Tuesday, May 29, 2007

Eksotisme Purnama di Bukit Langit

Dari Peluncuran Antologi Puisi Tiongkok Klasik:

Pesona puisi klasik dari para penyair Tiongkok abad kedelapan memang luar biasa. Ini diakui oleh dua sastrawan senior, Sapardi Djoko Damono dan Iwan Fridolin. Mereka menyampaikan pernyataan itu dalam peluncuran dan bedah buku antologi puisi Tiongkok klasik, Purnama di Bukit Langit di Bentara Budaya, Selasa 15 Mei 2007 malam. Penerjemah dan penyusunnya, Zhou Fuyuan, mengaku telah bekerja selama lima tahun untuk menghimpun 560 puisi dalam buku yang memiliki 368 halaman itu. Gramedia Pustaka Utama menerbitkannya dalam dua bahasa (dilengkapi huruf China), dengan tampilan dan kertas yang mewah.

Ada dua orang pemain musik tradisional China, masing-masing memegang alat semacam kecapi dan gitar yang mengiringi pembacaan puisi oleh Rieke Diah Pitaloka. Acara yang terasa eksotik itu dihadiri oleh para peminat sastra Tiongkok, begitu khidmat mengikuti diskusi yang walaupun dibawakan dengan kalem namun cukup mendalam.

Pujian terhadap Zhou Fuyuan yang dilontarkan oleh Iwan Fridolin mengenai penerjemahannya yang bagus, diimbangi dengan kritik atas upaya mengejar rima dan persajakan yang kadang-kadang terasa memaksa. Sapardi Djoko Damono menganggap setiap penerjemahan melakukan pengkhianatan demi mencapai salah satu elemen puisi, estetika atau makna. Membenarkan Iwan Fridolin, bahwa kehilangan keteraturan bunyi adalah harga yang harus dibayar untuk pengalihbahasaan sebuah karya sastra. Zhou Fuyuan termasuk orang yang sabar. Ia mula-mula tertarik pada satu-dua puisi Tiongkok klasik untuk konsumsi pribadi, lama-lama menjadi kecanduan. Awalnya hanya akan membukukan sekitar 300 puisi, namun sayang bila mengabaikan 200 lebih yang lain.

Salah satu penyair yang dikutip karyanya oleh Iwan Fridolin adalah Wang Wei. Puisi Pesanggrahan Rusa yang hanya berisi empat baris. Dalam puisi itu, Wang Wei ingin mendamaikan antara kebisingan dengan keheningan. Memang, para penyair sezaman, dari mana pun asalnya, senantiasa menuliskan tema-tema alam. Dalam khazanah sastra Tiongkok, manusia bukan hanya sebagai sahabat alam, namun bagian dari alam. Sementara dalam pengamatan Sapardi, yang kerap menerjemahkan puisi China dari Bahasa Inggris, mengakui bahwa begitu banyak puisi Tiongkok yang tak sampai kepada kita. Penyair Li Bai, misalnya, sering menulis dalam kertas yang kemudian diremas-remas dan dimasukkan dalam keranjang di punggung keledainya. Terlebih ketika sedang mabuk, Li Bai menulis sejumlah puisi yang kemudian dihanyutkan di atas sungai.

Dengan dandanan ala perempuan Tiongkok, Rieke memukau di awal acara. Membawa kita larut dalam suasana yang dibangun melalui dekor dan gaya China klasik. Zhou Fuyuan telah memperkaya khazanah sastra kita melalui puisi-puisi yang pernah ditulis berabad-abad lalu.

(Kurnia Effendi)

 

LAUT

ADA apa dengan laut? Sepekan lebih yang lalu, pantai sebelas provinsi di Indonesia (sepertiga wilayah dari seluruh provinsi)  mendapat kiriman ombak setinggi tiga sampai dengan tujuh meter. Mengempas perkampungan nelayan di tepi laut, termasuk lokasi wisata. Melihat kejadian yang tertangkap kamera para jurnalis televisi, pemandangan itu cukup mengerikan. Seolah ada “anak” tsunami sedang latihan menjilat daratan. Menurut penjelasan dari pihak Badan Geofisika dan Meteorologi, tingginya ombak ke tepian dipicu oleh kencangnya bayu di tengah lautan.

            Saya kira mirip efek domino atau yang kini lebih populer, efek sayap kupu-kupu. Sedikit saja yang berubah di ujung akan mengakibatkan sesuatu yang luar biasa di pangkal. Kiriman air atas hujan yang mengguyur pegunungan, turun melalui sungai dan celah bukit, menjadi banjir di daerah muara. Kini giliran laut yang pasang-naik, di luar jadwal “datang bulan”. Sebab yang kita tahu sejak dulu, di kala purnama benderang menghias langit, ada perubahan kecepatan angin akibat perbedaan suhu yang membuat permukaan air samudra meninggi. Lidah ombak pun menyeruak hingga beberapa meter ke daratan.

            Pernah saya menyaksikan dari kamar hotel di Sanur suatu pagi, tercetak jejak ombak yang menari-nari semalaman. Memang tidak akan mengubah peta secara signifikan, tetapi itulah “ritual” alam. Seperti yang dialami oleh para serigala dan jenis anjing lainnya: libido mereka meningkat merasuki kepala ketika bulan bundar sempurna. Mereka akan sibuk mencari pasangan. Melolong-lolong mengisyaratkan birahi kepada para betinanya. Mungkin berlaku bagi kita, manusia, juga. Tepatlah jika bercinta di bawah bulan menjadi semacam ritual, sepanjang tidak dilihat orang lain. Syaratnya barangkali satu: memiliki pantai atau pulau sendiri!

            Nusantara ini memang kumpulan nusa di antara lautan. Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, demikian lirik lagu wajib yang kerap kita dendangkan dengan semangat saat sekolah di tingkat dasar dan menengah dulu. Menyanyi dengan bangga perlu disertai niat membela dengan bangga. Setiap ada pihak yang merebut wilayah Indonesia (dengan paksa maupun gerilya) harus kita lawan. Tapi bagaimana jika suatu saat (atau sudah?) satu persatu pulau kita yang jauh di mata itu direbut untuk dimiliki sendiri? Atau malah dijual dengan seolah-olah legal?

            Dua pertiga wilayah negara kita justru lautan. Oleh karena itu, ada semboyan pariwisata di dua dekade yang lampau berbunyi: “Go Archipelago!” Oleh karena itu, menjelang Pemilu dua periode yang silam, Partai Keadilan (Sejahtera) gigih menghitung hasil lautan yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan makan penduduk Nusantara setiap hari. Akan tetapi kenyataannya, setiap hari yang rajin mencuri ikan kita justru kapal-kapal asing.

            Katakanlah sekarang laut marah, apa salah kita sebenarnya? Apakah laut bermaksud mencuci limbah yang mencemari pantai-pantai? Apakah laut bermaksud menghapus jejak maksiat di pantai-pantai? Apakah laut ingin mengingatkan kita untuk tidak menambahi bebannya, dengan lumpur Lapindo misalnya?

            Sebagai bangsa yang bernenek moyang pelaut, jejak keberanian itu tampak pada para nelayan kita. Orang-orang Bugis dan Selayar, Kepulauan Riau, Madura, dan banyak lagi, mengingat tak satu provinsi pun bebas dari laut. Tetapi laut ibarat binatang buas yang perlu dijinakkan bila kita ingin menjadi sahabatnya. Kita mesti tahu perangainya sehingga yang kita lakukan adalah mengikuti irama kehidupan laut tanpa mengubah perilaku untuk melawannya. Seperti seorang peselancar yang pandai memanfaatkan ombak.

            Mari kita ingat ucapan para guru di sekolah dasar dan menengah mengenai posisi negara kita. Indonesia terdiri dari kepulauan, di apit dua benua dan tiga samudera.  Itu sebabnya, kata para pendahulu kita, negeri kita terletak strategis. Pertanyaan Sarwono Kusumaatmaja, mantan Menteri Kelautan di masa pemerintahan Presiden Gus Dur, ketika sekolah dulu: “Strategis buat siapa?” Karena ia ngotot menanyakan itu dan meminta jawaban, Pak atau Ibu Guru yang mengajar Ilmu Bumi (Geografi) malah mengeluarkannya dari kelas. Itu yang paling diingatnya sebagai permulaanperlawanan”nya terhadap dogma-dogma yang tak cukup menjelaskan.

            Kalau memang strategis, kenang Sarwono di tengah peserta diskusi tentang bagaimana membaca buku yang baik di Perpustakaan Diknas, mengapa kita tidak diuntungkan oleh letak kawasan negaranya? Justru memudahkan bangsa asing memasuki wilayah kita karena mereka sangat tahu dengan hasil ikan dari pertemuan tiga samudra. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan laut kita, hanya segelintir yang tahu persis dan mereka tidak mengungkapkannya secara jujur kepada rakyat. Justru tampaknya para nelayan pribumi (arau prilaut?) yang dirugikan, ditangkap, dituduh sebagai pencuri. Mungkin kita ingat talkshow dalam acara Kick Andy di Metro TV beberapa bulan lalu yang mengangkat masalah nasib nelayan. Dua orang tamu malam itu mengaku kapalnya disita oleh petugas dengan tuduhan tanpa bukti dan hingga kini masih berhutang pada orang lain.

            Apakah laut marah terhadap kelaliman para petugas yang tidak jeli melihat juklak sehingga memilih pekerjaan yang gampang dibanding harus mengejar para pengeruk ikan berton-ton yang dengan tenang melenggang di tengah laut kita? Kapal mereka menghiasi cakrawala dengan angkuhnya. Ah, apakah penjaga laut kita tidak melihat? Barangkali perlu diganti dengan petugas yang memiliki mata lebih awas. Atau barangkali ada sebab lain yang lebih runyam bila diuraikan.

            Semoga saja laut kita kembali reda dari amarahnya. Semoga tsunami Aceh tidak memiliki “anak-cucu” yang mesti berulang kali menyambangi daratan. Ada sebuah lagu di masa kita masih kanak-kanak yang masih indah di dengar:

                        Lihatlah sebuah titik jauh di tengah laut.

                        Makin lama makin jelas bentuk rupanya.

                        Itulah kapal api yang sedang berlayar.

                        Asapnya yang putih membubung di udara….

            Hah? Kapal siapa itu? Coba pinjam teropongnya!

(Kurnia Effendi untuk PARLE 90)

 

 

Tuesday, May 22, 2007

Aurelia Tiara, Kuntum Penyair di Taman Sastra

Nama lengkapnya Aurelia Tiara Widjanarko. Dia adalah keponakan dari Ingrid Widjanarko. Tapi bukan karena itu, Tiara pantas mendapat perhatian. Tante Inge, begitu Tiara memanggil akrab sang bibi tercinta, justru salut dengan buah karya puisi yang telah dibukukannya itu.

Lahir tanggal 18 Juni 1983, di Jakarta. Menempuh pendidikan formal sejak SD hingga SMU di Tarakanita. Gelar sarjana FISIP diraih dari Universitas Pelita Harapan dengan predikat cum laude, hanya dalam 3 tahun! Kini Tiara telah usai dengan S2-nya di Prasetya Mulya Business School. Menulis adalah kegemarannya, terutama puisi, meski tidak tampak bertebaran di media massa, telah terkumpul lebih seribu jumlahnya.

Bagaimana proses kreatifnya berlangsung? Si cantik mungil nan anggun ini ternyata lebih merasa produktif ketika berada pada suasana sangat bahagia atau justru ketika dilanda kesedihan. Pada dua titik ekstrem itu imajinasi dan penanya begitu lincah bekerja. Puisi-puisi yang dilahirkannya, meski berawal dari pergolakan personal (perasaan yang sangat pribadi) namun ketika kita baca seolah menjadi pengalaman sejumlah orang. Dengan demikian Tiara telah mencapai nilai puisi yang universal.

Buku perdananya bertajuk Sub Rosa. Di luar makna kata benda, frasa itu berarti sebuah pembicaraan tidak terbuka bagi umum yang ditandai dengan bunga mawar tergantung di pintu ruang pertemuan. Sejumlah diksi yang dipilih dalam puisi-puisi cintanya terasa orisinal. Bukunya pun tampil dengan estetika yang anggun, dihiasi fotografi bermain gelap-terang cahaya. “Sejak awal, termasuk kenapa saya memilih kata-kata dari Bahasa Latin, karena ingin berbeda.”

Itulah sebuah proses. Tiada jejak pengaruh penulis pendahulunya, Tiara begitu jujur mencurahkan isi hati dalam bentuk baris dan bait. Tapi, Tiara bukanlah tipe seorang pelamun, jika dilihat dari kegiatan yang digelutinya. Semuda itu ia telah jadi dosen di almamaternya, di samping bekerja sebagai managing editor majalah Device. Tiara juga masih aktif bergabung dalam Ikatan Abang None Selatan (IKANS).

Harapan Joko Pinurbo, penyair yang dikaguminya, mudah-mudahan pada buku berikutnya, Tiara tetap memperlihatkan jati dirinya. Jangan layu sebelum mekar seperti kebanyakan para perempuan penyair lainnya. Dengan lesung pipitnya yang terbentuk setiap kali tersenyum, Tiara bagai mematri motivasi dan dukungan spirit itu dalam binary matanya. Inilah Aurelia Tiara Widjanarko, kuntum penyair di taman sastra.

(Kurnia Effendi)

 

Monday, May 21, 2007

"Dengan Puisi, Saya Sedang Melawan Modernisme"

Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman:

Di tengah-tengah kesibukan Klub Sastra Bentang menyiapkan peluncuran buku puisi karya M. Fadjroel Rachman tanggal 25 Mei 2007 di MP Book Point, Kurnia Effendi dari PARLE menyempatkan diri untuk berbincang dengan sang penyair yang sebelumnya dikenal sebagai penulis radikal. Demikian isi percakapan itu:

Kef: Selamat siang, maaf mengganggu makan siang anda. Menjelang peluncuran buku anda, antologi puisi “Dongeng untuk Poppy“ (DUP), saya penasaran pada beberapa hal. Setelah membaca seluruh puisi anda, rasanya ada yang berubah. Setelah “Catatan Bawah Tanah“ (CBT) dan “Sejarah Lari Tergesa“ (SLT), mengapa sekarang beralih ke puisi-puisi yang beraroma cinta?

Fadjroel: Pertanyaan ini tampak sepele tapi susah menjawabnya, haha. Barangkali terasa sebagai sajak-sajakkananya? Sebelumnya memang saya menulis dengan semangat perlawanan secara lebih terbuka dan lugas. Namun ternyata, sajak yang sublim dan subtil, yang menampilkan cinta, kegelisahan, perasaan kehilangan, antara lain ketika nenek meninggal dan anak-anak sakit, bisa lebih radikal daripada sajak yang ditulis secara terbuka. Ketika saya merasa tersesat dalam kebimbangan, menulis sajak yang bermuatan romantisme ini justru lebih revolusioner ketimbang kata-kata yang bersifat menyerang.

Kef: Jadi anda kini percaya pada nilai-nilai puitis?

Fadjroel: Artinya puisi-puisi semacam itu lebih memberikan sentuhan. Hanya, dalam hal ini pembaca akan lebih butuh tenaga dan waktu yang panjang dalam menangkap maksud dan memahami isinya. Mungkin karena saya juga menulis lebih individual dibanding sebelumnya, yang temanya akan terlihat secara langsung. Walau demikian, puisi-puisi Rendra pada periode pamflet masih lebih lugas dibanding puisi-puisi sosial saya.

Kef: Untuk puisi-puisi dalam antologi ini, apakah ditulis setelah periode dua buku sebelumnya atau sudah mulai sejak lama?

Fadjroel: Sebenarnya sudah mulai sejakSejarah Lari Tergesa”, hanya dalam buku sebelumnya itu masih sebagai puisi sosial. Dalam soal tema sesungguhnya masih sama, anggaplah itu sebagai benang merah untuk ketiga buku puisi saya. Misalnya saat saya bicara tentang Nazi atau Anne Frank, sudut pandang sosial dalam menyikapi kesedihan Anne Frank saya ubah menjadi romantis. Dalam SLT aroma romantis sudah tampak tapi belum dominan sehingga bisa dianggap buku itu sebagai transisi perubahannya. Dulu sebagai makhluk sosial yang bicara secara sosial, kini lebih individual. Poppy itu nama istri saya, jadi boleh diartikan ini sajak-sajak pembicaraan individual antara saya dengan istri.

Kef: Adakah maksud tertentu dengan menampilkan banyak nama-nama dalam sajak? Apakah karena telah membaca dan ingin merepresentasikan pendapat atau teori mereka dalam kehidupan?

Fadjroel: Tampilnya nama-nama Marx, Engels, Hitler, dan lain-lain itu tidak bermaksud mewakili pernyataan mereka. Kembali lagi saya ingin memahami rasa cinta, kehilangan, kebimbangan, yang dialami para korban dari gagasan totaliter mereka, dengan perbincangan yang lebih individual dan intim.

Kef: Ada yang menarik dalam buku ini (DUP). Kenapa anda memilih sebuah disiplin tertentu dalam menulis puisi, padahal puisi adalah karya kreatif yang bebas? Saya lihat setiap puisi memiliki 20 baris, begitu ketat dan kakukah proses penciptaannya?

Fadjroel: Sebenarnya, setelah menerbitkan SLT, saya merasa telah selesai menulis puisi, tidak akan menulis puisi lagi. Sudah cukuplah. Tapi saat berada di Berlin, saya mengalami momentum perenungan yang luar biasa. Suatu siang saya mengunjungi monumen karya arsitek Amerika, Peter Eisenman, yang membuat 2711 balok beton mirip peti mati berjajar di tengah kota Berlin, menempati lahan seluas 2 hektar lebih, untuk memperingati Holocaust 6 juta Yahudi di Eropa, sebagai korban Perang Dunia II. Di sanalah saya merasakan sesuatu, tepatnya merasa sedang berada dalam jebakan modernisme yang kehilangan sentuhan kemanusiaan. Semua yang saya lihat adalah bentuk serbatertib, keteraturan yang terencana. Malam harinya saya datang lagi sendiri, tercenung di tengah keheningan ribuan balok peti mati itu, dan semakin dalam saya menyadari ada yang mengerikan dalam modernisme, yakni sebuah azas yang kehilangan rasa kemanusiaan. Dari sana terbit pikiran, mengapa saya tidak menulis puisi yang serba teratur dan serba terencana?

Kef: Tampaknya jadi paradoks, karena mengambil spirit modernisme yang serbatertib dan tak manusiawi itu, namun bermuatan romantisme dan humanis. Bagaimana ini?

Fadjroel: Anggap saja ini sebagai elegi kemanusiaan, bentuk bela sungkawa saya terhadap modernisme. Ada sebuah peristiwa di masa Nazi. Joseph Goobles, Menteri Pencerahan Publik dan Propaganda Hitler, meracun  6 anak kecil mereka lalu bunuh diri mengikuti Hitler dan Eva Braun. Di mana rasa kemanusiaan itu? Jika ditarik mundur, bahkan sejak Renaisans dan Zaman Pencerahan, sudah dimulai nilai-nilai yang menafikan humanisme itu. Ini sebagai cara perlawanan saya, menulis romantisme yang humanis dalam bentuk yang serbatertib dan terencana. Itu sebabnya, dalam sampul buku yang berlatar hitam pun saya ingin menampilkan huruf yang digunakan dalam poster-poster Nazi. Saya bilang saja-sajak ini romantis dan individual, karena merupakan percakapan saya dengan Poppy yang kami persembahkan untuk kedua putra kami, Mahatma dan Krishna.

Kef: Menarik sekali, Bung! Bagaimana kesan teman-teman dengan gaya sajak-sajak anda yang terakhir ini?

Fadjroel: Terserah apresiasi mereka saja. Toh sajak-sajak ini telah tersosialisasi melalui Kompas, Horison, Media Indonesia, dan Pikiran Rakyat.

Kef: Pertanyaan terakhir, di mana anda aktif bekerja dan sebagai apa?

Fadjroel: Jika disesuaikan dengan latar pendidikan terakhir, saya adalah analis keuangan. Pascasarjana saya bidang Manajemen Keuangan, saya tempuh di UI. Kini bersama teman-teman mengelola sebuah lembaga yang berkutat di bidang ekonomi. Namun saya acapkali menjadi narasumber dalam perbincangan ekonomi di televisi, juga dalam forum-forum diskusi. Saya aktif menulis esai dan kolom di media cetak, yang sebagian telah diterbitkan dalam bukuDemokrasi tanpa Kaum Demokratoleh Penerbit Koekoesan. Dan sekarang sedang menyiapkan novel “Bulan Jingga dalam Kepala“ yang rencananya akan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Demikian wawancara tengah hari dengan penyair yang pernah menjadi Presiden Grup Apresiasi Sastra ITB. Pernah memenangkan lomba penulisan puisi semasa mahasiswa. Kini usianya 43 tahun, mungkin memang merupakan usia perubahan bagi sebuah sikap.  Semoga memicu keinginan pembaca PARLE untuk menikmati sajak-sajaknya yang berubah itu.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

Tuesday, May 15, 2007

Tujuh Tahun BungaMatahari

Café West Pacific, di belakang Gedung Jaya Jalan MH Thamrin, terlihat tak biasa pada Sabtu malam 28 April yang lalu. Tamu yang datang adalah para wanita muda cantik dan wangi, para pemuda yang keren dan modis. Ada apa gerangan di ruang temaram yang dindingnya dihiasi karya foto dan puisi grafis itu?

Malam ini adalah perayaan ulang tahun komunitas BungaMatahari yang telah berusia tujuh tahun. Ulang tahun sebenarnya tanggal 19 April yang lalu, tapi kita memperingatinya malam ini, sekaligus meluncurkan RumahKata. Jadi malam ini kita anggap seperti di rumah sendiri, santai dalam suasana bermain dan berkarya.” Demikian sang pemandu acara memberi tahu kepada para undangan.

Dan malam itu, selain anggota BungaMatahari yang membaca puisi, hadir pula Happy Salma membacakan cerpen dan Widi AB Three bernyanyi diiringi gitar akustik Om Oele Pattisilano, pemain jazz kawakan. Juga tampak Denis (bintang utama film Lovely Luna) dan Tante Rima Melati. Acara yang dibuka dengan pembacaan puisi 4 perempuan (dua di antaranya, Olin Monteiro dan Lulu, pengarang antologi puisi Merah Hitam Biru Kesumba) itu juga menampilkan sajian puisi bermusik yang dibawakan oleh Anya Rompas dan Olivia Sinaga.

Dalam komunitas BungaMatahari, puisi tidak menjadi angker atau rumit, namun justru menjadi semacam aksesoris hidup sehari-hari yang terasa manis. Para penggemar puisi itu memperlakukan karya dengan akrab, beberapa kreator bahkan menjadikannya multi media. Misalnya Nivell Raida yang menggunakan media video untuk memberi ilustrasi bagi pembacaannya agar lebih kuat pada makna yang hendak disampaikan. Sementara Henry Wijaya, sang fotografer seni, selalu menampilkan karya fotonya yang puitis bersamaan dengan puisi pendek mirip haiku atau kwatrin.

Menikmati perhelatan kaum muda pecinta puisi yang aktif melemparkan karya melalui media internet (mailist) sesungguhnya membuat perasaan jadi ringan dan cerah. Mungkin bagi sastrawan yang menjadikan puisi sebagai karya adilihung akan menimbulkan beda pendapat. Tetapi, sebagaimana karya musik dan seni rupa, masing-masing menemukan dirinya baik dalam jalur klasik dan kontemporer. Justru dengan keberagaman semacam itu, seni budaya akan hidup lebih dinamis. Dalam dunia pop yang menyergap kota-kota besar, melalui pengaruh keras dari advertising yang mendukung gaya hidup kaum urban, puisi dalam komunitas BungaMatahari menjadi hiasan yang cantik.

Semoga, para penggiat di milis BungaMatahari tidak hanya semata menikmati dan menulis puisi pop, namun juga belajar dari karya-karya sastrawan dunia. Selamat menuju tahun kedelapan!

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Kesaksian Mata yang Pedih

Sebuah foto, saya kira, mampu mewakili tak hanya satu peristiwa, melainkan sejumlah peristiwa yang mengawali dan melanjutkan. Setiap objek yang terperangkap kamera seperti memiliki jiwa, baik figur manusia maupun benda-benda yang tak bergerak. Ekspresi itu, dalam tangkapan sepersekian detik, lebih bercerita ketimbang kata-kata. Buku Buyat: Hari Terus Berdenyut yang diterbitkan oleh Banana, mengumpulkan sejuta cerita melalui foto-foto Denny Taroreh dan Jamal Rahman.

Banyak prestasi para jurnalis dan wartawan foto menggapai puncak empati perasaan banyak orang karena menyuguhkan gambar yang berjiwa. Berbeda dengan foto studio yang umumnya dipersiapkan dengan tingkat perfeksionis yang tinggi; foto peristiwa adalah kepiawaian menangkap momen dari sekian kejadian yang tampak biasa-biasa saja. Apa pun maksud Denny dan Jamal dengan foto-foto (dan puisinya) itu, kita telah memperoleh banyak informasi yang tak kita temukan dalam pemberitaan resmi. Secara tidak langsung kita telah berada di belakang kesaksian mata yang pedih.

Dunia ini tumbuh dari cinta, ujar seorang romantis. Namun dunia juga tumbuh dari pertanyaan dan rasa ingin tahu, yang senantiasa melahirkan penemuan-penemuan baru. Sementara itu, dunia dan peradaban berkembang selalu meminta korban. Jika saat ini bukan kita yang tumbang, barangkali karena diberi kesempatan untuk menjadi pencatat kejadian. Untunglah orang-orang muda seperti Denny Taroreh dan Jamal Rahman terpanggil untuk peduli padaketidakseimbanganpemanfaatan alam dan pengelolaan industri. Mungkin kita masih ingat peristiwa Chernobyl bertahun lalu yang menghantui kehidupan umat manusia di sekilingnya hinga jauh ke masa berikutnya.

Di sana, di Buyat, kehidupan terus berlangsung dalam kondisi alam yang tak sehat. Eksodus besar-besaran tetap tidak menghabiskan penghuninya. Ketika isu lingkungan menjadi semakin hangat dibicarakan, terkait dengan pamanasan global, terbitnya buku ini cukup memadai sebagai “cinderamata” bagi pemerintah maupun pengusaha yang nyaris kehilangan kesadaran terhadap keselamatan tanah airnya. Bayangkan jika setiap perairan Indonesia mengalami hal yang sama dan seluruh populasi ikan kita terancam musnah atau memusnahkan pemakannya.

Pengantar AS Laksana semakin mempertegas pentingnya buku ini sebagai dokumentasi yang tak dipalsukan. Sebagaimana Leo Kristi yang “memotretsudut-sudut negeri ini dengan jujur tanpa bermaksud menggugat, dalam lirik-lirik lagunya, saya kira sama tulusnya dengan Denny dan Jamal yang mengungkap Buyat dengan foto-foto dan puisinya. Biarlah pembaca memandang, menilai, lantas bersikap sesuai dengan tingkat kepedulian masing-masing terhadap sesama saudara sebangsa. Foto-foto dengan kekayaan kisah hidup ini menjadi fragmen, sesuai dengan subjudul tematik, yang menghiasi sejarah negeri ini dari sisi yang nyeri.

(Kurnia Effendi) 

 

 

Monday, May 14, 2007

B u k u

ADA sejumlah orang yang setiap bepergian ke luar negeri, pulangnya membawa berpuluhbahkan mungkin hingga bilangan ratusbuku.  Untuk siapa oleh-oleh sebanyak itu? Ternyata bukan untuk siapa-siapa, selain, mula-mula, diri sendiri. Kerakusan sebagian orang untuk membaca membuat mereka berburu buku, di mana pun kesempatan itu muncul. Acap kali, untuk dapat membawa buku-buku itu ke Indonesia, harus membayar mahal karena over-weight, melampaui beban bagasi yang diizinkan bagi seorang penumpang pesawat. Apa boleh buat.

            Untuk menyebut di antara mereka adalah: Richard Oh, Mario Teguh, Haidar Bagir, Bagus Takwin, Viddy AD, dan para penggila buku lainnya. Kesempatan membeli buku bagi orang-orang sibuk memang jarang diperoleh. Sekalinya mereka mengunjungi book fair atau toko buku di suatu tempat, serasa mendapatkan surga yang didambakan. Urusan nanti bakal kehabisan uang, bukan masalah yang perlu dirisaukan. Orang-orang seperti ini saya kira patut dikagumi, apalagi jika hasil dari pembacaannya itu akan melahirkan tulisan-tulisan yang beranak-pinak karena mencerdaskan para pelahap bacaan pada etape berikutnya.

            “Membeli dan membaca buku mungkin perkara mudah, tapi memilih buku yang baik dan berguna itulah yang sulit,” demikian pernah Mario Teguh menyampaikan dalam perbincangan santai di antara aroma cappuccino di sebuah lobi hotel.

             Pernyataan itu benar adanya. Tidak setiap buku memiliki kualitas untuk diserap sebagai ilmu. Tidak semua buku tepat bagi setiap orang. Lantas bagaimana akal kita untuk memperoleh sebenar-benar buku yang diperlukan? Tak ada rumus khusus yang menjamin keberhasilan itu, tetapi dengan menelusuri anatomi sebuah buku melalui abstrak, endorsement, dan book review, mungkin akan sedikit membantu.

            Apakah buku yang kita beli dalam jumlah banyak, katakanlah sudah merupakan pilihan termasuk rekomendasi dari seorang teman, akan dapat kita baca dalam tempo yang singkat? Mungkin juga tidak. Dalam hal ini Bagus Takwin punya sedikit kebiasaan dengan menyusun urutan membaca dalam skala prioritas. Misalnya, bacalah lebih awal yang memang diperlukan untuk sebuah tugas penelitian atau kuliah (sebagai referensi), atau yang sedang hangat dalam pembicaraan karena menyangkut urusan yang sensitif (demi tidak ketinggalan berita dan dapat mengimbangi lawan bicara).

            Namun kesibukan bisa saja merampok nyaris seluruh waktu kita, sehingga sejumlah besar buku yang kita beli hanya menumpuk dengan halaman masih rapi tak tersentuh sidik jari. Tentu saja harus memulainya dari yang tipis, agar tak menjadi beban berat kala melihat jumlah halamannya yang membuat kita “kenyang”. Atau cari jenis hiburan lebih dulu untuk mencairkan isi kepala, sebagai appetizer bila diibaratkan jamuan makan malam. Sementara Sarwono Kusumaatmaja, dalam pengakuannya, justru sering kali membaca buku yang dapat menolongnya untuk segera mengantuk.

            Ketika terbit buku berjudul How Read The Book karya Mortimer J. Adler, kita seolah mendapatkan cara membaca buku yang efektif, lekas, nsmun tetap terserap. Ada beberapa metoda, di antaranya adalah membaca cepat, tidak menelusuri setiap kalimat secara detil. Untuk saran ini, bagi seorang pengarang naratif menjadi semacammusuh besar”. Betapa tidak? Pengarang yang telah menulis paragraf demi paragraf dengan keindahan bahasa yang dipikirkan secara serius, baik ejaan maupun majasnya, merasa hasil karyanya tidak dihargai oleh sang pembaca-cepat itu. Begitu sia-sianya Yasunari Kawabata, Goenawan Mohamad, atau Nukila Amal yang menciptakan frasa-frasa terbaik mereka jika hanya digilas oleh tatapan mata yang “berlarihanya untuk mencari simpulan kisah atau garis besar cerita, dengan kata lain: pokok pikiran paling inti. Ke mana metafora itu terpelanting tak membekas dalam sebuah hati pembaca? Boleh jadi, cara ini cocok untuk menyantap diktat yang memang didesain untuk sangkil dan mangkus.

             Saya tentu bukan termasuk pembaca-cepat, karena bahkan untuk menikmati kalimat-kalimat apik Ayu Utami dalam novel Saman, masih sering mengulanginya beberapa kali. Membaca bagi saya sebuah kenikmatan tamasya bahasa (meminjam istilah Aris Kurniawan), yang membuat Victor Hugo, Alan Lightman, Paul I Wellman, tampak bersinar-sinar. Saya memperlakukan sebuah buku seperti saya ingin pembaca lain memperlakukan buku karya saya. Saya akan sangat sedih sewaktu pembaca buku saya marathon menyelesaikannya hanya dalam beberapa jam, setelah itu tamat sudah, tanpa sebaris kesan pun tertanam.

            Meminjamkan buku adalah perbuatan bodoh, karena dapat dipastikan tak akan kembali. Namun lebih bodoh lagi jika kita meminjam buku dan mengembalikannya.”

            Pepatahitu rasanya cukup terkenal di kalangan para pecinta dan kolektor buku. Dalam sebuah diskusi World Book Day di Perpustakaan Diknas yang mengangkat tema tentang orang-orang penggila buku, Desy Sekar Astina mengatakan ada seorang teman yang memiliki ribuan buku di perpustakaan pribadinya. Sang teman ini tak lagi hapal dengan koleksinya yang memenuhi rak dan bahkan kamar tidurnya. Jika ada kawan yang meminjam bukunya, ia pasti tak kan tahu lagi buku mana yang dipinjam orang dan sulit memintanya kembali. Maka tampaknya, sang peminjam sedang mempraktekkan pepatah di atas.

            Endah Sulwesi dan Syafruddin Azhar, para persensi yang giat, kini mulai memilah dan memilih, buku-buku mana yang sudah boleh direlakan untuk penggemar buku yang lain. Ketimbang raknya tak lagi menampung bukunya yang senantiasa bertambah dari minggu ke minggu, ada baiknya buku-buku lama disumbangkan bagi taman-taman bacaan di daerah terpencil.

            Buku memang menjadi ukuran peradaban sebuah bangsa. Bagi pemimpin yang tak pernah bersentuhan dengan buku, akan kering jiwanya, dan kurang humanis dalam perilakunya. Itu sebabnya Nehru, ketika dipenjara, berpesan kepada kerabat penjenguknya agar membawakan buku-buku. Menurutnya, buku ibarat jendela dunia. Itu memang benar adanya. Siapa sanggup menggunakan waktunya untuk keliling dunia demi mengunjungi wilayah-wilayah terjauh di segala penjuru Bumi? Buku adalah cara lain bagi penjelajah yang ingin menikmati dan menyerap wawasan seluas mungkin. Langkah kaki kita memanjang dengan sendirinya melalui bahan bacaan yang membawa kita mengarungi imajinasi sang pengarang, atau menyaksikan fakta-fakta yang berlangsung di seantero jagat.

            Setelah mendapatkan separuh kebahagiaan dari membaca buku, saya melengkapi kebahagiaan menjadi utuh dengan menulis buku. Percayalah, uang saya banyak beralih-rupa menjadi timbunan buku-buku. Mungkin termasuk anda juga.

(Kurnia Effendi, untuk Parle 88, 14 Mei 2007)