Thursday, April 30, 2009

Belajar Bersahabat dan Saling Cinta dengan Sederhana

Apa sih makna persahabatan?

Banyak orang saling bersahabat, namun tak teruji oleh waktu dan kondisi. Makna sahabat muncul ketika datang masalah. Problem bisa berbentuk cinta, uang, dan politik. Misalnya ketika dua sahabat menemukan satu orang yang sama untuk dicintai. Misalnya ketika sejumlah sahabat bergabung untuk membuat perusahaan. Misalnya saat beberapa sahabat masuk dan menjadi caleg untuk partai yang berbeda…

Benarkah sahabat adalah seseorang yang hadir dan memberikan support ketika musibah menimpa kita? Mungkin itu salah satu parameter. Karena sahabat juga orang yang dengan kasih sayang justru menyampaikan kritik, melarang kita melakukan sesuatu, mengingatkan hal-hal b uruk yang akan terjadi…sekalipun langkah yang kita tempuh sangat kita sukai.

Apa pula makna cinta?

Ada orang mengatakan bahwa cinta itu adalah semacam pengorbanan. Saya kira itu salah, jika seseorang harus menjadi tumbal bila ingin cinta ters berlangsung. Cinta itu mungkin adalah pemberian tanpa pamrih, tidak memaksakan kehendak, dan upaya terus-menerus menggali pengetahuan tentang kesukaan pasangan kita. Separuh dari ego kita lebur untuk menerima ego pasangan kita. Menggodoknya menjadi kepentingan bersama. Namun di sana juga ada privasi yang tak perlu kita langgar, karena pada dasarnya masing-masing pribadi itu unik dan Tuhan telah memberikan anugerah kemerdekaan kepada masing-masing kita. Kesetiaan mungkin menjadi pengikat, bahwa di antara kita tidak akan saling berkhianat

Cinta jadi berat ketika kita tidak menerima apa adanya dari pasangan kita. Tak ada yang sempurna di dunia ini, oleh sebab itu hidup ini jadi menarik, tidak membosankan. Teruslah memandang sisi positif dari pasangan kita untuk dikembangkan. Berikan sisi positif kita kepadanya. Jadilah sinergi. Alat yang paling utama ternyata komunikasi. Biasanya kita gagal karena kurang atau salah komunikasi.

Melalui buku ini saya jadi menyimpulkan bahwa persahabatan dan cinta itu bukan serupa kue talam yang lembut luar dalam. Semua orang memiliki anasir baik dan buruk. Saling melengkapi lebih baik, demi mereduksi yang buruk itu. Mungkin karakter tak dapat diubah semudah membalik tangan, namun perilaku manusia mirip kebudayaan. Ada pembelajaran dan pembiasaan. Oleh karena itu jangan sekali-sekali mengkritik orangnya, namun lebih fokus kepada perilakunya. Dan saat sedang berusaha untuk berubah harus didampingi dengan rasa sayang.

Teori memang mudah diucapkan dan amat sulit dipraktekkan. Maka tak heran jika dalam buku ini ada sejumlah pertanyaan tentang hidup yang tak berjawab. Sesungguhnya semua peristiwa adalah akibat dari kejadian sebelumnya, artinya selalu ada jawabannya. Tetapi sekali lagi, manusia memiliki keterbatasan, sehingga tak wajib tahu segalanya.

Dan dari buku ini pula saya tahu bahwa pertengkaran hebat dua sahabat bukanlah sebuah kiamat. Pertengkaran itu semacam cara mengasah gergaji, saling memperluas wawasan, saling membuka diri untuk menerima pendapat orang lain yang semula begitu dihindari. Justru seorang yang berani ngomong pedas demi kebaikan adalah sahabat.

Bagaimana setiap hal jadi sederhana namun indah juga hasil dari pemandangan mata (hati) yang positif. Mengubah perspektif dan paradigma dari satu hal menjadi hal yang lebih baik, tidak selalu membutuhkan energi tinggi, lebih memerlukan keikhlasan hati.

Saya teringat Hee Ah Lee. Dari perjalanan hdupnya kita bisa belajar banyak, terutama pada ibunya. Saya berbahagia karena telah menuliskan memoarnya dan berkesempatan mengenal mereka berdua. Saya bukanlah apa-apa dibanding mereka.

Dan saat membaca buku “Let’s Talk About…”, saya pun merasa belum apa-apa dibanding Retnadi, Ain, dan Shinta yang begitu kaya memaparkan persoalan sahabat, cinta, dan perkawinan. Rasanya saya masih harus banyak melakukan diskusi kehidupan dengan para perempuan muda yang bijak itu. Saya jadi bangga karena generasi yang sedikit berbeda dengan teman-teman seangkatan mereka ini membuat hidup begitu tulus dan sederhana. Bukan sempurna, tetapi indah.

Salam untuk semua

Kef

 

 

 

 

Wednesday, April 08, 2009

Delapan Belas Cara Berbagi

1.     Tuhan berbagi kepada kita seluruh yang Ia punya. Mari kita berbagi dari sedikit yang kita miliki

2.     Ketika sehat dan bugar merupakan anugerah, berbuat baik bagi yang lemah adalah pertanda berkah

3.     Jangan lupa pada rasa duka yang membentuk kita perkasa, berbagilah agar orang lain tak harus sengsara

4.     Ilmu dan cinta tak kunjung berkurang sekalipun terus dituang ke banyak orang. Percayalah.

5.     Semua tampak indah bila kita pandang dengan mata tanpa prasangka. Sampaikanlah fakta ini kepada teman-teman kita

6.     Ada harapan yang sulit dicapai sendirian. Mari kita raih dengan kebersamaan

7.     Di atas langit masih ada langit. Dengan berbagi, kita berada di langit tanpa harus mengatakannya

8.     Memandang ke atas selalu perlu untuk meletakkan cita. Memandang ke bawah menjadi wajib untuk bercermin diri

9.     Sebaik-baik pakaian adalah iman yang dihiasi kedermawanan

10. Letak tangan di atas selamanya lebih terhormat, apalagi jika membagikan yang bermanfaat

11. Serupa siklus jarum jam, demikian juga roda, memutar nasib kita antara nestapa dan bahagia, namun tetaplah bersahaja

12. Semua yang kita genggam selamanya milik Tuhan, semestinya tak sayang kita bagikan

13. Arah langkah kita ditunjukkan oleh pikiran yang sehat, jadikan pelita untuk masyarakat

14. Senyum yang tulus adalah pemberian pengharapan

15. Untuk berbagi kita tak memiliki ukuran pasti, oleh karenanya jangan pernah sangsi

16. Tak mungkin kita hidup sendiri, selalu ada campur tangan orang-orang yang peduli

17. Lukisan terindah saat pagi adalah embun yang berumur singkat, cepatlah berbagi selagi sempat

18. Cara bersyukur paling benar tentu memberikan yang terbaik bagi yang memerlukan

 

Inilah sumbangan saya untuk turnamen golf yang diselenggarakan oleh alumni ITB angkatan 83, dengan tema dan spirit BERBAGI

(Kurnia Effendi)

 

Tuesday, April 07, 2009

Hot Pursuit

Sebuah kesalahan saya lakukan ketika hendak melakukan penerbangan pagi. Malam sebelumnya, kecuali pulang kantor terlambat karena menyiapkan dokumen yang wajib saya bawa dalam dinas ke luar kota, saya masih harus bertemu dengan seorang dokter cantik yang dicalonkan sebagai anggota legislatif mendatang: dr. Nova Riyanti Yusuf. Agenda itu tak dapat mundur lagi karena masing-masing akan sibuk di hari berikutnya.

Begitulah, setelah saya berpisah dengan Noriyu (panggilan karib Nova Riyanti Yusuf), saya teringat bahwa flashdisc yang menampung bahan presentasi saya di Semarang esok pagi masih tertinggal di CPU komputer kantor. Alamak! Padahal saya janji akan membagi informasi kepada atasan malam itu juga melalui e-mail pribadi dari rumah. Rasanya bertubi-tubi rintangan itu menghadang. Belum lagi perihal fisik yang mesti diupayakan tetap bugar dalam beberapa hari ke depan.

Untunglah, sepertikebetulandi sebuah film, ketika saya singgah kembali ke kantor dalam perjalanan pulang dari Pacific Place ke Jakarta Timur, masih ada petugas kebersihan sedang menyapu ruangan. Alhamdulillah. Flashdisc saya cabut. Namun setelah di rumah, saat menunggu hubungan dengan telkomnet, saya tertidur begitu saja di kursi. Rencana mengirim surel kepada atasan tentu tidak terealisasi. Apa yang terjadi?

Saya dibangunkan oleh putri saya pukul 5 lewat 5. Begitu membuka mata, mendapati lap top masih menyala, dan saya mengalami sakit leher karena posisi lelap tanpa aturan ergonomis. Astaga! Pesawat saya pukul enam! Dari Pondok Bambu ke Cengkareng...apa kabar?

Jangan bilang siapa-siapa, saya pagi itu hanya berwudu dan salat Subuh. Saya minta tolong anak saya untuk membereskan lap top, setelah flashdisc saya cabut serampangan. Packing yang saya lakukan beberapa hari sebelumnya—kebiasaan dari dulu—sangat menolong. Hanya memeriksa tiket Garuda Indonesia di laci kopor lalu siap berangkat.

Saya berpikir cepat. Apakah masih akan melaksanakan plan A: naik mobil pribadi dan diparkir di bandara selama tiga hari? (Itu sebabnya saya tidak memesan taksi yang biasanya akan siap di depan pagar sekitar pukul 4). Nah, urusan parkir mobil akan makan waktu berapa lama? Membujuk istri untuk mengantarkan ke bandara bukan tidak berhasil, tetapi ia dipastikan tak familiar jalan pulang, sekaligus kedua anak kami akan sedikit terlantar ke sekolah karena harus naik angkutan kota.

Nyaris putus asa, saya minta istri mengantar ke luar kompleks saja sampai menemukan taksi yang melintas di jalan raya. Apa pun yang terjadi, waktu yang tinggal 45 menit harus saya gunakan habis-habisan. Saya sudah mengantisipasi apabila harus menggunakan penerbangan berikutnya, entah jam berapa. Tetapi sama artinya dengan perjalanan yang nyaris sia-sia karena regional meeting dealer mobil Suzuki Jawa Tengah, di Semarang itu, akan dimulai sejak pagi.

Begitu lepas dari gapura kompleks, sebuah taksi nyelonong. Saya mengejarnya dan memberi isyarat untuk berhenti. Saya turun dari mobil dan masuk ke kabin taksi sambil mengatakan: ”Pak, ke bandara. Pesawat saya jam 6, Garuda. Sekarang jam 5:20, bisa ngejar nggak?”

”Mudah-mudahan, Pak.” jawabnya perlahan. Terdengar tak pasti, tapi ia tidak membuang waktu lagi. Taksi yang dikemudikannya meluncur di Jl. Pahlawan Revolusi dan masuk ke Casablanca.

Dengan menekan rasa panik, saya menelepon Pak Hady Halim, atasan yang akan terbang bersama saya. ”Pak, posisi di mana?”

Saya di kantin yang paling mudah dilihat setelah check in. Lurus saja,” jawabnya.

“Oh, maaf. Saya masih di jalan. Baru saja masuk tol.” Ah, belum apa-apa saya mulai berdusta.

”Sekarang jam....” Suaranya menggantung. ”Tol mana?”

”Cawang,” sahut saya mantap. Dusta harus diteruskan.

”Dua puluh menit mungkin sampai, ya?” Ia mengira-ngira. Saya menduga ia sedang membayangkan jalan di Wonosobo pukul dua pagi. Uhuk!

”Kalau begitu, boleh minta tolong? Apakah saya bisa check in lebih dulu? Tapi tiket ada di tangan saya.”

Selama perbincangan agak bodoh itu, sopir taksi tetap melakukan tugasnya dengan gesit. Entah mengapa, jalanan tidak sepadat pagi yang lain. Akhirnya memang kami masuk tol dari Bypass, menuju arah Ancol. Jarak akan lebih panjang dibanding melalui Gatot Subroto, tetapi menurut pengalaman dapat ditempuh lebih lekas. Saya membayangkan, seandainya sang pengemudi adalah pemeran film Taxi yang ugal-ugalan namun tangkas, mungkin jantung saya sudah tiba di leher sejak mula ia menginjak gas.

Saat taksi yang saya tumpangi melewati Pluit dan meluncur deras ke arah Kapuk Kamal, atasan saya menelepon. ”Check in sudah beres, nanti langsung saja ke ruang tunggu.”

Alhamdulillah. ”Terima kasih. Sebentar lagi saya masuk tol bandara.”

Betul, tempat duduk di pesawat sudah beres. Tetapi saya masih duduk di taksi. Saya akan berlari-larian sepanjang koridor. Ya, Tuhan, semoga jalur melewati dua pemeriksaan bagasi tidak mengalami traffic jam.

Saya merasa perlu berbagi beban. Melalui handphone, saya mengirim pesan ringkas kepada sejumlah teman. ”Pesawat saya jam 6, saya bangun jam 5 lebih 5. Doakan bisa sampai Semarang.”

Ringkas cerita, saya sampai di bandara, menarik kopor sambil meredakan degup jantung. Ternyata, sistem serba-easy yang terangkai dimulai dari e-booking, e-payment, e-ticket, e-check in betul-betul menjawab kebutuhan pelanggan saat ini. Setelah tenang, baru saya ingat pengalaman sebelumnya. Waktu saya menjadi pembicara untuk program Unesco di Banda Aceh, kepada petugas check in, saya hanya menunjukkan selembar print out ’surat’ yang saya terima melalui e-mail. Nama saya sudah tercantum, fixed, sebagai calon penumpang. Tak ada perdebatan. Semua berjalan mulus dengan senyum, sembari membayar airport tax. Ya, begitu mudah dan simple

Setiba di Semarang, pukul tujuh, saat sudah naik mobil jemputan, barulah saya merasa sungguh-sungguh bangun dari mimpi buruk pagi buta. Ada isyarat telepon masuk setelah sepanjang penerbangan saya matikan. Pradita Gifani, teman sejawat, berseru heboh: ”Jadi sekarang masih di mana?”

”Ajaib! Saya sekarang sedang makan Soto Ijo. Di Semarang!”

Rasanya, pagi itu, saya telah melakukan hot pursuit, untuk sebuah kredibilitas karyawan yang sedang menjalankan tugas. Sebab direktur marketing dan sejumlah kepala cabang hadir dalam rapat wilayah itu. Saya tak akan lupa kepada atasan yang berpikir positif, meskipun ia mengaku tahu, bahwa saya lalai. Baginya, tentu, melakukan check in buat saya, akan menambah deposit bank emosinya.

 

            Saya kira, kejadian itu tak boleh berulang. Tetapi, saya pastikan, bahwa penggunaan e-ticket Garuda telah memudahkan banyak hal. Pelanggan mendapat banyak manfaat karena itu salah satu solusi untuk kondisi lalu lintas kota yang senantiasa mampat. Tiket hanya sebuah penanda bahwa seseorang memiliki bukti legal untuk berhak naik pesawat. Dengan teknologi informasi, semua data melintasi media maya, fisik kita hanya singgah pada titik-titik terminasi yang diperlukan saja. Sebagian kerepotan yang dilenyapkan telah membuat Garuda Indonesia berada paling depan di antara penerbangan domestik lainnya. Sudah seharusnya maskapai yang lain segera mengikuti karena sistem itu bukan sebuah rahasia.  

Keberuntungan saya yang lain, mungkin suatu saat akan saya kisahkan, bersumber dari Garuda Frequent Flyer (GFF). Terima kasih, saya telah memilikinya sejak beberapa tahun yang lalu.

Akhirnya, kepada para pelanggan Garuda Indonesia: “Enjoy flight. Selamat terbang dengan nyaman.”

 

(Kurnia Effendi untuk majalah internal Garuda Indonesia)