Sepanjang Braga
Ada yang tak kunjung hilang dari ingatan. Tentang jalan itu. Jalan yang membujur sepanjang 700 meter, mempertemukan Jalan Asia Afrika di satu ujung dan Jl. Wastukancana di ujung yang lain. Dua kali tubuh langsingnya terpotong, oleh Jalan Suniaraja dan Jalan Naripan. Tetapi ia tetap tak koyak, justru terhenyak dalam benak. Sebenarnya, kini, Jalan Braga telah menjadi jalan biasa saja. Perubahan yang terjadi setelah bertahun-tahun digempur oleh kebimbangan antara bertahan dengan suasana eksotis dan berkembang menjadi wilayah pertokoan kontemporer, akhirnya membuatnya tampil dengan rasa murung. Tubuhnya tua, wajahnya dipaksa mengenakan bedak agar sedikit menor. Saya, diam-diam menangkapnya dengan perasaan getir, cinta yang terlalu pahit.
Saya tentu akan mengenangnya sebagai tem
Saat itu saya menangkap Jalan Braga dari sisi paling menggairahkan: keindahan dalam gerimis. Malam-malam panjang dengan sejumlah puisi. Trotoar tem
Di salah satu emperan toko, setelah berderet penjual cindera mata handycraft, toko buku, dan toko permata bernama Concurrent, ada seorang seniman yang tak mungkin asing bagi telinga khalayak Bandung. Braga Stone namanya. Ia seorang pemain kecapi sengan sepasang mata buta. Memetik dawai dengan piawai menyuguhkan berpuluh lagu yang sedang populer, termasuk karya-karya abadi semacam Dust in The Wind (Kansas) atau Lately (Stevie Wonder). Sekelompok anak muda biasa menanggap sang pengamen itu dengan pesan beberapa judul lagu. Seperti biasa, kelincahan jemari Braga Stone menari-nari di rentang kawat mendentingkan nada-nada menghibur mereka.
Tetapi hal-hal unik itu sekarang telah tiada. Majestik pernah menjadi bioskop dan kini berubah menjadi gedung pertemuan untuk perhelatan semacam perkawinan dan sejenisnya. Hotel Braga rasanya juga sudah punah, tentu tak ada lagi tukang nasi-mi-goreng (dicampur) dengan pikulan yang biasa berhenti lama di trotoarnya. Mengipas bara arang dari tungku yang membuat wajan di atasnya mengepul asap.
Rasanya banyak yang sudah tahu, bahwa Jalan Braga di zaman Belanda adalah sebuah tem
Di ujung tusuk sate, menem
Bandung, seperti juga kota-kota lain di tanah Hindia yang dipilih oleh pemerintah Belanda menjadi tem
Begitu sulitnya kondisi gedung-gedung itu bertahan, baik dari serangan cuaca maupun kebijakan pemerintah. Walaupun dilindungi oleh Yayasan Heritage yang di dalamnya berhimpun para sejarawan, arsitek, dan pekerja seni, semua itu tergantung pada anggaran besar yang harus membiayai perawatannya. Kini Bandung, yang selalu sukses dengan ”penemuan-penemuan”-nya, menjadi salah satu kota terpadat di dunia pada hari Sabtu dan Minggu. Factory outlet dan beratus tem
”Saya tak bisa ke mana-mana bila tiba akhir pekan,” begitulah sebagian warga Bandung mengeluh. Di pengujung minggu, Bandung memang jadi surga bagi orang-orang Jakarta. Mereka rela mengalami macet berat di segala ruas jalan. Sebelum dibangun jalan tol Cipularang, kepadatan jalan lintasan Puncak sebagai alternatif satu-satunya yang terpendek menuju Bandung, selalu menyulap diri menjadi taman parkir terpanjang.
Bandung adalah sebuah kampung besar, demikian penda
Tetapi saya akan selalu terkenang dengan Jalan Braga. Jalan yang tak melampaui seribu meter itu selalu memberi inspirasi. Warna senja, rinai gerimis, dan bayangan kekasih. Dan saya mewajibkan diri untuk singgah barang sebentar setiap kali ke Bandung. Setelah pernah tujuh setengah tahun, semasa kuliah, saya menetap di Bandung, merasa kota itu menjadi tanah kelahiran kedua. Saya cinta padamu, sepanjang Braga, saya cinta padamu. ***