Friday, June 27, 2008

Pesta Rakyat Tahunan

Pekan Raya Jakarta

Ulang tahun Jakarta yang jatuh pada 22 Juni, selalu dimeriahkan dengan Pekan Raya Jakarta (PRJ), berlangsung selama satu bulan penuh. Nama lain event tersebut adalah “Jakarta Fair”, yang kini telah terelenggara ke-41 kalinya. Sebuah pasar malam yang menjadi ajang pesta rakyat, jadwalnya ditunggu-tunggu oleh masyarakat banyak. Sejak lima belas tahun belakangan ini, tidak lagi diselenggarakan di kawasan Tugu Monas, melainkan di bilangan Kemayoran. Sengaja, setelah Kemayoran tak lagi menjadi bandar udara, lokasi yang luas itu dijadikan sebagai pusat perdagangan dengan nama Jakarta International Expo (JIEX) dan Trade Centre. Di atas tanah terbuka yang semula jauh dari jangkauan hunian, kecuali beberapa menara apartemen itu, dibangun beberapa gedung dan hall yang berfungsi sebagai arena pameran dan pertunjukan musik.

Tahun ini, Pekan Raya Jakarta dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Kamis petang, 12 Juni 2008. Presiden menyatakan bahwa kehadiran PRJ diharapkan dapat menghibur rakyat Jakarta dan sekitarnya, sebagai pusat tontonan rakyat dan belanja, dalam rangka memperingati ulang tahun Jakarta yang ke-481. Pemerintah juga menyediakan kemudahan bagi masyarakat dari berbagai penjuru DKI dan wilayah di sekitarnya untuk mengunjungi PRJ dengan jaringan transportasi yang langsung menuju pusat lokasi pasar malam.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, layaknya pasar malam, PRJ menyajikan aneka produk yang dijual dengan harga khusus. Mulai dari makanan dan minuman, busana, barang-barang kerajinan, home appliances, alat-alat elektronik, sampai dengan otomotif (motor dan mobil). Masing-masing menyajikan produknya dalam stand dan boot yang dibuat semenarik mungkin, banyak di antaranya menggunakan daya pikat artis untuk mengundang hasrat pembeli. Di antara kegiatan utama menjual aneka barang, gerai-gerai itu menggelar pertunjukan, dengan para penyanyi dan penari yang atraktif.

Tak hanya itu, untuk melengkapi kesemarakan pesta rakyat, beberapa peserta mengadakan lomba-lomba ringan yang dapat diikuti oleh setiap pengunjung. Antara lain tebak angka, lomba foto digital dengan obyek suasana Jakarta Fair (jurinya tak tanggung-tanggung, Darwis Triyadi), adu panjang meneriakkan yell-yell iklan produk, teka-teki dengan door prize menarik, dance competition, dll.

Pada lembaran tiket masuk, para pengusaha tidak mau kehilangan kesempatan untuk beriklan sekaligus membagi hadiah. Banyak kupon-kupon yang dapat dipotong untuk ditukar dengan paket minuman maupun diskon paket makanan. Semua itu sebagai pemancing agar pengunjung memasuki kawasan food court dan mengajak keluarganya menikmati menu-menu yang disajikan. Tentu saja dengan harga yang lebih mahal dibandingka bila kita membelinya secara normal di luar kawasan PRJ.

Pihak penyelenggara menyediakan lahan yang sangat luas di kedua sisi pasar malam untuk parkir ribuan mobil. Relatif cukup aman dengan para petugas yang tersebar dan memungut biaya sukarela di luar tarif resmi yang ditetapkan Rp. 10.000,- /mobil untuk sekali parkir tanpa batasan waktu. Tampaknya dua tahun terakhir ini, pedagang asongan hanya beroperasi di luar pagar PRJ, sehingga terasa lebih tertib. Bagi pengunjung yang ingin membawa oleh-oleh makanan khas tradisional Betawi, seperti kerak telor, bisa mendapatkannya di pinggir jalan di luar kawasan.

Menurut para pedagang itu, bila mereka berjualan di dalam lokasi PRJ, harus membayar lebih dari tiga juta rupiah untuk satu bulan. Sedangkan bila berjualan di luar kawasan, “hanya” dipungut biaya sekitar Rp. 250 ribu dalam satu bulan. Seorang penjual kerak telor mengaku hanya memanfaatkan event PRJ saja, selebihnya dia menjalani “profesi” yang lain sebagai penjahit. Segelintir pedagang kerak telor lain ada yang beruntung punya tempat di pusat-pusat perbelanjaan modern seperti Carrefour dan Giant (supermarket Hero).

Apakah mereka sadar bergiat di situ dalam rangka ulang tahun Jakarta? Tidak. Mereka semata mencari keuntungan dagang dalam keramaian dengan harapan mendapatkan penghasilan lebih dibanding hari-hari biasa. Selanjutnya mereka akan mencari event lain, misalnya acara-acara pameran yang berkesinambungan di JHCC, atau pameran bunga di kawasan ex Lapangan Banteng.

Dalam event Jakarta Fair, tidak semua produsen otomotif membuka stand. Mobil-mobil kelas mewah (seperti Mercy, BMW, Audy, Volvo, atau Renault) tentu merasa bukan di situ tempat untuk menggelar image. PRJ lebih menitikberatkan pada kegiatan dagang untuk segmentasi kelas menengah. Suzuki dan Mitsubishi, adalah ATPM yang secara rutin menggelar penjualan dengan program khusus di PRJ. Kesempatan itu juga dimanfaatkan oleh para konsumen dengan keuntungan hadiah dan syarat kredit yang lebih ringan, misalnya down payment rendah. Dalam liputan Parle, pada malam ketujuh, Suzuki mobil telah mendapatkan purchasing order 130 unit mobil aneka tipe (mulai dari APV sampai dengan Neo Baleno). Untuk jenis motor, seperti Yamaha dan Honda, sudah menyentuh angka 500-an.

Tidaklah lengkap apabila suasana ulang tahun Jakarta tidak disertai panggung musik dan aneka wahana bermain, seperti komidi putar dalam berbagai jenis. Jutaan watt lampu menjadi bagian utama yang memeriahkan setiap stand dan panggung, juga persaingan suara sound system yang digunakan untukmemanggilpengunjung melalui MC yang aktif bicara. Beberapa produsen mesin (pompa, alat penjernih air, pembuat donat, dll) melakukan demo-demo simulasi. Perusahaan jamu, minuman, makanan kering, dan mi instan memberi kesempatan kepada para pengunjung untuk mencicipi langsung hasil ramuannya. Gratis.

Dalam deretan hall ruang pamer yang sangat benderang, pemerintah daerah berpartisipasi membuka gerai kerajinan dari para pengrajin tradisional masing-masing. Kain batik, songket, tenun sasirangan, batu-batu cincin, biji mutiara, perangkat mebel ukiran, sampai dengan lukisan. Bagi utusan daerah, kesempatan satu bulan menjajakan hasil karya khas itu menjadi kebanggaan. Pengunjung yang berpikir strategis, biasanya akan memanfaatkan hari terakhir untuk memborong, karena umumnya para pengisi stand ngin pulang tanpa bawaan yang merepotkan. Masalahnya, masihkah tersedia jenis-jenis yang terbaik pada pekan terakhir itu?

Melengkapi suasana hiruk-pikuk festival pasar malam, ada sekitar limarangkaian kereta” yang secara terus-menerus berkeliling lokasi, membawa pengunjung dari sisi satu ke ujung lokasi yang lain. Bertebaran pula badut-badut dengan aneka pakaian binatang lucu, yang kerap diajak foto bersama anak-anak.

Berapa omzet harian yang diterima seluruh peserta Pekan Raya Jakarta? Tentunya milyaran juta rupiah. Siapa yang hendak menanam investasi jangka pendek (sewa tempat dan membangun stand senilai sampai ratusan juta rupiah) tanpa mengharapkan keuntungan? Sebagaimana layaknya ajang pesta rakyat, itulah saatnya pengunjung membelanjakan uangnya dengan suka-cita. Pekan Raya Jakarta yang akan berakhir 13 Juli mendatang menjadi alternatif wisata keluarga, sembari memberikan pengalaman bagi anak-anak menonton berbagai atraksi. Menjadi tempat pacaran yang relatif murah, dengan harga tiket Rp. 15.000 dan Rp 20.000 (untuk Jumat, Sabtu, dan Minggu), dapat menikmati berbagai sajian tontonan.

Dengan menyaksikan suasana Pekan Raya Jakarta, seolah tak ada pengaruh yang cukup signifikan atas kenaikan harga BBM. Penjualan mobil dan motor tetap menunjukkan kegairahan. Gadis-gadis yang bertugas sebagai Sales Promotion Girl (SPG) baik untuk produk otomotif, elektronik, maupun rokok, memperindah pesta tahunan itu.

Dirgahayu Jakarta!

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Wednesday, June 18, 2008

Imelda Akmal dan Buku Interior

Sosok

Menyebut nama Imelda Akmal, terbayang di benak kita, bahkan juga pada orang yang gandrung terhadap penataan rumah tinggal: sosok seorang penulis bidang arsitektur dan interior. Setelah benar-benar bertemu dengan orangnya: ternyata ia seorang penulis yang cantik, secantik buku-buku yang diterbitkannya.

Demikianlah! Pada tanggal 21 April 2008 yang lalu, saat masyarakat Indonesia sedang memperingati kelahiran R.A. Kartini dengan (kebanyakan) mengenakan kebaya; Imelda Akmal merayakannya dengan cara dan gaya lain. Ia meluncurkan satu paket buku arsitektur-interior bertajuk New Indonesian Design Inspirations. Diselenggarakan di kawasan superblok Gandaria Jakarta Selatan, mengundang Mrs. Elaine Flamer, Ibu Duta Besar Australia untuk Indonesia memberikan kata sambutan.

Untuk kesekian kalinya Gramedia Pustaka Utama menyalurkan minat dan bakat Imelda yang cemerlang dalam menulis buku arsitektur-interior bagi orang awam di Indonesia.Di Indonesia, barangkali saya satu-satunya arsitek dan desainer interior yang tidak merancang bangunan atau mengerjakan proyek interior, melainkan menulis tentang hasil rancangan interior sebagai buku.”

Sebagai arsitek lulusan Universitas Trisakti, pekerjaan yang mula-mula dan sampai kini diterjuni justru bidang penulisan. Dimulai kariernya melalui majalah Femina. Ia mengasuh ruang interior majalah itu sejak 1993 sampai 1996. Pada saat itulah ia menyadari bahwa Indonesia perlu buku-buku tentang interior lokal, seiring meningkatnya minat pembaca untuk memiliki tata ruang rumah yang bagus. Buku-buku yang ada saat itu masih sulit dipahami dan tidak representatif. Ia pun menjajagi dengan buku Seri Menata Rumah.

Tidak tanggung-tanggung, di saat Indonesia dilanda krisis, Imelda melanjutkan studi bidang interior di Melbourne Istitute of Technology di Australia sekaligus mengambil program MBA di Swinburne University. Suaminya, Sony Sanjaya, memperdalam fotografi di institut yang sama. Keduanya, memang, tak lagi dapat dipisahkan karena menjadisoulmatedalam profesi sebagai fotografer interior buku-buku Imelda Akmal. Sejak 2004, Imelda membangun Imelda Akmal Architecture Writer Studio didukung tim terdiri dari 6 orang.

Ini hari Kartini, jadi kami ingin mengangkat karya perempuan. Saya bermaksud memperkenalkan profesi desainer interior dan memberi pengetahuan kepada masyarakat awam. Desain interior sangat luas dan terbagi menjadi banyak spesialisasi. Lighting, akustik, pemilihan bahan... Dulu kita hanya mengenalnya sebagai dekorasi, sekadar memilih gorden...” demikian ungkap Imelda sebelum talkshow dimulai.

Pada kesempatan itu, ia mengajak Anita Boentarman, Joke Roos, Avianti Armand (ketiganya arsitek), dan Adelinah Chandra (alumnus Desain Interior FSRD-ITB), untuk bicara di panggung. Petty Siti Fatimah dari majalah Femina bertindak sebagai moderator.

Dalam balutan setelan white on white, Imelda seperti dewi pengetahuan (tentu di bidang arsitektur-interior) yang menawan hati.

(Kurnia Effendi)

 

Monday, June 16, 2008

Sikap Ksatria Calon Pemimpin

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang bersiap-siap untuk kembali menyelenggarakan perhelatan besar. Sebagai negara yang berusaha menjalankan asas demokrasi, Indonesia telah mengalami pembelajaran politik dari tahun ke tahun. Melalui berbagai perubahan undang-undang tentang pemilu dan undang-undang tentang partai politik, lahirlah calon-calon pemimpin dengan aneka karakter.

Tahun 2009 sudah di ambang pintu, meskipun dalam hitungan bulan masih satu semester lagi, namun kehangatan situasi politik sudah terasa. Bagi Indonesia, suksesi atau pemilihan umum adalah kegiatan rutin  5 tahunan (kecuali ada peristiwa khusus yang membuat agenda berubah, seperti yang terjadi tahun 1966 dan 1998). Antisipasi yang dilakukan oleh lembaga komisi seyogianya berpijak dari pengalaman sebelumnya.

Fairness adalah salah satu syarat yang dijunjung tinggi dalam pemilihan umum legislatif. Pendidikan untuk mencapai tata-etika politik yang disusun oleh masing-masing partai politik harus sehat sejak awal. Ambisi untuk ikut mengendalikan arah perjalanan negara harus dibarengi dengan niat mengemban aspirasi rakyat seluas-luasnya. Dalam hal ini, KPU berfungsi menjadi juru-ramu aturan main, penyelenggara pemilihan umum legislatif dengan menjaga sekaligus menjamin kelangsungan demokrasi. Dulu dikenal dengan istilah LUBER: langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Kapan partai politik boleh mulai kampanye, menawarkan program, menggelar janji, membujuk rakyat sebagai pendukung? Kapan partai politik harus menyiapkan kader-kadernya untuk mewakili suara harapan masyarakatnya? Kapan partai politik menyusun jaringan hingga ke daerah kemudian membuat master plan berupa visi dan misi? Kapan partai politik menggodok kriteria calon yang akan diunggulkan dalam kompetisi merebut kursi pemerintahan tertinggi? Rasanya, sebelum KPU secara resmi meluncurkan jadwal dan aturan main, peta percaturan politik sudah gerah. Secara alamiah, didukung oleh kepentingan-kepentingan yang tak lepas dari hasrat kelompok elit politik, semua telah bergerak lebih dini.

Lahirnya partai-partai baru di satu sisi mencoba mengisi sempalan aspirasi yang tak terwadahi. Di sisi lain dimanfaatkan menjadi kendaraan bagi pejabat tinggi masa lalu yang masih optimis berkarier di kancah politik. Tokoh-tokoh itu, hampir “tidak tidur” dengan terus berjaga-jaga baik sebagai oposan yang senantiasa mengontrol jalannya pemerintahan atau sebagai pembidik yang menanti kesalahan penyelenggaraan negara. Suhu tinggi yang kini makin dirasakan sampai pada kelompok-kelompok kecil masyarakat akan menjadi pihak yang kritis terhadap aturan main pemilihan umum. KPU patut waspada dan betul-betul menjaga kinerja agar setiap prosedur yang ditetapkan merupakan produk yang tidak bercelah menjadi potensi masalah. Sejumlah problem yang timbul dalam pilkada harus dijadikan cermin.

Lepas dari kesiapan KPU dan berbenahnya partai-partai politik melalui konsolidasi, ada yang perlu diamati dari sikap mental para pemimpin kita. Mungkin ada baiknya kita belajar dari negara yang sudah jauh lebih demokratis dan menjunjung tinggi sportivitas dalam kompetisi tingkat tinggi. Amerika Serikat adalah negara adidaya yang proses pemilihan umumnya dipantau oleh seluruh dunia. Kita tahu persis bagaimana seru dan panasnya persaingan antara Hillary Clinton dan Barack Obama dalam memperebutkan kursi senator dari Partai Demokrat. Friksi yang tajam di antara keduanya ibarat sepasang musuh yang ingin saling menghancurkan. Kebetulan, keduanya mengusung sejarah baru: calon presiden wanita pertama dan calon presiden kulit hitam pertama, untuk Amerika Serikat.

Berbagai isu dilontarkan untuk menarik simpati rakyat, dari setiap negara bagian. Lantas, ketika akhirnya Barack Obama memenangkan suara sebagai senator yang mewakili Partai Demokrat, bagaimana bunyi pidato Hillary Clinton?

“I wanted you to be one of the first to know: on Saturday, I will hold an event in Washington D.C. to thank everyone who has supported my campaign. Over the course of the last 16 months, I have been privileged and touched to witness the incredible dedication and sacrifice of so many people working for our campaign. Every minute you put into helping us win, every dollar you gave to keep up the fight meant more to me than I can ever possibly tell you.

On Saturday, I will extend my congratulations to Senator Obama and my support for his candidacy. This has been a long and hard-fought campaign, but as I have always said, my differences with Senator Obama are small compared to the differences we have with Senator McCain and the Republicans.

I have said throughout the campaign that I would strongly support Senator Obama if he were the Democratic Party's nominee, and I intend to deliver on that promise.”

            Betapapun kerasnya persaingan mereka berdua sebelum ditentukan pemenangnya, ketika akhirnya Hillary terbukti kalah, ia tidak turun panggung dengan membawa dendam kesumat. Ia menerima dengan ksatria. Ia “melepas jubah seteru” dan kini memosisikan diri menjadi pendukung atas nama partai yang sama. Situasi ini tentu sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia.

            Kalimat yang pernah diucapkan oleh Taufik Kiemas terhadap Susilo Bambang Yudhoyono menjelang pemilu periode lalu telah menarik simpati rakyat dan berujung dengan kemenangan SBY menjadi presiden menggantikan Megawati Soekarnoputri. Lantas apa yang kini dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan saat ini? Kembali ingin merebut kekuasaan itu.

            Apa pula yang terjadi dalam tubuh Golkar ketika Jusuf Kalla menjabat sebagai Wakil Presiden RI? Seolah ada api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan menyala kembali, bukan untuk dukungan total, melainkan untuk sebuah perebutan posisi. Umumnya, sebuah partai politik atau kontestan yang kalah, lupa berterima kasih kepada pendukungnya yang juga kecewa. Mari kita simak bagian lain pidato Hillary yang elegan:  

“I made you—and everyone who supported me—a promise: to stand up for our shared values and to never back down. I'm going to keep that promise today, tomorrow, and for the rest of my life. I will be speaking on Saturday about how together we can rally the party behind Senator Obama. The stakes are too high and the task before us too important to do otherwise.”

            Ia dan pendukungnya yang sudah kalah justru menyusun kekuatan untuk bersama-sama memenangkan Barack Obama. Bagaimana sikap Abdul Ghafur ketika dikalahkan oleh pasangan Thayb Abdul Armayn dan Abdul Ghani Kasuba di Maluku Utara? Ada kesan pihaknyamenyalahkanpemerintah ketika ia meredakan gejolak pendukungnya. Artinya, dalam hal ini KPU harus siap menghadapi hal-hal serupa yang lebih besar.

Akhirnya, mari kita perhatikan penutup pidato Hillary, yang tidak mengandung bunga-bunga, namun sangat komunikatif sebagai bentuk ketulusan:

“I can never possibly express my gratitude, so let me say simply, thank you.”

            Semoga, para calon pemimpin Indonesia akan bersikap ksatria, terutama yang kalah dalam panggung kompetisi pemilihan presiden. Diharapkan pula, KPU akan memberikan kontribusi atas terbentuknya demokrasi yang bertanggung jawab sejak awal.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Tuesday, June 10, 2008

Janji Artifisial Menuju Popularitas

Popularitas hampir menjadi kebutuhan setiap individu, tertutama bagi orang-orang yang mendudukkan jalan hidupnya pada karier, baik pekerjaan birokrasi secara struktural maupun profesional. Unjuk kerja demi mencapai prestasi atau reputasi, terkadang ditempuh dengan jalan pintas, aji mumpung, atau mengedepankan sikap oportunistis.  Pada jalur politik, aksi ini cukup kentara. Setiap kali lahir kebijakan pemerintah yang dianggap membebani rakyat (paling aktual adalah kenaikan harga BBM), akan segera disambar dengan komentar negasi yang mengatasnamakan rakyat. Intinya, setiap hal non-populer yang dideklarasikan di depan publik akan dianggap sebagai kontra-produksi dan segera dilibas oleh lawan politik.

Sesungguhnya politik dalam arti luas telah menjadi bagian hidup manusia sehari-hari. Dalam porsi yang lebih kecil, praktik politik sangat biasa terjadi dalam organisasi kantor/perusahaan. Di sana akan berlangsung proses sikut-menyikut antar-karyawan. Demi mencapai posisi jabatan tertentu, kerap dilakukan jalur yang tak halal.

Dalam panggung politik tidak ada pertemanan yang abadi, karena kepentinganlah yang lebih kekal. Sejarah membuktikan itu. Tumbangnya Orde Baru, selain diperjuangkan oleh kalangan mahasiswa yang melakukan demonstrasi bahu-membahu ke gedung MPR/DPR dan Istana Negara, ada kontribusi internal yang membuat runtuhnya dukungan terhadap Presiden Soeharto (1998). Barangkali kita ingat, Akbar Tanjung termasuk kader Golkar pertama yang melepaskan diri dari dukungan itu. Di sisi lain, Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR RI periode 1995-1999 juga ”memutuskan” agar Jenderal Soeharto mengundurkan diri dari jabatan mandataris MPR. Mungkin peristiwa pidatonya di televisi tak akan terlupa sebagai kesumat bagi Keluarga Cendana. Saat itu, tinggal Jenderal Wiranto yang secara fisik dan moral melindungi klan Soeharto.

Setelah periode Habibie, yang mendapat hibah jabatan presiden dari Pak Harto, mengakhiri kepemimpinannya dengan penolakan MPR terhadap pertanggunjawabannya, wajah politik Indonesia kembali berubah. Tampilnya Abdurrachman Wahid (Gus Dur) menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia seperti menafikan semua persyaratan fisik seorang pemimpin. Di situ ada faktor dukungan Amien Rais yang akhirnya cukup puas menjadi Ketua MPR. Namun belum tuntas Gus Dur mendiami Istana Negara sampai akhir jabatan, terjadi gonjang-ganjing yang melengserkannya dan kembali Amien Rais menjadi salah seorang yang merancang tampilnya Megawati dari Wakil Presiden menjadi Presiden. Itulah panggung politik!

Kabinet Gotong Royong bentukan Megawati mencoba menampung heterogenitas aspirasi partai. Namun menjelang pemilu berikutnya, peta politik teracak kembali. Munculnya ide-ide yang seolah tampak segar telah menggiring perubahan suara di kalangan rakyat kelas bawah. Megawati dianggap tidak memenuhi janjinya, terutama mengenai Aceh. Padahal saat kampanye, Megawati menyebut diri sebagai ”Tjut Nyak” yang akan membela kepentingan rakyat Aceh. Pada saat itu, agaknya pamor seorang militer yang kharismatik kembali dirindukan.

Demikianlah, panggung politik tersibak kembali. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (keduanya menjadi menteri dalam kabinet Gotong Royong) menghimpun simpati banyak orang. Publik bahkan memplesetkan nama mereka secara positif sebagai penawar dahaga: ”Minum Es Beye dan Juice Kalla”. Popularitas mereka terdukung dengan janji tidak akan menaikkan harga BBM sebagai salah satu idaman rakyat. Tentu saja, posisi Megawati terancam. Akhirnya terbukti, SBY-JK berhasil memperoleh dukungan mayoritas, meskipun dicalonkan oleh partai minoritas: Partai Demokrat. Kekuatan Golkar, konstituen Jusuf Kalla menjadi pondasi yang meyakinkan.

Bagaimana dengan suksesi yang akan berlangsung pada 2009 nanti? Suasana hangat itu sudah terasa sejak sekarang. Apakah SBY akan tetap berduet dengan JK? Praduga tentang kebersamaan mereka atau justru menjadi kompetisi pernah diangkat oleh Parle beberapa edisi yang lalu. Kembali kita akan dihadapkan pada situasi yang sulit ditebak. Kembali kepentingan lebih didahulukan ketimbang persahabatan.

Namun, bukan antara mereka berdua saja yang berambisi untuk duduk di puncak pemerintahan. Masih ada sejumlah pesaing yang justru sebagian di antaranya merupakan wajah lama, mantan presiden pada periode lalu. Bagi para politisi, partai politik, dan pejabat yang sekarang masih aktif, persaingan itu terasa wajar saja. Sementara itu, rakyat yang selalu menjadi modal pijakan perjuangan kaum elite itu sudah mulai pesimis dengan masa depan negara dan bangsa ini. Kegagalan para pemimpin itu seharusnya menjadi cermin untuk mengubah sikap dan memberi kesempatan bagi generasi berikutnya menjalankan gagasan-gagasan bernegara yang mungkin lebih baik.

Saat ini kita kembali membaca nama-nama lama seperti: Gus Dur,  Megawati, Wiranto, Akbar Tanjung, dan tentu saja Susilo Bambang Yudhoyono serta Jusuf Kalla. Lalu muncul tokoh yang terlampau percaya diri seperti Sutiyoso, dan figur yang telah berulang kali didorong untuk tampil ke depan, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono X. Kalau masih berkelindan di sekitar nama-nama itu, rasanya rakyat sudah tahu kualitas seperti apa yang akan dihasilkan sebagai pemimpin. Persoalannya, tak ada dukungan secara meyakinkan bagi generasi berikutnya untuk menggantikan mereka.

Menarik, pendapat yang pernah disampaikan oleh Garin Nugroho, bahwa politisi generasi muda yang kini duduk di kursi eksekutif, legislatif, dan judikatif adalah kaum yang kenyang oleh teori selama 32 tahun. Ketika harus mempraktikkan aspirasi mereka di kancah politik, tak ada pengalaman yang memadai, sehingga yang muncul adalah kegagapan tanpa keberanian mengambil keputusan.

Tampaknya, kondisi itulah yang membuat segelintir politikus sekaligus pengusaha segera mengambil kesempatan. Uang mereka cukup untuk propaganda dan membujuk simpati rakyat dengan berbagai cara. Sutiyoso, mantan Gubernur DKI, sepagi mungkin mengibarkan orasi di mana-mana, bahwa dirinya siap mencalonkan diri sebagai pemimpin negeri. Dalam dunia politik, optimisme seperti itu sah-sah saja. Dari tengah Pulau Jawa, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, juga sejak awal mengisyaratkan tak akan melanjutkan sebagai pemimpin provinsi periode berikutnya karena ingin konsentrasi terhadap masalah nasional. Ada apa sesungguhnya di balik sikap kerendah-hatiannya itu? Kini bahkan memancing reaksi dengan mengatakan: ”Kalau belum ada partai yang melamar, berarti tidak dikehendaki rakyat.”

Dari kaum pengusaha berbeda lagi cara beriklannya. Sutrisno Bachir, Ketua Umum Partai Amanat Nasional bergerak menggunakan momentum seabad Kebangkitan Nasional. Secara serentak, hampir semua stasiun televisi menayangkan iklan aktualisasi dirinya dengan jargon: ”Hidup adalah Perbuatan”, yang dipetik dari sajak Chairil Anwar. Dalam iklan lebih dari 30 detik itu, tampil Sutrisno bersama istrinya ingin membela masa depan anak-anak bangsa. Ratusan, bahkan mungkin ribuan banner dengan foto wajahnya menghiasi jalan-jalan di berbagai kota di Indonesia. Tentu tidak sedikit uang yang digulirkan untuk membiayai aksinya itu. Adakah terpikir bahwa akan lebih nyata tindakannya apabila biaya iklan itu dialihkan menjadi biaya pendidikan anak-anak terlantar dan modal kerja para pengangguran? Jadi, ”perbuatan” apa yang sedang dijanjikan Sutrisno Bachir?

Siapa tahu, diam-diam Aburizal Bakrie, sebagai orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia (2008), juga akan menyusun strategi untuk menjadi orang nomor satu. Tinggal mata jernih rakyat dan hatinurani wakil rakyat (yang kini dinilai ambruk moralnya akibat ulah negatif sejumlah oknum), yang akan menilai. Sungguh sulit sekarang mencari figur yang betul-betul membela rakyat dan memimpin dengan keteladanan. Bukan semata dengan iklan!

Tentu saja, popularitas kadang-kadang perlu dibangun dengan cara politis. Seperti halnya yang dilakukan oleh Barack Obama. Pidatonya menyatakan bahwa ia akan membela Israel, sebagai tindakan mencari simpati kaum Yahudi. Meski dengan risiko ada antipati dari kaum  Muslimin dunia. Nah, bagaimana para elite politik Indonesia akan bermain?

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

Monday, June 09, 2008

Menuju Keselamatan Bumi

Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni, telah berlalu. Apakah kita menyadari benar bahwa Bumi ini betul-betul sedang menderita? Atau semua itu sakadar seremoni? Seperti juga ketika kita memperingati Hari Ibu dan Hari Kartini di sekolah yang dikaitkan dengan anjuran kepada perempuan untuk mengenakan kebaya. Spirit permukaan itu tak sampai mengendap ke dalam hati. Masyarakat Indonesia umumnya lebih mengedepankan perilaku fisik, tidak bersumber dari pikiran dan hati nurani, yang membuat seluruh perbuatan hanya tampak oleh publik, namun tak benar-benar mencerminkan integritas.

Menjelang Hari Kemerdekaan, umumnya seluruh penduduk berusaha menghias kampung mereka dengan dekorasi berwarna merah dan putih. Tetapi, tahukah mereka, bahwa di kalangan yang paling dekat dengan kelas bawah masih belum benar-benar merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. Bahkan bangsa kita mulai ”dijajah” kembali oleh budaya Barat yang menyerbu dengan deras.

Mari kita kembali membicarakan tentang lingkungan hidup. Mungkin kita perlu mengenal Gaylord  Anton Nelson (4 Juni 1916-3 Juli 2005), seorang politikus Partai Demokrat Amerika dari Wisconsin, yang mencetuskan Hari Bumi (Earth Day) pada 22 Desember 1970. Nuraninya terpanggil saat melihat (menyadari) betapa kotor dan cemarnya Bumi oleh ulah manusia. Lalu ia mengajak para LSM untuk mencurahkan perhatian pada satu hari untuk memelihara Bumi dari kerusakan. Sesungguhnya, secara jujur, perhatian sehari untuk tanah tempat kita berpijak tidak menghasilkan sesuatu yang optimal, kecuali kesadaran itu dibangun terus-menerus dan dilaksanakan setiap hari.

Dari Hari Bumi menuju ke Hari Lingkungan Hidup, terpaut 2 tahun. Pada tanggal 5 Juni 1972, melalui konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa di Stockholm, seluruh negara anggota dilibatkan dalam upaya memelihara lingkungan yang sehat. Prof. Dr. Emil Salim mewakili Indonesia hadir di sana. Kini, 36 tahun kemudian, peringatan Hari Lingkungan Hidup disosialisasikan secara marak di Indonesia.

Global Warming yang akhir tahun lalu dibicarakan berhari-hari di Bali, adalah salah satu kondisi mengenaskan dari Bumi kita. Pelbagai agenda direkomendasikan untuk menyelamatkan planet yang paling memadai untuk berlangsungnya kehidupan ini. Tak lama sesudahnya, program menanam sejuta pohon dimulai, dipimpin langsung oleh Ibu Presiden RI, Ani Yudhoyono, di Bogor dan berbagai tempat di Indonesia.

Industri otomotif Toyota, yang berkontribusi terhadap pemanasan global berusaha menjadi pionir dengan program Green Day (sejak Juni 2006). Bukan hanya hijau di Bumi, melainkan juga memproklamasikan Toyota Eco untuk dunia dan melakukan gerakan Action for Green untuk lokal Indonesia. Salah satu praktiknya, selain meremajakan pepohonan, juga merancang sebuah mobil yang ramah lingkungan dengan nama Toyota Prius Hybrid, dengan bahan bakar kombinasi antara BBM dan baterai. Di saat berpacu di jalan raya, BBM yang beroperasi, sedangkan ketika berhenti berubah menjadi energi listrik yang tak menghasilkan polusi. Di Indonesia, mobil itu dimiliki oleh Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar. Toyota juga meminjamkan mobil sedan sejenis, 1500 cc, kepada Ratih Sanggarwati selama satu bulan untuk diminta komentarnya.

Kampanye Toyota lebih lanjut adalah Green Dealers dan banyak aksi lain yang merujuk pada lingkungan sehat. Sementara The Body Shop sejak awal mengklaim sebagai produk kecantikan yang against animal testing dan menggunakan paper-bag yang akan hancur sendiri pada waktu tertentu. Banyak perusahaan besar dengan kecenderungan memberikan limbah yang merusak lingkungan berlomba untuk turut menjaga Bumi dari kerusakan. Salah satunya melibatkan artis Bunga Citra Lestari dengan semboyan Reduce, Reuse, Recicle.

Di radio, unjuk kesadaran itu dilakukan dalam banyak cara. Dengan mengajak komunikasi pendengarnya (terutama kaum muda usia sekolah) dalam sharing pendapat, tampak respon mereka sangat positif. Muncullah perubahan perilaku yang berangkat dari hal-hal kecil, misalnya: kebiasaan minum softdrink dengan plastik berubah minum dari botolnya, sehingga tak perlu menyampah. Penggunaan kertas bekas (bagian sebaliknya yang kosong) untuk menulis notulen atau fotokopi internal di kantor-kantor sesungguhnya dilakukan terkait dengan krisis ekonomi sepuluh tahun yang lalu. Sedangkan Rieke Dyah Pitaloka, dalam pengakuannya, mulai rutin mematikan lampu di rumah di saat tak diperlukan. Anjuran untuk mematikan televisi jika tidak sedang ditonton—sementara  banyak keluarga yang terus menyalakan televisi siang dan malam—juga  termasuk upaya menghemat energi.

BBM naik, tentu tidak semata karena harga minyak dunia semakin tinggi secara teknis, biaya produksi, dan politik, tetapi karena kenaikan itu salah satunya berawal dari langkanya sumber alam. Bayangkan jika bahan bakar yang diolah dari tetumbuhan juga akan membuat lahan hutan lindung berubah fungsi. Apalagi jika suatu saat terjadi persaingan antara kebutuhan air bagi manusia dan bahan bakar jenis hydro yang mengandalkan sumber air...

Kini banyak ditemui garis-garis putus marka jalan warna kuning menghias tepi jalan komplek kampus UI Depok dan kawasan wisata Ancol. Itu adalah pembatas untuk pengguna sepeda. Agaknya budaya hemat energi akan dimulai dari lingkungan intelektual, dengan menyediakan sepeda di ”terminal awal” bagi para mahasiswa. Mereka akan mengendarai sepeda yang ditaruh di ”terminal tujuan”, yakni gedung fakultas tempatnya kuliah. Sepeda itu akan kembali ke ”terminal awal” oleh mahasiswa yang usai kuliah. Begitu seterusnya.

Sangat mengharukan ketika ada kebiasaan baru di beberapa komplek perumahan, para pemungut sampahnya menggunakan sepatu roda. Ada pula kaum muda yang secara sadar berusaha tidak konsumtif, dengan masih mengenakan tas, sepatu, jaket yang mereka beli beberapa tahun lalu. Unilever juga sedang gencar membagi hadiah tas yang dibuat dengan bahan daur ulang bagi pemenang peserta kuis radio. Dan di kantor Indomobil, sedang dilakukan on-off air conditioning pada waktu istirahat.

Memang berat untuk mengkompromikan antara kebutuhan para pengusaha dalam memasarkan produknya dan pelanggan yang harus berhemat bukan saja terkait ekonomi tetapi lebih kepada masalah lingkungan. Dikhawatirkan, tak sepenuhnya menjalankan dengan hati, sehingga perilaku seperti itu semacam fashion, propaganda yang juga akhirnya hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Ingat kembali pada nasihat Aa Gym beberapa tahun lalu: marilah kita mulai dari diri sendiri, dari hal-hal kecil, saat ini juga. Contoh sederhana yang mudah diterapkan adalah mandi dengan shower akan lebih menghemat air ketimbang menggunakan gayung.

Go green! Save our Earth! Start right now!

(Kurnia Effendi)

 

 

Friday, June 06, 2008

Lisa Karlina, Duta Wisata Jawa Tengah

Jika di Jakarta adaAbang dan None”, di Surabaya adaRaka dan Raki”, di Jawa Barat adaBujang dan Mojang”, bagaimana dengan Jawa Tengah. Sederhana saja: “Mas dan Mbak”! Kompetisi itulah yang membawa Lisa Karlina, kelahiran 8 Maret 1981, dinobatkan sebagai seorang Mbak Jawa Tengah tahun 2004.

Wajahnya yang bulat bak rembulan dihiasi lesung pipi yang menambah kesan keramahannya. Ia memang sudah ramah dari sono-nya. Ditambah lagi tugasnya selaku pemandu wisata yang dijiwainya, tentu sangat selaras. Ditemui di halaman masjid Menara Kudus, ia menceritakan perjalanan kariernya.

Bagaimana pengalaman proses menjadi Mbak Jawa Tengah?”

Waktu itu saya mewakili Kabupaten Kudus dengan melewati kompetisi di daerah mengalahkan 50 peserta.” Lisa mulai kisahnya dengan senyum yang selalu tersungging. Jumlah peserta 66 orang atau 33 pasang dari seluruh Jawa Tengah. Hanya Wonogiri dan Kebumen yang absen, tidak mengirimkan wakilnya. Selama masa karantina dan kompetisi, banyak pelatihan yang kami jalani. Ada ngadi saliro (kecantikan), ngadi busono (fashion), kepribadian, pengetahuan umum, dan olah raga.”

“Di mana semua itu dijalani?”

”Pembekalan di Semarang, karantina di Solo. Dan karena selanjutnya diharapkan akan menjadi duta wisata, kami diperkenalkan dengan banyak karya budaya khas Jawa Tengah. Misalnya batik, karawitan, tarian Jawa, kerajinan daerah, dan kami diajak masuk ke dalam Keraton Solo.”

Lisa akhirnya berhasil meraih posisi puncak dan dinobatkan sebagai Mbak Jawa Tengah. Waktu itu dia masih kuliah di FKIP Universitas Muria Kudus, Jurusan Bahasa Inggris. Memang serba cocok. Karena setelah lulus dia dilamar oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kudus. Kembali menjadi putri. Sela-sela waktunya dipergunakan untuk mengajar privat bahasa Inggris.

”Apa saja hadiahnya sebagai Mbak Jawa Tengah?”

”Uang tunai 3,5 juta. Trophy tetap dan bergilir. Beasiswa. Voucher menginap di Hotel Quality. Dan dari para sponsor.”

Nilai uang tunainya memang tidak seberapa, tetapi pengalaman dan persahabatannya dengan peserta daerah yang lain menjadikan hatinya semakin kaya. Di bawah matahari terik, wajahnya semakin cemerlang. Ia sedang menanti rombongan para sastrawan seluruh Indonesia yang hendak mengunjungi Menara Kudus.

”Sudah menikah?” Ini merupakan pertanyaan penting. Jawabnya?

”Sudah.”

Nah, bagi para pria lajang, mohon jangan patah hati! Lisa yang cantik dan ramah ini ini telah menjadi istri teman satu kampusnya, Arif Puryanto, yang kini bekerja di Djarum Kudus. Bahkan telah dikaruniai seorang putra berusia satu tahun, yang diberi nama Raka Bintang Sandika. Aih-aih!

(Kurnia Effendi)