Tuesday, November 27, 2007

Sepanjang Braga

Ada yang tak kunjung hilang dari ingatan. Tentang jalan itu. Jalan yang membujur sepanjang 700 meter, mempertemukan Jalan Asia Afrika di satu ujung dan Jl. Wastukancana di ujung yang lain. Dua kali tubuh langsingnya terpotong, oleh Jalan Suniaraja dan Jalan Naripan. Tetapi ia tetap tak koyak, justru terhenyak dalam benak. Sebenarnya, kini, Jalan Braga telah menjadi jalan biasa saja. Perubahan yang terjadi setelah bertahun-tahun digempur oleh kebimbangan antara bertahan dengan suasana eksotis dan berkembang menjadi wilayah pertokoan kontemporer, akhirnya membuatnya tampil dengan rasa murung. Tubuhnya tua, wajahnya dipaksa mengenakan bedak agar sedikit menor. Saya, diam-diam menangkapnya dengan perasaan getir, cinta yang terlalu pahit.

Saya tentu akan mengenangnya sebagai tempat lahirnya sebuah inspirasi. Pada tahun 1988, saya menulis cerita pendek dengan latar lokasi Jalan Braga. Cerpen itu pun saya beri judul ”Sepanjang Braga”, meraih hadiah pertama dalam lomba fiksi yang diselenggarakan oleh majalah Gadis. Cerita cinta biasa saja yang menurut Belinda Gunawan sebagai koordinator juri sekaligus redaksi fiksi Gadis saat itu, memukau karena gaya penceritaannya. Saya menggunakan kilas balik dan menempatkan puncak dramatik pada tiga kalimat pertama. Mungkin itu sebuah keberanian. Tetapi juga sebuah kelugasan untuk tidak mengelabui pembaca dengan teka-teki yang sia-sia. Karena toh yang ingin saya sampaikan bukan misteri, tetapi rasa berdarah-darah sebuah cinta yang tak terkatakan.

Saat itu saya menangkap Jalan Braga dari sisi paling menggairahkan: keindahan dalam gerimis. Malam-malam panjang dengan sejumlah puisi. Trotoar tempat saya dan sejumlah sahabat—di antaranya Acep Zamzam Noor dan Soni Farid Maulana, keduanya penyair—menghabiskan waktu. Menghirup udara yang mendesau di koridor jalan dengan bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial yang mengabaikan tempat parkir. Dalam pikiran saya, dulu, tempat ini tentu dikhususkan hanya untuk berjalan kaki. Dengan beberapa tempat rendezvous seperti Braga Permai, Majestik, dan Hotel Braga.

Di salah satu emperan toko, setelah berderet penjual cindera mata handycraft, toko buku, dan toko permata bernama Concurrent, ada seorang seniman yang tak mungkin asing bagi telinga khalayak Bandung. Braga Stone namanya. Ia seorang pemain kecapi sengan sepasang mata buta. Memetik dawai dengan piawai menyuguhkan berpuluh lagu yang sedang populer, termasuk karya-karya abadi semacam Dust in The Wind (Kansas) atau Lately (Stevie Wonder). Sekelompok anak muda biasa menanggap sang pengamen itu dengan pesan beberapa judul lagu. Seperti biasa, kelincahan jemari Braga Stone menari-nari di rentang kawat mendentingkan nada-nada menghibur mereka.

Tetapi hal-hal unik itu sekarang telah tiada. Majestik pernah menjadi bioskop dan kini berubah menjadi gedung pertemuan untuk perhelatan semacam perkawinan dan sejenisnya. Hotel Braga rasanya juga sudah punah, tentu tak ada lagi tukang nasi-mi-goreng (dicampur) dengan pikulan yang biasa berhenti lama di trotoarnya. Mengipas bara arang dari tungku yang membuat wajan di atasnya mengepul asap.

Rasanya banyak yang sudah tahu, bahwa Jalan Braga di zaman Belanda adalah sebuah tempat paling ramai. Maison Bogerijen yang kini menjadi Braga Permai adalah tempat para noni Belanda menikmati es krim. Di dalamnya sering berlangsung pesta dansa-dansi dengan iringan musik hidup. Di rumah makan itu tersedia bermacam menu termasuk panekuk dan hidangan yang mirip nasi rames.

Di ujung tusuk sate, menempati Groote Post-weg atawa Jalan Raya Pos yang kini berganti nama Asia Afrika (karena di Gedung Merdeka pernah menjadi tempat konferensi Asia Afrika, 1955), terdapat peninggalan Sociateit de Concordia. Itu sebuah gedung teater yang menjadi tempat pertunjukan tonil. Dalam film Doea Tanda Mata debutan Teguh Karya, pementasan tonil disorot dari balik layar: ketika tetabuhan dan gelegar petir disuarakan dengan pukulan dan getaran pada lembaran seng.

Bandung, seperti juga kota-kota lain di tanah Hindia yang dipilih oleh pemerintah Belanda menjadi tempat hunian, selalu meninggalkan tilas arsitektur yang mencerminkan budaya Eropa. Sebenarnya banyak tempat yang tercatat anggun dalam dokumentasi Haryoto Kunto, seorang ahli sekaligus pencinta warisan sejarah di Bandung, berjudul Semerbak Bandung Raya. Misalnya Vila Isola yang menjadi gedung kampus IKIP di Bumi Siliwangi, Gedung Sate, Hotel Savoy Homann, Villa Merah di kawasan Tamansari, Hotel Preanger ....

Begitu sulitnya kondisi gedung-gedung itu bertahan, baik dari serangan cuaca maupun kebijakan pemerintah. Walaupun dilindungi oleh Yayasan Heritage yang di dalamnya berhimpun para sejarawan, arsitek, dan pekerja seni, semua itu tergantung pada anggaran besar yang harus membiayai perawatannya. Kini Bandung, yang selalu sukses dengan ”penemuan-penemuan”-nya, menjadi salah satu kota terpadat di dunia pada hari Sabtu dan Minggu. Factory outlet dan beratus tempat makan yang menjamur dengan gaya khas, mal-mal yang menempatkan nilai leisure dengan wisata melalui pengalaman window-shopping; memancing masyarakat Jakarta menyerbu setiap week-end. Seolah selalu ada kabar baru, pekan demi pekan, tentang Bandung. Dulu, di tahun 80-an, Studio East merupakan diskotek dengan pesona interior gaya sayap kupu-kupu. Dengan program ladies night tiap Selasa atau Jumat, sebagian kaum muda Priangan meninggalkan  karakter tradisionalnya dan mengabdi pada modernisasi Barat. Setelah panggung musik terbuka di sepanjang Dago, restoran dengan pesona lanskap lembah malam hari di The Valley,  Serabi unyil di Setiabudi, Kampung Daun dan The Peak, Cihampelas Walk, dan Paskal Hyper Square yang menjadi foodcourt di Pasir Kaliki; kini lahir Parijs van Java yang tak kunjung sepi.

”Saya tak bisa ke mana-mana bila tiba akhir pekan,” begitulah sebagian warga Bandung mengeluh. Di pengujung minggu, Bandung memang jadi surga bagi orang-orang Jakarta. Mereka rela mengalami macet berat di segala ruas jalan. Sebelum dibangun jalan tol Cipularang, kepadatan jalan lintasan Puncak sebagai alternatif satu-satunya yang terpendek menuju Bandung, selalu menyulap diri menjadi taman parkir terpanjang.

Bandung adalah sebuah kampung besar, demikian pendapat seorang pakar. Barangkali benar, karena tidak berusaha menambah lebar jalan. Membiarkan tubuhnya pakin penuh dan sesak. Letaknya yang strategis, tak sampai 200 Km dari ibukota, menjadi tujuan paling realistis untuk liburan singkat. Di samping itu, masyarakatnya demikian fashionable. Mojang-bujang Priangan yang secara tradisi awal adalah pelahap sayur-mayur, memang secara genetik memiliki dan mempertontonkan warna langsat dan halus.

Tetapi saya akan selalu terkenang dengan Jalan Braga. Jalan yang tak melampaui seribu meter itu selalu memberi inspirasi. Warna senja, rinai gerimis, dan bayangan kekasih. Dan saya mewajibkan diri untuk singgah barang sebentar setiap kali ke Bandung. Setelah pernah tujuh setengah tahun, semasa kuliah, saya menetap di Bandung, merasa kota itu menjadi tanah kelahiran kedua. Saya cinta padamu, sepanjang Braga, saya cinta padamu. ***

 

Monday, November 26, 2007

Salam Hormat, Cinta, dan Kerinduan

(untuk mengingat reriungan LKers di MP Book Point, 10 November 2007)

Selamat sore keluarga kami tercinta, komunitas LeoKristi baik yang tinggal di Jakarta maupun di luar kota. Terima kasih atas kehadiran para sahabat. Kami menanti-nanti datangnya hari ini, seperti menanti saudara kandung yang pulang mudik dari tanah rantau. Jadi silakan berkangen-kangenan di sini tak harus sungkan dan tak enak hati.

Hari ini Hari Pahlawan, 10 November 2007. Hari yang kita tak perlu angkat senjata lagi. Tapi tentu punya cara lain untuk memperingatinya, mengenangnya, menziarahinya. Ya beginilah para LKers melakukannya melalui ”jalan gitar”.

Salam hormat untuk para pahlawan pendiri republik ini. Wangi keringat dan darah mereka masih tercium hingga hari ini. Dalam senja yang memadukan rasa pahit dan manis hidup sepanjang membangun bangsa, kami tak punya apa-apa lagi untuk menabur bunga di atas makam mereka. Kecuali dengan air mata yang menjelma nyanyian. Maka kami akan bersenandung sepenuh perasaan, dari kedalaman hati. Jauh dari kedalaman hati.

Melalui spirit teduh yang mungkin tak tergapai lagi oleh generasi kini, kami hendak melantunkan suara pahlawan dari lirik lagu Leo Kristi. Bagi Leo Kristi dan kami yang mencintai tembang-tembangnya, pahlawan telah menjelma banyak peran: guru, petani, nelayan, pelukis, penari, dan tentu saja ibu sang pecinta sejati.

          Setelah serangkaian harmoni yang akan kami sajikan di bagian awal, sebelum  diskusi tentang ruh pahlawan dalam lirik Leo Kristi, adik kita Happy Salma akan membacakan sebuah cerpen tentang pahlawan. Judulnya “Impian yang Terenggut”. Cerpen ini ditulis oleh Happy sendiri dan dimuat di majalah Kartini.

          Jangan tanyakan kepada Happy nanti, siapa Leo Kristi. Jawabannya akan sama dengan jawaban atas pertanyaan kami kepada Meutya Hafid dan Fifi Aleyda, juga teman-teman satu generasi. Karena itu saya pernah berbisik-bisik dengan Mbak Yoosca, bahwa kita sedang memelihara sebuah ”artefax purba” yang hanya kita sanggup menikmatinya. Benarkah demikian? Saya kira ini hanya persoalan komunikasi yang harus segera dijembatani.

          Mudah-mudahan kita yang bernaung dalam LKers tidak sedang mengkultusindividukan seorang seniman unik bernama Imam Sukarno. Bagi kami, Leo Kristi adalah inspirator yang mengikat kita semua menjadi sebuah keluarga. Leo Kristi tentu bukan ”nabi” yang membuat LKers membentuk aliran ”agama” baru. Oleh karena itu sangat boleh untuk ”murtad”. Misalnya saja, di ruangan ini nanti akan dinyanyikan lagu Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Iwan Abdulrahman, Franky, atau John Denver dan Keenan Nasution.

          Jadi, LKers memang berawal dari kegemaran para insan di dalamnya terhadap lagu-lagu dan lirik yang dibuat dan dinyanyikan Leo Kristi. Kegemaran yang mengurat-darah dan untuk itu boleh Mbak Tika Bisono melakukan penelitian, siapa tahu ini salah satu symptom kelainan jiwa. Air mata bisa menetes ketika teman lain sedang menyanyikan salah satu lagu Mas Leo yang menyentuh. Itu menunjukkan aku-lirik dalam syair Leo Kristi bekerja secara universal, pengalaman yang tak hanya jadi milik diri sendiri. Lalu apa hasil dari reriungan ini nanti? Kami tak menjanjikan apa-apa, jadi rasakan saja sendiri.

          Sebelum kita memasuki pengalaman-pengalaman bersama, saya sampaikan salam titipan dari Arief Wicaksono yang sore ini tak dapat hadir karena berada di luar kota. Dia, meski tidak bernaung dalam milis LeoKristi, tetapi melakukan upaya lain, yakni membuat buku ”Simfoni Indonesia”. Buku itu menghimpun seluruh karya musisi dan penyanyi Indonesia  yang menggemakan cinta tanah air melalui lagu-lagunya. Saya tidak tahu hasil akhirnya, hanya tahu ada proses yang berkepanjangan mengenai pemasangan 4 lagu Leo Kristi di dalamnya. Mudah-mudahan berakhir dengan happy.

          Dan dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada MP Book Point yang untuk kedua kalinya memberikan ruang dan waktu untuk apresiasi kita, bukan hanya terhadap lagu-lagu Leo Kristi, tetapi untuk seni budaya secara umum. Terima kasih kepada Bapak Amir H. Daulay yang merintis milis Leo Kristi. Terima kasih kepada Mas Setiyadi yang didapuk oleh kawan-kawan sebagai Ketua Dewan Syuro Lkers, karena paling sering mendapat kesewotan dari Mas Leo, tapi cintanya tetap menyala tak padam-padam, tak kapok-kapok. Entah siapa yang beruntung, Mas Adi sebagai penggemar yang selalu bisa berdialog dengan idolanya, atau Mas Leo yang mendapatkan penggemar akut sehingga gema eksistensinya terpelihara. Terima kasih kepada para LKers yang dari luar kota, Mas Gamawan (Bandung), Bang Abing dan Dewi Persada (Bangka), Mas Noereska dan Mahatmanto (Jogja), Mas Santoso (Sangatta). Terima kasih kepada adik tersayang Happy Salma yang bersedia melebur dalam ”aliran” sempalan ini. Terima kasih kepada sahabat Arya Gunawan, penggemar yang pernah membawa Mas Leo menginjak tanah Aceh untuk pertama kalinya. Terima kasih kepada Tika Bisono, psikolog dan Puteri Indonesia tempo dulu, yang pasti akan banyak mendapatkan pasien di sini. Terima kasih kepada seluruh LKers baik yang pintar bermusik, bernyanyi, dan hanya tepuk tangan saja. Terima kasih untuk para LKers yang rumahnya pernah menjadi tempat latihan sampai para tetangga mengira ada konser dadakan. Terima kasih untuk teman-teman security yang menjaga kendaraan kita di luar sana.

          Setelah diskusi yang santai nanti, ada sajian musik lagu-lagu Leo Kristi dengan para musisi yang akan dikenalkan saat tampil. Kami kedatangan vokalis tamu, Devi, dari Sanggar Matahari, yang ternyata adalah teman SMP Rezza Suhendra, gitaris andal LKers. Kami telah siapkan 30 lagu. Kami juga akan memutar film Soerabaia 45(Bung Tomo), Sutan Syahrir, dan kesaksian Tanah Merah in Memeoriam yang dibaca oleh Ramdan Malik, pembacaan puisi Romo Sindhu oleh Henry Ismono, cerita Aceh pasca tsunami oleh Mbak Mardiyah, dan entah siapa lagi. Dan yang tak kalah penting, pada sore ini juga dibuka pameran foto karya Mas Henry Widjaja.

          Baik, selanjutnya saya mempersilakan ”Bedil Sepuluh Dua” untuk diletuskan.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Benteng Fort Rotterdam

JEJAK

Dear Nana,

Seandainya sebelas tahun yang lalu kita lebih awal berjalan menuju Benteng Fort Rotterdam, mungkin aku tak perlu mengulangi kunjungan hari ini sengan serius. Bertahun-tahun setelah itu tak pernah benar-benar sempat kumasuki tilas Kerajaan Gowa di abad 16 yang kemudian direbut oleh Belanda tahun 1667 di masa Gubernur Jenderal Cornelis Speelman. Rumah-rumah panggung khas Bugis dengan bahan utama kayu jati dan kayu bessi bertukar bangunan batu bata yang kokoh. Di masa itu, Belanda memusatkan pemerintahan, perdagangan, dan pertahanan di tempat ini. Di tengah lindungan benteng batu yang mengelilingi area seluas 3 hektar.

Malam beribu hari lalu, tanggal 31 Juli 1996, kita berjalan di bawah kubah langit kelam dengan percikan bintang-bintang mungil. Berjalan menuju Benteng Fort Rotterdam; kalimat yang kemudian menjadi salah satu judul puisi dari 990 yang kutulis atas tantanganmu. Entah mengapa, setelah sepuluh tahun saling bersurat sejak 1986, pertemuan denganmu membuat sejarah baru bagi kreativitasku. “Masih bisa menulis puisi? Mau menulis seribu puisi untuk Nana?” tanyamu manja.

Tentu tak ada saksi malam itu selain rasa saling percaya. Saat akhirnya kuterima tantanganmu, yang kulihat hanya hamparan aksara di langit untuk sewaktu-waktu kupetik dan kususun menjadi baris dan bait. Antologi yang hingga kini tak pernah terbit utuh itu dimulai dengan “Di Pantai Losari”. Pantai dengan kedai pisang epek terpanjang di Makassar, atau mungkin di dunia.

Kini aku datang lagi, barangkali utuk kelima kalinya, ke Ujungpandang. Kali ini tak ada lagi dirimu di Daeng Tata, beranda tempat pertama kali aku bertamu ke rumahmu. Matahari Makassar bulan November sedang telengas memanggang Bumi, tapi aku punya cita-cita yang tak boleh lagi luput. Dari Hotel Santika tempatku menginap, siang itu, aku memilih naik becak menuju Benteng Fort Rotterdam. Tak jauh jaraknya dari Jalan Hasanuddin. Andai aku seorang perokok, rasanya tak akan habis satu batang.

Nana, percayakah kalau aku langsung tersengat sensasi begitu sampai di halaman benteng? Tak kulepaskan pandangan dari apa pun yang tertangkap mata: aku bagai melihat sebuah kejayaan masa lalu di tempat itu. Patung seorang prajurit menunggang kuda tentu karya seniman Belanda di era penjajahan. Aku segera masuk ke gapura seperti memasuki kota terlarang. Karena begitu melintas lengkung pintu gerbang, kudapati kompleks gedung tua dengan cat baru dan warna genting seragam coklat tua yang tak tampak dari luar.

Kuambil arah kanan sebagai permulaan perjalanan kunjungan. Di sebuah tikungan sudut kudapatkan tulisan: Ruang Tahanan Diponegoro. Seketika ingatanku merayap, kuku-kukunya yang tajam mencoba mengupas kenangan pelajaran di Sekolah Menengah Pertama. Bukankah beliau diasingkan ke Manado? Tentu, setelah penangkapan atas pengkhianatan seorang alibasyah, sepanjang 1830 sampai 1834. Namun masa akhirnya justru berada di penjara itu hingga wafat tahun 1855 dan dimakamkan di Makassar. Dalam bangunan yang selalu terkunci itu dapat kulihat bagian dalamnya melalui jendela yang terbuka. Ada dua pintu, besar dan kecil. Pintu lengkung kecil dibuat untuk memaksa Pangeran pemimpin Perang Jawa itu untuk berjalan tunduk. Selama ini, sama sekali Sultan Ngamid tak mau tunduk kepada Kumpeni.

Dari sudut Bastion Bacan aku naik tangga batu setinggi tujuh meter. Di atasnya kudapatkan jalan lebar lebih dari dua meter untuk berjalan. Dari ketinggian itu dapat kulihat pemandangan yang memukau. Bentuk outline dari benteng itu serupa kura-kura. Pada bagian kepala semula ada dua bangunan pengintai yang hancur bersamaan dengan jatuhnya bom di Hisroshima dan Nagasaki. Menandai tamatnya riwayat Jepang di Bumi Indonesia, temasuk kekuasaannya yang sebentar di Benteng Fort Rotterdam. Tiang bendera tua masih terpacak di ubun-ubun kura-kura, kokoh namun berkarat.

Nana, tentu dulu ingin kautunjukkan peninggalan Raja Gowa ini padaku. Sayang waktu itu hari telah larut, gerbang telah tertutup, dan suhu udara seperti surut. Tapi entah kenapa, sepanjang jalan malam itu kita tak berpelukan untuk saling menahan terpaan angin yang keras. Ada gelora lain yang kemudian melahirkan banyak puisi, beratus-ratus, sampai kausaksikan rasa letih itu pada baris-baris akhir lima bulan kemudian. Engkau hanya memberiku waktu lima bulan, sampai tanggal 31 Desember 1996. Dan aku kalah, karena kurang 10 puisi. Tapi kaukatakan, bahkan dalam sebuah esai, sudah tak penting lagi perkara jumlah. Usahaku lebih berharga. Apalagi sembari berjalan, sejumlah puisi berserak di banyak media nasional dan lokal.

            Beberapa sudut gedung dan lanskap kukekalkan melalui mata kamera. Sepasang gedung panjang yang berada di kiri dan kanan kini dimanfaatkan sebagai Museum Sejarah dan Museum Budaya. Namun sebelum memasuki tiap ruangan museum, aku singgah di ruang gelap tempat menyimpan lukisan karya Bachtiar Hafid. Di dalamnya kudapatkan perjalanan sejarah benteng dalam bentuk lukisan. Semula bernama Benteng Junpandan, sebelum direbut oleh Kumpeni. Dengan tempat meriam di sayap kanan dan kiri, serta bukti-bukti kuburan pelurunya, benteng ini menjadi pusat pertahanan Kerajaan Gowa untuk menangkis serangan musuh. Sementara pusat istana terletak di Somba Opu yang jaraknya 4 kilometer dari markas para pengawalnya.

            Menjelang senja langit berangsur mendung. Aku sedikit terburu menyelesaikan persinggahan. Bangunan yang berdiri di tengah adalah sebuah gereja, seolah menjadi pusat dari empat penjuru Bastion. Di kawasan itu, persisnya di sudut Bastion Amboina, masih terpelihara penjara bawah tanah. Dengan ventilasi berupa cerobong udara yang muncul di pelataran benteng, diharapkan para tawanan tetap menghirup udara segar.

            Ada tujuh sumur yang bertebaran di seantero benteng, tempat para penghuni dan pegawai kantor VOC dulu mengambil air. Perigi itu kini ditutup dengan pintu jeruji besi, tak dimanfaatkan lagi. Perigi yang mungkin menjadi saksi kekejian Westerling membunuh sekitar 40.000 jiwa pribumi sepanjang 1947-1948. Aku bersyukur, Nana, akhirnya dapat masuk ke wilayah yang sejak dulu hanya kubayangkan isinya, justru tanpa dirimu sebagai penunjuk jalan yang tentu akan bercerita lebih cerewet dan akademis.

            Pada dua museum yang kutelusuri, kudapatkan jejak puncak raja-raja dan ketua suku. Mulai dari Bugis, Makassar, Selayar, Bone, Paloppo, sampai Mandar. Ruang tamu, baju pengantin, peralatan pengrajin emas, kapal pinisi, proses tenun, pembuatan gula kelapa, pengolahan sagu, sampai pelbagai bentuk nisan untuk makam mereka. Dalam sebuah lemari kaca tersimpan Surek La Galigo, aksara Lontarak, peninggalan senjata milik Arung Palaka. Sejumlah perisai dan baju perang. Seolah kudengar kembali seruan ”maju!” bagi prajurit gagah berani untuk menghalau musuh. Namun di masa penjajahan Belanda, keempat wilayah di Indonesia Timur termasuk Butong dan Ternate ditaklukkan lalu dijadikan sekutu untuk melawan Hasanuddin hingga terkalahkan.

            Nana, gerimis akhirnya turun mengurai mendung. Aku bergegas meninggalkan benteng dengan becak yang berbeda. Kali ini ditutup rapat dengan plastik untuk menghindari tempias air. Aku sendirian, dalam kontras cuaca saat aku berangkat, melintasi Jalan Somba Opu. Sebuah jalan yang kukira dipenuhi kaum Lazaretto lalu lalang. Jalan yang dalam pikiranku menjadi tempat kios souvenir topi bambu lebar milik Marga. Tapi Somba Opu itu dipetik sebagai nama jalan. Sementara kawasan Somba Opu sebenarnya, yang dibangun sebagai miniatur Sulawesi, kini justru memiliki nasib memprihatinkan. Tinggal Benteng Fort Rotterdam yang masih setia menyimpan perjalanan kisah Raja-raja Gowa. ***   

(Kurnia Effendi, untuk sahabat: Ryana Mustamin)

 

 

 

Thursday, November 22, 2007

Sang Khalifah

Oleh-oleh sepanjang Ramadhan 1427 H, sebagian telah dimuat di Jurnal Nasional.

Kurnia Effendi:

1.

jemarinya melukis bulan sabit di ufuk langit

“aku bersuci malam ini, berpuasa esok hari,”

malam bertahan pada lengkung cahaya

sukma bertahta di tangkai sidratul muntaha

2.

retak kelam oleh ujung suara adzan

jauh ke serabut gelap cakrawala

”aku mulai langkah dengan bismillah,”

dalam jubah terletak peta tempat singgah

3.

”ah ya, alangkah panjang kemarau,”

terdengar oleh jamaah: gumam doa yang parau

tak ingin berhenti sebelum mencapai tepi

walau jalan makin sunyi, hari makin wengi

4.

selalu menetas, telur-telur puisi

keranjangmu kini makin penuh terisi

ciap-ciap riuh di halaman masjid

“alangkah lucu melihat sang lapar ngabuburit,”

5.

di relung teduh yang terpisah dari gaduh

”aku rindu cintamu yang ribut gemuruh,”

dalam pejam mata ia lupakan dunia

dalam gelimang dunia ia butakan mata

6.

ta’jil senja: semangkuk lembayung langit

sebelum taring angin maghrib menggigit

”kucari jejak yang berakhir di jabal rahmah,”

rindu kalbunya sudah terlampau basah

7.

”tak pernah sempurna caraku mencintaimu,”

selalu rontok kelopak bunga di taman itu

ingin meniru kesabaran langit malam

tempat lapang untuk bermain jutaan bintang

8.

membiarkan pepohonan gemetar dalam cadar

mereka membaca aksaramu, juz demi juz

”biarkan aku gemetar oleh sebuah kabar,”

mula-mula cahaya, lantas suara

9.

kini saatnya melembutkan karang dengan pahat air

debur demi debur seirama tambur jantungmu

kini saatnya menggosok karat pada tebing nurani

”aku cemburu terhadap insan yang kauberi ujian,”

10.

”aku bukan gembala pilihanmu,”

sebentang gurun, domba-domba, ilalang kering

seperti isyarat awal malaikat

perihal tumpah darah, perang abadi di bumi

11.

di sini mentari tanpa jarak seperti duri landak

”beri aku dongeng tentang sepetak oase,”

tak ada yang beranjak dari terompahnya

tempat terakhir untuk berpijak

12.

berguru pada teratai, mengabdi pada sunyi

kitab-kitab itu terbuka sendiri

”aku berteduh di bawah rimbun zaitun,”

beranda ini begitu luas dan ngungun

13

siapa yang mengetuk pintu dengan tak sabar?

mungkin denyar badai di luar telantar

kepada bencana, ucapkan selamat datang

”meski kau acap berkunjung tanpa bilang,”

14.

lembar papirus dan jajaran bukit tandus

entah di mana sembunyi ihwal sang kudus

”aku menderas kisah, aku melafal hikayah,”

tak serta-merta menjadi khalifah kaffah

15.

sabar adalah laut, barangkali bernama ibrahim

”tak kuasa benakku berlayar ke sana,”

ditulis atas daun kaktus catatan ayat

menjadi alasan untuk kehilangan alamat

16.

”cintaku damar yang meleleh,”

rasa sakit hutan, luka yang bahagia

seperti rusuk yang dilepas dari rongga dada

membangun mahligai dari air mata

17.

dari celah hira terpandang altar semesta

dari jendela jiwa terangkum alam raya

”kucelup penaku ke samudra untuk menulisi bumi,”

tak rampung hingga seluruh usia umat manusia

18.

“kupenuhi takaran cinta dengan kelembutan doa,”

tangan yang meraih langit, wajah yang karib dengan bumi

rumput dijalin menjadi sajadah hijau

shaf yang tak jeda rakaat hingga akhir zaman

19.

seribu pintu dengan satu anak kunci

hanya ilmu pembuka kerasnya hati

seribu arah jalan dengan satu niat melangkah

hanya ikhtiar penolong tujuan sejati

20.

kelopak yang gugur dalam setangkup cahaya

“ampuni aku atas silau sinarmu,”

putih di antara berjuta warna

spektrum terindah tepian surga

21.

dari satu tiang rakaat mendaki puncak

“kapan aku sampai pada hulu ke seribu?”

menara gagal menjulang ke tangga langit

tinggal tersisa runcing jarum stalaktit

22.

rakit yang berenang ke luas telaga

putik teratai dalam pusaran angin taman

“akulah batang bambu yang terpilin rapuh,”

tapi benangsari tak henti menghampiri

23.

“jangan berguru pada aku yang pandir,”

adakah ia bukan khidir?

di puncak turzina, musa mendadak buta

di puncak angkuh, kami tak pernah bermata

24.

dari klorofil pohon itu menyusun silsilah

surya dan angin delapan penjuru, tetangga yang tabah

“aku masih juga sangsi padamu,”

selalu saja bermain batu api sejarah

25.

kaca-kaca kembali pada hamparan pasir

kutuk atau pahala?

“aku tak mampu mengubah rajah tangan,”

nasib selalu menunjukkan jalan pulang

26.

berlindung pada gumpalan awan

matahari terakhir di ujung zaman

siapa ’kan benar-benar turun ke negeri carut-marut?

“bukan aku, sungguh, bukan aku.”

27.

“tak lengkap hidayah tanpa khuldi,”

kesempurnaan adalah kehadiran gelap dan terang

siapa nabi paling bahagia di muka bumi?

siapa malaikat paling sedih di langit raya?

28.

jejak tipis kibaran sayap letih

ah, manusia yang rakus getih

tak ada yang sanggup mengubah sejarah

sepanjang manusia hidup dari hangat darah

29.

“siapkan busana terbaruku, sahabat.”

yang mana? warna apa?

setelah mencari penjahit terbaik di bumi

tak mampu menandingi ketulusan benang ramadan

30.

para malaikat gemetar di tepi pintu perpisahan

bagai tak ingin melambai pada komari yang pergi

segugus kaum bertakbir setelah tenggelam matahari

mungkin sebuah tangis, mungkin selarik syukur

 

Jakarta-Slawi, Ramadhan 1428 H

 

 

Tuesday, November 20, 2007

Hari Pahlawan dari Dua Perspektif

(2) Pahlawan yang Dilupakan

Tepat tanggal 10 November 2007, hari Sabtu, ketika banyak sekolah memberikan libur kepada siswanya, tak lazim lagi diadakan upacara untuk mengenang jasa para pahlawan pendiri republik tercinta ini. Sebuah komunitas yang menamakan diri Komunitas Leo Kristi tidak ingin hari itu berjalan dengan dingin dan biasa-biasa saja. Sejak jauh hari, Setiyadi, sebagai motor penggerak anggota komunitas yang akrab disebut LKers, sudah merancang acara untuk mengenang para pahlawan dengan acara yang berbeda.

Mereka adalah para pecinta lagu-lagu Leo Kristi, seorang troubadour Indonesia sejati. Karena banyak lagu-lagu ciptaan penyanyi Konser Rakyat asal Surabaya (yang disebut juga sebagai Kota Pahlawan) banyak mengandung unsur patriotik dan heroisme, tak salah jika menggunakan momentum itu untuk menyanyikan lagu-lagu bertema kepahlawanan.

Bertempat di MP Book Point, sebuah toko buku kafe di kawasan Jakarta Selatan, acara digelar sejak pukul 16:30 WIB. Mengusung tajuk ”Pahlawan yang Dilupakan”, para LKers ingin reriungan sembari mengambil makna dari peringatan hari bersejarah itu.

Acara dibuka dengan sebuah lagu ”Bedil Sepuluh Dua, Jelang Empat Puluh Tahun Merdeka”, membuat hadirin yang merupakan penggemar Leo Kristi bagai histeris. Setelah sepucuk lagu berlalu, Happy Salma, artis dan fotomodel yang pernah berperan sebagai Nyai Ontososroh dalam naskah adaptasi novel tetralogi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, membaca sebuah cerpen karyanya sendiri. ”Impian yang Terenggut” judulnya, merupakan cerita bertema pahlawan. Suaranya yang sendu, bahkan ia sempat mengusap air mata di pengujung pembacaan, membuat seisi ruangan merasakan benar bahwa spirit kepahlawanan itu masih ada.

Diskusi mengenai ”Ruh Pahlawan dalam Lirik Leo Kristi” menjadi agenda selanjutnya, dengan pembicara Arya Gunawan (Unesco Indonesia) dan Kurnia Effendi. Leo Kristi tidak hanya unik dalam lagu namun syair yang ditulisnya memiliki kapasitas puitik yang tinggi. Arya menggali mulai dari unsur pantun sebagai akar tradisi puisi sampai pada pemberontakan makna kata yang muncul melalui yodel Leo dalam banyak lagu. Sementara Kurnia menyoroti dengan tujuh kemungkinan yang membuat Leo banyak menulis dan bahkan merasakan kepahlawanan dalam banyak peran.

Jeda maghrib rencana dipergunakan untuk pemutaran film Soerabaia 45, dengan Leo (Imam Sukarno) Kristi berperan sebagai Bung Tomo. Akhirnya diganti dengan pembacaan ”Tanah Merah In Memoriam” oleh Ramdan Malik yang meliputi petikan diary Sutan Syahrir, memoar Hatta, dan catatan Digul yang ditulis oleh Mas Marco. Mardiyah dari Koran Tempo menyampaikan kisah pengalamannya di Aceh pasca tsunami.

Maka sampailah pada acara yang ditunggu-tunggu, menyanyikan 30 lagu Leo Kristi. Alat musik yang disiapkan di panggung berlatar bendera merah-putih nyaris selengkap Konser Rakyat Leo Kristi. Ada gitar, bas, rebana, gong, saron, bahkan angklung. Sementara tak ketinggalan suling, triangle, harmonika, dan peluit. Dibuka dengan lagu ”Tembang Laras Hati” dengan vokalis tamu Devi dari Sanggar Matahari, lagu demi lagu mengalir tak henti-henti. ”Serenada Pagi 1971”, yang menjadi lagu favorit Bambang Aroengbinang menjadi komposisi paling sempurna. Sementara tak kalah indahnya: ”Biru Emas Bintang Tani”, ”Nyanyian Fajar”, ”Surabaya Bernyanyi”. Gitaris Rezza Suhendra seperti memiliki ratusan jemari yang memetik senar gitar secara tremolo. Gamawan Waloeya dari Bandung membuat musik menjadi anggun. Mengiringi para vokalis Tanti, Lilies, Ayu. Sesekali Aris menyeruak dengan harmonikanya. Sena dengan tabuhan rebananya. LKers dari Bangka, Abing Patrick dan Dewi Persada, menyanyi histeria dari tempat duduknya. Selain yang sedang bermain musik, audiens duduk akrab lesehan di atas karpet. Sebagian sembari menyeruput teh dari ruang kafe Saqi.

Pertunjukan yang menyerupai event pertemuan keluarga itu berakhir pukul 21.45, sedikit melewati batas waktu. Begitu rindunya mereka akan nyanyian, tampak dari semangat yang ditunjukkan oleh Henry Ismono, Budhi Kurniawan, dan Albert, sampai-sampai presentasi foto karya Henry Widjaja pun dipersingkat. Tapi semua tampak senang dan haru, seperti tak hendak berpisah. Kegembiraan mereka terutama karena LKers dari jauh, Noereska dan Mahatmanto dari Yogya, Santosa dari Sangatta Kalimantan Timur juga hadir.

Tapi tentu tak ada pesta yang tak usai. Hujan yang mengguyur Jakarta malam itu tak dirasakan benar oleh mereka. Upaya mengenang para pahlawan dengan cara bernyanyi dan berdiskusi telah tercapai. Masing-masing undur diri pamit dan malam kembali sepi dalam sisa gerimis.

Demikianlah, dengan masing-masing perpesktif, dua malam berturut-turut Hari Pahlawan diperingati tanpa harus angkat senjata dan berdarah-darah. Namun hikmah yang dipetik luar biasa dalam bagi sanubari anak-anak bangsa berjiwa besar.

 

Monday, November 19, 2007

Hari Pahlawan dari Dua Perspektif

(1)                        Malam Patriotisme

Menjelang Hari Pahlawan, Jumat 9 November 2007, Radio Republik Indonesia (RRI) bekerjasama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) menyelenggarakan acara Malam Patriotisme. Acara yang melibatkan sejumlah menteri itu disiarkan secara langsung dan para pendengar dapat melakukan ”dialog” interaktif melalui SMS. Parni Hadi, Direktur RRI, bertindak sebagai moderator diskusi, dengan pembicara antara lain Mendiknas M. Sudibyo, Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, dan Menteri Negeri Daerah Tertinggal Lukman. Berlangsung sejak pukul 20:00 sampai 22:00 WIB. Tentu saja, karena itu siaran on air dan diselenggarakan oleh radio pemerintah nasional, berjalan tepat waktu.

Acara tersebut sekaligus untuk meresmikan Cafe RRI yang akan menempati sebuah ruangan di gedung bersejarah di Jalan Medan Merdeka Barat. Diskusi yang diawali dengan resepsi makan malam itu dihadiri lebih dari 100 orang. Sebagian besar audiens adalah staf pejabat Departemen Informasi dan Komunikasi beserta para peminat sastra, termasuk tokoh-tokoh sastrawan yang pada malam itu akan membaca puisi: Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Diah Hadaning, Ahmadun Yosi Herfanda. Tampak juga H. Sujiwo Tejo dan Fatin Hamama.

Diskusi yang mengalir dikembangkan dari makna kepahlawanan dewasa ini. Satu per satu menteri didaulat untuk membaca puisi, satu di antaranya karya yang tak pernah lekang secara tematik: ”Pahlawan Tak Dikenal” karya almarhum penyair Toto Sudarto Bachtiar. Di antara silang bicara Parni Hadi membacakan SMS yang masuk dari para pendengar. Saat salah satu SMS bertanya: ”Apakah dalam sastra juga ada pahlawan?” dimintanya Bang Tardji untuk menjawab.

Menurut Sutardji, dalam sastra tak perlu ada pahlawan. ”Pahlawan adalah seorang yang mencintai bangsa dan negaranya tanpa pandang bulu, tanpa pamrih, tidak harus malu walau kondisi Indonesia seperti apa pun. Kalau kita masih malu menjadi seorang warganegara Indonesia, lalu lari keluar negeri, tak pantas disebut sebagai pewaris nilai-nilai kepahlawanan.” Tetapi, tentu saja, kita sebagai anak bangsa harus terus berjuang untuk meraih kebaikan bagi semuanya.

Satu jam pertama memang digunakan untuk acara diskusi, selanjutnya merupakan ajang pembacaan puisi diseling dengan beberapa lagu kepahlawanan yang disenandungkan oleh penyanyi seriosa Aning Katamsi dan Christofel Abimanyu. Seperangkat alat musik modern dan tradisional mengisi sayap kanan dan kiri panggung. Menjelang penyair Diah Hadaning membacakan puisi, diajukan beberapa pertanyaan oleh pemandu acara. ”Apa resep Mbak Diah tetap bugar di usia sekarang?” Jawabannya mantap dan mengundang senyum: ”Karena saya selalu sarapan sepiring puisi setiap pagi.”

Wowok Hesti Prabowo, pendiri KSI dan koordinator panitia mengaku, bahwa kegiatan itu sebetulnya telah dirancang sejak lama. Berulang kali Parni Hadi ketika masih menjadi Direktur Kantor Berita Antara selalu mengajak KSI untuk kerjasama dalam agenda kegiatan seni budaya. Maka usulan KSI untuk menggelar diskusi tentang kepahlawanan malam itu disambut baik. ”Setelah malam ini, setiap bulannya RRI akan menyediakan waktu satu jam di malam hari untuk acara apresiasi sastra,” ujar Wowok. ”Nanti akan kami umumkan agar setiap sastrawan Jabodetabek dapat berkontribusi secara bergiliran untuk mengisi, sambil meramaikan suasana kafe.”

Syukurlah, akhirnya RRI menyediakan waktunya dengan memberi ruang bagi pecinta sastra untuk menikmati dan menyumbangkan kreativitasnya.

(Kurnia Effendi)

 

Ataraxis Meluncur Menuju Kesehatan Jiwa

Rata-rata kesehatan jiwa mulai terancam, terutama di tengah problem dunia yang semakin menekan. Masalah kesulitan ekonomi yang menyulut kriminalitas, perang antarnegara yang memicu ketakutan penduduk, bencana bertubi yang mengakumulasi kecemasan manusia, penyimpangan perilaku yang disebabkan oleh krisis multidimensi, kemajuan yang tidak didukung kekuatan dasar moralitas, telah memberi sumbangan besar terhadap rapuhnya kesehatan jiwa.

Malam itu, Kamis 25 Oktober 2007, Dr. G. Pandu Setiawan, SpKJ, menjadi narasumber pada acara konferensi pers di Hotel Le Meridien. Peluncuran Jurnal Kesehatan Jiwa Indonesia Ataraxis adalah agenda yang menjadi awal program Gerakan Kesehatan Jiwa di Indonesia. Acara ini tidak dirancang mendadak, karena ternyata telah diawali sejak Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa (KNKJ) yang diselenggarakan pertama kali tahun 2001 di Malang. Disusul dua tahun kemudian di Jakarta (2003) dan KNKJ III juga berlangsung di Jakarta (2006)

Pada akhirnya para pakar kesehatan jiwa membentuk Jejaring Kesehatan (Jejak) Jiwa yang mencoba “melihat ke depan” nasib bangsa melalui terapi dan analisis dengan mengikutsertakan semua pihak untuk bekerjasama. Dengan merangkum setiap agenda KNKJ, mengubah cara berpikir dan bertindak secara sistemik berbagai kalangan yang peduli terhadap kesehatan jiwa masyarakat melalui komunikasi aktif yang selalu dikembangkan. Segenap pemikiran ini harus menjadi “gerakan” yang secara nyata memberikan sumbangan bagi pembangunan bangsa ini.

Jejak Jiwa memiliki konsep 4 kuadran intervensi Keswa (Kesehatan Jiwa). Kuadran pertama adalah pengembangan pengetahuan kritis tentang Keswa. Wilayah intervensi kuadran dua melakukan pemetaan dan penilaian berkala dari kondisi-kondisi yang berpengaruh pada persoalan Keswa. Tindakan kolaboratif strategis diletakkan pada kuadran ketiga. Wilayah intervensi keempat merupakan pengembangan sistem dukungan publik untuk penanganan persoalan Keswa.

Semua ini tampaknya hanya sekadar teori yang masih jauh dari harapan, jika hanya mengandalkan para dokter dan ahli jiwa. Di Indonesia hanya ada sekitar 500 orang psikiater, separuhnya berada di Jakarta. Bayangkanlah, ketika terjadi tsunami di Banda Aceh, trauma yang terjadi di kalangan penduduk hanya ditrangani oleh tiga psikiater, sebelum datang bantuan dari pelbagai tempat.

Kesadaran terhadap perlunya tenaga ahli dan dokter kesehatan jiwa boleh jadi datang terlambat. Namun diyakinkan bahwa upaya untuk mengatasi semua kegelisahan dan kecemasan ini harus dilakukan bersama-sama oleh pelbagai disiplin ilmu secaera simultan dan integrasi. Oleh karena itu, pada hari Jumat 26 Oktober 2007, diselenggarakan seminar dan diskusi kelompok yang bertujuan menampung masukan serta bagaimana memecahkan persoalan-persoalan kesehatan jiwa yang mengemuka.

Kerangka program yang hendak dilaksanakan meliputi riset, pengajaran, lokakarya, dan publikasi kepada masyarakat luas. Time-frame digelar sejak 2007 sampai dengan 2009. “Jejak” menyadari benar akan tingginya keragaman representasi sosial di kepulauan (sebagai kondisi riil di Indonesia) telah terbukti rerntan terhadap konflik sosial. Sumber-sumber pemicu lainnya adalah meluasnya wilayah distress yang berkaitan dengan ekonomi, situasi lokal, serta ruang hidup tanpa jaminan keselamatan dan perlindungan bagi para pengungsi ekonomik. Banyak hal diungkap secara ringkas sebelum Jejak membuka acara resepsi yang mengundang banyak kalangan akademisi dan profesi.

Sungguh tepat mengambil langkah sosialisasi dengan meluncurkan Jurnal Ataraxis yang menghimpun tulisan tentang pelbagai kasus kesehatan jiwa di Indonesia dari babarapa sudut pandang. Pada edisi perdana itu sedikitnya ada lima penulis, antara lain Emmanuel Subangun, Nova Riyanti Yusuf, Risa Permanadeli, Limas Sutanto, dan Sri Palupi. Selain itu ditampilkan pula riset yang dilakukan oleh Byron J. Good, Jesse Grayman, dan Matthew Lakoma. Jurnal setebal 60 halaman dengan artikel yang mudah dimengerti, diharapkan mempercepat pemahaman masyarakat. 

Sebagai pemandu acara, Ratih Sanggarwati, membawa satu per satu sesi berlangsung dengan makan malam sebagai pembuka. Musik keroncong “penyejuk jiwa” melantunkan beberapa lagu. Sembilan tokoh kesehatan jiwa dari pelbagai negara hadir memenuhi undangan dan satu di antaranya adalah seorang editor buku “Ketika Tidak Ada Psikiater” yang malam itu dibedah oleh dua orang book reviewer.

Buku karya Vikram Patel, warga India, menurut kedua pembedah cukup lengkap memuat seluruh aspek kesehatan jiwa bahkan dari sepanjang usia. Ketebalan bukunya saja yang membuat kepraktisannya berkurang. Pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ashra Vina dan Dr. Andrew Mohamraj sebagai penyunting, enam bulan setelah peristiwa tsunami. Tujuannya untuk memberikan pengetahuan yang memadai bagi para sukarelawan yang membantu rekondisi di lokasi.

Kini “Where There is No Psychiatrist” dibagikan untuk kalangan terbatas demi usaha yang telah dijelaskan di depan, sebagai akselerasi penyadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan jiwa. “Coba bayangkan, apakah masuk di akal jika mahasiswa merusak kampus mereka sendiri, tempat mereka belajar, hanya karena persoalan sepele. Contohnya banyak, salah satunya di depan RSCM, antara mahasiswa UKI dan mahasiswa YAI sering kali terlibat tawuran.” Demikian Dr. Pandu Setiawan menyampaikan kenyataan di depan mata. Tentu, di balik perilaku dan kejadian itu, ada hal yang tak beres dengan kesehatan mental mereka, tetapi tak pernah diakui atau disadari.

Jurnal Ataraxis yang akan terbit secara berkala tiap 3 atau 4 bulan itu merupakan kerjasama antara The Indonesian National Mental Health Network (Jejak Jiwa) dengan Metaforma Institute.

(Kurnia Effendi)