Tuesday, September 26, 2006

Menutup Luka

SETIAP Ramadan, saya sengaja menyisihkan waktu untuk menulis puisi. Satu puisi saja untuk satu hari. Ditulis setiap hari, setelah sahur atau menjelang buka puasa. Isi puisi itu meliputi segala yang saya rasakan sepanjang hari, atau pengetahuan yang peroleh dari para pemberi ilmu di mimbar tarawih. Saya tulis dalam bahasa puisi, dalam bentuk puisi.

Pada suatu Ramadan saya mengawali ‘ritual’ itu (yang saya mulai sejak tahun 1988) dengan membayangkan seorang tamu. Mengapa demikian? Menjelang Ramadan, banyak spanduk bertuliskan; “Marhaban ya Ramadhan”, dipasang di pelbagai tempat. Ucapan yang bermaknaselamat datangitu laiknya disampaikan kepada seorang (atau lebih) tamu. Bagi umat Islam yang taat, bulan Ramadan memang dinanti-nantikan, bahkan dengan semacam kerinduan.

Namun, ketika pena mulai bergerak menggores aksara, tamu yang saya bayangkan bukanlah bulan Ramadan. Tetapi lebih personal dan lebih merupakanrasa takut’ yang sulit digambarkan. Satu-satunya pengalaman yang tak akan terulang dan tak mungkin diceritakan kepada orang lain. Maut! Itulah yang saya bayangkan sebagai tamu.

Mari kita baca bersama. JudulnyaSeorang Tamu yang Datang Waktu Subuh.”

 

Mungkinkah ia mengendarai bintang?

Ada garis jejaknya, tampak bercahaya

Sesudahnya seperti terdengar lindu, setengah gemuruh

Mungkinkah ia sengaja berdiri di depan pintu, dengan

kerumun embun pada sekitar kakinya?

Ah, tak sabar aku mencari tanda ini:

 

Sepasang mata yang lama tak tidur

Lebih karena berpikir tentang cinta

Yang mengganggu lubuk hatinya

 

Tapi fajar belum sepenuhnya bangkit

Gema adzan berakhir bersama tangkai daun yang luruh

Dan aku cemas oleh suara kerisiknya

Seperti sedang memandang sang penjemput

Tubuhku gemetar

Bolehkah aku minta waktu sebentar? Bolehkah?”

 

Dalam gigil udara, aku mencoba lolos dari pintu belakang

Di bawah tatapan sepasang bintang

 

Demikian yang saya suratkan. Tentu terasa ada ketakutan karena belum benar-benar siap. Bahkan ketika mintadiamenunggu, saya ingin melarikan diri. Tapi, sanggupkah kita menghindar?

 

***

RAMADAN memang pantas ditunggu, disambut, dan dirindukan. Karena sepanjang bujur-rentang-waktunya, terdapat luar biasa banyak taburan rahmat, ampunan dosa, dan keberkahan. Tak hanya umat Islam yang memperoleh berkahnya, terutama ketika setiap kedai, baik yang sederhana maupun kelas supermarket akan kebanjiran rizki hingga Lebaran tiba. Dan umumnya, sepanjang Ramadan, setiap insan ingin lebih santun dalam bercakap dan bertindak. Seluruh atmosfir seperti dilumuri aura kedamaian.

Oleh karena itu, tentu kita tak ingin menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan sisa dendam. Percik angkara yang pernah melukai perasaan orang lain, sudah seharusnya kita hapuskan. Sengkarut masalah yang berlarut segerai diurai-luruskan. Bara lelatu kemarahan akibat kesalahpahaman tiba saatnya untuk dipadamkan dan dijernihkan.

Lalu saya teringat cerita teman tentang seorang pemuda yang mencoba menghapus luka di hati orang lain akibat perangainya. Adalah seorang pemilik toko pemberang yang begitu ringan meluapkan kemarahan atau sikap yang menyakitkan kepada para pelanggannya. Ia tak dapat menahan diri untuk berkata kasar pada pegawainya, dan alangkah mudah tersinggung oleh pelanggan yang menawar harga di luar harapannya. Tabiatnya itu ternyata diperhatikan oleh sang ayah yang merasa khawatir bila usaha yang telah dirintisnya hancur akibat ulah puteranya itu. Maka ia meminta kepada anaknya untuk menancapkan sebatang paku pada pohon yang tumbuh di halaman tokonya setiap kali telah melakukan kekasaran kepada pelanggannya.

Syahdan, setelah seminggu berlalu, sang putera menyampaikan kepada ayahnya, bahwa setidaknya ada dua puluh paku tertancap di batang pohon itu. Meskipun ia seorang pemberang, ia begitu patuh dan jujur kepada ayahnya. Mendapatkan laporan anaknya, sang ayah merasa sedih. Lalu ia minta kepada anaknya agar secara sungguh-sungguh menahan diri untuk tidak melukai perasaan pelanggan maupun pegawainya, sebelum toko yang mereka punyai bangkrut.

Nak, setiap kali dirimu sanggup menahan amarah, setiap kali dirimu mengubah umpatan menjadi senyuman dan kesabaran, cabutlah satu paku dari pohon itu.” Itu pesan ayahnya.

Berlalu sudah waktu seminggu. Pemuda yang sedang melatih kesabarannya itu pun bercerita kepada ayahnya, bahwa akhirnya seluruh paku yang tertancap pada batang pohon itu sudah tercabut. Artinya, dalam seminggu ia telah menggagalkan dua puluh nafsu buruknya. Setidaknya, dia telah menyelamatkan dua puluh peristiwa dari konflik yang tak perlu.

Coba kaulihat pohon itu. Apakah masih ada bekas paku yang pernah kautancapkan?” Pertanyaan ayahnya itu dibenarkan, setelah menemukan dua puluh lubang tusukan. Jika demikian, inilah pelajaran terbaik bagimu. Walau kau telah meminta maaf kepada setiap orang yang kaulukai perasaannya, luka itu sesungguhnya masih tetap membekas.”

Jadi, para sahabat semua, ternyata ada tugas paling berat bagi kita. Tiada lain adalah semaksimal mungkin menutup luka yang kita ciptakan di hati orang lain. Dengan kejujuran dan kesungguhan. Semoga Ramadan dapat kita raih seutuhnya.

 

(Kurnia Effendi, untuk kolom JEDA tabloid PARLE, edisi 56)   

 

Tuesday, September 19, 2006

Seratus Hari Gempa Jogja di Mata Penyair

NESTAPA, seperti juga takdir, tak semata dirajahkan pada telapak tangan, sehingga kita mungkin mampu membacanya sejak awal. Ketika maut datang dalam bentuk yang tak terpikir oleh kita, bahkan Tuhan seolah menghendaki kita tak siap. Membayangkan kelemahan manusia, kadang-kadang muncul perasaan ganjil, namun itulah yang terjadi. Sebagaimana puisi-puisi dalam buku ini.

Kesedihan pada akhirnya sulit diwakili kata-kata. Tapi bukan berarti pelukisan itu kita hindari. Sebagai keprihatinan paling sederhana, kita mencoba melakukan seperti yang tersurat pada judul salah satu puisi dalam buku ini: Kalau Bukan Penyair, Lalu Siapa? Bahkan, sekalipun (seperti yang juga diangkat sebagai judul puisi): Kita Selalu Terlambat, akan tetap lebih baik daripada tidak sama sekali. Dengan cara dan sudut pandang masing-masing, para penulis puisi (atau kita sebut penyair?) diberi kesempatan untuk menyampaikan empati, reaksi, simpati, sikap, dan pandangannya terhadap sebuah musibah besar dengan kata-kata. Dengan bahasa. Dengan sederet aksara.

Hampir kita tak percaya. Jogjakarta, sebuah kota yang tenang dan santun, tiba-tiba diguncang gempa berkekuatan 5,9 dalam skala Richter. Saat itu subuh baru saja berlalu. Fajar semburat muda. Namun Sabtu, 27 Mei 2006 itu, bencana telah mengubah paras anggun Jogjakarta dalam 57 detik saja. Segala yang tertib mendadak poranda. Suasana tenang tercabik jerit ketakutan, rasa ngeri yang tak terperi. Kecemasan berminggu-minggu terhadap ancaman lava Gunung Merapi membuat banyak orang salah sangka. Justru lempeng sepasang benua nun di dasar lautan yang menggeliat, bergerak saling menyesuaikan diri, menjadi episentrum yang menyebabkan sekian ribu rumah runtuh serentak. Di bawah bangunan yang kemudian berserak itu, penghuninya nyaris tak sempat menyelamatkan diri. Beberapa hari kemudian tercatat lebih enam ribu orang tewas sebagai korban.

Kini, peristiwa itu telah berlalu seratus hari. Atau baru seratus hari? Waktu sangat lambat beranjak ketika seluruh gerak kehidupan diliputi perasaan duka. Ketika sejumlah hari merupakan rangkaian kesulitan, setelah pengalaman kehilangan yang luar biasa menyedihkan. Sementara uluran tangan para relawan, bantuan dari banyak penjuru, tak sekaligus mampu membuat mereka bangkit berdiri. Selain fisik yang memang kehilangan daya, sesungguhnya perasaan mereka lebih terpuruk. Trauma menyebabkan situasi dan kondisi batin mereka kehilangan harapan. Jalan seolah buntu, masa depan berwarna gelap. Apakah kehidupan harus berhenti?

Dukalara itu tak hanya dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tak lagi memiliki apa-apa, selain atap langit. Kata seorang penyair: “Jogja datang kepadaku dengan tubuh penuh luka…” Melihat itu, kita semua gemetar. Kita disadarkan pada sebuah kekuatan yang tak terjangkau khayalan. Ada Maha Empu yang berkuasa atas peristiwa ini. Seperti kesaksian penulis puisi paling belia: …tembok-tembok digelombangkan… Ya. Atas nama alam kita hanya boleh pasrah, karena memang bukan harus dilawan. Meskipun manusiawi jika kita merasa murka, kecewa, dan sempat menilai peristiwa ini sebagai ketidakadilan. Tetapi siapa sanggup mengurai misteri bumi dengan keterbatasan daya pikir kita?

Seratus hari tak serta-merta menghapus luka itu. Sedu sedan masih terdengar di bilik hati masing-masing. Getaran gempa masih terjadi sesekali. Negeri ini, setelah Aceh dan Nias, masih menyimpan nyeri. Setelah Jogjakarta, bahkan kemudian Pangandaran dan Cilacap juga dicium tsunami. Satu demi satu reruntuhan perlu ditata kembali. Dengan jiwa yang perlahan bangkit lagi. Kita, yang dekat maupun jauh dari ukuran jarak, terus berusaha mengobati. Di antaranya dengan cara menulis puisi.

Ekspresi yang diungkapkan dengan pelbagai perasaan itu perlu wadah. Di antaranya, tentu media massa yang kemudian menyiarkannya. Tanda, atau lebih ‘dramatik’ disebut jejak, perlu diawetkan dalam sebuah buku. Setidaknya untuk mengenang, bahwa pernah ada dukalara yang menimpa saudara-saudara kita. Dalam upaya ini, Komunitas Sastra Indonesia, bukanlah satu-satunya kelompok pegiat sastra yang melakukan. Hanya salah satunya.

 

***

 

KOMUNITAS Sastra Indonesia (KSI), yang dibentuk sepuluh tahun yang lalu, merupakan himpunan sejumlah komunitas pegiat sastra yang tersebar di Jabotabek. Pendirinya antara lain, untuk menyebut beberapa nama, adalah Wowok Hesti Prabowo, Diah Hadaning, Iwan Gunadi, Medy Loekito, Wig SM, dan lain-lain. Dengan memanggul nama ‘sastra’, kegiatan yang dilakukan KSI meliputi bidang sastra dalam pelbagai genre: puisi, cerpen, novel, dan esai; yang diekspresikan dalam bentuk diskusi, apresiasi, pelatihan, penerbitan buku, dan pertunjukan seni sastra.

Ketika seratus hari yang lalu gempa bumi tektonik mengguncang Jogja dan sekitarnya, kami terhenyak dan menyadari, bahwa bencana tsunami Aceh bukanlah yang penghabisan. Terlepas dari cara Tuhan menguji atau (semoga tidak) menghukum manusia, ada kewajiban secara moral untuk mengulurkan tangan membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Banyak di antara mereka adalah seniman, para sahabat yang kerap saling bersilaturahmi dalam pelbagai acara sastra. Sisi paling dalam dari nurani kami pun tersentuh. Siapa yang akan membantu mereka jika bukan kita?

KSI, bekerjasama dengan banyak pihak (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Komunitas Sastrawan Tionghoa Yin Hua, Bengkel Teater, dll),  berusaha menggalang dana untuk meringankan beban mereka. Dengan menggelar pertunjukan seni di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, 9 Juni 2006 yang lalu, kiprah itu dimulai. Sumbangan yang terhimpun, termasuk melalui lelang buku “Seribu Merpati” dari komunitas Yin Hua, diantarkan langsung oleh para relawan yang terdiri dari KSI, Yin Hua, dan Serikat Buruh Indonesia. Disusul dengan kunjungan kedua ke lokasi gempa Jogja, setelah menyelenggarakan pameran dan lelang lukisan Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, persis satu bulan setelah peristiwa dahsyat itu.

Menjelang seratus hari gempa Jogja, yang jatuh tanggal 6 September 2006. kami ingin kembali ‘mengingatnya’. Kehidupan memang terus berjalan bagi setiap orang, namun sangat berbeda antara yang tinggal di tempat normal dengan yang masih berserak di tenda-tenda penampungan. Ngilu itu masih kerap menghampiri perasaan kita. Namun untuk melerai kedukaan itu, tak cukup hanya doa. Harus disertai kerja, ikhtiar yang melibatkan setiap gerakan fisik kita.

Maka sekali lagi (tapi bukan yang terakhir kali), KSI mengajak semua penyair Indonesia untuk menyumbangkan karya. Tentu setiap orang punya cara mengulurkan bantuan, namun karya puisi, sekalipun tak langsung sanggup mengganti harta dan nyawa yang hilang, secara spiritual dapat menambah ‘tenaga batin’ bagi yang terpuruk. Kepedulian sederhana yang tampil melalui untaian kata ini mudah-mudahan tak kalah berharganya dibanding curahan bantuan materi. Mudah-mudahan tak berhenti sebagai seratus hari peristiwa gempa Jogja di mata para penyair. Bahkan setelah genap menjadi buku, sumbangan seluruh penulis puisi yang karyanya tercantum dalam buku bertajuk JOGJA 5,9 SKALA RICHTER ini akan bergulir seiring gerakan penjualannya.

 

***

 

AKHIRNYA kami, Komunitas Sastra Indonesia dan juga Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, sangat berterima kasih atas perhatian dan keikhlasan para sahabat, para penyair, yang tersebar di seluruh Indonesia, juga di mancanegara, baik yang puisinya terhimpun maupun yang masih tersimpan dalam bank naskah kami.

Secara mendalam kami bersyukur kepada Allah SWT yang meletakkan tiap peristiwa dengan sebab-akibat yang demikian rahasia. Secara mendalam pula kami menaruh hormat atas tanggapan positif  semua pihak, antara lain: Saut Situmorang, penyair Jogjakarta yang sejak awal begitu ringan tangan melarutkan diri dalam kegiatan KSI termasuk menjadi editor buku ini; Gangsar Sukrisno dari penerbit Bentang Pustaka yang terbuka menyambut kerjasama penerbitan; Excelcomindo Pratama dengan program XL Care yang telah merealisasikan kehadiran buku ini di tangan anda; MP Book Point yang menyediakan tempat untuk peluncuran antologi puisi ini pertama kali; Iksaka Banu sebagai perancang sampul buku yang tekun; dan semua pihak yang tak dapat kami sebut satu per satu. Tentu, di balik semua kebaikan itu, akan tertabung hikmah yang luar biasa.

Mari buka jiwa kita untuk membela yang menderita. Mari pulihkan Jogja. Bahu-membahu seluruh Nusantara.

 

 

 

Jakarta, 6 September 2006

Kurnia Effendi

Ketua Program Buku JOGJA 5,9 SR

Komunitas Sastra Indonesia   

 

 

 

Thursday, September 14, 2006

WANITA

Tanggal 19 September 2006, pukul 09.00 sampai 14.00

di The Acacia Hotel, Jl. Kramat Raya

Akan berbicara sejumlah wanita istimewa. Tentu yang mereka sampaikan adalah hal-hal yang istimewa menyangkut peran wanita di masa depan.

Siapakah mereka?

1.     Dr. Meutia Hatta Swasono (Ibu Menteri)

2.     Dra. Setiawati (Deputi Menteri Pemberdayaan Wanita)

3.     Nova Eliza (Artis Sinetron)

4.     Ayu Dyah Pasha (Seniwati dan pengelola Event Organizer “Tikar”)

5.     Lola Amaria (Sutradara film “Betina”)

Jadi jangan lewatkan.

Saya menyambutnya dengan esai di bawah ini:

 

WANITA

 

SEBUAH novel karya Paul I Wellman, berjudul Wanita, pernah memesona perhatian saya kira-kira tiga puluh tahun yang silam. Paragraf pertamanya pernah saya hafal di luar kepala. Menggambarkan tentang kota Byzanthium yang molek serupa wanita, di masa kekaisaran Justinianus. Kini novel itu diterbitkan kembali menjadi satu jilid (dulu dua jilid) tebal oleh penerbit yang sama, dengan desain sampul berbeda. Tetapi rasanya tidak mengubah isinya.

Dan kini tetap saja memesona. Mungkin, pertama karena bahasa terjemahannya yang sanggup mewakili edisi aslinya. Kedua, karena berisi tentang drama besar perjalanan hidup manusia (perempuan) dari pojokselokanhingga ke kursi istana. Perjalanan yang penuh dengan intrik politik, dan sebuah kisah penaklukan luar biasa seorang wanita terhadap lelaki darah biru yang berkuasa. Penaklukan Theodora terhadap Justinianus. Penaklukan seorang pelacur terhadap lelaki terhormat.

Sedemikian kuatkah seorang perempuan untuk berada di garis depan? Pertanyaan ini akan meminta ingatan kita untuk menelusuri nama-nama seperti Siti Aisyah binti Abu Bakar, Tjoet NjaDhien, Dewi Sartika, Retno Dhoemilah, RA Kartini, Mother Theresa, dan seterusnya. Majalah Azzikra edisi April 2006, pernah mengedepankan lima wanita Indonesia yang memiliki reputasi internasional di bidang ilmu (biologi, antariksa, kimia, dan fisika). Tetapi kerap kali, atas nama kodrati, perempuan diletakkan di belakang garis. Saya teringat, sekadar contoh saja, honorarium artis Hollywood pun dibedakan antara lelaki dan perempuan. Antara Tom Cruise dengan Nicole Kidman misalnya.

Sementara itu, sejumlah pakar pemasaran dan motivator, menganggap bahwa saat ini dunia sedang memanjakan kaum wanita. Lagu “Woman” yang disenandungkan almarhum John Lenon, misalnya, pernah menjadi theme song seminar Hermawan Kartajaya, sepanjang satu tahun, setelah tahun sebelumnya “I Have A Dream.” Demikian juga lagu “Mother, How are You Today” menjadi pilihan pembicara yang lain. Dapat disimpulkan bahwa perempuan menjadi pusat perhatian karena dua hal: pertama, sebagai tujuanpasar’; kedua, sebagai potensi yang diandalkan.

Bayangkan apabila di dunia ini tidak terdapat semburat aura perempuan, tentu tak akan ada kemilau Byzanthium (seperti dalam novel Paul I Wellman) dan tak terlahir kota Paris. Mobil pun dirancang dengan warna-warna perempuan: vermilion, lavender, lilac. Telepon selular juga dilengkapi cermin dan aksesoris yang feminin. Bahkan kemudian, sebagai gaya hidup ataukelainan’, sejumlah besar kaum lelaki perlahan-lahan menjadi sang pesolek.

Terlepas dari yang abu-abu, sesungguhnya ada energi besar padatulang rusukitu. Dalam sebuah perumpamaan religius, ‘tulang rusuk’ Adam diambil untuk dijelmakan (dimanusiakan) sebagai Siti Hawa. Katakanlah benar, berarti setiap pasangan lelaki adalah tulang rusuknya sendiri. Energi yang lahir dan memancar dari seorang perempuan, hampir dapat disimpulkan adalah dari bagian lelaki juga. Oleh karena itu, tak patut lagi bila lelaki menjadi iri hati, karena yang diharapkan adalah dukungan positif untuk saling bahu-membahu. Terutama dalam membangun negeri ini.

Baiklah, walaupun mungkin tidak seratus persen mencetuskan pemikiran brilian, setidaknya Megawati Soekarnoputri pernah menjadi nakhoda Indonesia. Sudah saatnya momentum itu menjadi bola salju, yang membangkitkan semangat perempuan untuk tidak ragu-ragu menjadi titik-titik cahaya terang di tengah lazuardi yang kelam oleh pelbagai krisis.

 

***

MEMETIK spirit itulah, Lembaga Pemerhati Kajian Publik (LPKP) ingin mengangkat peran perempuan secara lebih kentara. Kita tahu, perempuan pada dasarnya lambang keindahan. Acap diibaratkan bunga atau rembulan. Mimpi mereka pun kaya dengan warna, penuh dengan simbol-simbol yang megah. Dan entah kenapa (saya memiliki sedikit pengalaman pada sebuah brainstorming mengenai standarisasi sebuah ruang pamer otomotif ), saat manajemen pusat korporasi meninjau gerai mereka di Indonesia, justru meminta pendapat perempuan untuk mengubah interior. Artinya, estetika dan imajinasi, lebih mengental pada benak para perempuan.

Perempuan masa depan, yang tak semata dimanja oleh produsen, sekaligus juga ditantang untukmengubahdunia. Ada banyak peluang pada sektor publik yang akan menempatkan perempuan pada posisi-posisi penentu. Ruang itu  terbentuk dengan sendirinya oleh iklim demokrasi yang beranjak sehat, kemerdekaan untuk terjun dalam pendidikan dan karir, sertasekali lagiperan teknologi informasi yang demikian deras.

Percayalah, kini perempuan tak hanya menyuarakan suara pribadi (yang mungkin menyayat hati), tetapi sanggup berdiri mewakili orang banyak, lembaga, konstituen, dan bahkan atas nama kemanusiaan. Sejak sebagai penyair, pemimpin LSM, jurnalis, menteri, dan juru dakwah: yang disuarakan sudah lebih besar dibanding apa yang dirasakannya.

Pertanyaannya adalah: adakah wanita yang sukses mengelola empat fungsi sekaligus dalam kehidupannya? Sebagai seorang istri (jika telah memiliki suami), sebagai seorang ibu (ketika telah memiliki buah hati), sebagai wanita karir (bila bekerja di luar rumah), dan sebagai makhluk sosial (hubungannya dengan lingkungan). Mungkin perlu menghitung waktu yang sama-sama 24 jam bagi setiap orang untuk dibagi secara rinci dalam menjalankan masing-masing peran. Mungkin memerlukan vitalitas tertentu yang membuatnya tak hanya sehat secara fisik namun juga tetap berpikir kreatif. Mungkin membutuhkan kesabaran dan budi pekerti yang memadai dalam menghadapi kebutuhan suami dan kepentingan anak-anaknya.

Biarlah seluruh pertanyaan itu akan dijawab pada tanggal 19 September 2006, di balairung Hotel The Acacia, oleh Dr. Meutia Hatta Swasono, Dra. Setiawati, Nova Eliza, Ayu Dyah Pasha, dan Lola Amaria.

 

(Kurnia Effendi, JEDA untuk PARLE edisi 18 September 2006 )

 

 

Monday, September 11, 2006

Jemari Duli Tuhan

RUH adalah rahasia yang belum (atau tidak) terpecahkan. Sedangkan takdir berperan sebagai pisau-lipat yang sewaktu-waktu membuat torehan tak terduga: luka atau format. Maka ketika suatu petang seorang wanita muda harus kehilangan bayi yang dikandungnya, untuk yang ketiga kalinya, pada usia tujuh bulan; saat itu ia sedang berhadapan dengan pisau-lipat, yang digerakkan oleh jemari Tuhan. Sebagai Maha Perencana, tentu bukan tanpa maksud, membuat wanita itu bersedih.

            Karena rahasia, ruh adalah gaib. Tak tampak dan tak mungkin diwakili, bahkan seandainya wanita itu bermaksud menukar nyawanya untuk sang bayi. Ruh tak mungin berubah menjadi semacam benda kesayangan yang dalam kondisi terdesak boleh dibarterkan. Sementara takdir, seolah-olah menjadi si cerewet yang tak mungkin dicegahkata-katanya’. Dalam analogi paling sederhana, sabda Raja dianggap undang-undang. Sehingga perintahnya, betapa pun muskil, hanya bisa dijawab: “Siap, Baginda. Apa yang Duli Tuanku minta akan hamba penuhi.”

            Mari bertanya pada diri sendiri: seberapa takut kita kepada takdir? Banyak yang demikian takut terhadap yang tampak jelas, seperti polisi, presiden, kepala sekolah, direktur, boss premandan siapa pun yang berkuasa, berwibawa atau sekadar beringas. Akan tetapi banyak pula yang memandang sepele kepada yang tak tampak, dan tak pernah menampakkan Diri, misalnya Tuhan.

            Untuk memahami Tuhan berada di antara kita, pahamilah perasaan bahagia dan duka dalam kalbu. Terasa namun tak tampak. Dan karenanya bisa kita sembunyikan, sebab isi hati adalah bagian dari ruh yang rahasia. Itu sebabnya pelbagai rencana di kepala, sepanjang tidak dituangkan dalam kata-kata, seyogyanya tak seorang lain pun tahu. Sebagaimana rencana yang tersimpan di benak atasan kita, yang telah turut ambil bagian dalammenebakRencana Besar Maha Atasan kita.

            Ketika kita pindah bagian, diberhentikan, mutasi, atau syukur kalau naik jabatan; ada hal-hal yang sulit dijelaskan di antara yang sangat gampang dijelaskan. Semata-mata takdirkah yang bekerja? Keputusan itu seperti selembar rapor yang kita tulis sendiri dengan perilaku dan prestasi sepanjang waktu yang berlalu. Jika ternyata lantaran jasa seseorang yang baik, atau fitnah seseorang yang jahat, mungkin telah terjadi peristiwa sebelumnya yang mulai dilupakan. Pada dasarnya, terdapat anyaman nasib, saling merajut, membentuk mata-rantai sebab-akibat yang tak berujung.

            Dalam percakapan sehari-hari, kata nasib atau takdir, bagaikan vonis yang tak tereLakkan dan alangkah mutlak. Barangkali wanita yang berulang-kali kehilangan bayi dalam kandungannya itu tak akan selesai menangis: menganggaphukuman’ yang diterimanya tak adil. Dari sisi lain, yang sangat butuh keyakinan seorang beriman, harus diterima  sebagai hikmah seperti termaktub dalam doa imam yang memimpin shalat jenazahnya: jadikan ini imbuhan, titipan, dan tabungan anak salih dan tidak menghalangi doa-doanya Betapa perasaan kaya itu menjadi milik orangtua yang tidak sempat menimang, namun menyimpan tabungan doa anak-anak tak ternoda sentuhan dunia.

            Jadi, haruskah kita pasrah terhadap takdir? Forum festival film internasional Jakarta (Jiffest) tahun 2000, pernah menampilkan sebuah film menarik tentang pilihan nasib. Run Lola Run yang diperankan dengan amat intens oleh Franka Potente, menggambarkan betapa keputusan sekecil apa pun detik ini, memiliki akibat panjang di masa depan. Mekanisme itu pula yang diterapkan pada setiap computer-game: beratus kombinasi nasib tercipta melalui keputusan jemari kita.

            Kita yang miskin ilmu memang kadang-kadang jadi sok tahu, menganggap jalan hidup setiap manusia sudah ditentukan, bahkan bukan oleh diri sendiri. Agak rumit tampaknya untuk dapat menerima teori tentang Kemahatahuan Tuhan yang sanggup melihat ujung dari segala ujung usia jagat raya. Mungkin, untuk membesarkan hati, kita berusaha agar tidak menyesali setiap keputusan dan langkah yang diambil. Berpikir masak, konsultasi dengan para senior, berembuk dengan keluarga, mendengar pendapat positif, berdoa, lantas semaksimal mungkin berupaya. Mencoba menepis pesimis dan putus asa, karena itu musuh yang musti kita perangi.

            Aku belajar kebajikan dari ketidakbajikan,” kata Kahlil Gibran. Tapi tak pernah aku berterimakasih kepadanya.” Andaikata yang kita temui adalah kegagalan, kesedihan, jalan buntusetidaknya kita pernah berjuang. Berbuat salah itu manusiawi. Di balik itu, dengan maksud yang tidak sepenuhnya kita pahami, ada titah gaib. Ada gerakan Jemari Tuhan. Dengan rasa tawakal, boleh kita jawab: Siap Baginda Tuhan, segala kehendak Duli Tuhan akan hamba jalani.”

            Dalam banyak sejarah, orang-orang mulia, awalnya lebih panjang menderita. Di belakang hari, ia menjadi direktur, menteri, artis terkenal, pemimpin partai, presiden, bahkan seorang nabi. ***

 

(Kurnia Effendi – JEDA tabloid PARLE edisi 11 September 2006)