Thursday, March 29, 2007

Kutilang dan Gelatik

Di pucuk pohon cempaka

Burung kutilang berbunyi

Bersiul-siul sepanjang hari

Dengan tak jemu-jemu

…..

KUTILANG termasuk burung yang sudah tenar sejak awal abad 20. Sudah menjadi piaraan banyak orang di sekitar Priangan. Mulanya tentu burung yang bebas bergerak di hutan-hutan atau pekarangan yang memiliki banyak pepohonan. Oleh sebab kicaunya yang memukau, warna bulunya yang cukup indah, banyaklah dijerat oleh manusia dan menjadi penghias beranda rumah. Dengan pengetahuan kita tentang makanannya, burung itu “akhirnya” mau menjadi penghibur mata dan pendengaran kita di kala sedang merasa tak nyaman oleh persoalan. Menurut penggemar burung, dengan menatap tingkah burung dan mendengar kicau mereka yang riang, ada semacam terapi untuk kembali menyeimbangkan suasana batin.

Kutilang bukan burung yang besar, sekitar segenggaman kita, tapi juga bukan burung kecil semacam pipit. Kutilang memiliki kepala hitam, punggung agak keputihan, sepasang sayapnya juga berwarna hitam. Di bawah ekornya, kita mesti melihatnya ketika dia hinggap pada posisi di atas kepala kita, ada warna kuning yang menjadi aksen. Kalau kita menemukan warna itu, pertanda ia jantan. Karena yang betina tidak memilikinya.

Saat sedang “ngoceh“, berkicau bak berceloteh, bulu kuduk mereka akan berdiri. Sigrak. Bunyinya yang bervariasi itu terkadang sanggup menirukan suara lain yang pernah didengarnya. Bahkan, ketika mereka berkumpul sebagai komunitas, kicauannya ditambah dengan kembangan sayap seperti sedang menari.

Paruh kutilang berwarna hitam legam. Akan sangat kontras sewaktu sedang mematuk pepaya yang merah segar sebagai salah satu makanannya, selain pisang. Bahkan si kutilang bersedia menikmati nasi.

***

GELATIK, burung yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari kutilang, ternyata banyak dipelihara kaum Menak. Jenis ini juga berasal dari tlatah Priangan, mungkinkah bisa berbahasa Sunda? Karena ia kerap menghiasi rumah-rumah kaum bangsawan masa lalu, dengan demikian derajatnya lebih tinggi.

Bulunya lebih halus. Mari kita lihat paruhnya yang berwarna merah jambu, sementara kepala dan badannya diselimuti bulu kelabu. Pada matanya ada selaput berwarna merah. Pada kakinya sering kita temukan cincin (ring) yang menandai muasal silsilahnya, sebagai keturunan dari trah yang baik. Mungkin semacam sertifikasi.

Makanannya terdiri dari biji-bijian: biji sawi, milet (serupa merica tapi berukuran lebih mungil), dan biji gandum. Cara makannya sangat menarik. Bebijian dikupas dengan paruhnya dalam dua atau detik dan terlepas kulitnya sebelum isinya masuk ke tenggorokan. Tentu akan menjadi atraksi yang menakjubkan, padahal tanpa bantuan cakar kakinya.

Kicauannya lebih panjang, istilahnyangeroltak putus-putus. Bahkan sanggup melengking tinggi. Apakah si gelatik ini pandai mencuri napas? Tapi, burung ini tak dapat menirukan bunyi burung lain, ia bertahan dengan karakternya suaranya sendiri.

Lantas bagaimana cara membedakannya antara yang jantan dan betina? Bagi si jantan, ia memiliki bulu kelabu lebih tegas dan mengilap, sementara di bawah paruhnya terdapat warna merah matang. Untuk dapat menikmati nyanyiannya, cara mengupas biji sawi, dan memandangi kehalusan bulunya, terpaksa harus memeliharanya dalam sangkar.

***

TEMAN-teman, kedua jenis burung ini akan menghiasi halaman cerita pada novel tentang Raden Saleh. Entah di bab yang mana, namun setidaknya mereka dipelihara oleh Syamsudin dan sangkarnya tergantung di serambi Biro Anemer Sjamsudin & Rekan.

Salam,

Kurnia Effendi

 

 

LAPTOP

PADA ulang tahun saya yang ke-19, ketika masih sekolah di STM Pembangunan Semarang, saya mendapat hadiah dari Ibu sebuah mesin ketik merk Olympia (jauh di bawah Remington). Warnanya broken dan ringan dijinjing. Saya sangat terharu karena Ibu mengantarkannya sendiri dari Slawi ke Semarang. Yang lebih mengharukan, Ibu datang ke sekolah saya, diterima di kantor guru, lalu pulang bersama-sama ke tempat kos.

Rupanya ada tiga hal yang melatari kejadian itu. Pertama, kata Ibu: “Ini kado untuk anakku yang telah menjadi pengarang. Kamu harus memiliki mesin ketik sendiri, agar tidak selalu menunda waktu pulang karena mesti menulis di kantor OSIS.“ Memang sejak setahun sebelumnya, persisnya November 1978, tulisan saya yang pertama tampil di majalah Gadis edisi ulang tahun. Selanjutnya beberapa cerpen saya menghiasi majalah remaja waktu itu.

Yang kedua, karena beliau meninggalkan rumah sesudah subuh, naik angkot ke Tegal kemudian menyambungnya dengan bis sampai di Semarang, tiba di terminal tujuan masih sekitar pukul 11. Tentu saya masih belajar di kelas. Menuju ke tempat kos akan lebih rumit dibanding mencari alamat sekolah yang saat itu sungguh terkenal, apalagi terletak di sudut Simpanglima.

Latar ketiga, antara sengaja dan tidak, Ibu bermaksud menunjukkan prestasi anaknya ke sejumlah guru yang mungkin ditemui di sekolah saya. Setidaknya pasti ada pertanyaan dari tuan rumah, semisal: “Apakah ada yang sakit sampai menyusul ke sekolah saat tidak libur? Apakah kiriman uang bulanan tidak melalui wesel pos agar tidak merepotkan?” Saya tidak tahu persis jawaban Ibu. Tapi kemudian beberapa guru tahu, bahwa saya mendapat hadiah mesin ketik dari ibunya karena prestasi pribadi. Bukan atas nama sekolah, bukan pula atas nama lembaga lain.

Saya sangat gembira menerima hadiah itu. Berulang kali tersipu ketika berada di ruang guru, mengingat sebutan bagi siswa yang sering dikunjungi ibunya sebagaianak mami”. Padahal, tak mungkin Ayah yang akan datang mengantarkan mesin ketik itu. Karena beliau telah meninggal sejak saya berusia 12 tahun. Ibu, tanpa disadari, telah menjadi single parent, membesarkan saya dan ketiga adik saya sendirian. Benar-benar sendirian karena Ibu adalah anak tunggal.

Nah, sekarang akhirnya terbongkar rahasia, mengapa saya memilih STM Pembangunan, yang hanya menerima maksimum 300 orang setiap angkatan. Karena STM Pembangunan, yang memiliki kurikulum 4 tahun (sampai kelas IV), menjamin alumnusnya langsung bisa bekerja. Saya berniat sungguh-sungguh agar setelah saya lulus, beban Ibu menjadi lebih ringan.

Kembali kepada hadiah dari Ibu, bahkan saya tak ternah terbayang untuk mengharapkannya. Gagasan itu sangat orisinal dari Ibu yang terketuk nuraninya untuk membekali sang anak ketika menunjukkan bakatnya sebagai potensi. Ibu, dalam pandangan saya kini, seperti sebuah lembaga pembiayaan yang melihat potensi kios rumahan akan semakin berkembang bila disuntik modal. Wah, keren juga jangkauan pikiran Ibu. Mungkin akhirnya saya akan berulang-kali terharu setiap memikirkan kejadian itu karena setiap kali tumbuh nilai baru.

Rasanya, setelah saya pikir secara dewasa, hadiah mesin ketik jarang disalahgunakan. Berbeda dengan hadiah DVD player untuk anak-anak kita misalnya. Begitu kita terlena, boleh jadi mengajak atau diajak teman-temannya yang nakal untuk memutar film porno. Atau misalnya hadiah sepeda motor bagi anak kita yang lulus SMP. Pasti sangat manfaat karena sebagai alat transportasi akan meringkas jarak tempuh dari rumah ke SMA-nya yang mungkin lebih jauh ketimbang SMP. Tapi siapa yang tahu, ketika setiap Sabtu sore sang anak tergabung dalam kelompok remaja penggemar kebut-kebutan? Jika tak beruntung, cepat atau lambat akan mendapat kabar kecelakaan yang membuat anak kita dirawat di rumah sakit atau terpaksa mengantarnya ke pemakaman.

Mesin ketik, mudah-mudahan, jauh dari kejadian semacam itu. Kecuali jika saya berbakat menjadi tukang pukul dan selalu menggunakan mesin ketik sebagai alat menyiksa orang. Atau, ini yang paling dekat kemungkinannya, saya bakal giat menulis cerita stensilan ala Enny Arrow atau novel detektif dengan bumbu seks seperti serial Nick Carter. Alhamdulillah tidak demikian citarasa saya.

Mesin ketik itu sangat berjasa bagi karier kepenulisan saya. Setidaknya telah membuat saya lebih produktif, bahkan ketika bekerja di Konsultan Perencana Arsitektur Niti Pola Chandra Semarang selama tiga tahun. Cerpen-cerpen cinta lahir dari entakan jemari saya siang atau malam, tersebar di majalah Gadis, Puteri Indonesia, Nona, Anita Cemerlang, Fimela, dan suratkabar Suara Merdeka. Saat saya kemudian melanjutkan kuliah ke Fakultas Seni Rupa dan Desain di ITB Bandung, mesin ketik itu menjadi harta paling berharga yang menjadi penopang biaya hidup. Honornya, termasuk hadiah-hadiah lomba fiksi memang selalu dikirim menggunakan alamat Ibu di Slawi, namun Ibu membaginya kepada saya untuk membayar biaya kos.

Sayang sekali, mesin ketik itu raib sudah, dicuri oleh pembongkar kamar kos saya di Bandung, ketika saya menginap di rumah teman saat mulai belajar bekerja di Studio Grafis. Ya sudah, saya toh dapat membeli mesin ketik baru, seraya terus mengenang yang lama. Pertanyaannya: Mengapa saya sengaja menceritakan memori lama ini?

Saya hanya ingin turut bertanya, sebagaimana rakyat menggugat. Mengapa anggota DPR akan mendapat fasilitas laptop dengan harga 21 juta per buah, sementara rakyat masih dirundung kesulitan ekonomi?” Ada jawaban, bahwa laptop berguna untuk meningkatkan kinerja anggota DPR. Saya hanya ingin bercermin pada diri sendiri dengan kisah masa lalu, sehingga dapat menyumbang pendapat: “Tunjukkan dulu kinerja dan prestasi yang baik, kami rakyat yang anda wakili tentu akan memberi hadiah laptop.“

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

Wednesday, March 28, 2007

Reuni

HANYA orang-orang sukses yang bergairah datang ke pertemuan reuni almamaternya. Barangkali karena ada kesempatan untuk menunjukkan keberhasilan kariernya di antara teman-teman seluruh angkatan. Apalagi yang sudah kondang dalam pembicaraan media massa (secara positif, tentu) sebagai insan berprestasi. Sementara kawan-kawan yang terpuruk secara ekonomi bakal minder hadir di tengah-tengah kobaran pembicaran yang berapi-api. Mungkin bahkan ada yang terpaksa membuat kartunama fiktif, sekadar memenuhi harapan dipandang sebagai teman yang dihargai.

Benarkah demikian? Alangkah rendahnya nilai reuni bila dilihat dari sudut itu. Betapa malang orang-orang yang membanggakan diri atau sebaliknya, yang kehilangan harga diri, lalu mendadak jadi “orang lain“ di tengah para karibnya. Saya kira, spirit reuni tidak terletak pada perilaku elementer dan manipulatif seperti itu.

Boleh jadi, teman-teman kita ada yang sangat berjaya, katakanlah menjabat Menteri dalam pemerintahan atau menjadi developer dengan aset milyaran. Di sisi lain ada sejumlah sahabat yang kehilangan pekerjaan akibat PHK besar-besaran dan beberapa bulan kesulitan membayar cicilan rumahnya. Bagaimana kedua belah pihak dengan jarak status maupun ekonomi terentang jauh dapat bertemu dengan nyaman? Apa gunanya sebuah reuni diselenggarakan apabila kelompok terpecah menjadi dua? Kelompok sukses dan kelompok gagal?

Rahasianya ada dalam hati masing-masing. Idealnya, suasana pertemuan akan indah apabila setiap orang melepaskan seluruh atribut kepangkatan pada dirinya, kecuali untuk kepentingan saling membantu. Misalnya Sang Menteri akan duduk sama rendah, makan dalam satu meja dengan sahabatnya yang kini menjadi penganggur. Sementara itu, teman lamanya yang baru saja kehilangan pekerjaan itu melupakan sejenak kesedihannya, agar kesempatan meluapkan rasa kangen tidak terganggu. Berceritalah hal-hal yang menyenangkan, jika perlu dimulai sejak masa sekolah dulu, ketika membolos bareng atau naksir adik kelas yang sama. Akan lebih ideal lagi apabila acara reuni tidak hanya untuk hura-hura dan semata berpesta. Buatlah agenda acara untuk saling tukar informasi dan berbagi. Apa maknanya bagi kita? Yang di atas akan membantu yang di bawah. Yang di bawah berterus terang agar mudah mendapat pertolongan.

Reuni digagas untuk kembali mempersatukan kita yang telah tersebar ke berbagai arah sejak lulus sekolah. Jangankan kita yang pernah mengalami kebersamaan sepanjang tiga, empat, atau bahkan tujuh tahun; Akademi Fantasi Indosiar atau Indonesian Idol dalam satu semester saja sanggup menciptakan perasaan saling memiliki yang mendalam. Begitu gugur satu, meskipun sebagai pesaing, timbul rasa kehilangan yang membuat air mata menetes. Saya kira itu lantaran intensitas dari hubungan mereka satu sama lain. Sementara dalam skala yang besar, ratusan mungkin ribuan orang dalam setiap angkatan di sekolah menengah, kualitas hubungan tidak seerat kelompok-kelompok kecil. Tapi bukan berarti tanpa romantika. Bahkan, kebandelan seorang siswa yang membuat gurunya berulang-kali naik darah pun, dalam suasana reuni menjelma kenangan yang lucu. Bahkan terbukti, siapa yang ketika sekolah selalu membuat kasus atau para bintang kelas, akan lebih dikenal dan diingat dibanding murid-murid yang standar.

*

SEPEKAN yang lalu saya menghadiri reuni STM Pembangunan Semarang (yang kini telah beralih nama menjadi SMK 7), meskipun tetap menempuh pendidikan selama 4 tahun. Sepekan yang lalu saya kembali menemukan suasana masa lalu, suara-suara yang tak terlupakan, meskipun wajah-wajah kami sebagian besar telah berubah. Sepekan yang lalu saya mendapatkan kehangatan, di antara orang-orang yang sukses dan yang kembali berangkat dari bawah. Sepekan yang lalu saya bertemu orang yang saya kagumi, Insinyur  Bagiono Djokosumbogo, yang pernah menjadi Direktur STM Pembangunan sejak angkatan pertama hingga angkatan ke enam, dan saya beruntung mendapat dua tahun dalam asuhannya.

Pak Bag, demikian kami memanggil, adalah orang yang melakukanbabat alas” membangun institusi sekolah menengah 4 tahun. Satu di antara 5 STM sejenis: di Jakarta, Bandung, Pekalongan, dan Temanggung. Dalam reuni, Pak Bag menjadi teman kami, karena tak pernah memosisikan diri sebagai orang yang gila hormat. Justru sepekan yang lalu, di antara teman-teman, saya justru sedang berpikir keras untuk mencari kader agar ada banyak Pak Bag di antara kami. Kami tahu persis, Pak Bag tak pernah lelah untuk sengaja singgah atau mengajak bertemu setiap muridnya (bukankah tidak ada bekas murid atau bekas guru?) di setiap kota yang dikunjungi. Yang paling mengharukan, siswa STM Pembangunan Semarang yang tidak pernah berada dalam naungan Pak Bag, begitu karibnya dalam pertemuan itu, seolah-olah di masa lalu pernah dalam satu kelas yang sama atau dalam lapangan upacara yang sama. Kenapa? (Ya Allah, saya hampir menangis ketika menulis esai ini).

Pak Bag menganggap semua alumni STM Pembangunan Semarang adalah muridnya, anak-anaknya, termasuk yang tak pernah bertemu semasa pendidikannya. Begitu besar rasa cinta itu, Pak Bag mengenal nama hampir setiap alumnus, termasuk kegiatannya. Mobilitasnya yang tinggi menyebabkan selalu ada pembaruan informasi di kepalanya menyangkut anak-didiknya. Sementara, setiap kali membangun institusi (beliau telah membangun 6 pusat pendidikan dan pembinaan guru kejuruan) selalu hanya berpikir untuk masa depan pendidikan Indonesia, bukan untuk bisnis pribadi.

Itu pentingnya punya mimpi,“ katanya sesudah mengimami kami shalat maghrib. Ceritanya bisa sangat panjang, namun yang paling membekas dalam hati saya adalah: cinta tak pernah bisa disembunyikan jejaknya. Terus terang, Pak Bag memiliki disiplin yang keras dan tidak kenal kompromi. Terus terang, ketika sekolah dulu, kami semua takut. Tapi, terus terang, kami tidak memiliki figur seorang bapak yang tulus menjalin kebersamaan selama lebih tiga puluh tahun kecuali pada diri Pak Bagiono Djokosumbogo.

( Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Monday, March 26, 2007

Selamat Ulang Tahun, Asma Nadia

“Selamat ulang tahun, Asma Nadia. Semoga karya-karyamu semakin dan selalu menyemarakkan khazanah sastra di Nusantara maupun mancanegara.“

Demikianlah ucapan yang paling pantas kita sampaikan kepada Asmarani Rosalba, nama asli Asma Nadia, yang berulang tahun pada tanggal 26 Maret ini. Mengaku sejak kecil sudah hobi menulis, sejak enam tahun yang lalu hingga sekarang, Asma telah memiliki 30 buku (kumpulan cerpen, novel, drama, dan esai tentang kisah hidup). Sejumlah bukunya mendapat penghargaan bergengsi, antara lain Derai Sunyi (novel) meraih penghargaan MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara) sebagai peserta terbaik dari Indonesia selama 10 tahun MASTERA; Cinta Tak Pernah Menari (kumpulan cerpen) mendapat penghargaan Pena Award; PREH (A Waiting), naskah drama yang diterbitkan dalam dua bahasa oleh Dewan Kesenian Jakarta, terpilih sebagai naskah drama terbaik dalam Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama, 2005.

Asma Nadia tak hanya berkarya untuk diri sendiri. Sejak sepuluh tahun yang lampau, bersama dengan kakaknya, Helvy Tiana Rosa, ia menggagas komunitas Forum Lingkar Pena yang kini telah melahirkan banyak pengarang di Indonesia maupun mancanegara. Bahkan ia dipercaya oleh Mizan Group untuk menjadi CEO Lingkar Pena Publishing House, yang menerbitkan karya-karya Islami para penulis muda. Asma memang pengarang “bertangan dingin“. Oleh sebab itu, pantas kiranya ia tiga kali mendapat penghargaan Adikarya IKAPI (tahun 2001, 2002, dan 2005). Kepiawaiannya menulis tidak hanya untuk segmentasi remaja, melainkan juga untuk kalangan dewasa, para calon pengantin dan orang tua.

Tahun 2006, sejak bulan Maret sampai dengan September, Asma Nadia bersama Cecep Samsul Hari (dari majalah sastra Horison) mewakili penulis muda Indonesia, memperoleh kesempatan tinggal di Korea Selatan. Tugas selama di Seoul adalah mengapresiasi karya-karya sastra lokal Korea, belajar bahasa Korea selama 400 jam, dan mepresentasikan karya-karya sastrawan Indonesia. Di sana pula Asma sempat mengikuti Festival Sastra Korea yang juga melibatkan penulis-penulis besar dunia.

 Apakah Asma kerasan tinggal di sana? “Tentu, karena merasa aman pergi ke mana-mana. Penulis top mereka yang punya karya besar sangat rendah hati. Hebatnya lagi, pemerintahnya justru mengundang orang luar untuk belajar Bahasa Korea, bukan sebaliknya berlatah-latah dengan Bahasa Inggris.“

            Sekali lagi: “Selamat ulang tahun, jangan lupa jaga kesehatan karena mobilitasmu yang tinggi itu.“ Setidaknya ia telah menjadi pelatih penulisan kreatif di Pekalongan, Lombok, Aceh, bahkan Hongkong! ***

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

Tuesday, March 20, 2007

Sebijak Air Semulia Emas

Selamat Ulang Tahun Emas Pak Rudy dan Bu Lince,

            KIRANYA hanya Tuhan yang kuasa mempertemukan dan memisahkan, mengawali dan mengakhiri, dan mengijinkan serentang waktu yang memanjang demi menjadi saksi sebuah kebersamaan. Lima puluh tahun sudah pernikahan berjalan, lima puluh batang lilin dinyalakan untuk mencahayai satu harapan: kebahagiaan yang hakiki.

            Inilah tahun emas pekawinan. Tahun ketika bahtera telah berhasil melampaui sejumlah badai. Tahun ketika beranda rumah kembali sunyi kecuali dipenuhi suara indah masa lalu yang mengisi hari demi hari, sebelum anak-anak satu demi satu pergi menempuh pelangi.

            ADAKAH rahasia yang masih tersimpan di hati masing-masing, setelah ribuan hari menjadi teman dalam suka dan duka? Adakah tersisa keping prasangka yang tersembunyi, setelah ratusan bulan berulang kali purnama dan memercikkan lelatu asmara? Semua itu, kini, tentu telah lebur menjadi semacam telaga yang luas berhias kuntum-kuntum padma sebagai lambang kebijakan. Semua itu tentu telah menyatu dalam lingkaran tahun batang pohon yang menjulang teduh sebagai lambang perlindungan.

            Andaikata harus mengulang seluruh sejarah, lembar-lembar riwayat seperti tak hendak terlewat karena betapa manisnya dikulum kenangan. Dikelilingi puspa ragam, lima anak perempuan, yang mengisi taman jiwa sepanjang usia.

            Ah, alangkah segar dalam ingatan, nostalgi yang diungkap kembali, seraya memandang senja. Senja dalam kenyataan, juga senja dalam perjalanan. Terbayang kemilau kolam renang Manggarai, tempat berkaca wajah dua sejoli yang kemudian saling jatuh cinta. Tertera dalam almanak 1953, ketika negeri ini baru delapan tahun merdeka.

            Adalah harapan yang ditimang sejak awal mula dalam dunia yang sama. Merenangi bentangan air, merenangi waktu, merenangi hati masing-masing. Di antara keduanya tumbuh reranting asmara. Dua tahun kemudian, pucuk-pucuk rindu itu dipertautkan dalam selingkar cincin, tanda sepasang hati tak ingin lepas lagi. Pada bulan Oktober, belah rotan itu terpasang di jari manis. Pada musim angin santer, seolah terucapkan janji gerimis.

            Niat suci itu terus tumbuh dan makin kukuh. Kesabaran membuat keyakinan senantiasa utuh. Sampai pada hari yang ditunggu, sepasang perenang nasional duduk sebagai pengantin di pelaminan. Tanggal 10 Maret 1957, keduanya ingin mulai mengarungi lautan kehidupan, dengan saling menyerahkan kepercayaan.

            MALAM ini, pada tanggal yang sama, 10 Maret, adalah lima puluh tahun setelah sakramen suci itu. Jejak panjang titian hidup yang patut menjadi teladan bagi kami. Kesungguhan cinta membuktikan prestasi tidak berhenti. Pada tahun 1958, Ayahanda Rudy mewakili salah satu perenang Indonesia untuk Asian Games di Jepang.

            Cinta itu telah melahirkan lima buah hati. Dimulai dari Margie, Marlyne, Martha, Marcel, dan Margareth. Barangkali kita boleh mengetahui, apakah terkandung makna dari kelima nama yang selalu dimulai dengan tiga huruf M, A, dan R? Adakah terkait dengan nama bulan Maret yang indah ini? Terlepas dari itu semua, kita tahu, kerukunan keluarga menjadi resep utama menuju kebahagiaan sejati.

            Kini, kelima anak tercinta itu telah diantar ke gerbang kehidupan baru, membangun rumah tangga masing-masing.  Satu di antara mereka, Margie, sang perangkai bunga, kini tinggal di Amerika Serikat. Dengan demikian, kehidupan seolah kembali sebagaimana bermula: dua hati yang saling memiliki. Melalui jarak yang ditambatkan temali cinta, memandang pohon-pohon keluarga baru itu tumbuh dalam doa dan restu.      

            Kiranya, tak ada yang lebih indah dari sebuah sejarah yang di dalamnya dipenuhi aroma kasih sayang. Kekayaan hati hanya bisa dibentuk melalui asam garam kehidupan yang tak pernah lepas dari ikatan cinta. Spirit yang dibangun dengan kekuatan saling memiliki selalu membuahkan rindu dan ingatan akan rumah. Ingatan terhadap sang ihwal. Boleh jadi, salah satu caranya adalah secara bersama-sama menikmati menu kudapan hasil karya sendiri. Dari tungku yang sama, dengan masakan yang sama, mengalir ke dalam tubuh dan jiwa.

            SEMATA kehendak Tuhan, yang telah menciptakan malam ini sebagai tahun emas perkawinan. Rasa haru-biru tak cukup ditandai dengan linangan air mata bahagia. Karena sesungguhnya ada ribuan hari-hari yang dengan caranya sendiri membangun pondasi keluarga yang tak tergoyahkan prahara. Prestasi itu ingin kami tiru. Kami merasa malu setiap kali mendengar pasangan yang gugur tak sampai separuh perjalanan. Ternyata kami masih harus banyak belajar, banyak berdoa, dan banyak mengisi hidup dengan cinta.

            Konon terkisahkan dalam pelbagai hikayat. Ketika sepasang manusia kembali memasuki kehidupan berdua, rasa takut kehilangan akan menumbuhkan cinta yang lebih sakral. Dua yang menjadi satu, satu yang tak terduakan. Rindu tak lagi kenal jeda, jarak tak ingin lebih jauh dari sedepa. Kesepian menciptakan keindahan baru.

            Bunda terus mengalirkan kasih sayangnya melalui racikan masakan dan kue buatan tangannya. Menebar luas menembus batas. Ayahanda tekun dengan tanamannya. Semangat menumbuhkan tunas-tunas baru, kehidupan-kehidupan yang tak terbatas. Memandang ikan dalam akuarium seperti menyeruak seluruh rahasia cinta dalam jiwa. Segalanya tampak transparan. Tak tersembunyikan.

            Malam ini adalah malam untuk mensyukuri hidup yang diberikan Tuhan sebagai anugerah luar biasa. Kita yakin, Tuhan sedang menunjukkan sebuah contoh yang nyata, yang tak sanggup dipungkiri, yang patut menjadi teladan bagi kita semua.

            Malam ini kita tidak bermaksud meluapkan hasrat pesta, kecuali ingin saling berbagi dalam suasana cinta. Mungkin perlu diutarakan, bahwa sajian utama ulang tahun emas ini tidak lain adalah buatan Bunda Lince. Itu menjadi bukti, bahwa luapan rasa cinta tak dapat lagi disembunyikan. Pada malam istimewa ini, ada sidik jari yang akan terbawa ke hati kita masing-masing. Semoga akan menularkan keabadian cinta yang sama, terbawa hingga akhir masa.

            Segala rasa yang tercecap di lidah kami adalah rona kehidupan yang akan kami jalani. Aura yang akan membuat kami menayadari betapa besar arti saling memiliki.

            ANAK-anak yang lahir dari perkawinan, dan kami yang menjadi handai tolan, memanjatkan doa untuk kesehatan. Tak ada yang lebih bernilai dari tubuh dan jiwa yang sehat. Semoga Tuhan menghindarkan Ayah dan Bunda dari segala penyakit.

             Setelah semua perjuangan selesai, mungkin tiada lagi kisah yang heroik. Namun perasaan damai adalah tujuan setiap hatinurani manusia, yang belum tentu tercapai. Malam ini kami ingin menimba banyak pelajaran. Rasanya banyak filosofi yang terkandung dalam kesederhanaan sikap, dan kami sedang berusaha bagaimana sanggup menyerap.

            Dunia renang di masa lalu telah memberikan dasar pijakan yang kuat mengenai sportivitas, gairah untuk berjuang dari segala kesulitan hidup, sebuah cara agar tetap bugar, dan persahabatan dengan unsur alam paling penting: Air. Melalui sifatnya yang selalu mengalir ke tempat rendah dan memiliki permukaan yang rata, Ayahanda dan Bunda telah menafsir dengan benar. Malam ini kami menemukan sepasang pengantin yang telah sebijak air.

            Ketekunan mendidik anak-anak, memastikan mereka melangkah pada jalan yang benar, memberikan kasih sayang tanpa pandang jauh-dekat, menjadikan diri sendiri sebagai contoh, adalah pekerjaan yang luar biasa berat. Hanya para pendulang emas, yang selalu hati-hati memilah butiran berharga dari yang tak berguna. Hanya pande-emas yang begitu teliti membentuk logam mulia menjadi tatahan perhiasan indah. Tahun-tahun yang dilalui dengan seksama telah mewujudkan anak tangga hingga hari ini. Kiranya, malam ini kami mendapatkan sepasang pengantin yang telah semulia emas.

            SETELAH ungkapan selamat dari kerabat dan sahabat, ijinkan kami menjadi bagian dari malam bahagia ini. Kini kami menyadari arti pepatah: harimau mati meninggalkan belang dan gajah mati meninggalkan gading. Corak kulit harimau dan gading gajah adalah karakter yang paling berharga sebagai tanda keberadaannya. Menjadi jejak yang bernilai tak lekang waktu. Bagi manusia, nama baik akan menjadi prasasti yang dikenang banyak orang.  

            Malam ini kami sedang menyerap aura nama baik Ayahanda dan Bunda. Dari hal-hal yang sederhana. Dari cinta yang bersemi hari demi hari, perlahan namun pasti, hingga tak tergoyahkan lagi.

            Selamat berbahagia. Selamat mencapai hari yang ke delapan belas ribu dua ratus lima puluh pernikahan agung. Doa dan syukur kami panjatkan. Semoga Tuhan tidak berhenti mencurahkan cintaNya. Amin.

***

Jakarta, 8 Maret 2007

(kurnia effendi)

 

 

 

 

Tuesday, March 13, 2007

Pena yang telah jauh melampaui Lingkaran

Untuk ulang tahun FLP ke-10:

SEPULUH tahun Forum Lingkar Pena (FLP) diperingati dan dirayakan di Perpustakaan Diknas yang dikenal dengan nama Library@Senayan. Tidak hanya berlangsung satu dua jam, melainkan sejak pukul 10 pagi hingga pukul 10 malam, dua belas jam. Membuat hari Sabtu 24 Februari 2007 itu terasa hangat di ruang baca perpusatakaan. Luar biasa!

Apa yang tak luar biasa dari FLP? Dua di antara penggagasnya, Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, adalah kakak-beradik yang memiliki etos kerja dengan integritas tinggi. Keduanya berprofesi pengarang dengan sejumlah besar buku yang sudah terbit dan dibaca banyak orang. Tak perlu diperbincangkan di sini jika mereka hanya melulu memberdayakan karya-karya sendiri. Justru kenyataannya, FLP telah melahirkan banyak pengarang, mulai dari anak-anak, remaja, hingga para ibu rumah tangga yang seolah-olah berkembang menjadi kreatif begitu bersentuhan dengan dunia menulis. Nama tempat ngumpul mereka dinamakan Rumah Cahaya, sesuai dengan hasilnya yang mencerahkan.

Acara ulang tahun yang dirancang serius ini melibatkan banyak sastrawan, baik keluarga internal Forum Lingkar Pena maupun sejumlah pembicara eksternal. Mereka antara lain Melanie Budianta, Maman S. Mahayana, Ahmadun Yosi Herfanda, Kurnia Effendi, Helvy Tiana Rosa, Irfan Hidayatullah, Yudhis, Agus R. Sasrjono, Joni Ariadinata, dan Anya Rompas.

Untuk sebuah organisasi, mencapai usia 10 tahun merupakan perjuangan tersendiri. Dan FLP tidak hanya tersebar di sejumlah kota Indonesia, melainkan juga merambah ke mancanegara, seperti Mesir dan Hongkong. Hebatnya, di setiap Cabang FLP, ada karya yang diterbitkan dalam bentuk buku. Kenyataan itu menyimpulkan bahwa pertumbuhan pengarang melalui wadah itu cukup menggembirakan. Mereka bukan sekadar penggemar dan pembaca sastra, akan tetapi para pekerja sastra. Bahkan, sebagian di antaranya mulai terjun ke penulisan skenario. Salah satu contohnya adalah serial OB (Office Boy) yang ditayangkan di stasiun RCTI, naskah skripnya ditulis oleh Fachri Asiza dari FLP.

Acara yang cukup padat namun berjalan dalam suasana riang itu cukup mendapat sambutan. Dibuka dengan pembacaan puisi oleh Komunitas Puisi FLP yang dipimpin oleh Epri Tsaqib, perhelatan pun dimulai. Dua pembaca puisi wanita dari FLP Tangerang cukup memukau dengan penampilan duetnya. Ice breaking itu untuk mencairkan suasana sebelum sambutan dari Irfan Hidayatullah sebagai Presiden Forum Lingkar Pena periode 2007 yang menyampaikan bahwa dalam usianya yang ke 10, FLP sebagai komunitas sastra dengan nuansa religius populer dapat bersinergi dengan pelbagai pihak. FLP hendaknya dapat mewakili margin kanan.

Disambung dengan diskusi sastra yang mengangkat temaPuisi Populer dan Mempopulerkan Puisi“, dengan pembicara Anya Rompas dan Kurnia Effendi. Dalam perbincangan ini kedua pemakalah menyampaikan hal yang senada bahwa kata pop terkait dengan populis, digemari banyak orang, sedangkanlawandari mazhab itu adalah puisi klasik yang adiluhung. Namun demikian gerakan seni pop digagas sangat serius pada awalnya oleh sekelompok konseptor yang hendak mengusik kemapanan para seniman menara gading sebelumnya.

Seusai jeda makan siang, acara bergulir kembali. FLP memperkenalkan 5 orang penulisu, satu di antaranya novelis kecil. Kemudian dibahas juga 5 buah buku baru yang diluncurkan pada hari itu. Satu di antaranya karya pengarang best seller Habiburrachman (penulis “Ayat-ayat Cinta“) dengan judul buku “Ketika Cinta Bertasbih“. Sebagai pemandu acara, Pipiet Senja dan Fachri Asiza. Pada sesi peluncuran 5 buku lainnya, pembahasan dilakukan oleh Yudhis, Joni Ariadinata, dan Agus Sarjono. Selepas maghrib digelar pertunjukan teater mengangkat cerita “Jaring-jaring Merah“ karya Asma Nadia.

Sebagai puncak acara, diskusi sastra “Forum Lingkar Pena dalam Sastra Indonesia“ yang menampilkan Melanie Budianta, Maman S. Mahayana, dan Ahmadun Yosi Herfanda. Maman dalam kesempatan itu mencoba menegaskan, bahwa kehadiran Forum Lingkar Pena dalam sastra Indonesia leksana menjawab harapan sejumlah besar kaum remaja Indonesia akan kebutuhan belajar menulis. Pada kesempatan lain, penyair Taufiq Ismail pernah menyebut Forum Lingkar Pena sebagai “hadiah Tuhan untuk Indonesia“. Memang pena para penulis FLP telah melampaui lingkaran internalnya, merambah ke bidang-bidang kreatif yang lebih luas. Sekali lagi: selamat ulang tahun!

(Kurnia Effendi)