-an. Di luar sisi negatif sejarah militernya, Saddam pernah menjadi ”pahlawan” yang dikagumi.

Jauh sebelum itu dan akan memanjang berpuluh tahun kemudian, terjadi konflik yang seolah kekal, peseteruan antara Palestina dan Israel. Di kawasan itu, tumbuh tiga agama samawi yang saling berposisi kuat: Yahudi, Kristen, dan Islam. Tanah Perjanjian, yang merujuk pada penyeberangan Musa di Laut Merah, adalah bagian paling bersejarah yang menjadi keyakinan Israel sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan.

Benarkah pokok persoalan konflik itu adalah agama? Mengingat yang berseteru berada di bawah panji-panji keimanan yang berbeda kitab suci, lantas kumandang yang sampai ke seantero jagat adalah konflik agama. Mungkin hal itu akhirnya akan terkuak (sebenarnya sudah, tetapi selalu dibuat distorsi dengan propaganda yang menyesatkan). Salah satunya melalui buku Hebron Journal, yang ditulis berdasarkan catatan harian Arthur G. Gish.

Arthur yang akrab dipanggil Art, warga negara Amerika, adalah seorang aktivis perdamaian yang melawan kekejaman Israel di Palestina dengan jalan cinta dan anti-kekerasan. Dalam biodata tidak disebutkan tahun kelahirannya, tetapi ia menghabiskan masa kecil di kompleks pertanian Lancaster County, Pennsylvania. Art Gish telah berjuang di lapangan sejak 1958, bertugas sebagai pengamat bersama Brethren Volunteer Service di Eropa. Dia turut serta dalam Civil Rights Movement yang gigih di tahun 60-an. Sejak masih remaja telah menentang keterlibatan Amerika Serikat dalam setiap peperangan.

Mari kita simak salah satu catatan yang membekas dalam kerak ingatan Art Gish. Ditulis di Tepi Barat, 30 Januari 2003:

Seluruh Hebron hari ini berada di bawah kendali total militer Israel. Saat menyusuri jalan, aku segera menyadari ada keributan di Al Manara. Aku ngeri melihat kejadian di sana. Dua tank dan dua buldozer meratakan pasar sepanjang 2 blok. Bahan-bahan makanan berserakan lumat, sementara di kota ini banyak penduduk kelaparan. Para pemilik kios dengan panik mencoba menyelamatkan berkotak-kotak tomat, jeruk, pisang, dan banyak lagi jenis makanan.

Reaksi pertamaku hanyalah terpatung di sana, menangis tersedu. Pemandangan itu sangat mengerikan, menjijikkan, tak bermoral. Aku tak sanggup menahan emosiku. Aku merasa sungguh tak berdaya.

Pasar itu digelar di Al Manara karena Israel menutup pasar lama, sebagai respons terhadap pembantaian Muslim di Masjid Ibrahim, 1994. Setiap perjanjian yang dibuat sejak saat itu, termasuk hendak membuka kembali pasar itu, tak pernah ditepati oleh Israel. Bangunan itu justru dihuni para pemukim Israel.

Dalam rasa tak berdaya,  aku harus melakukan sesuatu. Kuselamatkan sekitar 12 kotak makanan dari sasaran buldoser. Lalu aku mulai menghadapi para tentara itu. Aku berteriak kepada mereka, bertanya apakah mereka bangga dengan yang mereka lakukan, apakah ini yang disebut perdamaian, apakah ini Israel yang mereka cita-citakan? Aku berseru: ”Baruch hashem Adonai!” (artinya: Terpujilah nama Tuhan!)

Tentara-tentara itu berusaha keras tak memedulikanku, tetapi aku yakin mereka mendengarku. Aku mengabaikan usiran mereka. Seorang tentara meludah ke arahku, seketika aku mendekatinya dan mempersilakannya untuk meludahiku lagi. Dia menolak tawaranku. Tiga tentara mengacungkan senapan mereka menghampiri sekelompok orang Palestina yang menonton. Aku menduga mereka akan menembak orang-orang itu. Aku segera menghambur ke hadapan tentara itu, mengangkat kedua tangan: ”Tembak aku, ayo tembak aku!” Dan tentara-tentara itu langsung menyingkir.

Sebuah tank datang menderu ke hadapanku, moncong raksasanya mengarah kepadaku. Dengan mengangkat kedua tangan ke udara, aku bedoa dan berseru: ”Tembak, tembak! Baruch hashem Adonai!” Tank itu berhenti beberapa inci di depanku.

Aku berlutut di jalanan, berdoa dengan tangan mengudara. Aku merasa sendiri, lemah, tak berdaya. Aku hanya bisa menjerit kepada Tuhan.

Buku Art (catatan sejak Desember 1995-Januari 2001) diterbitkan oleh Mizan dan didiskusikan di Universitas Paramadina dengan mendatangkan penulisnya. Selain diskusi, diselenggarakan juga workshop mengenai gerakan anti-kekerasan dengan Art sebagai narasumber. Tampaknya akan sangat dibutuhkan, mengingat di Indonesia juga kerap terjadi konflik SARA, seperti di Ambon dan Poso. Makarim Wibisono dari Kementerian Deplu yang ahli mengenai Timur Tengah hadir sebagai pembahas. Ia merangkum isi buku secara sistematis dan memuji kesaksian Art sepanjang perjuangannya. Menurutnya hukum yang berjalan di Hebron tidak adil karena selalu menguntungkan Israel. Suhadi, peserta dari Deplu, menengarai adanya sinyalemen ketakutan yang mengakar di kalangan bangsa Arab jika Palestina merdeka. ”Mereka orang-orang pintar yang akan menguasai kawasan Arab.”

Dalam gambaran Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina), tentu ada satu generasi yang dalam tiga puluh tahun terakhir dilahirkan dan dibesarkan dalam tenda, lalu mengantar jenazah kakek-neneknya dari kehidupan tenda itu. Di podium, sebagai keynote speaker, Anies membacakan sepenggal puisi Taufik Ismail yang berjudul: ”Palestina, bagaimana mungkin aku melupakanmu”. Sebuah puisi kesaksian, ketika sang penyair memasuki Hebron, jantung wilayah yang kemudian memberikan parasaan luka berbeda dari yang selama ini didengar melalui berita jarak jauh.

Putut Widjanarko membuat paragraf pertama pengantar buku Hebron Journal, dengan sangat mencekam. Sebuah fragmen yang lantas diabadikan dari sebuah foto dokumentasi ke dalam sampul buku.

Hari itu, di sebuah Jumat di tahun 2003, beredar kabar di masyarakat Muslim di Athens, kota kecil di bagian tenggara negara bagian Ohio, AS, bahwa Art Gish melakukan tindakan luar biasa di Palestina beberapa waktu sebelumnya. Tak tanggung-tanggung, ia menghadang tank Israel yang berniat menghancurkan pasar orang Palestina, hingga moncong tank itu berhenti hanya beberapa sentimeter dari mukanya. Belakangan, ketika duduk bersamanya di pojok ruang utama gedung Islamic Center seusai shalat Jumat, saya tanyakan mengenai keberaniannya itu. Saya lupa jawaban persis Art, kira-kira begini: Keberanian itu datang dari Allah, dan saya hanya merespons apa yang hanya dan harus saya lakukan saat itu. Tak kurang dan tak lebih.

Sementara, yang kita pahami secara politik, Palestina mewakili kelompok muslim yang dikonotasikan sebagai teroris. Dibutuhkan dekonstruksi mitos Tanah Perjanjian dan informasi yang jujur, serta dukungan yang dibutuhkan untuk mencapai perdamaian. Tidak hanya berdoa dari jauh atau mengagung-agungkan proses perundingannya.

(Kurnia Effendi)

 

Tuesday, July 22, 2008

Sosok Valerina Daniel

Siap dengan COP 13

Bulan lalu, tepatnya tgl 9 Juni 2008, Valerina Daniel mengikuti Global Tiger Conservation Inisiative yang diselenggarkan oleh Bank Dunia di Washinton DC, Amerika Serikat. Ia mewakili Duta Lingkungan dari Indonesia, bersama-sama dengan seluruh wakil negara yang hutannya memiliki harimau. Antara lain, Rusia, Nepal, Kamboja, Birma, Srilanka, China, dll.

Untung kandungan saya waktu itu sudah memasuki 3,5 bulan. Jika masih lebih muda, tentu saya tak diizinkan terbang,” ujarnya dengan senyum yang senantiasa terkembang.

Valerina memang sedang hamil anak pertama. Diperkirakan akan lahir akhir November 2008. “Mudah-mudahan bersamaan dengan ulang tahun saya,” harapnya. Memang kapan ulang tahunnya? “Tanggal 25 November. Tahun ini saya berusia 29. Doakan ya.”

Sesudah pertemuan besar di Amerika itu, sebenarnya masih banyak kunjungan yang harus dilakukan, khususnya di Indonesia. Misalnya bulan depan ke Padang dan selanjutnya ke Aceh pedalaman. Wah, bagaimana dengan kondisi kehamilannya? Apakah akan tetap lincah bergerak dengan vitalitas yang tinggi?

“Nggak apa-apa. Bayi dalam perut saya sudah sejak dini terbiasa dengan perjalanan. Semoga ia justru kuat. Tapi tentu ada masanya saya akan berhenti beraktivitas. Saya akan lebih sayang anak manusia ketimbang anak harimau, kan?”

Ngomong-ngomong soal baby, apalagi ini anak pertama, tentu sudah ada nama yang hendak diberikan. “Saya belum tahu, apakah ini laki-laki atau perempuan. Jadi nama masih dikumpulkan. Yang penting nama itu islami dan bermakna baik. Ada usul?” Valerina tertawa.

Tetapi ia mengaku terinspirasi dengan nama Angelina Jollie, artis yang aktif melakukan kegiatan sosial. Menurut Valerina yang jago berbahasa Perancis, “Jollie itu artinya cantik.” Apakah naluri sang ibu sudah mulai terbit? Anaknya mungkin akan lahir perempuan.

Valerina menjadi Duta Lingkungan Indonesia sejak tahun 2005, setelah Rachmat Witoelar dilantik sebagai Menteri Lingkungan Hidup.Masa jabatan”nya juga akan sama dengan satu periode pemerintahan.

Selain mengikuti pertemuan kelas dunia, seperti Konferensi Perubahan Iklim (Climate Change) yang diselenggarakan di Bali, akhir 2007, Valerina juga bicara (verbal) mengenai lingkungan hidup, memberikan penyadaran tentang pentingnya lingkungan yang sehat melalui katalog dan buletin. Kampanye tertulis akan lebih bertahan lama, sosialisasinya dilakukan secara berkala dan rutin.

Valerina mengusulkan kepada Pak Rachmat Witoelar untuk membuat campaign-media bernama COP 13. “Ini singkatan dari Cara Oke Pelihara Bumi. Angka 13 diambil dari konferensi ke-13, yang diselenggarakan di Bali. Tetapi nanti dalam grafisnya, angka 1 dan 3 akan dibentuk serupa huruf B, sebagai inisial Bumi.”

Dulu Valerina dikenal debagai presenter/host di Metro TV. Kini ia memilih freelance, agar dapat mengatur kegiatan lebih fleksibel. Namun bila Anda ingin melihat wajahnya, tontonlah acara dialog politik di TVRI, yang dikelola oleh Anies Baswedan. Selain itu, Valerina juga menjadi moderator talkshow tentang perempuan di Astro TV.

Ditemui di Bentara Budaya Jakarta, Valerina yang ramah dan ucapan-ucapannya menyiratkan kecerdasan memang terasa cantik luar dalam. Ia tetap bugar meski harus melayani setiap pertanyaan para pengunjung pameran kartun juara “Ekomunikasi” yang dibukanya. Kita tunggu saja 13 Cara Oke Pelihara Bumi, yang tentu merupakan kiat-kiat praktis namun akan berdampak positif bagi keselamatan Bumi kita tercinta ini.

(Kurnia Efendi)

Monday, July 21, 2008

Indonesia International Motor Show

Otomotif versus Lingkungan

Siapa bilang ekonomi Indonesia terpuruk akibat kenaikan harga BBM? Ternyata aktivitas publik dalam dunia usaha, sifat konsumerisme, dan bertahannya gaya hidup glamour menunjukkan kondisi sebaliknya. Kenyataan itu dapat ditengarai dari antusiasme masyarakat mengunjungi pameran otomotif tahunan bertajuk Indonesia International Motor Show (IIMS)  yang dibuka pada Jumat, 11 Juli 2008. Menempati seluruh hall di Jakarta Convention Centre (JCC), termasuk Cendrawasih Room dan Plenary Hall, seluruh ATPM mobil berupaya menunjukkan citra dengan produk-produk terbaru.

Rencananya, pameran otomotif bergengsi itu dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun karena beliau sedang berada di luar negeri, dan Menteri Perindustrian pun turut mendampingi, akhirnya para peserta pameran membuka sendiri masing-masing stand-nya. Untuk memberikan kesempatan kepada wartawan meliput seluruh kegiatan launching dan opening, agenda dibuat dengan berbeda waktu antara satu dan ATPM lainnya.

Boleh jadi, ketidakhadiran Presiden, selain bersamaan dengan tugas negara, juga menghindari pandangan sinisme masyarakat. Ketika kebijakan pemerintah menentukan kenaikan harga BBM, disinyalir bahwa otomotif, terutama jenis kendaraan motor (roda dua) dianggap sebagai pemboros BBM. Jadi, bagaimana mungkin pemerintah “mendukung” pameran mobil yang jelas-jelas menggunakan bahan bakar minyak; kecuali produk eksperimen yang mulai melirik alternatif bahan bakar selain minyak.

Demikianlah, maka Hyundai, Suzuki, Honda, Nissan, Mitsubishi, Toyota dan lain-lain secara bertutut-turut mengadakan seremoni sendiri. Dalam kesempatan itu, Manajemen Toyota  menyampaikan bahwa event pameran IIMS bukan menjadi medium penjualan, tetapi lebih kepada upaya menunjukkan kepada publik mengenai teknologi baru Toyota. Memang, sejak beberapa tahun lalu, Toyota telah melangkah lebih dulu menuju proyek kendaraan dengan prinsip hemat energi. Selain itu juga dirancang agar ramah lingkungan.

Bagaimanapun lingkungan hidup menjadi perhatian kita bersama. Sejumlah perusahaan otomotif menunjukkan kesadaran terhadap penyelamatan Bumi walaupun secara prosentase tidak terlalu signifikan, karena semua itu tergantung kepada para pengguna kendaraan. Pada akhirnya, pemborosan dan perusakan lingkungan lebih disebabkan dari perilaku manusianya.

Masing-masing produsen mobil  melakukan eksplorasi teknologi mulai dari mesin tenaga surya, listrik, hybrid, bioteknologi, bahkan kemungkinan menggunakan unsur air (hidro). Sejauh ini kampanye kendaraan ramah lingkungan cukup progresif, meskipun tidak diimbangi dengan penetrasi pasar secara optimal. Barangkali harga teknologi itu masih terlalu tinggi, atau secara operasional masih kalah praktis dengan mesin bertenaga bahan bakar minyak.

Saat ini Toyota sedang melakukan uji coba untuk jenis kendaraan hibrida (Toyota Prius). Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar bahkan sudah memiliki mobil itu, sebagai pelopor sesuai bidang yang ditangani. Pada awalnya, nilai eksperimen yang bersifat “trial and error” akan ditanggung oleh para pembeli generasi pertama. Selanjutnya akan menjadi batu loncatan untuk pengembangan berikutnya.

Di tengah keprihatinan langkanya bahan bakar minyak, dinamika rancangan mobil baru tetap ditunjukkan oleh Proton (Malaysia), Mercedes, Hino, VW, dan Suzuki. Sejak generasi Swift, Suzuki mulai “berlangganan” karya desain dari rumah produksi Italia, dengan gaya penampilan khas Eropa. Sementara Honda, dengan Jazz generasi baru, ingin menguasai popularitas dengan harga yang masih terjangkau publik secara luas.

Mudah-mudahan antara harapan berkendara nyaman dengan tetap menyelamatkan kesehatan lingkungan tetap seiring sejalan.

(Kurnia Effendi)

 

 

Monday, July 14, 2008

Pembukaan Jakarta Book Fair

 

Dari Pesta Buku Jakarta 2008

Jak-Book!” ujar Foke

Tahun ini, menyambut liburan sekolah, Jakarta Book Fair kembali digelar. Dibuka 28 Juni oleh Gubernur DKI, Fauzi Bowo, akan ditutup 6 Juli 2008. Sepuluh hari yang menyenangkan bagi penggemar buku untuk berburu. Mulai dari buku baru, buku koleksi lama, sampai acara berjumpa dengan pengarangnya. Bertempat di Istora Senayan, sejak hari pembukaan pengunjung sudah datang dengan antusias.

            Harapan ketua panitia, Pesta buku Jakarta tahun ini akan dikunjungi oleh 5 juta pengunjung dalam 10 harinya (rata-rata per hari 500 ribu orang). Tahun 2007 tercatat 3,6 juta pengunjung. Antusiasme penerbit yang berpartisipasi juga tak surut. Tahun ini ada 242 penerbit membuka stand. Sambutan itu menunjukkan maraknya para pembeli buku yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, minat baca masyarakat juga terus berkembang.

Dalam pidato pembukaan, Fauzi Bowo memberikan apreasiasi positif dan ingin bersama-sama masyarakat untuk membudayakan membaca buku sehari-hari. Dalam pameran buku kali ini, bahkan, Foke menggelar stand khusus untuk menunjukkan koleksi buku-bukunya kepada para pengunjung. “Di kantor gubernur, saya tidak memiliki tempat untuk memajang dan menyimpan buku. Jadi dalam beberapa waktu masih tersimpan dalam kardus-kardus.”

Selanjutnya ia memuji panitia yang telah memberikan tema “Jakarta banjir buku” untuk Book Fair tahun ini. Kalimat metafora itu merupakan perlawanan terhadap kondisi Jakarta di musim penghujan, biasanya banjir di mana-mana.

“Saya ingin, selanjutnya Jakarta Book Fair ini kita namakan Jak-Book!” begitu ujar Gubernur di podium, disambut dengan tepuk tangan hadirin. “Kalau kita sudah punya Jak-Jazz, Jak-TV, Jak-FM, mengapa tidak ada Jak-Book?”

Kemudian Pak Fauzi juga berjanji akan secara konsisten, sepanjang menjabat menjadi Gubernur DKI, akan membuka pameran buku tahunan yang menjadi agenda tetap Jakarta setiap bulan Juni-Juli. Ia mengharapkan panitia tidak saja menawarkan arena untuk para penerbit dalam negeri. Berilah kesempatan kepada para penerbit asing untuk turut serta meramaikan Jak-Book. “Dengan demikian,” katanya, “kompetisi akan dengan sendirinya terbentuk dan mendorong kualitas para penerbit kita. Masyarakat juga jadi lebih tertarik untuk datang dengan luasnya pilihan yang ditawarkan.”

Dalam kesempatan itu, gubernur menyampaikan salut kepada Erick Tohir yang memiliki kontribusi besar terhadap upaya pemasyarakatan buku. Juga salut terhadap Yessi Gusman yang telah membangun jaringan taman bacaan di berbagai tempat. Untuk keduanya, panitia Jakarta Book Fair menyerahkan penghargaan berupa lukisan karikatur tentang kiprah mereka masing-masing.

Kita tahu, Gubernur DKI kali ini adalah seorang arsitek dan penggemar buku. Dengan haru dan bangga ia ceritakan, bahwa sampai saat ini, cucunya selalu meminta dibacakan buku menjelang tidur. Jadi, menurut pengakuannya, seletih apapun, ia akan menyempatkan untuk membahagiakan cucunya itu. Apalagi yang dimintanya merupakan kesukaannya.

Jadi, mari kita bersama-sama melakukan gerakan membaca dengan cara-cara yang mudah untuk membangun kebiasaan. Pertama, biasakan membaca lima menit sebelum tidur.” Demikian Foke menganjurkan. Dengan lima menit saja membaca, mungkin hanya satu-dua halaman, tetapi itu lebih baik ketimbang tidak melakukan apa pun.
            Berikutnya, apabila kita berjalan-jalan ke mal di mana pun, selain singgah ke berbagai tempat untuk belanja, mampirlah ke salah satu toko buku di mal itu. Mungkin awalnya tidak membeli, tetapi dengan melihat judul-judul baru, atau membaca rekomendasi yang dicantumkan di sampul belakang buku, akan memancing niat untuk membacanya lebih jauh. Ketiga, ia minta agar masyarakat mengujungi perpustakaan terdekat pada waktu luang. Duduk di perpustakaan sejenak, melihat-lihat atau membaca buku yang paling menarik minatnya, tentu tidak berat. Syukur akan menjadi hobi.

Apabila melancong ke luar kota atau luar negeri, belilah oleh-oleh buku. Itu serupa dengan pengalaman pribadi Pak Foke. Bahkan jika ia ditawari oleh-oleh para kolega atau sahabat yang ke luar negeri, ia selalu mengatakan: “Bawakan saja saya buku.” Itu sebabnya, rumahnya penuh dengan buku. Kini ketika pindah ke rumah dinas gubernur, ruang-ruangnya justru dipenuhi dengan hiasan guci dan benda-benda yang tak bisa dibaca.

Pengalaman masa kecilnya mungkin yang membawa kebiasaan itu. Dulu, setiap kali Fauzi Bowo kecil menanyakan arti kata asing kepada ibunya, selalu dimintanya untuk membuka ensiklopedia. Dengan membuka kamus atau ensiklopedia, kita akan menemukan bukan saja arti tunggal dari kata. Dengan cara itu perbendaharaan kata kita semakin kaya. Jadi, anjurnya, paling tidak keluarga kita memiliki ensiklopedia.

Buku adalah jendela dunia, demikian kata ayah Indira Gandi ketika meringkuk dalam penjara. Ia selalu ingin dibawakan buku untuk menemani hari-hari sepinya dalam sel politik. Benar yang dikatakannya. Untuk mengetahui isi seluruh Bumi, kita tak perlu berjalan mengelilinginya, jika tak punya biaya dan kesempatan. Cukup dengan membaca buku, pikiran dan hati kita bisa berwisata ke berbagai tempat. Karl May, bahkan menuliskan kisah sangat menarik sepanjang zaman dari “petualangan” yang tidak dilakukannya. Ia cukup menulis di meja tulisnya, termasuk dalam penjara, sementara para pembaca dapat membayangkan Winetou dan kuda yang dinamai Mustang Hitam di ranah Indian.

Sangat menarik Pesta Buku Jakarta tahun ini karena dilengkapi dengan agenda acara yang tak pernah sepi sepanjang 10 hari. Ada peluncuran buku-buku baru dari sejumlah penerbit, diskon besar-besaran, pelatihan penulisan kreatif, book signing oleh pengarang idola, jumpa pengarang kecil, diskusi bedah buku, dan beberapa lomba yang berkaitan dengan buku.

Agaknya buku telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kadar intelektual masyarakatnya. Buku juga menunjukkan strata kebudayaan. Walaupun, dengan kenaikan harga BBM dan turunnya daya beli masyarakat yang membuat buku jatuh ke prioritas kesekian, minat baca kaum muda makin tinggi. Komik tetap laris. Para penerbit masih menggebu untuk menerbitkan pelbagai jenis bacaan. Baik buku-buku praktis, filsafat, agama, maupun sastra.

Kapan lagi membeli buku kalau tidak pada kesempatan seperti itu? Jak-Book! Panggilan yang manis, bukan?

(Kurnia Effendi)