Monday, June 26, 2006

K. Usman, Harmoni Bakat dan Pengalaman

Siapa tak kenal K Usman? Pengarang yang masih tetap produktif menulis dan menerbitkan buku di usia 65 tahun. Pengarang yang menulis untuk semua segmen pembaca, mulai anak-anak, remaja, dan dewasa. Pada hari Sabtu tanggal 27 Mei 2006 yang lalu, bukunya yang terbaru, "Pengantin Luka" diluncurkan di toko buku Gramedia Depok. Acara tersebut dihadiri oleh penggemar sastra dan para sahabatnya. Tampak di antara hadirin adalah Hamsad Rangkuti, Martin Aleida, Diah Hadaning, Rahmat Ali, Ana Mariana Masi, dan... Soekanto SA. Bagi anda yang sekarang sudah memiliki anak remaja, pasti pernah mengalami masa-masa ketika K Usman dan Soekanto SA dikenal sebagai pengarang anak-anak di masa lalu.

Awal persentuhan saya dengan K Usman terjadi tahun 80-an, melalui cerpen "Setelah Musim Jamur", yang kalau tak salah menjadi cover story pada kumpulan cerpen Femina (rasanya saya masih menyimpannya). Setelah itu, secara fisik bertemu di Bentara Budaya, tahun 90-an, saat bersama-sama mengikuti seminar tentang HIV-AIDS. Kemudian menjadi sering berjumpa dalam pelbagai diskusi sastra, baik di TIM maupun tempat-tempat lain. Dan saya merasa sangat terhormat ketika dua kali meluncurkan buku, K Usman hadir sebagai peserta aktif.

Dalam perbincangan ini saya tidak akan secara khusus menelaah cerpen-cerpen K Usman dalam kumpulan "Pengantin Luka", tetapi lebih bermaksud 'membaca' K Usman sebagai sosok pengarang yang tak pernah surut dari medan sastra. Keluasan segmentasi yang digarap oleh K Usman, memberi tahu kepada kita bahwa bahasa baginya menjadi piranti komunikasi yang sangat dikuasai. Boleh disebut, K Usman ini 'serakah', karena merebut seluruh usia pembaca. Selain fasih bercerita kepada orang dewasa, ia pun piawai menggoda perasaan anak-anak melalui kisah-kisahnya.

Ada yang sangat menarik dalam riwayat masa lalu K Usman yang membuatnya bercita-cita menjadi pengarang. Saya bongkar di sini saja, agar menjadi bagian motivasi bagi para pengarang muda. Waktu K Usman masih duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat, tahun 1951, ada seorang guru yang gemar bercerita. Namanya Pak Mulani. Pada suatu hari, Pak Mulani membaca cerita dari sebuah buku, dengan judul "Si Jali dan Anak Harimau". Setelah selesai, beliau bertanya, apakah ada yang dapat menceritakan kembali dengan bahasa sendiri? Karena tak seorang pun mengangkat tangan, K Usman kecil menyediakan diri maju ke depan kelas. Lantas dia menceritakan ulang kisah "Si Jali dan Anak Harimau". Sekitar lima menit bercerita, teman-temannya riuh bertepuk tangan. Kata mereka, K Usman bercerita lebih bagus dari Pak Mulani. "Sejak saat itulah saya bercita-cita ingin menjadi penulis cerita yang baik." demikian K Usman mengakhiri pengalaman tak terlupakan itu. Sejak saat itu pula, K Usman menyadari ada bakat yang menggeliat dalam dirinya untuk menjadi pengarang.

***

DALAM bercerita, K Usman tidak menggunakan bahasa yang bombastis, atau gaya yang dibuat-buat. Rata-rata paragraf awal cerpen K Usman langsung membidik inti persoalan, bahkan kadang-kadang bertemu konflik. Ini yang sangat membedakan antara K Usman dengan Korrie Layun Rampan, misalnya. Saya akan memberikan contoh dengan mengutip kalimat atau alinea pertama beberapa cerpen dalam "Pengantin Luka", di bawah ini:

"Demi keselamatanmu, sebaiknya jangan dating lagi ke kota Prabumulih. Seseorang menunggumu di sana selama bertahun-tahun, ingin membunuhmu..." (cerpen "Pengawal")

"Ini iklan gila!" gerutu seorang tuan tanah sambil mengamati sebuah iklan mini sekolom di sebuah harian pagi... (cerpen "Terkenal dan Kaya")

Setahun setelah suaminya pergi ke Jakarta dan tak pernah kembali, Nabila nekat menyusul... (cerpen "Cinta dan Luka")

"Ini Jakarta, Bung! Tangkap peluang pada kesempatan pertama..." (cerpen "Misteri Seorang Wanita")

Subuh yang hening di kampung Tanjung dihebohkan kehadiran kembali Tantini. ... (cerpen "Pengantin")

Dengan cara itu, K Usman telah memikat pembaca sejak mula bercerita. Memancing rasa penasaran pembaca adalah bagian terpenting dari ilmu mengarang, saya kira. Ungkapan yang bertele-tele justru sering menjebak pengarang pada kelindan permasalahan diri sendiri, bukan pada gagasan yang hendak disampaikan. Dengan cara itu pula, K Usman seolah telah membuat 'cerita' pada ruang kosong sebelumnya. Ada sederet aksara imajiner yang terhimpun di kepala setiap pembaca, dengan pelbagai adegan sesuai penafsiran masing-masing, sebelum tiba pada kalimat pembuka cerpen. Misalnya, pada cerpen "Tak Ada Kata Kalah": Akhirnya , aku memberanikan diri menghadap manajer sumber daya manusia di kantorku... Bukankah, sebelum 'keputusan' itu dilakukan oleh sang tokoh, ada serangkai pergulatan batin dan mungkin pembicaraan intens dengan pihak lain? Contoh-contoh di atas juga menunjukkan K Usman tidak ingin membuang waktu pembaca untuk menelusui kata-kata yang tak perlu. Dengan langsung menuju konflik, cerita bisa mengalir lebih deras, dan kilas balik menjadi bagian yang diurai secara menarik. Ini pasti buah pengalaman panjang dari kepengarangan K Usman.

Sepanjang pengamatan saya, K Usman bukanlah model pengarang yang eksentrik. Sejak pertemuan saya yang pertama, hingga hari ini, selalu saya lihat penampilannya yang rapi. Sastrawan itu juga seniman, tetapi seniman tak selalu harus berbeda dengan orang kebanyakan. Mungkin ini juga kecenderungan sastrawan yang memiliki latar belakang sebagai guru, telah menjadi kebiasaan untuk dicontoh murid-muridnya. Rasanya kita juga tak akan membayangkan Budi Darma berambut gondrong, atau Sapardi Djoko Damono mengenakan anting di salah satu telinganya. Bagi sastrawan 'aliran' rapi ini, tentu yang diuatamakan adalah kualitas karya. Pikiran dan imajinasi boleh liar, tetapi sebagai manusia yang berada di tengah-tengah hubungan sosial dengan manusia lain, bukanlah dipandang sebagai orang aneh.

Bagi K Usman, sahabat dan penggemar adalah sumber inspirasi. Oleh karena itu, K Usman tetap santun kepada sumber inspirasi ini. Bahkan kepada para calon pengarang belia yang belajar kepadanya, datang ke rumahnya, ia menganggap seperti anak-anak sendiri. Dibimbing dan disuguh santap siang, sampai kemudian diantar pulang. Tetapi ketika saya tanyakan, mengapa tidak membuka kursus menulis, agar banyak calon pengarang dapat mereguk ilmunya; K Usman menjawab: ingin sisa usianya dipergunakan untuk menulis karya-karya yang lebih baik.

Saya kira, selanjutnya lebih baik diskusi ini menjadi ajang komunikasi langsung antara peserta dengan pengarang. Tapi sebelum itu, saya ingin menyampaikan pendapat K Usman tentang bakat. Seorang pengarang memerlukan bakat. Tanpa bakat, tidak mungkin tercipta karya yang baik dan luar biasa. Pendapatnya ini dibuktikan melalui pengamatan, bahwa di masa lalu HB Jassin telah mengorbitkan banyak nama pengarang, tapi hingga kini tingga berapa gelintir yang tetap konsisten menulis prosa atau puisi.

Jadi, apakah anda cukup berbakat sebagai pengarang?

Jakarta, 23 Juni 2006
Kurnia Effendi, peneliti LPKP, penggemar sastra
Untuk Diskusi Meja Budaya di PDS HB Jassin

Wasiat dan Warisan


Dalam sebuah omong-omong santai dengan Alex Komang di meja kayu tua beranda belakang Teater Populer, saya mendengar cerita, bahwa Teguh Karya tidak mewariskan rumah dan pekarangannya itu kepada saudaranya yang tinggal di sekitar Kebon Pala. Sutradara film dan teater legendaris itu justru berwasiat kepada murid-muridnya, agar memelihara sanggar Teater Populer untuk orang-orang yang ingin belajar tentang kesenian, terutama yang berkaitan dengan acting. "Akan tetapi, jika tempat ini sudah tidak bermanfaat lagi, bakar saja."

Artinya, Teguh Karya ingin mewariskan sebuah padepokan seni agar terus mengalirkan ilmu, yang kelak bercecabang seperti liuk sungai yang menuruni lembah dan akhirnya tumpah ke muara. Karena ia, bagaimanapun, akan kalah dengan waktu. Sementara ilmu akan menjadi benih yang tumbuh rimbun jika setiap pemiliknya rajin memupuknya, memanfaatkannya. Ilmu adalah satu-satunya 'materi' yang tak akan habis ketika diberikan kepada orang lain. Karena ilmu bukan semata berpindah, namun berkembang, menular seperti epidemi.

Teguh Karya, penerima lebih dari selusin piala Citra, adalah ikon seniman Indonesia untuk bidang teater dan film. Kita mengetahui kualitasnya, kini, justru melalui karir murid-muridnya yang setia. Misalnya Slamet Rahardjo Djarot, Christine Hakim, mendiang Tuti Indra Malaon, dan Alex Komang sendiri. Teguh Karya telah berwasiat sekaligus mewariskan sesuatu yang mudah-mudahan tak akan pernah punah.

Bagi kaum muslimin dan muslimat, warisan terbesar dari Nabi Muhammad adalah Al-Quran dan Al-Hadist. Melalui dua petunjuk itu, niscaya akan terjamin keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Untuk tetap setia dan konsisten, seseorang harus mempergunakan iman. Kepercayaan dan keyakinan. Dan rasa gembira sebagai kebutuhan ketika menjalankannya.

Dalam sebuah film yang indah, berjudul "The Bridge of Madison County", ada wasiat seorang ibu yang harus dijalankan oleh kedua anaknya. "Jika aku mati nanti, kremasi aku dan abu jenazahku ditaburkan di..." Seorang ibu yang begitu anggun, welas asih, itu dihormati oleh anak-anaknya sampai ditemukan sebuah fakta bahwa ia pernah berselingkuh. Dalam sebuah peti yang diwariskan, tak hanya ditemukan abu jenazah, namun juga sejumlah surat yang ditulis di belakang punggung suaminya. Bagaimana kira-kira perasaan yang bergejolak pada anak-anaknya?

Tapi kemudian kita tahu, melalui penceritaan kilas balik, Meryl Streep, pemeran ibu, memang jatuh cinta pada seorang fotografer dari National Geography, yang diperankan oleh Clint Eastwood, tanpa sampai pada hubungan seksual. Sebuah cinta yang menyala diam-diam dalam tungku hati, merebak wangi serupa kuncup melati, dan hanya tampak melalui binar mata yang bahagia. Kita, sebagai penonton, tahu, karena sang sutradara ingin memberikan penjelasan. Namun tentu tidak bagi kedua anaknya. Semua telah menjadi sejarah, dan tinggal seonggok abu jenazah beserta sejumlah surat. Hati mereka dibimbangkan oleh impresi yang koyak.

Wasiat dan warisan, sering begitu karib. Yang pertama menjadi amanat untuk dilaksanakan, sedangkan yang kedua sebagai sesuatu baik materi maupun immateri yang akan dinikmati oleh ahli warisnya. Pernah saya menyaksikan sinetron lepas Mahakasih episode Mandra yang menerima warisan sepeda motor tua dari almarhum ayahnya. Warisan yang tampak tak berharga oleh banyak orang itu, di ujung cerita justru melimpahkan rezeki ratusan juta rupiah. Dapat disimpulkan, warisan seburuk apa pun ternyata juga sebuah amanah. Ia akan membalas budimu yang sabar dan ikhlas dengan pemberian jauh di atas harapan. Sementara, saya pribadi percaya, bahwa warisan yang diperoleh dengan cara berebut, sering membuahkan petaka yang tidak sederhana.

Kini, saya ingin menyampaikan wasiat menarik dari ayahanda Pak Pradjoto. Siapa tak kenal Pak Pradjoto? Sekian tahun lalu namanya berkibar karena membongkar kasus Bank Bali. Kini, laki-laki lulusan Fakultas Hukum UI dan Master dari Universitas Kyoto, menjadi komisaris Bank Mandiri. Beberapa malam lalu, berkat hobi di luar profesinya, ia menjadi narasumber dalam perbincangan sepak-bola Piala Dunia. Ia mengaku masih memiliki obsesi atas pesan ayahnya. Pesan yang mungkin telah menjadi semacam wasiat.

Ayah Pradjoto adalah salah satu pendiri koran Pikiran Rakyat, surat kabar yang berjaya di Bandung dan Jawa Barat. Almarhum Ali bin Tjokrowardojo pernah berpesan kepada Pradjoto, jika kelak menerbitkan surat kabar, namakanlah harian PIKIRKAN RAKYAT. Sebenarnya hanya terpaut satu huruf, namun maknanya jauh berbeda. Lebih dalam dan mengandung beban moral yang tidak ringan. Bukankah dari namanya juga sudah terkandung amanah? Bukankah kata "Pikirkan Rakyat" itu kini sangat relevan karena kontekstual dengan situasi di Indonesia?

Dengan demikian, Pak Pradjoto, pesan ayah anda itu boleh berlaku bagi kami semua. Berlaku bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Berlaku bagi Presiden, Wakil Presiden, dan jajaran Menterinya. Juga berlaku bagi pemimpin perusahaan yang buruhnya begitu banyak.

Amanah Pikirkan Rakyat, juga berlaku bagi pemilik dan pengelola Lapindo, yang telah melimpahkan lumpur panas bagi pemukiman dan sawah ladang rakyat...

(Jeda, Tabloid PARLE edisi 43, 26 Juni 2006)

Tuesday, June 20, 2006

Bulat Bola Mata


SEJENAK matamu membulat ketika secara spektakular, Im Cahil dari Australia menyarangkan bola ke gawang Kawaguchi, Jepang. Sehingga posisi skor menjadi satu sama. Bahkan sepanjang delapan menit berikutnya, keududukan berubah secara fatal, karena Australia unggul 2 angka. Berkali-kali mata kita terbelalak, adrenalin berdenyar, tangan kita terkepal, dan pekikan terlontar begitu saja dari mulut, mengakhiri ketegangan. Pekikan gembira atau kecewa, tergantung siapa yang kaubela. Sekadar menjadikan salah satu tim sebagai idola atau telah memasang uang taruhan di antara kawan-kawan...

Sejak tanggal 9 Juni, perhatian dunia, dan konon sekitar 3,5 milyar manusia, tertuju pada perhelatan besar Piala Dunia. Barangkali selama sebulan ini segala yang kusut, setiap yang rumit, sebagian besar yang sedih, akan sementara terlupakan. Seorang kawan dari Advertising, Noviana, beberapa waktu yang lalu memiliki gagasan unik namun sedikit mulia. Ketika semua relawan dan posko darurat mengusahakan agar korban gempa Jogja mendapatkan perawatan, tempat bernaung dari hujan, dan makanan yang memadai; perempuan berambut cepak itu menghimpun televisi bekas untuk dikirim ke Jogja. Apakah saudara-saudara kita di lokasi bencana itu masih merindukan sinetron? Bukan! Semata karena ingin berbagi, agar mereka yang terpuruk pun bakal sedikit terhibur oleh pesta FIFA tahun ini!

Ya, bola memang bulat. Karena itu bentuk yang paling tepat agar dapat menggelinding bebas dan terbang tanpa banyak hambatan. Karena bulat pula, bola tak memiliki wajah atau punggung. Ia bisa menghadap ke mana saja, tak pilih kawan atau lawan, karena harus netral dan bersedia ditendang ke segala arah. Tak hanya diperebutkan oleh 22 orang yang berada di lapangan dengan ambisi untuk menang, tapi diperebutkan secara imajiner oleh setiap penonton di pelbagai tempat. Café-café mendadak penuh sesak dan membuka pintu serta bar mereka hingga larut pagi. Dan mereka yang gegap-gempita di malam buta itu, esok siangnya, di kantor masing-masing, kadang-kadang tak sanggup menahan mata mereka agar tetap bulat. Kantuk menyerang pada jam-jam strategis: ketika rapat berlangsung.

Mari kita ingat kisah di masa lalu. Ada seorang anak laki-laki penggemar sepakbola yang bertekad menemui bintang sepakbola idolanya di stadion. Ia telah merencanakan jauh-jauh hari agar dapat bertemu dan bercakap-cakap.

Pada jadwal pertandingan yang ditunggu-tunggu, ia pun berhasil masuk ke ruang ganti pemain. Mengingat waktu untuk perjumpaan itu terbatas, ia segera mencari bintang pujaannya, dan langsung menyapa : "Hai, superstar, saya ingin minta tanda tangan anda."

Sang idola merasa terganggu, maka ia cepat-cepat mencoretkan tandatangan di halaman buku yang diangsurkan tanpa memandang pemiliknya.

"Superstar, saya sangat mengagumi anda. Saya selalu menonton setiap pertandingan anda. Di kamar saya dipenuhi poster-poster gambar anda." kata anak laki-laki itu penuh semangat.

Sang idola menyambut dengan setengah hati dan mengatakan "Terimakasih. Tapi saya sangat sibuk." Sang idola itu hanya memberinya sedikit senyum.

"Saya tahu bagaimana masa kecil anda, kegemaran anda, dan cita-cita anda." Anak kecil itu melanjutkan, untuk menunjukkan kekagumannya. Sang idola kini memandang anak itu. Pada sepasang matanya terdapat pancaran semangat yang sungguh-sungguh. Mata yang membulat seperti bola!

"Hebat kamu. Tapi saya sebentar lagi akan melakukan pemanasan." Ketika sang idola selesai mengenakan sepatu dan mulai berlari-lari kecil, tampaknya itulah saat berpisah.

"Baiklah, Superstar." Anak itu mengulurkan tangan dan mereka berjabatan. "Saya ingin seperti anda. Nama saya... " Ia menyebutkan namanya dengan lantang.

Sepuluh tahun kemudian, anak itu menjadi pemain sepakbola terkenal.

Apakah mata yang berbinar sebulat bola dan menyiarkan semangat untuk menggapai cita-cita merupakan pertanda bahwa upayanya akan berhasil? Rasanya, ya! Untuk bidang pekerjaan apa pun, ternyata yang diperlukan pertama kali adalah keinginan keras untuk merealisasikan niatnya. Untuk menyatakan (mengubah jadi nyata) impiannya. Perjalanan menuju ke ujung cita-cita tidak selalu mudah, penuh aral, bahkan acap kali membuat kita kadang-kadang putus asa. Tetapi, seperti perenang yang harus mengatasi kabut di atas lautan, atau pendaki yang tak henti berlatih demi merengkuh puncak Himalaya, harapan yang nyaris patah harus diperangi.

Teman anak saya, sejak awal kelas III SMP, sudah merekam SMA idolanya dalam telepon selular. Sebuah SMA unggulan, bukan saja untuk wilayah kotamadya, tetapi provinsi bahkan nasional. Setiap didengarnya orang menyebut nama SMA itu, langsung disambut dengan: "Itu SMA gue!" Padahal masih setahun lagi dia akan menempuh bangku SMP-nya. Tetapi sebuah motivasi telah ditanam. Seumpama benih, tanaman impian itu disiram dan ditaburi pupuk setiap hari. Dengan selalu mengingatnya. Dengan belajar sungguh-sungguh untuk melampaui batas minimal nilai yang disyaratkan. Dengan membayangkan, bahwa suatu hari dirinya akan mengenakan seragam abu-abu dan melaksanakan upacara bendera di SMA impian itu! Pada sampul buku pelajarannya ditempel foto-foto SMA idolanya yang diambil dari pelbagai sudut.

Motivasi adalah doa dalam bentuk yang lain. Impian bukan bunga tidur, melainkan cita-cita yang hendak kita raih. Maka, impikan sesuatu yang akan membuatmu merasa bergetar ketika mencoba meraihnya, dan meluap rasa bahagia saat mendapatkannya... seperti bulatnya bola mata kita oleh kegembiraan fantastis!

(kurnia effendi, untuk kolom Jeda Tabloid PARLE, edisi 42, 19 Juni 2006)

Tuesday, June 13, 2006

Sisi Gelap Manusia


SERBA sepasang yang diciptakan Tuhan, dapatkah disebut keseimbangan? Antara siang dan malam, bagian terang dan sisi gelap. Panas dan dingin, keras dan lembut, baik dan buruk. Jika seluruh murid pandai dikumpulkan dalam satu kelas, adakah yang menonjol? Tentu baru terasa menjadi kelas unggulan ketika ada kelas pembanding dengan sejumlah murid berotak tumpul. Dengan kata lain, yang satu akan memberikan eksistensi kepada yang lain. Kita menyebut 'aliran kiri' karena berbeda dengan 'aliran kanan'. Tetapi jika berjalan terus-menerus ke arah Barat, saya yakin akan muncul di Timur... Ah, sudahlah, rasanya mustahil bila ada seorang penjudi yang mengaku menang tanpa ada yang kalah di meja judi yang sama!

Tak perlu jauh ke luar dunia, bahkan dalam tubuh kita terdapat bagian yang serba sepasang. Meskipun fungsi telinga, baik yang kanan maupun yang kiri, sama-sama untuk mendengar, kecuali bagi si bengal yang sedang menerima nasihat gurunya. Yang satu untuk 'masuk' dan yang lain untuk 'keluar'. Karena dalam raga manusia terdapat jiwa, maka hati dan jantung tak semata segumpal benda yang berdenyut, bertugas menyimpan cadangan tenaga dan memompa darah ke sekujur tubuh, melainkan juga merasakan kegembiraan dan kesedihan, sesekali berdebar-debar. Kalbu, sebagai kelopak hati yang berubah-ubah, demikian rentan terhadap sisi terang dan sisi gelap manusia. Untuk itulah kemudian agama diturunkan guna mengatur keseimbangan. Adanya Yin dan Yang, tentu bukan konsep yang serta-merta hadir di luar proses spiritual manusia.

Kapan kita berada di tempat terang dan kapan kita berada di sisi yang gelap? Sejujurnya kita tahu, paham, dan sadar. Iman tak pernah tetap atau stabil. Oleh karena itu, sebuah celah terbentuk, dan Tuhan memberikan jalan keluar berupa taubat untuk sebuah kesalahan yang diperbuat. Sementara untuk beranjak semakin waskita dan arif, kesabaran manusia terus-menerus diuji, oleh penggoda yang 'kualitas'nya semakin tinggi. Maka banyak kisah tentang Kaisar yang jatuh oleh sepercik nafsu. Presiden yang dirontokkan oleh martabat buruk keluarganya. Bahkan dalam cerita Mahabharata, tak semua ksatria suci dari noda. Lalu diam-diam kita ingin tak percaya, mengapa seorang Nabi yang saleh dan ulul-azmi justru memiliki putra yang ingkar?

Rahasia itu selalu tak terungkap, karena kita menjadi bagian tak terpisahkan dari rahasia sifat manusia. Manakala musibah gempa melanda Jogja dan sekitarnya, sifat manusia pun terbelah. Banyak orang turun tangan menjadi relawan, namun ada sebagian yang justru mengambil keuntungan. Mungkin kita masih wajib bersyukur, karena lebih banyak orang yang hatinya condong kepada welas asih ketimbang yang 'terpinjam' oleh sosok sang jahat. Artinya, yang menjarah harta dari rumah yang ditinggalkan tak sebanyak uluran tangan untuk meraih para korban dalam genggaman perlindungan meski masih sebatas tataran darurat.

Setelah mendengar semua pengalaman dan cerita orang, kini percayakah kita kepada sahabat? Ada sejumlah pepatah yang mengisyaratkan, bahwa rasa aman dan keadaan bahaya itu tak berbatas lebar. Saat kecil menjadi teman, ketika besar menjadi lawan. Air, Api, Angin, Tanah! Air yang menghidupi kita sanggup sekonyong menjadi bah yang merendam seluruh kota. Api yang mematangkan nasi dan lauk-pauk itu bisa mendadak jadi si jago-merah yang melalap semua milik kita. Angin sepoi yang membuat sirkulasi udara dalam rumah berjalan baik dan berjasa menebar serbuk bibit tetumbuhan, suatu ketika berubah puyuh puting-beliung. Tanah pun kerap menunjukkan murka dengan cara longsor dan menimbun kehidupan. Lalu ada pertanyaan: apa fungsi rumah bagi manusia? Melalui perjalanan sejarah, akhirnya tersimpulkan bahwa keluarga membutuhkan tempat tinggal untuk berlindung dari angin, hujan, terik surya, dan binatang buas. Bermula dari gua, kini berkembang jadi rumah yang mirip istana. Benarkah kita terlindung di dalamnya? Lantas apa yang terjadi di Jogja dan sekitarnya? Bukankah sebagian besar mereka tewas tertimbun oleh sang pelindung? Oleh reruntuhan rumah mereka sendiri?

Pisau di dapur kita sangat berguna untuk pekerjaan seorang ibu, selain juga sanggup menusuk tembus leher manusia. Ada kepercayaan, sepanjang beberapa hari semenjak lahir, bayi harus ditemani sebilah gunting yang tersimpan di bawah bantalnya. Mungkin agar malaikat lekas meraihnya saat iblis mendekat hendak menerkam manusia fitri itu. Akan tetapi karena sisi terang dan sisi gelap manusia itu lekat satu sama lain seperti pada dua sisi mata uang, betapa mudahnya sifat santun berubah menjadi beringas. Atau yang lebih menakutkan: di balik kesantunan itu ada tunas psikopat yang tak teraba oleh lawan bicara.

Kadang-kadang kita tidak sadar, saat melakukan sembahyang atau berdoa dalam gereja, di saku kita tersimpan hand-set canggih yang menghimpun pelbagai adegan hubungan seksual mirip-mirip binatang. Mudah-mudahan Tuhan sempat tersenyum, menerima menu persembahan yang begitu lengkap. Atau kita yang pernah lulus cum-laude dari sebuah pesantren merasa gegar budaya saat tiba di metropolitan, terseret ke dalam kehidupan malam dan terbelalak matanya: Ya Tuhan, inikah surgaMu di dunia? Saat itulah cahaya nurani meredup, 'mata uang' beralih sisi (seolah hasil putaran sang Bandar yang bercadar) menuju bagian yang kelam.

Kini kita tahu (juga paham dan sadar), berjuta manusia Jakarta yang telah seharian penuh menjadi bagian dari hiruk-pikuk perjuangan untuk bertahan hidup, memilih biliknya masing-masing di malam hari. Di surau-surau sempit slum area, ada yang menderas Qur'an, mempertahankan nyala iman. Di relung gempita bawah tanah, ada yang berpesta seperti Caligula, sebagaimana pernah ditulis oleh Moamar Emka dalam "Jakarta Undercover". Oleh karena itu, jangan heran ketika seseorang ingin namanya ditulis untuk peristiwa derma besar korban bencana, padahal baru saja menandatangni persetujuan penggusuran sebidang luas perkampungan untuk hypermarket yang baru.

Ada baiknya, sebelum melangkah keluar dari rumah, kita ucapkan doa. Agar yang berada di depan kita lebih banyak jalan lurus ketimbang cecabang tikungan yang acap membuat kita ragu memilih...

(Kurnia Effendi, untuk kolom JEDA di tabloid PARLE edisi 41)

Friday, June 09, 2006

Untuk Nova Riyanti Yusuf

NORIYU
Kurnia Effendi

AKU membuka pintu sebelum ia mendaki tangga teras dan mengetuk bidang kayu warna coklat tua. Ia terpana di tanah berumput, memandangku dengan mata tak berkedip. Celana krem dengan blus-kaus warna putih yang memiliki bordir di bagian belahan dada terlampau kontras dengan langit kelabu yang melatarinya.

Lalu turunlah hujan.

Air yang tumpah dari langit tidak membuatnya beranjak dari tempat semula. Tidak tampak mengejutkannya, seperti telah diperkirakan dengan akurasi detik, bahwa mendung di atas kepalanya akan berubah menjadi hujan. Wajahnya sebentar tengadah dan berjuta titik air menyiramnya. Rambutnya seketika basah. Juga pakaiannya.

"Ayo, naiklah!" kataku. Aku berdiri di tengah sepasang pintu yang terbuka lebar. Ada hembusan angin basah yang bertemperasan menempuh tubuhku.

"Kamu ingin aku naik ke beranda?" Ia bertanya seperti tak yakin.

"Salah. Kamu yang ingin naik, dan aku mengingatkanmu."

Kedua alisnya hampir bertaut. Wajahnya yang diguyur hujan tampak lucu. Menggemaskan.

Ia tidak mencoba bertahan dengan berbagai alasan. Kakinya, mulai dari yang kanan, sebagaimana diajarkan oleh orang tuanya sejak masa kanak-kanak, menginjak tangga pertama. (Oh ya, sekarang dia berusia dua puluh tujuh tahun. Tapi buah dadanya cukup memprihatinkan: tak melampui besar buah apel). Kaki kirinya menginjak tangga kedua. Dan seterusnya. Sampai ia berdiri hanya beberapa sentimeter di depanku. Selain aroma hujan, ada wangi yang kuhirup dari parfum yang mungkin tetap lekat di serat pakaiannya.

"Namaku Noriyu," ia memperkenalkan diri.

"Aku sudah tahu."

"Maksudmu?"

"Aku sudah tahu namamu Noriyu."

Kembali sepasang alisnya hendak bertaut tanda sejumlah pertanyaan terhimpun di keningnya. Tapi kemudian ia tersenyum. Kurasa, ia termasuk perempuan yang tak terlalu memikirkan muslihat lawan bicaranya. Ia bisa saja menganggapku seorang Picasso, yang selalu berucap, "Hai, aku sudah mengenalmu sejak sebelum kamu dilahirkan..." kepada setiap perempuan cantik yang menarik minatnya untuk jatuh cinta.

"Bagaimana kini rupaku?" Dia, Noriyu, mengangkat wajahnya menatapku lurus, memperlihatkan seluruh paras yang kuyup oleh hujan.

"Ternyata kamu tak berhasil menjadi buruk," kataku sejujurnya.

"Maksudmu?"

"Ternyata kamu tetap cantik. Bahkan lebih menggemaskan dalam keadaan seperti itu. Jika tidak ingin disebut menggairahkan."

Ia mengumpat perlahan. Seperti seseorang yang kecewa. Tapi aku tidak menyesal telah mengucapkan pendapatku itu. Aku tak pernah berdusta. Bahkan dalam keadaan terpaksa sekalipun.

"Sebaiknya kamu menangis seperti orang lain menangis ketika berduka. Lakukan seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu." Saranku. "Kenapa mesti ditahan dalam dadamu yang rapuh?"

"Kenapa kamu mengejekku?" Ia mendorong dadaku dengan tangannya yang juga basah. Lalu ia masuk ke dalam rumah. Lantai ruang tamu segera dihiasi genangan oleh tetes-tetes air dari tubuhnya.

"Kamu tak ingin melepas sepatumu? Kamu pasti merasa sayang jika sepatu itu rusak. Ada kenangan tersimpan di sana, yang akan mengingatkanmu pada Bandung. Dan..."

"Diaaaam!" Noriyu menjerit dan matanya menyorot tajam kepadaku. "Dari mana kamu tahu semua itu?"

Aku diam saja. Dengan cara itu, aku tahu, Noriyu tidak akan melanjutkan kegeramannya. Dan seperti yang kusarankan, ia melangkah ke sebuah sofa. Duduk tanpa perduli pada air yang akan rembes ke bahan berpori yang membungkus busa kualitas tinggi itu. Benar, dia menangis. Kulihat dadanya naik-turun, bagai ada pompa yang bekerja di dalamnya, berusaha meniup sepasang balon yang terbalut blus-kaus itu, tapi tak pernah berhasil membuat mereka menggelembung.

Tumit kirinya mencoba melepas sepatu di kaki kanan, lalu ujung ibu jari kaki kanannya melepaskan sepatu yang kiri. Kini sepasang kakinya telanjang. Bagian bawah setiap jarinya mulai keriput oleh dingin air yang sempat merendamnya beberapa saat.

Hujan masih membuat lukisan garis pada bingkai jendela. Kadang-kadang berhias petir. Tapi tentu ledakan perasaan sedih jauh lebih kuat di dada Noriyu. Yang kini dialirkan melalui air mata. Meski sulit dibedakan, mana yang terbit dari sudut mata, dan mana yang bersumber dari ujung-ujung rambut basahnya di pelipis.

"Sebaiknya kamu tulis seluruh perasaanmu. Selain akan membuatmu menjadi lega, kamu melahirkan satu kisah lagi yang dapat dibagikan kepada teman-temanmu..."

Kata-kataku terhenti oleh pandangan matanya yang tajam. Tangannya menyeka pipi dengan kasar. "Kamu ingin aku menulis sebuah kekecewaan yang mendalam?"

Aku menggeleng. "Aku hanya mengingatkan. Sejak kamu berjalan dari plaza itu, sudah tumbuh keinginanmu untuk menulis. Dengan segera melakukannya, gumpalan yang menyesaki rongga dadamu itu akan mencair, bahkan mungkin menguap."

Sepasang tangannya tiba-tiba menutupi wajahnya. Dan aku tahu, dari sela-sela jemari kurus itu mengalir air mata. Aku membiarkan kemarahan yang memadat itu terurai. Dengan cara itu, senyumnya akan lekas kembali.

Beberapa menit kemudian Noriyu berdiri. Ia tahu, dengan membiarkan tidak mengganti pakaian, tentu akan masuk angin. Urusan bakal memanjang dan lebih tidak nyaman. Tapi ia masih cukup perduli dengan daya tahan tubuhnya yang terlukis melalui semua ukuran minimum.

Sebelum ia melangkah, ia memandangku. "Apa lagi yang hendak kamu katakan?"

Aku tersenyum. "Mandilah dengan air hangat. Lalu menyeduh segelas susu. Itu akan..."

"... memulihkan tenaga dan menghindari penyakit yang tidak perlu terjadi." Noriyu melanjutkan. "Itu aku tahu, karena aku dokter!"

Aku tidak membantah. Percuma. Aku hanya ingin menjadi sahabatnya. Yang hadir di saat dia membutuhkan. Untuk melipur perasaannya yang terluka. Menjahit hatinya yang robek. Tapi, entahlah. Apakah kali ini berhasil? Walaupun ia seorang dokter, bukan berarti hatinya terbuat dari aluminium.

Sehabis mandi dan meneguk kopi hangat (ternyata bukan susu hangat) dari cangkir keramik, yang tampak terlalu pekat, Noriyu menyalakan komputer. Ia membiarkan cahaya lampu hanya menyala untuk keyboard yang mulai diraba oleh jari-jari kurusnya. Ah, kenapa ia tidak mencoba sedikit rakus saat makan siang, agar lengannya lebih berisi? Rasanya sangat sulit. Jika kubujuk, tentu akan pecah pertengkaran yang ujungnya justru tidak mau makan sama sekali, kecuali mengunyah mangga muda atau sebutir buah pir.

"Mulailah dengan umpatan, agar perasaanmu puas. Setelah amarahmu reda, kata-kata awal itu boleh kamu ganti..."

"Kenapa kamu mengajariku?" Noriyu meradang. "Aku tahu bagaimana aku harus menulis. Kamu pikir aku siapa?"

"Siapa yang mengajarimu? Aku hanya mengingatkan."

Tangan Noriyu terangkat dari keyboard. Merajuk. "Mungkin sebaiknya kamu saja yang menulis. Bukankah itu lebih meringankan bebanku?"

"Apakah benar kamu setuju? Apakah kamu ingin aku menceritakan semuanya tanpa satu adegan pun terlewatkan?" Aku memancing.

"Terserah apa maumu!"

"Sejak kamu duduk di kafe itu menunggu kedatangannya? Atau langsung dari setiap jalan pikirannya yang mulai tidak kamu pahami dan menerbitkan perdebatan sengit?"

Air mata perlahan-lahan meleleh ke pipinya. Ke pipi Noriyu yang mulai cekung, padahal pagi tadi masih tampak bulat.

"Atau diawali dengan selera makanmu yang hilang? Atau agar lebih menarik, justru dibuka dengan kejadian ketika kamu meletakkan bingkisan yang sedianya kamu serahkan secara manis, tapi berubah dengan - bahkan - melepas cincinmu? Ya, persis sebelum kemudian kamu dengan setengah berlari meninggalkan kafe..."

Sepasang tangan Noriyu kini menutup telinganya. Matanya terpejam, seperti yakin pelupuk yang terkatup itu sanggup menahan gempuran luar biasa yang datang dari dalam hatinya. Lalu ia berteriak: "Diaaaaam!"

Aku pun terdiam. Namun suasana tidak sungguh-sungguh sepi, karena masih terdengar desis gerimis di luar rumah. Warna langit putih tua. Pada warna serupa itu, waktu tak dapat dibaca dengan cermat: masih siang atau sudah sorekah?

"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Noriyu lantang. "Dan apa maumu?"

Aku tersenyum sabar. "Aku hanya ingin menjadi sahabatmu. Aku akan menghalau seluruh temperamenmu yang hanya akan membuatmu putus asa. Aku akan menjaga perasaanmu yang paling rapuh."

Noriyu menggeleng. "Aku tidak mengerti..."

"Sesungguhnya kamu mengerti. Kamu tahu. Seperti aku tahu siapa kamu sesungguhnya."

"Siapa namamu?"

"Kamu bisa memberi nama siapa pun untukku."

Noriyu terdiam. Ia memandangku demikian cermat. Lalu terdengar suaranya perlahan, pertanda emosinya reda. "Kamu laki-laki atau perempuan?"

Aku tidak menjawab. Karena aku tahu, Noriyu pasti tahu, aku laki-laki atau perempuan. Dia sangat tahu, aku adalah bagian dirinya yang memisahkan diri saat perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang meremas hatinya. Aku yakin dia tahu.

***

(untuk Nova Riyanti Yusuf)

Jakarta, 23 September 2005, 22.00 -23.54


Wednesday, June 07, 2006

Resensi Buku "Le Chant de Villes"

Puisi dan Lukisan dalam Nyanyian Kota

TAHUN ini, kembali Printemps des Poetes memberikan jejak budaya di Indonesia melalui penerbitan buku antologi puisi tujuh pengarang wanita Indonesia yang mewakili tiga generasi. Ini merupakan peristiwa yang keempat, sekaligus menandai penganugerahan medali penghargaan seni sastra "Chavelier dans l'ordre des Arts et Lettres" untuk Ibu Toeti Heraty, dari Pemerintah Prancis. Untuk seni film, Christine Hakim pernah menerima hadiah sejenis.

Buku antologi puisi dua bahasa (Indonesia dan Prancis) yang diterbitkan oleh Centre Cultural Francais Jakarta bekerjasama secara teknis dengan penerbit Indonesia Tera, tidak hanya menampilkan puisi dari tujuh pengarang wanita, namun juga 10 pelukis wanita Indonesia. Ukuran format buku 21 x 24 cm landscape, dengan kertas art paper pada seluruh halaman, dan full colour untuk setiap halaman lukisan maupun biodata penyair, membuatnya tampil mewah sekaligus eksklusif.

Siapakah 7 penyair yang mendapat kehormatan tampil di buku bertajuk Le Chant des Villes (Nyanyian Kota) ini? Mereka adalah: Cok Sawitri, Medy Loekito, Poppy Hutagalung, Isma Sawitri, Rieke Dyah Pitaloka, serta dua penyair yang mendapat kesempatan kedua kalinya: Toeti Heraty dan Dorothea Rosa Herliany.

Pengantar yang ditulis oleh Ibu Toeti Heraty, antara lain mengatakan: ... perubahan baru saja terjadi, gerakan perempuan yang mendunia tahun tujuhpuluhan, diawali revolusi mahasiswa di Prancis tahun 1968, dan tulisan Betty Friedan di Amerika tahun 1963, berjudul : "The Feminine Mystique", menjadi inspirasi bagi NOW (National Organization for Woman). Jadi tampaknya, greget itu yang mendasari terbitnya buku yang menampilkan baik penyair maupun pelukis, perempuan. Rasanya kita tak perlu berdebat tentang itu, lebih baik langsung menikmati karya-karya pilihan mereka.

Dari tahun kelahiran dan kiprah masing-masing penyair, memang benar, bahwa antologi ini mewakili tiga generasi. Seperti sebuah hasil persiapan yang matang, ketujuh penyair selain mewakili era kariernya masing-masing, juga memberikan tujuh corak karakter yang berbeda. Kenyataan ini menjadi nilai positif, sehingga antologi yang memuat 72 puisi ini tidak stereotip, justru saling memberikan gelimang pengalaman, impresi, dan kekuatan kata yang (kadang-kadang) sulit dibedakan dengan karya penyair laki-laki. Bukan berarti puisi penyair laki-laki lebih kuat, melainkan bahwa mereka telah melepaskan diri dari batasan gender.

Tentu yang paling senior adalah Toeti Heraty (tampak dari salah satu sajaknya yang ditulis tahun 1968, di saat sebagian penyair lain masih kanak-kanak, bahkan Rieke belum lahir). Beberapa puisinya yang tampil di buku ini bergaya prosa yang dipisahkan baris-baris. Lebih terasa sebagai aliran percakapan atau surat. Misalnya bait pertama yang tercantum pada puisi Surat dari Oslo:

Sudah kuterima surat undangan
Terima kasih, jadi anakmu akan menikah?
Baru kali ini aku terima berita, ah, ternyata
anak-anak kita telah merasa cukup dewasa.
Katakan saja sebagian tugasmu selesai sudah
....dst.

Sesederhana itukah sebuah puisi? Tapi coba bandingkan dengan yang saya kutip dari bait terakhir puisi Geneva Bulan Juli, meskipun termasuk sederhana namun menyimpan simbolik tentang esensi komunikasi:

bila tidak
tiba-tiba kelepak sayap angsa putih
berlima perlahan terbang menyongsong bulan
tinggalkan danau menggenang sunyi
kita terdiam
sejak dahulu memang, yang
tidak terucapkan, lebih berarti

Pada penyair yang jauh lebih muda, Medy Loekito, kita menemukan pilihan kata yang tidak rumit, yang telah kita kenal begitu karib, namun efektif cara penggunaannya untuk sejumlah sajak pendek. Sebagai contoh, Danau Maninjau (yang hanya tiga baris):

di biru danau Maninjau
tangan Tuhan menabur bintang
yang memijar di mata ikan-ikan

Dari tiga baris untaian kata itu, tak perlu dijelaskan bahwa air bening danau telah menjadi cermin gemintang di langit. Medy juga tidak menuliskan bintang secara jamak, cukup dengan kata kunci: ikan-ikan (yang tentu jumlahnya ribuan ekor).

Atau pada puisinya yang lain yang berjudul Puisi, Engkaukah, kita memperoleh sebuah realitas hubungan antara manusia dengan suasana melalui ungkapan yang ringkas dan tangkas. Terasa benar ada spirit haiku (salah atu aliran puisi Jepang) di dalamnya:

engkaukah sepi
wujud maya kata

engkaukah kata
wujud nyata sepi

***

TENTU tak bisa dipungkiri bahwa Dorothea Rosa Herliany, yang walaupun pernah menulis sejumlah cerpen, baginya puisi adalah denyut nadi. Puisi sequel yang terkenal, Radio, Kumatikan, telah dibukukan dalam sebuah antologi tebal berbahasa Inggris: Kill The Radio. Ini bentuk pengakuan publik yang tak hanya seluas Indonesia. Seperti juga pada Isma Sawitri yang dikenal dengan perjuangan tak lelah-lelahnya dalam membela kebebasan jurnalistik di tanah air lewat kasus majalah Tempo dibreidel. Sajak-sajaknya yang mengandung idiom reportase terbungkus selimut ungkapan puitis, menyebabkan tokoh Tatiana atau kegiatan remaja di Prambanan tampil indah. Justru Poppy Hutagalung mendeskripsi lebih lugas dan kuat untuk peristiwa-peristiwa sosial yang kemudian menjadi bagian kesadaran moral sang aku.

Sementara Cok Sawitri dengan spirit mantra, puisi-puisinya bicara mengenai mitos dan akar budaya tempatnya dilahirkan dan dibesarkan. Walaupun masih relatif muda, terasa sangat serius eksplorasi terhadap hubungan antara keberadaan manusia dengan alam yang melingkunginya. Dan obsesi terhadap sesuatu, semacam keadilan atau hak asasi, muncul dalam tokoh Dirah yang selain ditulis sebagai puisi, juga dipentaskan.

Penyair paling muda dan masih memiliki masa depan yang panjang, tampak dari talenta yang ditunjukkan secara bersemangat di buku Le Chant des Villes, adalah Rieke Dyah Pitaloka. Sebagai pekerja seni layar kaca, namanya lebih dikenal luas oleh publik (terutama lewat peran Oneng dalam serial Bajaj Bajuri). Menikmati puisinya, terbaca kecerdasan dan kebebasan yang tidak ragu-ragu diekspresikan. Dalam puisi berjudul Adam & Hawa Tak Mungkin Bersama-sama, ia menulis dalam bentuk percakapan SMS (Short Message Service). Meski demikian, kepekaannya terhadap kondisi tanah air, telah menyisipkan semacam ironisme dalam sebagian puisinya. Dengan bekal kecerdasan, diharapkan sajak-sajaknya tetap tajam bicara mengenai segala peristiwa yang menyentuh perasaan masyarakat Indonesia.

Demikianlah, tujuh penyair yang pada kesempatan ini 'mewakili' warna pengarang wanita Indonesia. Sepuluh lukisan yang menghiasi buku ini, tujuh di antaranya sebagai pembuka masing-masing penyair. Tersebutlah nama Kartika Affandi, Umi Dachlan, Farida Srihadi, Inda Nurhadi, Ratmini Soedjatmoko, Yanuar Ernawati, Wiwiek Yuniarti, Sriyani dan Timoer Bjerkness. Sebagai sampul, dipilih karya Wiranti Tedjasukmana, dengan lukisan yang cerah dan meriah berjudul Pasar di Bali (1988).

***

TERBITNYA antologi puisi Le Chant des Villes adalah sebuah peristiwa budaya antarnegara, meskipun tidak dipublikasikan secara luas. Pada tanggal 9 Maret 2006, pemerintah Prancis melalui duta besarnya di Indonesia menyematkan anugerah seni kepada Toeti Heraty di Café Oktroi Kemang. Dirangkai dengan pembacaan puisi oleh ketujuh penyair, di tempat yang sama pada malam berikutnya, tanggal 10 Maret 2006.

Acara dikemas anggun dan akrab, dengan dekorasi sederhana tapi unik: tujuh kursi rotan diletakkan di atas panggung untuk tujuh penyair, disampiri batik tulis yang dipesan khusus dari Yogyakarta itu. Perhelatan yang diawali dengan cocktail party itu, hanya dihadiri oleh sedikit sastrawan Indonesia, antara lain Hamsad Rangkuti, AD Donggo (mengantar isterinya Poppy Hutagalung), Rahmat Ali, Amna Kusumo (isteri Sardono W. Kusumo), dan Sihar Ramses Simatupang.

Dalam catatan perjalanan kiprah Primptemp des Poetes yang dimulai sejak tahun 2003, selain mengangkat penyair-penyair senior semacam: Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, atau Taufiq Ismail (untuk menyebut beberapa nama); juga melibatkan sastrawan muda antara lain: Warih Wisatsana, Azhari, dan Joko Pinurbo. Hal ini menunjukkan bahwa Prancis menghargai susastra begitu tinggi, bahkan untuk pengarang yang bukan berasal dari bangsanya. Sudah selayaknya jika pemerintah Indonesia, sebagai pemilik para penyair berbakat ini mulai sensitif terhadap seni sastra sebagai bagian dari budaya yang turut berkontribusi dalam menghaluskan rasa kemanusiaan dan menajamkan nurani dalam memandang ketimpangan sosial.

Pantas kiranya jika Toeti Heraty bagai berutang rasa terima kasih kepada Herve Guillou yang telah mewujudkan Printemps des Poetes hingga keempat kalinya. "Untuk keyakinannya memuliakan kerjasama sastra yang sekaligus menjembatani antara kebudayaan Prancis dengan Indonesia secara signifikan dan nyata," demikian ungkapnya.

Apabila ingin memiliki buku yang mewah dan eksklusif ini, dipersilakan untuk menghubungi pihak CCF, karena - menurut salah satu penyairnya - tidak beredar di toko buku seperti antologi pada umumnya. Separuh dari oplag buku antologi Nyanyian Kota ini beredar di Prancis. Dan biarkanlah ragam puisi Indonesia bermekaran di sana...

***

(Kurnia Effendi, pecinta sastra)

DATA BUKU:

Judul Buku : Le Chant des Villes, Nyanyian Kota
Jenis Buku : Antologi Puisi Dwi Bahasa (Indonesia-Prancis)
Penerbit : CCF dan Indonesia Tera
Cetakan Pertama : Maret 2006
Jumlah Halaman : 132 halaman

Tuesday, June 06, 2006

Menjawab Surat Alma

Alma, salam kangen
Mengapa Shinjuku? Tentu karena aku tak tahu daerah yang lain yang lebih indah dari itu. Ceritanya begini. Suatu malam setelah kami check in di Keio Plaza, teman-teman mengajakku ke Shinjuku. Kami berangkat pukul 11 malam, berjalan kaki. Untunglah yang dilewati adalah jalan aspal dan trotoar yang bersih, tidak seperti di Jakarta yang bertebar sampah atau terlampau polusi.
Aku penasaran karena Shinjuku, seperti yang Alma sampaikan: daerah 'lampu merah'. Benar juga. Aku takjub melihat suasana 'pasar malam' yang tak biasa. Begitu banyak manusia, dengan dandanan yang funky, berjubel mulai dari stasiun subway, perempatan jalan raya, dan gang-gang seperti di daerah Kota (di Jakarta). Semua gedung menyala oleh lampu iklan yang mungkin memboroskan berjuta-juta watt. Suasana seperti siang hari, padahal itu sudah lewat tengah malam.
Di salah satu tikungan, bersandar tiang lampu, di tengah lalu-lalang kaum muda yang tak jelas ngomongin apa, aku merasa teralienasi. Maka menulislah aku, 13 puisi berjudul Shinjuku. Mengapa aku kemudian merasa sendiri? Karena sebagian yang lain larut dalam live show yang mempertontonkan adegan telanjang. Aku sempat juga masuk ke deretan sex shop dan melihat pelbagai benda mulai dari yang normal seperti kondom sampai cambuk untuk kaum masokis / sadis.
Terpikir saat itu, bahwa aku sebagai tokoh dalam cerpen atau novel harus bertemu dengan seseorang di tempat itu. Tentu bukan pertemuan itu yang menjadi sangat penting, namun proses untuk ketemu, atau segala peristiwa sepanjang menunggu.
Selain tempat itu, aku juga terkesan dengan Ginza. Itu pun hanya satu jalan yang kususuri siang hari (waktu itu berdua Chandra Juniastanty) sejak dari showroom Nissan di ujung perempatan dengan sculpture berpuncak jam sampai ke restoran dimsum John Manjuro di Ginza Nine, di bawah jembatan penyeberangan. Kami lewati toko fashion Pal Ziteri, toko buku Fukuya, dan singgah di kedai souvenir yang cukup lengkap menyediakan aneka macam kado.
Untuk persentuhan emosiku dengan tempat itu sudah kutuangkan dalam bentuk cerpen yang kemudian kuhadiahkan buat ulang tahun Seiji Itayama. Cerpen itu kukirim pada Alma, baca dan berikanlah semacam komentar ringkas. Dan setidaknya, aku akan membuat cerita-cerita sejenis dengan latar-latar yang berbeda. Di situlah peran Alma kuperlukan. Dengan demikian, suasana Harajuku, Shibuya, atau Sibolga (eh, kalau ini kota di Sumatera Utara ya?), akan menjadi bagian yang memperindah cerpenku.
kurnia effendi

Monday, June 05, 2006

resensi buku karya Tariq Ali, di majalah Azzikra edisi Juni 2006

Perempuan Batu, Sang Medium Bisu

KISAH manusia menjadi historikal justru ketika tidak lazim dan penuh dengan peristiwa dramatik, baik secara fisik maupun psikis. Banyak tokoh besar yang memiliki sejumlah pengalaman luar biasa, terutama serangkaian penderitaan yang terkadang menyisakan semacam traumatik, dan disertai perjalanan penuh kandungan survival, setelah tak hayat lagi, ia menjadi ikon sejarah. Saya merasa berulang kali terkejut oleh setiap kenyataan (fiksi) yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel Perempuan Batu karya Tariq Ali. Nilofer, tokoh utama novel ini, menjadi narator. Namun Tariq Ali tidak hanya menceritakan novel berlatar waktu abad ke-19 ini dari sudut pandang Nilofer, melainkan jauh melampaui titik pandang orang pertama, yang sanggup menggali perasaan-perasaan tokoh lainnya secara detail.

Novel dibuka dengan kepulangan Nilofer ke rumah orang tuanya dari pelariannya sepanjang 9 tahun. Ia telah memilih Dmitri, seorang guru yang puisi-puisinya pernah memesona perasaannya, untuk kawin lari. Nilofer, sebagai salah satu anggota keluarga besar keturunan Yusuf Pasha, bermaksud mempertemukan Orhan, anak lelakinya, dengan sang kakek Iskander Pasha. Pada rangkaian pertemuan itu, Iskander Pasha mengalami stroke hingga membuatnya tak bisa bicara. Pasha adalah sebuah keluarga dengan riwayat panjang yang masing-masing anggota keluarganya memiliki pengalaman luar biasa. Pada saat kisah ini diceritakan, ada semacam momentum rekonsiliasi antar-anggota keluarga, waktu dan tempat tercurahnya pelbagai rahasia yang selama bertahun-tahun menghuni setiap hati yang mengalami. Ini menjadi semacam titik balik sejak diusirnya Yusuf Pasha oleh Sultan Istanbul, sebagai sahabat sekaligus mantan duta besar, sekitar dua ratus tahun sebelumnya.

Siapakah "perempuan batu" dalam cerita ini? Tentu berbeda dengan julukan Wanita Besi bagi Margaret Tatcher, mantan perdana menteri Inggris yang bersikap tegas dan bekerja keras untuk sebuah idealisme. Perempuan Batu dalam novel ini merupakan nama harafiah bagi sebuah patung tua yang terbuat dari batu. Ia bukan Dewi Aphrodite atau Athena yang cantik cemerlang, namun kedudukannya bagi keluarga Pasha menjadi sangat penting. Perempuan Batu 'berperan' seperti pastor dalam tradisi gereja, sebagai wahana pengakuan dosa. Atau ibarat psikolog yang bersedia mendengar setiap keluhan pasiennya demi sebuah terapi kesembuhan. Bahkan mungkin menjadi semacam lembar-lembar buku harian yang akan menampung segala curahan perasaan pemiliknya. Andai patung hitam itu mampu mendengar, niscaya ia mempunyai ribuan kisah manusia turun-temurun, yang layak ditulis dalam berjuta halaman kitab. Melalui medium Perempuan Batu yang membisu, Tariq Ali menjalin cerita dengan sangat menarik. Ia kadang melakukan flash-back, atau mengungkap sebuah rahasia seorang tokoh yang membuat pembaca (saya) terhenyak. Satu per satu fakta terbongkar, secara bertahap, bab demi bab, dan kita seolah mewakili perasaan sang tokoh: ingin menolak, sulit percaya, namun tak mungkin ingkar. Melalui alur persitiwa yang saling berkesinambungan secara emosional, kita akan tahu: siapa sesungguhnya Nilofer? Zakiye? Selim? Selama ini seluruh rahasia tertimbun oleh bentangan jarak dan waktu yang memisahkan mereka masing-masing.

Membaca novel Perempuan Batu, saya sadar, bahwa dalam lingkungan kehidupan keluarga ningrat selalu ada aib tersembunyi. Senantiasa terdapat hubungan rahasia yang sengaja ditutup rapat demi keagungan citra darah biru. Betapa sesungguhnya silang-sengkarut keturunan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rasa pongah di satu sisi dan kegetiran di sisi lain. Pada setiap peradaban, ternyata ada garis yang lepas ketika darah biru tercecer di luar istana atau sebaliknya, yang merasa separuh hidupnya menjadi sang ningrat ternyata titisan kaum jelata. Kembali lagi, bahwa cinta pada hati manusia sanggup menembus dinding pembatas itu. Seseorang rela melakukan apa pun demi kebahagiaan yang meski berlangsung singkat, namun menjadi kekayaan batin yang tak terjamah oleh pihak-pihak yang menggunakan kekuasannya untuk merebut raganya.

Pantas jika jalinan cerita ini, dengan problematika yang silih-berganti, menyerupai kisah Seribu Satu Malam. Membuka halaman demi halaman dengan rasa ingin tahu yang mendesak, dengan keahliannya, pengarang kelahiran Pakistan ini membawa pembaca pada lapis-lapis rahasia yang terungkap melalui pelbagai cara, sengaja atau tak sengaja. Spirit yang tak bisa lepas dari kesan hikayat klasik itu terbentuk karena latar ruang dari novel ini berada di wilayah yang eksotik: Turki. Sebagai aktivis dan editor jurnal politik The New Left Review, Tariq Ali patut menjadi novelis yang sangat memahami jejak peradaban Islam. Melalui novel tetraloginya, ia memilih setting yang yang jarang diambil pengarang lain, menggambarkan saat-saat kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah.

Sesungguhnya, tanpa maksud membuat pembaca terangsang, novel ini mengandung banyak erotisme yang terlahir dengan sendirinya karena perilaku tokoh-tokohnya. Ada alasan yang kuat untuk itu, dan membuat kita sadar, bahwa gairah asmara yang membara memang milik dan hak setiap insan di saat mereka berada pada ruang-ruang privat. Namun percintaan sejati antara pria dan wanita yang dibuktikan dengan persetubuhan, hampir selalu berakhir dengan kehancuran hati. Nasib bagi mereka seolah selaput rentan yang mudah robek dan tangan takdir membuatnya tak berdaya. Atau ibarat puzzle, selalu dibuat berantakan untuk kemudian dipasang kembali namun dengan gambar yang berbeda. Dari serabut peristiwa yang saling berkelindan, yang melibatkan ego patriarki, pandangan politik, feodalisme (kepatuhan si lemah terhadap si kuat), kepercayaan terhadap genetikal, dan intrik yang dilandasi rasa cemburu, membuat cerita ini kaya dengan problematika. Karakter setiap tokoh begitu kuat dibangun dengan cara masing-masing menyikapi persoalan.

Seperti disampaikan oleh penerbitnya, Serambi, Perempuan Batu adalah satu dari tetralogi Tariq Ali (setelah Kitab Salahuddin dan Bayang-bayang Pohon Delima, keduanya terbit tahun 2006). Kehadirannya semakin memperkaya novel-novel berlatar sejarah (Islam) dalam khazanah susastra (terjemahan) Indonesia. Setidaknya, melalui Perempuan Batu, saya tidak terjebak pada satu sudut pandang budaya Islam dalam pemahamannya terhadap Allah. Kehidupan para darwis di masa itu terasa unik, karena memiliki cara tersendiri dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya, melalui jalan ekstase, dan... erotisisme.

(Kurnia Effendi, pecinta sastra)

DATA BUKU:

Judul : PEREMPUAN BATU
Pengarang : Tariq Ali
Penerjemah : Anton Kurnia dan Ata Verin
Jenis : Novel
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan Pertama : Maret 2006
Tebal Buku : 496 halaman

Friday, June 02, 2006

Makna Teladan Bagi Kita

TELADAN

Kata "teladan" hampir asing di telinga. Padahal dulu, ketika kita menempuh sekolah dasar atau tingkat lanjutan pertama, sering mendengarnya melalui Kepala Sekolah atau guru. Seolah keterpinggiran kosakata "teladan" seiring dengan menghilangnya contoh-contoh nyata yang dapat dilihat dengan mata, atau hadir di sekitar kita. Dengan kata lain, alangkah sulitnya mencari sang teladan akhir-akhir ini.

Mari kita mendongeng saja. Pada suatu hari, ada seorang karyawan, bernama Fulan, yang didaftarkan oleh direkturnya menjadi calon karyawan teladan. Dia akan menjalani proses seleksi bersama para calon lain yang diajukan oleh masing-masing direktorat dalam sebuah perusahaan nasional. Fulan merasa terkejut oleh dua hal. Pertama, masih adakah makna teladan ketika setiap ukuran nyaris hanya menggunakan hukum untung-rugi? Kedua, mengapa saya yang dicalonkan? Pertanyaan kedua juga menimbulkan cecabang tanya berikutnya: Apa kriteria karyawan teladan? Meskipun secara samar-samar ada ihwal yang tak boleh cacat, yakni perihal kehadiran di kantor (tak pernah terlambat, mangkir, atau pulang lebih awal dari ketentuan) dan nilai prestasi kerja akhir tahun lalu.

Fulan, sebagai karyawan yang hanya menguasai pekerjaan sehari-hari, sedikit nervous saat menghadapi seleksi awal. Organisasi perusahaannya yang rumit, ternyata menjadi bagian yang harus dipahami. Nama fungsionaris serikat pekerja harus dikenalnya. Dan yang tak boleh keliru: langkah kerja pada bidang yang menjadi tanggung jawabnya, wajib diceritakan dengan fasih. Dari peristiwa itu, mulai terbuka pemahamannya mengenai persyaratan karyawan teladan. Dari seleksi prakualifikasi, tersaring 40 kandidat dari beberapa lokasi yang membawahi sekian direktorat. Uji tertulis dan wawancara diharapkan meloloskan 12 semi-finalis. Dan untuk babak final, empat orang posisi tertinggi yang mewakili tiap lokasi, selain akan menempuh ujian tertulis, diminta untuk membuat makalah dengan tema yang tidak ringan. Di antaranya bersinggungan dengan kebijakan pemerintah, pasar global, dan fungsi kemitraan serikat pekerja.

Rupanya, pikir Fulan, kompetisi ini serius! Lantas bangkit rasa cemas, andai kepercayaan direktorat yang diletakkan di pundaknya rontok begitu saja. Tapi karena mewakili sebuah lingkungan yang cukup luas, ia berhak pula memperoleh bekal, tidak ingin berdiam dalam tempurung. Ia pun mencari 'konsultan' yang akan membuka lebar wawasannya mengenai tema yang disodorkan. Dalam waktu yang terbatas, Fulan mencari ilmu dari beberapa kepala departemen. Dengan kemampuannya yang terbatas pula, ia menggali sumur demi sumur, untuk mendapatkan setimba demi setimba pengetahuan, mengenai: infrastruktur, iklim politik, kebijakan ekonomi, undang-undang ketenagakerjaan, AFTA, dan bagaimana produksi berjalan melalui suatu prosedur... Ah, begitu melelahkannya.

Dalam sebuah diskusi dengan sang atasan, terlontar pertanyaan: Dapatkah karyawan yang kebetulan bertugas di bagian pantry, dengan disiplin yang tak terbantahkan, dapat mengikuti kontes karyawan teladan? Ia tentu punya hak untuk itu. Tetapi, tanpa bermaksud memandang sebelah mata, apakah sanggup melewati tahap-tahap yang seolah 'tak adil' itu? Atau, cukupkah seorang karyawan teladan adalah yang piawai dalam segala hal, penampilan menunjukkan sebagai sang pemikir, loyal kepada perusahaan hingga mirip robot yang tak memiliki program lain kecuali bekerja dengan setumpuk dokumen di mejanya dan membuatnya antisosial? Jika memang demikian, ketika ia memenangkan predikat karyawan teladan, tidak semua segera mengenalnya. Yang mana? Bagian apa? Karena tidak setiap orang pernah melihat senyumnya, atau mendengar kelakarnya saat istirahat makan siang.

Fulan agaknya memiliki banyak sahabat, baik di lingkungan kantor maupun di luar pekerjaannya. Ia tak malu-malu menjadikan beberapa kepala divisi menjadi narasumber, termasuk direkturnya. Ia pun mengirim pesan pendek melalui telepon seluler kepada para karibnya. Minta dukungan doa dan semangat untuk maju ke panggung presentasi final. Kekuatan tak tampak itu, dorongan moral melalui monitor telepon seluler itu, menjadi energi tersendiri bagi Fulan untuk menjadi seorang yang percaya diri. Di antara mereka yang ikhlas memberi doa, justru mengajarinya untuk rileks, jangan menjadikan kompetisi itu sebagai beban. Bahkan seorang guru besar universitas besar sekaligus pengarang besar, pada detik-detik menjelang giliran presentasi masih berpesan: "Siap fisik dan mental, ketekunan akan berbuah kebaikan, Mas!"

Email dari Jepang, sehari sebelumnya, senada dengan telepon dari Solo maupun pesan melaui blogger: "Apa pun hasilnya, tak perlu mengubah sikapmu yang selalu hangat kepada semua orang. Sebagai sahabat, kamu sudah lulus menjadi sang teladan." Fulan merasa diselimuti perasaan haru, karena ada kesadaran baru tentang arti keteladanan. Pertama, bahwa para sahabatnya tidak mengukur melalui intelektual semata. Kedua, ia merasa tak sedang minta dinilai untuk segala hal yang telah dilakukannya. Alamiah saja. Biasa saja. Tidak pernah merasa kehilangan apa pun sesudahnya.

Baiklah, kita akhiri dongeng itu. Karena Fulan tidak lagi berpikir, apa yang hendak diperoleh di pengujung perjuangan. Ia tak ingin mengalahkan siapa pun. Seperti ia tak ingin dikalahkan siapa pun. Apakah dengan demikian, kata "teladan" masih perlu didengungkan? Siapa tokoh di negeri ini yang pantas menjadi teladan? Mungkin dia bukan presiden, bukan pejabat tinggi, bukan kepala partai, bukan konglomerat, bukan kepala sekolah, bukan bintang film, bukan polisi, bukan pemimpin agama... daftar ini bisa semakin panjang dengan segala 'bukan'. Karena ternyata kita butuh contoh nyata, yang keteladanannya dapat ditiru dengan mudah, dan melahirkan anak-pinak teladan. Mengutip Aa Gym: mulailah dari hal yang kecil, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah sejak hari ini.

Dengan demikian, jangan sampai kata "teladan" tinggal sebuah mitos...

(Kurnia Effendi)
-Untuk Kolom REHAT di majalah asuransi Indonesia: Proteksi, edisi Juni 2006

Thursday, June 01, 2006

Cinta Separuh Malam

Cerpen Kurnia Effendi di Tabloid Nova 8 Mei 2006

GERIMIS menyambut kedatangan Arifa di bandara Soekarno-Hatta. Titik-titik jarum air itu terus-menerus turun sampai ia tiba di teras rumah. Ia mendapatkan pintu tak terkunci. Diucapkannya salam seraya melangkah masuk dan meletakkan travel-bag.

Terdengar suara langkah lekas dari dalam kamar. Mama muncul dengan tangan terbentang dan Arifa segera tenggelam dalam pelukan.

"Kamu sehat, Nak? Mama tidak mendengar suara taksi datang." Mama memandang wajah Arifa dengan mata membasah.

"Rifa selalu merasa bugar. Justru Mama yang terlihat lebih ramping. Kenapa?" Arifa balik memandang Mama. Lalu seperti teringat sesuatu. "Mana Papa?"

Bukankah Papa yang mengatakan kangen padaku, pikirnya. Arifa bergegas menuju kamar tempat munculnya Mama. Dari pintu yang terkuak, ia melihat seorang lelaki pensiunan yang sedang terbaring di bawah selimut. Hei, sejak kapan rambutnya dibiarkan memanjang? Bertabur warna perak uban di sana-sini. Senyumnya merekah.

"Halo Papa!"

"Hai, Cemplon! Tambah cantik kamu!" Papa menyambut ciuman hangat Arifa.

"Meniru seniman, nih?" komentar Arifa, sambil membelai rambut Papa.

"Bukankah sejak dulu Papa seorang seniman?" Mama yang menjawab.

"Seorang pengarang dengan pekerjaan sambilan di perusahaan otomotif?" Arifa tertawa. "Rupanya ini yang dicita-citakan setelah pensiun..."

Papa hanya terkekeh. Sementara Mama keluar kamar membuatkan minum.

"Papa sakit apa sih? Sejak kapan? Tapi masih bisa menulis, kan? Ada buku baru lagi?" tanya Arifa beruntun, sambil memijat sepasang kaki yang terjulur di balik selimut. Pandangannya beredar ke rak buku di seberang ranjang. Hanya terpajang sejumlah novel favorit Papa dan buku-bukunya sendiri, untuk membanggakan diri. Ah, dasar narsistik!

"Papa tidak sakit, hanya kangen setelah setahun berpisah," ujarnya menghibur diri. "Buku baru itu masih setengah jalan, keburu harus istirahat. Padahal ingin selesai sebelum bulan purnama."

Tentu Arifa tergelak. "Kapan Jodi Givara berhenti jadi orang romantis?"

"Menurutmu?"

Arifa bicara dengan suara dibesarkan: "Saya tak akan pernah bosan menulis cerita romantis. Seumur hidup ingin tetap romantis."

Papa tertawa, mengacak-acak rambut Arifa. Buah hatinya ini sangat memahami degup jantung dan kuntum rahasia dalam hidupnya.

"Sana kamu ngobrol sama Mama. Papa menyusul. Rasanya jadi sehat mendadak, nih!" Namun ketika mencoba bangkit, terasa ada yang ngilu di pinggang, membuatnya meringis. Segera tangan Arifa menahan punggung Papa.

"Sudahlah, istirahat saja. Agaknya betul-betul menderita. Bukankah Rifa sengaja pulang untuk menemani Papa di kamar?"

*

SEHABIS mandi sore, Arifa menelepon beberapa teman masa lalunya. Ia tertawa-tawa. Tentu sedang membicarakan pacar masing-masing. Walaupun mereka sudah menjadi mahasiswa, gairah remaja masih saja bergejolak.

"Rifa," panggil Mama. Ia sejenak menghentikan percakapan teleponnya. "Mama mau beli bahan-bahan untuk bikin kue. Mumpung kamu ada di rumah, titip Papa ya? Jangan lupa obat yang harus diminum sesudah makan malam nanti."

Arifa mengisyaratkan dengan ibu jari, sebelum melanjutkan teleponnya. Lalu ia beranjak ke kamar Papa yang sedang membaca novel karya Akmal Nasery Basral. Virgo Desiderata. Rasanya itu bagian kedua dari trilogi Imperia. Langkah Arifa yang memang tak bisa terdengar pelan membuat Papa menurunkan buku dari depan matanya.

"Hai, sini Nak! Papa mau minta tolong." Arifa pun duduk di tepi ranjang. "Dua hari lagi tanggal 15. Apa yang kamu ketahui tentang itu?"

Arifa nyaris tertawa. "Kalau perhitungan bulan Jawa, tentu saatnya purnama. Itu malam paling romantis di dunia, sepanjang langitnya cerah. Ulang tahun pernikahan Papa dengan Mama kan sudah lewat? Dan ulang tahun Tante Maya, sahabat Papa di Singaraja juga sudah kadaluwarsa. Perlu dicarikan kartu pos?"

"Ada satu lagi yang perlu kamu tahu. Sebuah toko buku di depan Tamini Square! Namanya Perca. Manis, bukan? Kamu tahu artinya?"

"Perca? Yang kutahu, perca itu kain sisa guntingan di tempat tukang jahit. Atau getah pohon karet yang akan diolah menjadi berbagai barang, yang kemudian menjadi nama lain dari Pulau Sumatera," jawab Arifa.

"Ya, mungkin seperti itu. Serpih yang sangat bermanfaat ketika saling direkatkan atau apalah namanya. Tapi ada yang lebih penting dari itu."

"Itu yang ingin kudengar," Arifa menunggu Papa bicara sedikit terengah.

"Pemilik toko buku itu bernama Endah."

"Namanya indah?" potong Arifa.

"Endah! Endah Sulwesi..."

"Kenapa tidak Endah Sulawesi atau Kalimantan?" goda Arifa.

"Kamu mau dengar Papa bicara atau tidak?" Ayahnya pura-pura ngambek. Dan Arifa meminta maaf dengan cara yang sangat lucu. "Hampir setiap lepas siang, Papa berkunjung ke Perca. Di sana Papa punya meja khusus untuk membaca dan menulis. Endah selalu menyuguhkan secangkir teh hasil seduhannya dan sepotong brownies..."

"Tapi Papa tidak suka brownies, kan?" potong Arifa lagi.

"Ya, tapi Papa harus menghormati." Ayahnya merasa gemas. "Nah, sejak Papa terbaring seminggu yang lalu, tentu tak bisa berkunjung ke sana. Agaknya banyak orang mencari Papa, beberapa kali Endah mengirim pesan."

"Siapa yang mencari Papa?"

"Teman-teman yang singgah di sana. Beberapa bahkan dari luar kota. Kadang-kadang dicari mahasiswa sebagai nara-sumber untuk tugasnya."

"Ooo, begitu? Jadi apa yang harus kulakukan untuk Papa?"

*

HARI Sabtu sore, mula-mula Arifa menyusuri Jalan Cikini, melewati Taman Ismail Marzuki, dan memarkir mobilnya di pojok pasar bunga. Dua hari lalu, Papa menceritakan peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu.

"Sepulang dari diskusi di Kwitang, kami harus mengejar acara peluncuran buku puisi Fatin Hamama di Kemang. Terpaksa Endah makan serba tergesa di dalam mobil, bukan candle-light dinner seperti rencana. Acara launching selesai menjelang tengah malam. Pulangnya kami singgah ke kedai bunga, tapi Endah menolak ketika Papa tawari untuk memilih. Papa tahu, dia ingin setangkai sedap-malam yang masih kuncup."

Jadi, pikir Arifa, sekarang akan kubeli bunga sedap-malam yang sebagian besar kelopaknya masih kuncup. Ia pun turun dari mobil dan memilih bunga dalam keranjang besar. Langit sehabis gerimis membuat segala jenis floris tampak demikian segar. Sembilan batang sedap-malam dibayar, dan ia kembali menyusuri jalan.

Sedap malam itu melengkapi kotak berwarna merah marun berhias pita. Di dalamnya tersimpan manuskrip novel "Cinta Separuh Malam" karya Jodi Givara yang belum selesai. Ah, Arifa jadi berdebar. Ini seperti sebuah warisan menjelang ajal. Papa tentu akan baik-baik saja! Sakit pinggang yang dideritanya hanya lantaran terlampau banyak duduk dan kurang olah raga. Usia Papa juga belum terlalu tua, masih lebih muda dibandingkan panyair Rendra, atau trubadur Leo Kristi.

Mobil Arifa meluncur di atas aspal basah, di bawah langit abu-abu muda, menuju kawasan Taman Mini. Ia akan parkir di seberang Tamini Square, tepatnya di Galeri Pustaka Perca, toko buku yang ramah sejak dari beranda.

Arifa mengisi buku tamu, lalu bertanya kepada resepsionis. "Bisa bertemu dengan Tante Endah Sulwesi?"

"O, silakan masuk saja. Beliau ada di ruang diskusi. Kebetulan ada pemutaran film koleksi Perca."

Arifa melangkah masuk dengan menduga-duga arah. Ia berhenti di tengah ruang buku utama yang memiliki dua relung, kanan dan kiri. Di sisi kiri tidak terdengar suara apa pun kecuali keresek halaman buku yang dibuka. Sedang di sisi kanan tampak kelebatan cahaya yang lolos memantul ke luar. Barangkali film diputar di ruang itu.

Seorang perempuan anggun berdiri di sisi pintu. Pada jemarinya terdapat kartu pos dan pena. Sejenak Arifa ragu hendak menyapa. Perempuan itu berbalik, seperti tahu ada yang sedang memperhatikan punggungnya.

Keduanya berpandangan beberapa detik sebelum saling tersenyum. Masing-masing menyimpan tanda tanya. Karena Arifa membawa kotak kado dan sehimpun bunga sedap-malam yang wanginya tersiar lembut, sedangkan perempuan itu memegang kartu pos yang sepertinya hendak ditulisi kalimat-kalimat penuh pesona.

"Mencari siapa?" tanya perempuan anggun separuh baya itu.

"Saya ingin bertemu dengan Tante Endah," jawab Arifa.

"Saya sendiri. Ada apa?"

"Oh, kenalkan nama saya Arifa." Tangannya terulur. Disambut hangat oleh Endah. "Saya putri Jodi Givara."

"Ya ampun!" Endah mempererat genggaman tangannya. "Baru sekali ini kita bertemu, bukan? Saya dengar ayahmu sedang sakit."

"Benar. Karena itu, Papa tidak dapat menyampaikan sendiri bingkisan ini." Arifa menyerahkan serumpun sedap-malam dan kotak marun berpita.

"Ah, apa maksudnya ini?" Sepasang mata Endah melebar saat menerimanya.

"Kata Papa, ini kado ulang tahun untuk Tante Endah."

"Terima kasih. Ini sungguh di luar dugaan. Saya hampir saja mengirim kartu pos berisi doa agar lekas sehat kembali. Sekaligus untuk menambah koleksi kartu posnya." Mata Endah berbinar-binar. Tapi pipinya merona merah, tersipu. Diajaknya Arifa ke sebuah sofa. Lalu dia memanggil seseorang untuk menyuguhkan secangkir teh.

Lalu percakapan mengalir seperti telah saling bertemu beberapa kali. Bahkan Arifa juga diperkenalkan kepada tamu-tamu yang tidak ikut nonton film.

"Jadi Arifa kuliah di Melbourne? Mengambil jurusan apa?" tanya Endah.

"Arsitektur, Tante."

"Kata ayahmu, kamu juga berbakat menulis. Kenapa tidak memilih Sastra?"

"Papa juga tidak kuliah di Sastra, tetapi novel-novelnya cukup digemari."

"Ah, benar juga." Endah tertawa. Seperti teringat sesuatu, ia pun mengajak Arifa ke sebuah sudut yang ditempati seperangkat meja dan kursi. Letaknya dekat jendela, menghadap ke timur. "Ini meja tempat ayahmu membaca dan menulis. Bahkan kadang-kadang tertidur."

Arifa pun mencoba duduk di situ. Matanya dapat memandang sebuah rak yang memajang buku-buku terbaik menurut versi Perca. Di antaranya Gabriel Garcia Marquez, Virginia Woolf, James Joice, Budi Darma, Emily Dickinson, Pramoedya Ananta Toer... Selain ruap khas aroma buku-buku, di ruangan itu juga tercium wangi teh.

Menjelang maghrib Arifa pamit. Sekali lagi mengingatkan kepada Endah, bahwa yang tersimpan dalam kotak adalah manuskrip novel Jodi Givara yang belum usai.

"Nanti akan saya baca," janji Endah sambil mengantar Arifa ke depan pintu.

Begitu mobil Arifa menghilang, Endah bergegas ke dalam. Tak sabar ingin segera membaca novel Jodi Givara. Pada halaman pertama, sesudah judul "Cinta Separuh Malam", Endah mendapatkan kalimat ini:

"Aku terbangun ketika embun berkerumun di permukaan daun. Ada desir angin yang lolos melalui sela jalusi jendela, membawa serta aroma kabut. Sisa malam membiarkan titiik-titik terakhir gerimis gugur. Kusentuh serat halus pada selimut rajutan buatan tanganmu, yang menutup dadaku hingga ujung bahu. Kuhirup sayup wangi jeruk nipis yang merebak dari setengah cangkir teh, yang tersisa setelah sekian jam terlena dalam tidur. Tinggal segaris cahaya lampu menerangi sisi rak buku, yang ditempati lima belas novel terbaik. Cahaya itu pasti berasal dari pintu kamarmu yang dibiarkan sedikit terbuka. Untuk meyakinkan diriku, bahwa di dalam gulita ruang pustaka itu aku tidak sendiri. Ada alunan nafas lain, ada denyut mimpi yang lain..."

Setetes air mata Endah meluncur begitu saja dan jatuh ke atas halaman aksara itu. Selekas yang ia mampu, segera dihapusnya. Ia tak ingin ada huruf yang luntur atau kertas itu menjadi bergelombang karena basah.

"Ya. Akhirnya kau tahu," bisiknya sendiri. "Selalu ada denyut mimpi yang lain!"

***
Jakarta, 2006